"Sudah pulang, Tsa? Gimana, tadi muntah lagi, gak di kebun? Makannya habis? Susunya diminum enggak?"Rentetan pertanyaan diberikan Mama ketika aku masuk ke rumah dan menghampiri dia yang tengah menonton siaran televisi. Senyum aku berikan sebelum menjawab semua pertanyaannya. Aku duduk di samping Mama, kemudian memeluk wanita itu dari samping. "Sarapannya habis, Mah. Tadi aku enggak muntah sama sekali.""Iyakah?" ucapnya, "berarti, si dedek mau makan di tempat yang sejuk, Tsa?" Aku hanya tersenyum kecil, lalu mengurai pelukan. Selanjutnya, sebelah tangan Mama mengusap perutku yang masih rata. "Papa ke pabrik, ya? Kalian baik-baik di rumah. Ada yang Mama dan Tsania inginkan, gak? Nanti Papa bawain saat pulang."Papa yang tadi buru-buru masuk ke kamar mandi karena ingin buang air, kini menghampiri kami dan bertanya. "Enggak, deh, Pah. Aku, gak mau apa-apa," kataku. "Mama?" Papa bertanya pada wanita di sampingku. "Enggak ada. Mama enggak mau apa-apa juga."Papa manggut-manggut, ke
Aku membalas senyuman dari seseorang yang tidak bukan adalah ibu mertuaku. Iya, Ibu berdiri tegak dengan mata menatap satu per satu keluargaku. "Apa kabar, Menantuku?" Tangan Ibu terulur ke arahku. Mama menahan tanganku untuk tidak menerima uluran tangan besannya itu. Namun, aku tetap menyambut baik tangan Ibu, lalu menciumnya sama seperti saat kami belum ada masalah. "Kabar baik, Bu. Ibu sendiri bagaimana kabarnya? Mana Ayu?" Aku balik bertanya. "Ayu sedang bersama Dania di ruang ganti. Sedang dirias. Dia pasti cantik dengan baju pengantin yang melekat di tubuhnya," jawab Ibu, membanggakan anak perempuannya. "Oh, iya, silahkan duduk dulu. Sebentar lagi, Dania akan selesai. Dan ijab qobul akan segera dimulai."Aku dan Kak Anna saling pandang, lalu kami pun kembali berjalan menghampiri kursi kosong yang sudah disiapkan. Di dalam hati, aku tersenyum sinis dengan keadaan di gedung ini. Ini bukan seperti acara pernikahan pada umumnya, lebih tepatnya seperti acara nikahan anak SMP yan
Dadaku berdebar kencang dengan aliran darah yang terasa memanas ketika mataku dan dia saling bertemu. Aku bergeming dengan bibir terkatup rapat, tatapan terpaku pada seorang pria yang sudah satu bulan ini tak bertemu. Apakah aku tidak salah lihat? Benarkah itu dia? "Allah ...." Aku bergumam setelah kami memutuskan mengakhiri kontak mata, dan dia berjalan ke depan melewatiku. Kutatap terus punggung lebar milik laki-laki yang tak lain ayah dari anak dalam kandunganku. Hingga akhirnya, dia berhenti berjalan dan berdiri di samping meja ijab qobul. Mas Rendra mengambil mikrofon dari tangan MC, sepertinya dia akan mengatakan sesuatu. "Bu, tolong pegangin Ayu," kataku, memberikan bayi itu pada wanita tadi. Aku meninggalkan Ayu yang sudah terlelap, kemudian kembali ke tempat dudukku semula. Dekat. Kali ini jarak antara aku dan Mas Rendra sangatlah dekat. Mungkin, tempatku berada hanya tiga langkah saja dari di mana dia berdiri. "Kalau Rendra datang, itu artinya pernikahan Bang Ben a
Aku dan Papa keluar dari gedung seraya mendorong kursi roda Mama. Di belakang kami, Dania mengejar seraya memohon untuk Papa menikahinya. Aku sampai tidak habis pikir dengan Dania. Entah apa yang ada dalam pikiran dia, hingga sangat kekeh ingin menjadi bagian dari keluarga kami. Dengan tanpa rasa malu, dia menawarkan diri dan sangat bersedia dinikahi Papa, yang usianya sangat jauh darinya. Untuk menutupi rasa malu kah? Bukankah itu akan menambah rasa malu dia, yang gagal menikah dengan anaknya, dan malah menikah dengan ayahnya? "Tsania, tunggu! Tolong dengarkan jerit hatiku kali ini saja!"Aku menghentikan langkah ketika suara Dania melengking begitu kencang sembari menyebut namaku. Badan aku balikan, mata menatap dia yang juga memintaku dengan linangan air mata. "Tsania, dengan kerendahan hati, kali ini aku memohon untuk kamu sedikit saja mendengarkan isi hatiku. Tsa, aku memang bukan ipar yang baik untukmu, tapi tolong bantu aku kali ini saja," ujar Dania seraya memohon menan
