Share

Bab 112

Author: Pena_yuni
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Aku membalas senyuman dari seseorang yang tidak bukan adalah ibu mertuaku. Iya, Ibu berdiri tegak dengan mata menatap satu per satu keluargaku.

"Apa kabar, Menantuku?" Tangan Ibu terulur ke arahku.

Mama menahan tanganku untuk tidak menerima uluran tangan besannya itu. Namun, aku tetap menyambut baik tangan Ibu, lalu menciumnya sama seperti saat kami belum ada masalah.

"Kabar baik, Bu. Ibu sendiri bagaimana kabarnya? Mana Ayu?" Aku balik bertanya.

"Ayu sedang bersama Dania di ruang ganti. Sedang dirias. Dia pasti cantik dengan baju pengantin yang melekat di tubuhnya," jawab Ibu, membanggakan anak perempuannya. "Oh, iya, silahkan duduk dulu. Sebentar lagi, Dania akan selesai. Dan ijab qobul akan segera dimulai."

Aku dan Kak Anna saling pandang, lalu kami pun kembali berjalan menghampiri kursi kosong yang sudah disiapkan.

Di dalam hati, aku tersenyum sinis dengan keadaan di gedung ini. Ini bukan seperti acara pernikahan pada umumnya, lebih tepatnya seperti acara nikahan anak SMP yan
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 113

    Dadaku berdebar kencang dengan aliran darah yang terasa memanas ketika mataku dan dia saling bertemu. Aku bergeming dengan bibir terkatup rapat, tatapan terpaku pada seorang pria yang sudah satu bulan ini tak bertemu. Apakah aku tidak salah lihat? Benarkah itu dia? "Allah ...." Aku bergumam setelah kami memutuskan mengakhiri kontak mata, dan dia berjalan ke depan melewatiku. Kutatap terus punggung lebar milik laki-laki yang tak lain ayah dari anak dalam kandunganku. Hingga akhirnya, dia berhenti berjalan dan berdiri di samping meja ijab qobul. Mas Rendra mengambil mikrofon dari tangan MC, sepertinya dia akan mengatakan sesuatu. "Bu, tolong pegangin Ayu," kataku, memberikan bayi itu pada wanita tadi. Aku meninggalkan Ayu yang sudah terlelap, kemudian kembali ke tempat dudukku semula. Dekat. Kali ini jarak antara aku dan Mas Rendra sangatlah dekat. Mungkin, tempatku berada hanya tiga langkah saja dari di mana dia berdiri. "Kalau Rendra datang, itu artinya pernikahan Bang Ben a

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 114 Telepon Misterius

    Aku dan Papa keluar dari gedung seraya mendorong kursi roda Mama. Di belakang kami, Dania mengejar seraya memohon untuk Papa menikahinya. Aku sampai tidak habis pikir dengan Dania. Entah apa yang ada dalam pikiran dia, hingga sangat kekeh ingin menjadi bagian dari keluarga kami. Dengan tanpa rasa malu, dia menawarkan diri dan sangat bersedia dinikahi Papa, yang usianya sangat jauh darinya. Untuk menutupi rasa malu kah? Bukankah itu akan menambah rasa malu dia, yang gagal menikah dengan anaknya, dan malah menikah dengan ayahnya? "Tsania, tunggu! Tolong dengarkan jerit hatiku kali ini saja!"Aku menghentikan langkah ketika suara Dania melengking begitu kencang sembari menyebut namaku. Badan aku balikan, mata menatap dia yang juga memintaku dengan linangan air mata. "Tsania, dengan kerendahan hati, kali ini aku memohon untuk kamu sedikit saja mendengarkan isi hatiku. Tsa, aku memang bukan ipar yang baik untukmu, tapi tolong bantu aku kali ini saja," ujar Dania seraya memohon menan

