Waktu beranjak malam. Papa belum memberikan kabar lagi, dan pertanyaan yang tadi aku layangkan pun, tidak mendapatkan jawaban. Karena perut terasa lapar, aku turun ke lantai satu untuk pergi ke dapur. Suasana rumah sangat sepi. Mama pasti di kamar, dan Bi Imas entah ada di mana. Mungkin di kamarnya juga. "Mah." Aku memanggil ibuku untuk mengajaknya makan bersama. Karena aku yakin, ia belum keluar dari kamar sejak siang tadi. "Mamah," panggilku lagi dengan suara sedikit keras dari sebelumnya. Karena tidak ada jawaban, aku pun akhirnya mendorong pintu, lalu masuk. Kaki ini berhenti melangkah ketika melihat Mama yang duduk di kursi roda dengan membelakangi pintu. Pandangannya lurus ke depan, pada gorden yang menutupi kaca. "Mah, kok aku panggil enggak nyaut?" kataku, mengusap pundaknya. "Ternyata secinta itu papamu pada dia." Mama berucap, dan mampu membuat keningku mengkerut. "Dia? Dia siapa maksud Mama?" tanyaku. "Dania. Siapa lagi? Papa ke Jakarta, kan?" Mama menoleh, lalu me
"Mama, bangun!" "Ada apa, Neng?"Bi Marni datang dan langsung masuk ke kamar, saat aku sedang berusaha membuat Mama bangun seraya terus menggoyahkan tubuhnya. "Mama gak bangun-bangun, Bi.""Astaghfirullahaladzim .... Apa Ibu pingsan, Neng?" Bi Imas kembali bertanya, lalu dia mendekati tubuh Mama. Aku tidak menjawab, hanya diam seraya mengatur debaran jantung yang kian tak terkendali. Bi Imas duduk di pinggir ranjang. Dia mengubah posisi tubuh Mama yang tadinya miring, jadi terlentang. "Neng, denyut nadinya Ibu enggak kerasa." Bi Imas berucap seraya melihat ke arahku. Aku menggelengkan kepala, mengusir mimpi buruk yang kian terasa nyata. "Enggak mungkin, Bibi. Astaghfirullahaladzim, enggak mungkin," ucapku seraya menjatuhkan diri, duduk di lantai seraya menutup wajah. "Sebentar, Neng. Bibi cari bantuan dulu ke luar."Aku tidak menjawab ucapan Bi Imas, dan lebih memfokuskan diri pada Mama yang matanya enggan terbuka. Padahal, aku sudah memanggil Mama berulang kali, dan mengajakn
"Mama!" Aku berteriak kencang seraya membuka mata. Jantung berdegup kencang. Keringat dingin mulai keluar dari pori-pori kulit, membasahi pakaian yang aku kenakan. "Alhamdulillah, Neng Tsania sudah sadar."Aku menoleh pada wanita yang berada di sampingku, yang tak lain adalah Bi Imas. "Bi, aku mimpi Mama meninggal. Astaghfirullahaladzim ... aku takut banget, sampai keringetan begini," kataku, seraya mengusap pelipis yang basah. Bi Imas menatapku sendu. Dia memberikanku minum setelah aku beringsut duduk dan mengatakan sangat haus. Beberapa teguk air sudah masuk ke dalam perut, dan aku pun memberikan botol air mineral kembali ke tangan Bibi. "Neng, Neng Tsania tidak bermimpi." Bi Imas nyeletuk, seiring dengan pintu yang diketuk dari luar. "Sudah bangun?" tanya Papa. Aku melihat wajah Papa dan Bi Imas bergantian, lalu mengingat lagi apa yang tadi terjadi. Mama tidak bangun, lalu dibawa ke rumah sakit, dan ... oh, ya ampun. Ternyata aku masih di rumah sakit sekarang? Dan Meningga
"Permintaan ibunya? Maksudnya gimana, Pah? Jadi, Dania gantung diri bukan karena menghindari rasa malu gara-gara kita?" Akhirnya aku mengeluarkan suara, bertanya karena rasa penasaran akan ucapan Papa barusan. "Menurut surat yang dia tulis, sih gitu. Katanya, dia capek karena terus ditekan ibunya supaya mencari laki-laki kaya, yang bisa menikah dengan Dania," ujar Papa menjelaskan. "Kok, tega banget?" Aku kembali bersuara. "Tau sendirilah, Tsa, sekarang Rendra jarang pulang, jarang juga kasih uang untuk ibunya karena pekerjaan Rendra pun tidak mendapatkan gaji sebesar saat mengelola pabrik kita. Kalaupun Rendra kirim uang, itu sekedar untuk makan mereka dan beli susu Ayu. Sedangkan mertuamu yang sudah terbiasa dengan nominal uang yang lumayan besar dari Rendra, merasa tidak cukup dengan pemberian suamimu akhir-akhir ini. Makanya, dia jadi frustrasi banget saat pernikahan Dania dan Ben gagal. Terus menyuruh Dania mencari kerja, sekaligus mencari laki-laki kaya yang mau menikah deng
