"Tsania ada," ucap Mama lagi. Sepertinya Bang Ben menanyakan keberadaanku. "Coba, ulangi lagi kata-katamu yang tadi, Ben. Kenapa kamu sebut-sebut nama si Dania itu?"Aku yang tidak tahu mengenai ucapan Bang Ben, menjadi sangat penasaran ketika Mama menyebut nama Dania. Apakah tujuan kakakku menelepon untuk membahas adik iparku itu? "Mah." Aku melihat pada Mama, tapi langsung dibalas isyarat diam oleh wanita paruh baya itu. "Kamu dan Tsania merahasiakan sesuatu dari Mama?" Mama kembali bertanya pada putranya. "Kalau tidak ada, ya katakan saja. Mama belum tuli, dan Mama mendengar jelas tadi kamu mengucapkan nama wanita murahan itu," lanjut Mama mulai tidak tenang. Aku tidak bisa apa-apa. Yang aku lakukan hanya diam seraya melihat pada Mama yang menguasai ponselku. Sepertinya memang ada sesuatu yang ingin dibicarakan Bang Ben denganku. Tapi apa? Dania? Kenapa nama itu Mama sebut berulang kali?"Mah, berikan ponselnya," kataku memberikan diri. "Diam dulu, Tsa. Kakakmu sedang bicar
"Astaghfirullah ...." Wajah aku usap dengan kasar saat sadar tidak ada siapa pun di sini selain hanya aku. Apa barusan aku bermimpi? Kenapa sentuhan lembut dan ucapannya terasa sangat nyata? Mungkinkah karena aku merindukannya? Rindu? "Tidak, tidak sama sekali. Mana mungkin aku merindukan dia. Ini karena aku sedang tidak sehat, makanya pikiranku ke mana-mana."Seperti orang yang tidak waras, aku bertanya sendiri dan menjawabnya sendiri pula. Tubuh yang tadi terduduk, aku baringkan kembali. Namun, tak lama aku bangun lagi."Aku gak boleh tidur lagi. Emang terbukti gak baik tidur di jam segini. Makanya aku mimpi buruk," ucapku. Aku beringsut turun dari ranjang, lalu keluar dari kamar dan duduk di kursi yang ada di balkon. Kuhirup udara dengan sangat dalam, dan tatapan lurus ke depan. Beberapa anak tetangga kulihat berjalan melewati rumah dengan canda dan tawa renyah mereka. Sangat lepas. Tidak ada beban dari wajah-wajah itu, yang nampak kebahagiaan karena hendak menuntut ilmu
Dua hari setelah Mas Rendra mengirimkan paket, aku terus saja memikirkan dia. Entahlah, aku merasa Mas Rendra berada dekat dengan diriku. Hanya saja, dia tidak ingin menunjukkan dirinya karena suatu alasan yang aku pun tidak tahu. "Ih, pusing terus." Aku merengut seraya menurunkan kaki dari atas ranjang. Setelah sarapan pagi, aku sama sekali tidak keluar dari kamar. Tidur dan berbaring adalah pekerjaanku, karena tubuh yang semakin hari semakin terasa tidak enak saja. "Sepertinya aku beneran sakit, deh," ujarku kemudian. Kusibak gorden yang menutupi kaca, hingga bisa kulihat cahaya matahari sudah meninggi. Pintu balkon aku buka, lalu menarik napas dengan dalam untuk menghirup udara segar. Namun, bukan kesegaran yang aku dapat, melainkan rasa mual kembali datang membuatku langsung lari ke kamar mandi dan mengeluarkan semua sarapan yang tadi aku makan."Astaga .... Gak enak sekali perutku." Aku berujar, lalu membasuh muka yang terlihat pucat. Setelah merasa lega, aku keluar dari k