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 115 Salah Ngomong

    "Dari .... Aduh, Bibi enggak tahu, Neng. Orangnya enggak sebut nama. Cuma ngasih ini yang katanya buat Neng Tsania, terus pergi gitu aja. Bibi gak sempat tanya namanya," ujar Bi Imas, menjelaskan. Aku mengambil kantong plastik besar dari tangan Bibi, lalu membuka dan melihat isinya. Lagi-lagi aku dibuat mengerutkan kening dengan isi plastik tersebut. "Apa dari orang suruhan Papa, ya?" kataku, menerka-nerka. Kenapa aku mengira dari Papa, karena isi plastik itu ternyata susu ibu hamil, biskuit, roti tawar dan berbagai macam makanan ringan yang ramah untuk wanita hamil. Ada juga minuman berbahan dasar kacang hijau, yang juga sangat baik untuk ibu hamil. Kalau bukan dari Papa, lalu dari siapa? Selain keluarga, tidak ada orang yang tahu jika saat ini aku tengah berbadan dua. "Apa itu, Tsa?" Aku mengalihkan pandangan dari makanan yang entah dari siapa, pada Mama yang datang menghampiri. "Makanan, Mah. Kayaknya Papa yang beli, terus nyuruh orang buat antar ke sini," jawabku, lalu men

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 116

    "Ya Allah, Pah. Pelan-pelan," kataku seraya memberikan gelas berisikan air minum ke tangan Papa. Setelah batuk reda, Papa pun menghabiskan satu gelas air minum, lalu mengucapkan hamdalah seraya mengatur napas. Aku tidak mengerti kenapa juga Papa sampai batuk tak henti-henti. Wajahnya jadi merah, dan sepertinya sekarang pun dia kehilangan selera makan. "Kamu lanjutkan makan, ya? Papa sudah kenyang," tutur Papa, seraya beranjak dan pergi meninggalkan meja makan. Aku tidak menjawab, dan hanya diam seraya melihat punggung Papa yang sudah hilang di balik tembok penyekat ruang makan dan ruang tengah. Napas aku embuskan kasar, lalu mengalihkan pandangan pada piring yang masih berisi makanan. Tidak ada selera untuk melanjutkan makan. Bukan karena Papa yang batuk di depanku, melainkan ucapan spontan yang tadi keluar dari bibir Papa. "Apa iya, Papa tahu keadaan Ibu dan Dania? Dari mana? Menduga-duga?" Aku bergumam seorang diri seraya memainkan sendok pada piring. Semakin mengingat ucap

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 117

    "Kenapa tiba-tiba Mama bertanya tentang itu?" "Ah, lupakan saja. Ayo, kita masuk," jawab Mama. Kursi roda yang tadi susah untuk didorong, seketika terasa sangat ringan. Dan kami pun masuk ke dalam restoran, yang di mana sudah ada Kak Anna dan Bang Ben di sana. "Macet?" Satu pertanyaan diberikan kakakku saat kami tiba. "Tidaklah, Ben. Macet di mana?" jawab Papa. "Kirain macet, soalnya lama datangnya.""Maaf, Bang. Ada sedikit kendala sedikit. Kalian sudah pesan? Mau makan apa kita siang ini?" Aku mengalihkan pembicaraan. Bang Ben memberikan buku menu kepadaku agar bisa memilih makanan apa yang ingin aku nikmati. Sayangnya, tidak ada satu menu makanan pun yang menggugah selera. Jangankan menyantapnya langsung, melihat dari gambar saja sudah membuatku enek. "Aku, gak pesen makan, ah." Bang Ben langsung menoleh, menatapku dengan kening yang mengkerut. "Loh, kok enggak mau makan? Tadi, kamu yang minta kita makan di sini. Sekarang, kok malah enggak mau makan?""Enek, Pah. Aku liat