Pandangan aku dan dia bertemu untuk beberapa saat. Matanya merah, jejak air mata terlihat di kedua pipi putihnya. Segera aku menunduk tanpa sedikit pun ingin menyapanya. Jangankan menyapa, tersenyum pun bibirku berat melakukannya. Bagiku, dia adalah orang asing. Aku sudah tidak mengenalinya lagi setelah kejadian di mana dia mengaku mencintai suamiku, menginginkan suamiku, bahkan bersekongkol menjahatiku. "Maafkan aku, Tsania."Satu kalimat keluar dari bibir wanita yang tak lain adalah Sabrina. Suaranya bergetar dengan diakhiri isak tangis. Aku tidak menjawab. Kepalaku menunduk, lalu mulai memanjatkan doa untuk seseorang yang jasadnya terkubur di dalam tanah. Dendam memanglah bukan sifatku. Namun, untuk memaafkan dan melupakan kesakitan yang pernah orang lain berikan, tidaklah mudah untukku melakukannya. Sakit fisik mungkin bisa sembuh dengan obat. Namun, tidak dengan sakit hati. Lukanya memang tidak terlihat, tapi begitu melekat dalam sanubari. "Aku menyesal, aku menyadari apa
"Ibunya Rendra, setres, Tsa. Kemarin waktu aku ke sana, di sedang ngamuk-ngamuk sambil lempar barang. Kasihan Rendra. Dia harus mengurus bayi, sekaligus ibunya yang sakit jiwa. Apa ini yang disebut karma? Aku jadi takut hal serupa akan menimpaku. Jangan mendoakanku jelek, ya Tsa. Aku takut banget."Kepala anggukan pelan seraya tersenyum tipis ke arah Sabrina yang terlihat cemas. Sekarang, otakku berkelana pada orang yang baru saja dibahas Sabrina. Ibu mertua. Benarkah dia mengalami gangguan jiwa? Apa penyebabnya? Bukankah Papa bilang, Ibu yang menekan Dania hingga iparku itu memilih Mengakhiri hidup? Lalu, kenapa sekarang Ibu jadi hilang akal juga? Aku bukannya tidak percaya pada ucapan Sabrina, tapi merasa miris saja sama apa yang menimpa keluarga suamiku. Apa iya, karma datang secepat ini? "Tsa, kamu kenapa? Mikirin Rendra, ya?" "Ah, tidak. Aku hanya sedih saja dengan berita yang kamu bawa dari keluarga Mas Rendra. Aku tidak menyangka mereka akan bernasib seperti itu," katak
"Tsa, apa aku seburuk itu di mata kamu, hingga untuk bicara denganku saja, kamu sudah tidak sudi?"Mata kupejamkam seraya mengadahkan kepala ke atas, kala Mas Rendra berucap di balik pintu kamar. Ingin aku menjawab pertanyaan Mas Rendra, menyanggah ucapannya tersebut. Namun, aku tidak punya keberanian untuk itu. Jangankan bicara, menemuinya pun aku belum bisa. Belum siap. "Baiklah kalau kamu tidak mau bicara langsung denganku, Tsa. Aku akan bicara di sini saja. Kuharap, kamu mendengarkan apa yang aku katakan."Jantung terasa berdebar kencang ketika Mas Rendra kembali berucap. Tiba-tiba aku merasa takut. Aku takut jika apa yang akan dikatakan Mas Rendra ialah tanda dia mengakhiri pernikahan kami. Apa dia akan menalakku sekarang?Aku mengusap kedua mata, lalu mengubah posisi duduk dengan tidak lagi membelakangi pintu. Sebelah tangan aku tempelkan pada daun pintu, juga dengan sebelah pipi ini. Meskipun belum siap menerima kata perpisahan, tapi aku harus mendengar dengan jelas apa yan
"Enggak, bukan apa-apa, Pah." Aku menjawab malu pertanyaan Papa. "Oh, iya, Pah, apa Mas Rendra ada bicara sesuatu pada Papa?" Aku balik bertanya. "Bicara apa? Kalau ngobrol, banyak yang Rendra obrolkan ke Papa, juga pada abangmu. Dia meminta maaf atas nama ibu dan adiknya, juga mengatakan kesedihannya atas kepergian Mama.""Yang lainnya?" tanyaku lagi. "Yang lain apa? Kalau nanya ke Papa, itu yang jelas, Tsa. Papa ini sudah tua, jangan main tebak-tebakan ah."Aku menggaruk tengkuk, merasa sungkan untuk menanyakan sesuatu yang sangat penting bagiku. Namun, kalau tidak ditanyakan sekarang, hatiku akan terus bertanya-tanya dan membayangkan yang tidak-tidak. "Ini tentang pernikahan aku, Pah. Apa ... Mas Rendra menceraikan aku lewat Papa? Dia sudah mengembalikan aku ke Papa?" ujarku akhirnya. Papa bergeming dengan tatapan yang begitu lekat ke arahku. Bibirnya terkatup rapat, membuat jantung ini berdebar tak karuan. "Kamu benar-benar menginginkan itu?" Papa malah balik bertanya setela