'Allah ...,' lirihku dalam hati ketika melihat garis pada testpack. Aku tersenyum, tapi air mata pun menetes. Aku merasa bahagia, juga kecewa. Entahlah, aku bingung dengan perasaanku sendiri. Yang jelas, sekarang aku kebingungan. "Kamu tidak apa-apa, kan, Tsa?" Papa memegangi kedua pundakku dengan tatapan khawatir ketika aku keluar dari toilet klinik. Aku tersenyum. Menganggukkan kepala sebagai jawaban dari pertanyaan ayahku itu. "Aku ke ruangan dokter lagi, ya, Pah?" ujarku kemudian. "Iya. Kamu sudah ditanyain dari tadi."Aku pun meninggalkan Papa, lalu masuk kembali ke ruangan tempat pemeriksaan tadi. "Bu Tsania baik-baik saja?" Pertanyaan dokter sama seperti pertanyaan Papa. "Baik, Dokter. Maaf, membuat dokter menunggu lama. Tadi, saya malah buang air besar," kataku, karena merasa tak enak telah membuat dokter itu menunggu. "Oh, tidak apa-apa, Bu Tsania. Saya lega kalau Bu Tsania baik-baik saja. Saya kira, Ibu pingsan di kamar mandi. Hasil tesnya?" Wanita yang terlihat b
"Hamil?" ujar Bang Ben dengan kening yang mengkerut. Aku mengangguk dengan menggigit bibir menahan isak tangis. Seketika suasana menjadi hening, baik aku maupun Bang Ben tidak sama sekali mengeluarkan suara. Entah apa juga yang ada di dalam pikiran kakakku, hingga bibirnya menjadi tertutup sangat rapat.Tidak senangkah dia mereka dengan berita ini? Sudah aku duga. Kehamilanku tidak akan mendapatkan sambutan baik oleh keluargaku. "Alhamdulillah .... Aku senang mendengar kabar ini, Tsa." Kak Anna nyeletuk setelah beberapa saat terdiam. "Ya, Alhamdulillah. Akhirnya kamu pun akan jadi seorang ibu, Tsa," timpal Bang Aldi, kemudian memelukku lagi. Hambar. Ucapan syukur yang keluar dari bibir kakakku tidak seantusias seperti saat mereka tahu Kak Anna tengah mengandung. Ah, kenapa juga aku harus berharap mendapatkan sambutan yang meriah? Bukannya, memang kehamilan ini datang di tengah-tengah masalah yang belum ada ujungnya? Pantas saja terdengar biasa saja. Karena mungkin saja, kehadi
"Kenapa gak perlu? Rendra ayah dari anak yang ada dalam kandungan Tsania, loh. Jadi, dia harus tahu." Papa kembali mengeluarkan pendapatnya. "Iya, Mama tahu jika Rendra ayah dari anak dalam perut Tsania. Tapi, Papa harus berpikir juga. Jika Rendra tahu sekarang, yang ada kehamilan Tsania akan dimanfaatkan oleh mereka. Dan rencana untuk membuat Dania menjauh, itu akan sia-sia. Sudahlah, nanti saja beritahu Rendra-nya. Setelah mereka resmi berpisah."Semua orang terdiam setelah Mama menyelesaikan ucapannya. Tak ada yang berani menjawab, apalagi mendebatnya. Kulihat Papa hanya mengembuskan napas kasar. Begitu juga dengan Bang Ben dan istrinya yang saling pandang, lalu tersenyum tipis ke arahku. "Benar kata Mama, Pah. Lagipula, kita tidak tahu di mana Mas Rendra berada. Jadi ... tidak usah memberitahukan pada dia sekarang," tuturku, membesarkan hati. Rasanya sesak dada ini mengucapkan kalimat yang sebagian tak diinginkan hati. Sebagai wanita hamil pada umumnya, aku menginginkan kebera
"Masa, sih aku salah lihat? Enggak, deh. Aku yakin banget dan masih aku kenali postur tubuh itu."Sepanjang perjalanan dari kebun ke tempat tadi Papa memarkirkan mobil, aku terus saja bicara sendiri seraya mengingat apa yang tadi aku lihat. Iya, ini masih tentang pemetik teh yang tadi menyapaku. Eh, tapi bukan. Bukan mereka yang membuatku tidak bisa mengalihkan pikiran. Akan tetapi, satu orang laki-laki yang sepertinya aku kenal. Dia seperti Mas Rendra. Demi Tuhan aku tidak mengada-ada. Hati kecilku meyakini, itu memang dia. Namun ... rasa tidak mungkin terus saja aku gumamkan, karena tidak ingin terlalu berharap akan dekatnya dia denganku. Tidak mungkin. Ya, itu tidak mungkin dia. "Sudah sarapannya, Tsa?" tanya Papa, ketika aku sampai di gudang teh."Sudah, Pah. Sudah habis." Aku menjawab dengan seulas senyum tipis. Kursi lipat aku yang aku jinjing, aku buka kembali dan kududuki. Sedangkan pikiran, masih pada kejadian singkat yang membuat hatiku bertanya-tanya. "Mau pulang sek