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 118 Mencurigai Papa

    "Aku jadi curiga sama Papa.""Masa, sih, Papa? Kamu kali, Bang?""Demi Allah, Tsa. Aku sama Rendra cuma ngomongin Dania, dan itu juga cuma sebentar ketemunya. Rendra juga enggak bilang dia kerja apa, di mana, dan sebagainya. Fokus kita hanya pada rencanaku waktu itu." Bang Ben menjelaskan lagi. Saat ini, aku beserta kakak dan kakak iparku tengah berada di kedai bakso yang ada di pinggir jalan. Tadi setelah makan siang, Mama dan Papa langsung pulang. Sedangkan aku, izin untuk ikut Bang Ben ke rumahnya. Itu alasan saja, padahal yang sebenarnya, kami mampir di kedai bakso untuk membicarakan sesuatu. Di sini, hanya aku yang makan bakso. Kak Anna dan Bang Ben hanya menemani seraya ngemil kuaci dan ngobrol. Apa yang kami bahas? Lagi-lagi tentang Mas Rendra. Aku menceritakan tentang kiriman misterius, juga Papa yang sepertinya menyembunyikan sesuatu dariku. Iya, aku curiga jika sebenarnya Papa tahu tentang Mas Rendra. Namun, dia sengaja tidak mau bercerita karena alasan yang entah apa.

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 119 Penyebab Dania Mengakhiri Hidup

    "Barusan Papa dapat kabar kalau Dania meninggal." "Innalilahi ...." Aku berucap lirih dengan perasaan tak percaya. "Dania meninggal karena bunuh diri, Tsa." Papa kembali berucap, dan kali ini semakin membuatku terkejut luar biasa. "Papa yakin? Kayaknya enggak mungkin, deh, Pah," kataku, masih tidak percaya. Namun, beberapa detik kemudian Papa mengirimkan sebuah foto, yang di mana tubuh seorang wanita muda tergantung dengan leher yang terikat kain. Dania. Iya, wajah itu masih kukenali meskipun pucat dan sedikit membiru. Aku menutup mulut seraya memperhatikan gambar yang entah dari siapa Papa mendapatkannya. Dadaku berdegup kencang, suhu tubuh pun tiba-tiba memanas melihat adik ipar yang meregang nyawa dengan sangat tragis. Apa yang membuat Dania mengakhiri hidupnya? "Tsa, Papa tutup dulu telponnya, ya? Nanti Papa kabari lagi," ujar Papa yang masih tersambung lewat panggilan telepon. Aku tidak menjawab. Mataku terus menyoroti gambar Dania, hingga kedatangan Mama pun tidak aku

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 120

    Waktu beranjak malam. Papa belum memberikan kabar lagi, dan pertanyaan yang tadi aku layangkan pun, tidak mendapatkan jawaban. Karena perut terasa lapar, aku turun ke lantai satu untuk pergi ke dapur. Suasana rumah sangat sepi. Mama pasti di kamar, dan Bi Imas entah ada di mana. Mungkin di kamarnya juga. "Mah." Aku memanggil ibuku untuk mengajaknya makan bersama. Karena aku yakin, ia belum keluar dari kamar sejak siang tadi. "Mamah," panggilku lagi dengan suara sedikit keras dari sebelumnya. Karena tidak ada jawaban, aku pun akhirnya mendorong pintu, lalu masuk. Kaki ini berhenti melangkah ketika melihat Mama yang duduk di kursi roda dengan membelakangi pintu. Pandangannya lurus ke depan, pada gorden yang menutupi kaca. "Mah, kok aku panggil enggak nyaut?" kataku, mengusap pundaknya. "Ternyata secinta itu papamu pada dia." Mama berucap, dan mampu membuat keningku mengkerut. "Dia? Dia siapa maksud Mama?" tanyaku. "Dania. Siapa lagi? Papa ke Jakarta, kan?" Mama menoleh, lalu me