"Dari .... Aduh, Bibi enggak tahu, Neng. Orangnya enggak sebut nama. Cuma ngasih ini yang katanya buat Neng Tsania, terus pergi gitu aja. Bibi gak sempat tanya namanya," ujar Bi Imas, menjelaskan. Aku mengambil kantong plastik besar dari tangan Bibi, lalu membuka dan melihat isinya. Lagi-lagi aku dibuat mengerutkan kening dengan isi plastik tersebut. "Apa dari orang suruhan Papa, ya?" kataku, menerka-nerka. Kenapa aku mengira dari Papa, karena isi plastik itu ternyata susu ibu hamil, biskuit, roti tawar dan berbagai macam makanan ringan yang ramah untuk wanita hamil. Ada juga minuman berbahan dasar kacang hijau, yang juga sangat baik untuk ibu hamil. Kalau bukan dari Papa, lalu dari siapa? Selain keluarga, tidak ada orang yang tahu jika saat ini aku tengah berbadan dua. "Apa itu, Tsa?" Aku mengalihkan pandangan dari makanan yang entah dari siapa, pada Mama yang datang menghampiri. "Makanan, Mah. Kayaknya Papa yang beli, terus nyuruh orang buat antar ke sini," jawabku, lalu men
"Ya Allah, Pah. Pelan-pelan," kataku seraya memberikan gelas berisikan air minum ke tangan Papa. Setelah batuk reda, Papa pun menghabiskan satu gelas air minum, lalu mengucapkan hamdalah seraya mengatur napas. Aku tidak mengerti kenapa juga Papa sampai batuk tak henti-henti. Wajahnya jadi merah, dan sepertinya sekarang pun dia kehilangan selera makan. "Kamu lanjutkan makan, ya? Papa sudah kenyang," tutur Papa, seraya beranjak dan pergi meninggalkan meja makan. Aku tidak menjawab, dan hanya diam seraya melihat punggung Papa yang sudah hilang di balik tembok penyekat ruang makan dan ruang tengah. Napas aku embuskan kasar, lalu mengalihkan pandangan pada piring yang masih berisi makanan. Tidak ada selera untuk melanjutkan makan. Bukan karena Papa yang batuk di depanku, melainkan ucapan spontan yang tadi keluar dari bibir Papa. "Apa iya, Papa tahu keadaan Ibu dan Dania? Dari mana? Menduga-duga?" Aku bergumam seorang diri seraya memainkan sendok pada piring. Semakin mengingat ucap
"Kenapa tiba-tiba Mama bertanya tentang itu?" "Ah, lupakan saja. Ayo, kita masuk," jawab Mama. Kursi roda yang tadi susah untuk didorong, seketika terasa sangat ringan. Dan kami pun masuk ke dalam restoran, yang di mana sudah ada Kak Anna dan Bang Ben di sana. "Macet?" Satu pertanyaan diberikan kakakku saat kami tiba. "Tidaklah, Ben. Macet di mana?" jawab Papa. "Kirain macet, soalnya lama datangnya.""Maaf, Bang. Ada sedikit kendala sedikit. Kalian sudah pesan? Mau makan apa kita siang ini?" Aku mengalihkan pembicaraan. Bang Ben memberikan buku menu kepadaku agar bisa memilih makanan apa yang ingin aku nikmati. Sayangnya, tidak ada satu menu makanan pun yang menggugah selera. Jangankan menyantapnya langsung, melihat dari gambar saja sudah membuatku enek. "Aku, gak pesen makan, ah." Bang Ben langsung menoleh, menatapku dengan kening yang mengkerut. "Loh, kok enggak mau makan? Tadi, kamu yang minta kita makan di sini. Sekarang, kok malah enggak mau makan?""Enek, Pah. Aku liat
"Aku jadi curiga sama Papa.""Masa, sih, Papa? Kamu kali, Bang?""Demi Allah, Tsa. Aku sama Rendra cuma ngomongin Dania, dan itu juga cuma sebentar ketemunya. Rendra juga enggak bilang dia kerja apa, di mana, dan sebagainya. Fokus kita hanya pada rencanaku waktu itu." Bang Ben menjelaskan lagi. Saat ini, aku beserta kakak dan kakak iparku tengah berada di kedai bakso yang ada di pinggir jalan. Tadi setelah makan siang, Mama dan Papa langsung pulang. Sedangkan aku, izin untuk ikut Bang Ben ke rumahnya. Itu alasan saja, padahal yang sebenarnya, kami mampir di kedai bakso untuk membicarakan sesuatu. Di sini, hanya aku yang makan bakso. Kak Anna dan Bang Ben hanya menemani seraya ngemil kuaci dan ngobrol. Apa yang kami bahas? Lagi-lagi tentang Mas Rendra. Aku menceritakan tentang kiriman misterius, juga Papa yang sepertinya menyembunyikan sesuatu dariku. Iya, aku curiga jika sebenarnya Papa tahu tentang Mas Rendra. Namun, dia sengaja tidak mau bercerita karena alasan yang entah apa.