"Sudah pulang, Tsa? Gimana, tadi muntah lagi, gak di kebun? Makannya habis? Susunya diminum enggak?"Rentetan pertanyaan diberikan Mama ketika aku masuk ke rumah dan menghampiri dia yang tengah menonton siaran televisi. Senyum aku berikan sebelum menjawab semua pertanyaannya. Aku duduk di samping Mama, kemudian memeluk wanita itu dari samping. "Sarapannya habis, Mah. Tadi aku enggak muntah sama sekali.""Iyakah?" ucapnya, "berarti, si dedek mau makan di tempat yang sejuk, Tsa?" Aku hanya tersenyum kecil, lalu mengurai pelukan. Selanjutnya, sebelah tangan Mama mengusap perutku yang masih rata. "Papa ke pabrik, ya? Kalian baik-baik di rumah. Ada yang Mama dan Tsania inginkan, gak? Nanti Papa bawain saat pulang."Papa yang tadi buru-buru masuk ke kamar mandi karena ingin buang air, kini menghampiri kami dan bertanya. "Enggak, deh, Pah. Aku, gak mau apa-apa," kataku. "Mama?" Papa bertanya pada wanita di sampingku. "Enggak ada. Mama enggak mau apa-apa juga."Papa manggut-manggut, ke
"Kayaknya bukan masalah kerjaan, Tsa. Coba, deh, kamu tanya baik-baik sama Rendra. Siapa tahu, dia ... merindukan ibunya?"Aku termenung mendengar penuturan Papa barusan. Apa iya, suamiku merindukan Ibu? "Kenapa tidak bilang dan pergi temui Ibu? Aku enggak akan larang, kok," kataku kemudian. "Mungkin Rendra malu untuk bilang, makanya dia diam. Kamu sebagai istri, harusnya inisiatif tanya. Bagaimanapun juga, wanita yang saat ini ada di rumah sakit jiwa itu, wanita yang telah melahirkan suamimu. Wajib hukumnya kamu mengingatkan suami agar tetap memperhatikan ibunya. Kalau sehat badan, ya dengan tenaga, kalau punya harta, ya dengan harta. Kalau punya keduanya, lakukan bersamaan. Paham, Tsa?" Aku mengangguk lemah dengan tatapan pada Mas Rendra yang memejamkan mata.Papa yang sudah merasakan kantuk, ia pun pamit pada Ayu, mencium pipi chubby cucunya itu sebelum pergi ke kamar. "Mas." Aku mengusap pipi Mas Rendra dengan lembut. Tidak ada respon. Hanya embusan napas teratur yang kudenga
"Kamu aku izinkan menjenguk Ayu, tapi dengan satu syarat," ujar Mas Rendra, melanjutkan ucapannya yang menggantung. "Apa syaratnya, Mas?" Roy bertanya. "Jangan berharap membawa dia. Aku tidak akan mengizinkan itu."Dengan wajah yang terlihat kecewa, Roy menganggukkan kepalanya. Aku merasa lega, karena Mas Rendra tidak membiarkan Roy mengurus Ayu. Pikirku, Mas Rendra akan dengan senang hati menyerahkan Ayu, membiarkan keponakannya itu diasuh oleh ayah kandungnya. Akan tetapi, itu hanya ketakutanku saja. Mas Rendra juga pasti sudah memikirkan matang-matang tentang jawaban yang dia berikan pada Roy. "Sekarang kamu boleh pergi," ujar Mas Rendra dingin."Mas, sebelum aku pergi, bodoh tidak jika aku menggendong anakku?" Mataku langsung menatap wajah Roy setelah dia berucap demikian. Aku memperhatikan dengan lekat wajah itu, mencari apakah ada niat jelek darinya untuk Ayu. Namun, aku bukan Tuhan yang bisa tahu isi hati manusia. Aku tidak menangkap niat buruk dari Roy, hanya melihat se