Latest chapter

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 139

    "Kayaknya bukan masalah kerjaan, Tsa. Coba, deh, kamu tanya baik-baik sama Rendra. Siapa tahu, dia ... merindukan ibunya?"Aku termenung mendengar penuturan Papa barusan. Apa iya, suamiku merindukan Ibu? "Kenapa tidak bilang dan pergi temui Ibu? Aku enggak akan larang, kok," kataku kemudian. "Mungkin Rendra malu untuk bilang, makanya dia diam. Kamu sebagai istri, harusnya inisiatif tanya. Bagaimanapun juga, wanita yang saat ini ada di rumah sakit jiwa itu, wanita yang telah melahirkan suamimu. Wajib hukumnya kamu mengingatkan suami agar tetap memperhatikan ibunya. Kalau sehat badan, ya dengan tenaga, kalau punya harta, ya dengan harta. Kalau punya keduanya, lakukan bersamaan. Paham, Tsa?" Aku mengangguk lemah dengan tatapan pada Mas Rendra yang memejamkan mata.Papa yang sudah merasakan kantuk, ia pun pamit pada Ayu, mencium pipi chubby cucunya itu sebelum pergi ke kamar. "Mas." Aku mengusap pipi Mas Rendra dengan lembut. Tidak ada respon. Hanya embusan napas teratur yang kudenga

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 138

    "Kamu aku izinkan menjenguk Ayu, tapi dengan satu syarat," ujar Mas Rendra, melanjutkan ucapannya yang menggantung. "Apa syaratnya, Mas?" Roy bertanya. "Jangan berharap membawa dia. Aku tidak akan mengizinkan itu."Dengan wajah yang terlihat kecewa, Roy menganggukkan kepalanya. Aku merasa lega, karena Mas Rendra tidak membiarkan Roy mengurus Ayu. Pikirku, Mas Rendra akan dengan senang hati menyerahkan Ayu, membiarkan keponakannya itu diasuh oleh ayah kandungnya. Akan tetapi, itu hanya ketakutanku saja. Mas Rendra juga pasti sudah memikirkan matang-matang tentang jawaban yang dia berikan pada Roy. "Sekarang kamu boleh pergi," ujar Mas Rendra dingin."Mas, sebelum aku pergi, bodoh tidak jika aku menggendong anakku?" Mataku langsung menatap wajah Roy setelah dia berucap demikian. Aku memperhatikan dengan lekat wajah itu, mencari apakah ada niat jelek darinya untuk Ayu. Namun, aku bukan Tuhan yang bisa tahu isi hati manusia. Aku tidak menangkap niat buruk dari Roy, hanya melihat se

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 136 Pria Asing itu Ternyata ....

    Aku dan Mas Rendra saling pandang, sangat terkejut dengan ucapan yang pria itu lontarkan. Mas Rendra membalikkan badan, menatap heran pada pria yang melihat suamiku dengan nyalang. "Siapa yang kau sebut anakku?" tanya suamiku kemudian. Pria itu meneguk ludah dengan kasar. Tanpa mengucapkan satu kata pun, dia pergi menjauhi kami dan naik ke atas kendaraan roda duanya. Mas Rendra mengejar. Suamiku itu berhasil menahan pria asing tadi untuk kabur, sementara aku menghampiri mobil untuk mengambil Ayu yang sengaja kami biarkan di dalam mobil. Awalnya, aku sengaja meninggalkan aku untuk memancing pria itu. Karena aku kira, dia penculik yang mengincar Ayu. Akan tetapi, sepertinya aku salah duga. Dari cara dia tadi berteriak menghentikan Mas Rendra, aku yakin dia bukanlah penculik. "Siapa kamu sebenarnya? Katakan, siapa?!" ujar Mas Rendra, memaksa laki-laki itu untuk bicara. "Lepaskan!" Pria yang kedua tangannya dicekal Mas Rendra, berteriak seraya berontak. "Aku akan melepaskanmu, as

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 135

    "Ini Anak Bayi mau ke mana? Ya ampun ... pagi-pagi gini sudah cantik aja." "Jalan-jalan, dong, Opa," kataku, menjawab pertanyaan yang Papa tujukan pada Ayu. Sekarang hari minggu. Karena pabrik libur di hari ini, aku pun berinisiatif untuk pergi jalan-jalan bersama Ayu. Alhamdulillah-nya, Mas Rendra tidak menolak ketika aku menyampaikan keinginan untuk pergi di hari minggu. Dan sekarang, aku sudah siap untuk pergi. Tinggal menunggu Mas Rendra yang masih mandi, karena tadi gantian menjaga Ayu. "Kalian mau pergi ke mana? Jangan jauh-jauh, kasihan Ayu. Dan ingat kondisi kamu juga, Tsa," ujar Papa seraya meletakkan Ayu di stroller. "Iya, Papa. Palingan ke taman, terus makan-makan doang, sih. Janji, deh enggak akan pulang malam." Aku mengacungkan dua jari ke depan wajah. "Yasudah, kalian hati-hati, ya? Papa udah transfer buat jajan kalian.""Emh ... Papa .... Makasih," tuturku, lalu memeluk Papa. Sebenarnya, Papa sudah aku ajak untuk ikut bersamaku dan Mas Rendra. Akan tetapi, Papa m

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 134

    Gorden yang aku tutup tiba-tiba, aku buka kembali untuk melihat orang tadi. Akan tetapi, orang asing itu sudah tidak ada di tempatnya. Dia pergi dan entah ke mana. Hati semakin khawatir, takut jika orang tadi punya niat buruk padaku, atau semua penghuni rumah ini. Sangat menyeramkan. [Mas, tadi ada orang asing yang ngintai rumah kita,] ujarku, mengirimkan pesan pada Mas Rendra. Sayangnya, suamiku itu membalas pesan yang aku kirim. Jangankan membalasnya, dibaca pun tidak sama sekali. Suamiku itu pasti sedang bekerja saat ini. [Pah.] Aku memanggil Papa, lewat pesan juga. Sama seperti Mas Rendra, Papa juga tidak sama sekali membaca pesanku. Ada rasa kesal pada dua lelaki itu karena mengabaikan pesanku, tapi aku juga sadar jika mereka sedang bekerja saat ini. Lalu aku harus apa untuk mengalihkan rasa takut ini? "Astaghfirullah!"Ketukan di pintu membuatku yang tengah melamun, terlonjak kaget mendengarnya. Dada kuusap berulang kali seraya mengatur napas. "Siapa?" tanyaku, seteng

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 133 Orang Asing

    "Setelah Mama pergi, dia belum pernah datang ke mimpi Papa, Tsa. Papa ingin sekali melihatnya," ujar Papa seraya mengusap kedua matanya. Aku tidak bisa melakukan apa-apa. Tanganku mengusap-usap punggung Papa, lalu akhirnya kami berpelukan. Sebenarnya, aku pun merasakan hal yang sama. Tadi setelah salat maghrib, tiba-tiba mengingat Mama. Namun, aku tidak mengatakannya pada siapa pun. Aku pendam rasa ini, karena mungkin hanya aku yang merasakannya. Ternyata tidak, Papa pun merasakan kerinduan yang sama pada wanita yang sudah tidak lagi bersama kami saat ini. "Masih ada penyesalan di sini, Tsa." Papa meraba dadanya. "Seandainya saja saat itu Papa langsung pulang, mungkin sekarang Mama masih ada, ya?" lanjut Papa lagi. "Ssttt .... Jangan bicara seperti itu, Pah. Kan, kata Papa juga semuanya sudah Allah atur. Kapan kita meninggal, di mana dan dengan cara apa, sudah Allah tentukan lebih dulu sebelum kita dilahirkan ke dunia ini."Papa mengurai pelukan, lalu mengangguk pelan. Dia menari