Aku dan Mas Rendra saling pandang, sangat terkejut dengan ucapan yang pria itu lontarkan. Mas Rendra membalikkan badan, menatap heran pada pria yang melihat suamiku dengan nyalang. "Siapa yang kau sebut anakku?" tanya suamiku kemudian. Pria itu meneguk ludah dengan kasar. Tanpa mengucapkan satu kata pun, dia pergi menjauhi kami dan naik ke atas kendaraan roda duanya. Mas Rendra mengejar. Suamiku itu berhasil menahan pria asing tadi untuk kabur, sementara aku menghampiri mobil untuk mengambil Ayu yang sengaja kami biarkan di dalam mobil. Awalnya, aku sengaja meninggalkan aku untuk memancing pria itu. Karena aku kira, dia penculik yang mengincar Ayu. Akan tetapi, sepertinya aku salah duga. Dari cara dia tadi berteriak menghentikan Mas Rendra, aku yakin dia bukanlah penculik. "Siapa kamu sebenarnya? Katakan, siapa?!" ujar Mas Rendra, memaksa laki-laki itu untuk bicara. "Lepaskan!" Pria yang kedua tangannya dicekal Mas Rendra, berteriak seraya berontak. "Aku akan melepaskanmu, as
"Ini Anak Bayi mau ke mana? Ya ampun ... pagi-pagi gini sudah cantik aja." "Jalan-jalan, dong, Opa," kataku, menjawab pertanyaan yang Papa tujukan pada Ayu. Sekarang hari minggu. Karena pabrik libur di hari ini, aku pun berinisiatif untuk pergi jalan-jalan bersama Ayu. Alhamdulillah-nya, Mas Rendra tidak menolak ketika aku menyampaikan keinginan untuk pergi di hari minggu. Dan sekarang, aku sudah siap untuk pergi. Tinggal menunggu Mas Rendra yang masih mandi, karena tadi gantian menjaga Ayu. "Kalian mau pergi ke mana? Jangan jauh-jauh, kasihan Ayu. Dan ingat kondisi kamu juga, Tsa," ujar Papa seraya meletakkan Ayu di stroller. "Iya, Papa. Palingan ke taman, terus makan-makan doang, sih. Janji, deh enggak akan pulang malam." Aku mengacungkan dua jari ke depan wajah. "Yasudah, kalian hati-hati, ya? Papa udah transfer buat jajan kalian.""Emh ... Papa .... Makasih," tuturku, lalu memeluk Papa. Sebenarnya, Papa sudah aku ajak untuk ikut bersamaku dan Mas Rendra. Akan tetapi, Papa m
Gorden yang aku tutup tiba-tiba, aku buka kembali untuk melihat orang tadi. Akan tetapi, orang asing itu sudah tidak ada di tempatnya. Dia pergi dan entah ke mana. Hati semakin khawatir, takut jika orang tadi punya niat buruk padaku, atau semua penghuni rumah ini. Sangat menyeramkan. [Mas, tadi ada orang asing yang ngintai rumah kita,] ujarku, mengirimkan pesan pada Mas Rendra. Sayangnya, suamiku itu membalas pesan yang aku kirim. Jangankan membalasnya, dibaca pun tidak sama sekali. Suamiku itu pasti sedang bekerja saat ini. [Pah.] Aku memanggil Papa, lewat pesan juga. Sama seperti Mas Rendra, Papa juga tidak sama sekali membaca pesanku. Ada rasa kesal pada dua lelaki itu karena mengabaikan pesanku, tapi aku juga sadar jika mereka sedang bekerja saat ini. Lalu aku harus apa untuk mengalihkan rasa takut ini? "Astaghfirullah!"Ketukan di pintu membuatku yang tengah melamun, terlonjak kaget mendengarnya. Dada kuusap berulang kali seraya mengatur napas. "Siapa?" tanyaku, seteng
"Setelah Mama pergi, dia belum pernah datang ke mimpi Papa, Tsa. Papa ingin sekali melihatnya," ujar Papa seraya mengusap kedua matanya. Aku tidak bisa melakukan apa-apa. Tanganku mengusap-usap punggung Papa, lalu akhirnya kami berpelukan. Sebenarnya, aku pun merasakan hal yang sama. Tadi setelah salat maghrib, tiba-tiba mengingat Mama. Namun, aku tidak mengatakannya pada siapa pun. Aku pendam rasa ini, karena mungkin hanya aku yang merasakannya. Ternyata tidak, Papa pun merasakan kerinduan yang sama pada wanita yang sudah tidak lagi bersama kami saat ini. "Masih ada penyesalan di sini, Tsa." Papa meraba dadanya. "Seandainya saja saat itu Papa langsung pulang, mungkin sekarang Mama masih ada, ya?" lanjut Papa lagi. "Ssttt .... Jangan bicara seperti itu, Pah. Kan, kata Papa juga semuanya sudah Allah atur. Kapan kita meninggal, di mana dan dengan cara apa, sudah Allah tentukan lebih dulu sebelum kita dilahirkan ke dunia ini."Papa mengurai pelukan, lalu mengangguk pelan. Dia menari