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 132 Sabrina Pamit

    "Waalaikumsalam," ucapku, lalu diikuti Mas Rendra dan Papa. Mataku tak lepas dari seseorang yang saat ini masih bergeming di tempatnya. Begitu juga dengan Mas Rendra dan Papa. Sedangkan yang diperhatikan, matanya memindai kami yang ada di dalam rumah, lalu berhenti di Mas Rendra. Untuk beberapa detik keduanya saling mengunci pandangan, hingga akhirnya Mas Rendra melihat ke arahku seraya tersenyum. "Masuk, Na." Aku berucap demikian. Wanita yang tak lain adalah Sabrina, melangkahkan kaki ke dalam rumah, lalu menyalami Papa yang berada paling dekat dengan pintu. Ayahku berpindah duduk, lalu sofa yang tadi ia tempati, kini diduduki Sabrina. Panjang umur Sabrina ini. Baru saja kami membahasnya, tahu-tahu sekarang dia ada di hadapan kami. "Mas Rendra sejak kapan di sini?" tanya Sabrina pada suamiku. Sebagai seorang wanita dewasa, aku paham betul jika tatapan Sabrina pada suamiku mengandung arti. Masih ada rasa yang aku lihat dari sorot matanya itu. Mas Rendra tidak langsung menjawa

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 131

    "Kakak kaget, loh tadi pas kamu masuk sama Rendra. Kakak kira, kalian mau ngomongin perpisahan. Eh, tahunya sebaliknya. Seneng, deh lihat kamu ceria lagi kayak gini. Tadi, gimana kata dokter? Janinnya baik-baik saja, kan? Kamunya juga sehat?"Aku terkekeh ketika diberondong banyak pertanyaan oleh Kak Anna. Awal aku datang, wajah Kak Anna memang menunjukkan keheranan. Apa lagi alasannya kalau bukan karena aku yang datang bersama Mas Rendra. Dan setelah dijelaskan, baik Kak Anna maupun Bang Ben, menerima keputusanku. Mereka mendukung penuh aku untuk tetap bersama Mas Rendra, apalagi aku yang tengah mengandung anaknya Mas Rendra. "Kandungan aku baik. Meskipun, tadi pagi sempat kram, tapi Alhamdulillah semuanya normal-normal saja. Aku juga sehat," jawabku kemudian."Syukurlah kalau baik-baik saja. Iya, tahu, kok kalau kalian pasti rindu, kan? Tapi, harus ingat, ada Tsania junior di sini. Atau mungkin, Rendra junior?" Aku tertawa, mengikuti Kak Anna yang terkekeh seraya mengusap-usap p

  • Misteri di Rumah Mertua   Bab 130

    "Jadi, kalian memutuskan untuk bersama lagi?"Aku dan Mas Rendra mengangguk, menjawab pertanyaan yang diberikan Papa. Sekitar satu jam yang lalu, aku dan Mas Rendra memutuskan pulang ke rumah Papa. Setelah makan bersama, Papa mengajak kami untuk bicara, membahas rumah tangga kami yang sempat berada di ujung perpisahan. "Papa senang, jika akhirnya kalian kembali bersama. Karena bagaimanapun, kalian ini akan jadi orang tua. Sudah jadi orang tua bahkan, karena Ayu adalah bagian dari kalian," ujar Papa lagi. Tanganku dan tangan Mas Rendra saling menggenggam. Kami duduk berdampingan, tidak ingin jauh satu sama lain. "Rendra." Papa menyebut nama suamiku. "Iya, Pah?" "Ini kesempatan terakhir yang Papa berikan kepada kamu. Jika suatu hari nanti kamu membuat kesalahan lagi, menutupi masalah apa pun itu dari Tsania, hingga membuat anak Papa terluka, Papa sendiri yang akan memintamu pergi. Ingat, Rendra. Laki-laki yang dipegang itu omongannya. Maka, bersikaplah seperti ucapan yang kamu jan

DMCA.com Protection Status