"Waalaikumsalam," ucapku, lalu diikuti Mas Rendra dan Papa. Mataku tak lepas dari seseorang yang saat ini masih bergeming di tempatnya. Begitu juga dengan Mas Rendra dan Papa. Sedangkan yang diperhatikan, matanya memindai kami yang ada di dalam rumah, lalu berhenti di Mas Rendra. Untuk beberapa detik keduanya saling mengunci pandangan, hingga akhirnya Mas Rendra melihat ke arahku seraya tersenyum. "Masuk, Na." Aku berucap demikian. Wanita yang tak lain adalah Sabrina, melangkahkan kaki ke dalam rumah, lalu menyalami Papa yang berada paling dekat dengan pintu. Ayahku berpindah duduk, lalu sofa yang tadi ia tempati, kini diduduki Sabrina. Panjang umur Sabrina ini. Baru saja kami membahasnya, tahu-tahu sekarang dia ada di hadapan kami. "Mas Rendra sejak kapan di sini?" tanya Sabrina pada suamiku. Sebagai seorang wanita dewasa, aku paham betul jika tatapan Sabrina pada suamiku mengandung arti. Masih ada rasa yang aku lihat dari sorot matanya itu. Mas Rendra tidak langsung menjawa
"Kakak kaget, loh tadi pas kamu masuk sama Rendra. Kakak kira, kalian mau ngomongin perpisahan. Eh, tahunya sebaliknya. Seneng, deh lihat kamu ceria lagi kayak gini. Tadi, gimana kata dokter? Janinnya baik-baik saja, kan? Kamunya juga sehat?"Aku terkekeh ketika diberondong banyak pertanyaan oleh Kak Anna. Awal aku datang, wajah Kak Anna memang menunjukkan keheranan. Apa lagi alasannya kalau bukan karena aku yang datang bersama Mas Rendra. Dan setelah dijelaskan, baik Kak Anna maupun Bang Ben, menerima keputusanku. Mereka mendukung penuh aku untuk tetap bersama Mas Rendra, apalagi aku yang tengah mengandung anaknya Mas Rendra. "Kandungan aku baik. Meskipun, tadi pagi sempat kram, tapi Alhamdulillah semuanya normal-normal saja. Aku juga sehat," jawabku kemudian."Syukurlah kalau baik-baik saja. Iya, tahu, kok kalau kalian pasti rindu, kan? Tapi, harus ingat, ada Tsania junior di sini. Atau mungkin, Rendra junior?" Aku tertawa, mengikuti Kak Anna yang terkekeh seraya mengusap-usap p
"Jadi, kalian memutuskan untuk bersama lagi?"Aku dan Mas Rendra mengangguk, menjawab pertanyaan yang diberikan Papa. Sekitar satu jam yang lalu, aku dan Mas Rendra memutuskan pulang ke rumah Papa. Setelah makan bersama, Papa mengajak kami untuk bicara, membahas rumah tangga kami yang sempat berada di ujung perpisahan. "Papa senang, jika akhirnya kalian kembali bersama. Karena bagaimanapun, kalian ini akan jadi orang tua. Sudah jadi orang tua bahkan, karena Ayu adalah bagian dari kalian," ujar Papa lagi. Tanganku dan tangan Mas Rendra saling menggenggam. Kami duduk berdampingan, tidak ingin jauh satu sama lain. "Rendra." Papa menyebut nama suamiku. "Iya, Pah?" "Ini kesempatan terakhir yang Papa berikan kepada kamu. Jika suatu hari nanti kamu membuat kesalahan lagi, menutupi masalah apa pun itu dari Tsania, hingga membuat anak Papa terluka, Papa sendiri yang akan memintamu pergi. Ingat, Rendra. Laki-laki yang dipegang itu omongannya. Maka, bersikaplah seperti ucapan yang kamu jan