"Enggak, bukan apa-apa, Pah." Aku menjawab malu pertanyaan Papa. "Oh, iya, Pah, apa Mas Rendra ada bicara sesuatu pada Papa?" Aku balik bertanya. "Bicara apa? Kalau ngobrol, banyak yang Rendra obrolkan ke Papa, juga pada abangmu. Dia meminta maaf atas nama ibu dan adiknya, juga mengatakan kesedihannya atas kepergian Mama.""Yang lainnya?" tanyaku lagi. "Yang lain apa? Kalau nanya ke Papa, itu yang jelas, Tsa. Papa ini sudah tua, jangan main tebak-tebakan ah."Aku menggaruk tengkuk, merasa sungkan untuk menanyakan sesuatu yang sangat penting bagiku. Namun, kalau tidak ditanyakan sekarang, hatiku akan terus bertanya-tanya dan membayangkan yang tidak-tidak. "Ini tentang pernikahan aku, Pah. Apa ... Mas Rendra menceraikan aku lewat Papa? Dia sudah mengembalikan aku ke Papa?" ujarku akhirnya. Papa bergeming dengan tatapan yang begitu lekat ke arahku. Bibirnya terkatup rapat, membuat jantung ini berdebar tak karuan. "Kamu benar-benar menginginkan itu?" Papa malah balik bertanya setela
Mas Rendra terkekeh seraya sebelah tangan terulur mengusap pucuk kepalaku. Tubuhku menegang, kepala mengadah ke atas dengan mata melihat pada wajah Mas Rendra. "Duduk," ujarnya, lalu menarik tangannya kembali. Aku mengangguk pelan, lalu duduk seraya mengatur debaran jantung. "S–sudah lama?" Aku bertanya dengan terbata. "Belum, baru beberapa menit saja," jawab Mas Rendra, seraya tatapan tak lepas dari wajah ini. Kepala kutundukkan, merasa malu karena terus dipandangi. Jari-jari tangan memainkan tali tas selempang, untuk mengalihkan kegugupan. Di tempat ini banyak sekali orang, tapi aku merasakan suasana yang dingin dan hening. Bukan tempatnya sebenarnya, tapi orangnya. Aku dan Mas Rendra sama-sama merasa canggung, hingga saling menunggu siapa yang bicara terlebih dahulu. "Ekhem!" Aku berdehem, berharap dia akan bicara agar kami bisa keluar dari suasana serba bingung ini. Akan tetapi, usahaku gagal. Alih-alih bicara, Mas Rendra malah tersenyum dengan begitu manis ke arahku, me
"Mas, kamu tinggal di sini?" tanyaku, ketika Mas Rendra memarkirkan mobil yang kami tumpangi di depan sebuah kontrakan. "Iya. Ayo, kira turun." Aku mengangguk, tapi mata trus melihat pada bangunan panjang berlantai dua tersebut. Mas Rendra membuka pintu mobil, lalu mengulurkan tangan agar aku turun dari mobil. Seraya menggendong Ayu, aku keluar dari mobil dan berjalan beriringan bersama Mas Rendra, dan berhenti di depan salah satu pintu kamar yang berada di lantai satu. "Ini kamar kontrakan kamu?" tanyaku lagi. "Iya. Jangan kaget melihat isinya, ya?" "Kenapa memangnya?" Aku kembali bertanya seraya menyipitkan mata. "Tidak apa-apa, kamu lihat saja nanti."Mas Rendra mengambil kunci dari saku celananya, kemudian daun pintu berwarna cokelat itu terbuka setelah Mas Rendra mendorongnya pelan. Mataku yang tadi menyipit, kini terbuka lebar ketika melihat isi dari kontrakan tersebut. Tidak ada kasur busa di sini, yang ada hanya karpet tipis bermotif bunga-bunga. Satu bantal, satu se
"Jadi, kalian memutuskan untuk bersama lagi?"Aku dan Mas Rendra mengangguk, menjawab pertanyaan yang diberikan Papa. Sekitar satu jam yang lalu, aku dan Mas Rendra memutuskan pulang ke rumah Papa. Setelah makan bersama, Papa mengajak kami untuk bicara, membahas rumah tangga kami yang sempat berada di ujung perpisahan. "Papa senang, jika akhirnya kalian kembali bersama. Karena bagaimanapun, kalian ini akan jadi orang tua. Sudah jadi orang tua bahkan, karena Ayu adalah bagian dari kalian," ujar Papa lagi. Tanganku dan tangan Mas Rendra saling menggenggam. Kami duduk berdampingan, tidak ingin jauh satu sama lain. "Rendra." Papa menyebut nama suamiku. "Iya, Pah?" "Ini kesempatan terakhir yang Papa berikan kepada kamu. Jika suatu hari nanti kamu membuat kesalahan lagi, menutupi masalah apa pun itu dari Tsania, hingga membuat anak Papa terluka, Papa sendiri yang akan memintamu pergi. Ingat, Rendra. Laki-laki yang dipegang itu omongannya. Maka, bersikaplah seperti ucapan yang kamu jan
"Kakak kaget, loh tadi pas kamu masuk sama Rendra. Kakak kira, kalian mau ngomongin perpisahan. Eh, tahunya sebaliknya. Seneng, deh lihat kamu ceria lagi kayak gini. Tadi, gimana kata dokter? Janinnya baik-baik saja, kan? Kamunya juga sehat?"Aku terkekeh ketika diberondong banyak pertanyaan oleh Kak Anna. Awal aku datang, wajah Kak Anna memang menunjukkan keheranan. Apa lagi alasannya kalau bukan karena aku yang datang bersama Mas Rendra. Dan setelah dijelaskan, baik Kak Anna maupun Bang Ben, menerima keputusanku. Mereka mendukung penuh aku untuk tetap bersama Mas Rendra, apalagi aku yang tengah mengandung anaknya Mas Rendra. "Kandungan aku baik. Meskipun, tadi pagi sempat kram, tapi Alhamdulillah semuanya normal-normal saja. Aku juga sehat," jawabku kemudian."Syukurlah kalau baik-baik saja. Iya, tahu, kok kalau kalian pasti rindu, kan? Tapi, harus ingat, ada Tsania junior di sini. Atau mungkin, Rendra junior?" Aku tertawa, mengikuti Kak Anna yang terkekeh seraya mengusap-usap p
"Waalaikumsalam," ucapku, lalu diikuti Mas Rendra dan Papa. Mataku tak lepas dari seseorang yang saat ini masih bergeming di tempatnya. Begitu juga dengan Mas Rendra dan Papa. Sedangkan yang diperhatikan, matanya memindai kami yang ada di dalam rumah, lalu berhenti di Mas Rendra. Untuk beberapa detik keduanya saling mengunci pandangan, hingga akhirnya Mas Rendra melihat ke arahku seraya tersenyum. "Masuk, Na." Aku berucap demikian. Wanita yang tak lain adalah Sabrina, melangkahkan kaki ke dalam rumah, lalu menyalami Papa yang berada paling dekat dengan pintu. Ayahku berpindah duduk, lalu sofa yang tadi ia tempati, kini diduduki Sabrina. Panjang umur Sabrina ini. Baru saja kami membahasnya, tahu-tahu sekarang dia ada di hadapan kami. "Mas Rendra sejak kapan di sini?" tanya Sabrina pada suamiku. Sebagai seorang wanita dewasa, aku paham betul jika tatapan Sabrina pada suamiku mengandung arti. Masih ada rasa yang aku lihat dari sorot matanya itu. Mas Rendra tidak langsung menjawa
"Setelah Mama pergi, dia belum pernah datang ke mimpi Papa, Tsa. Papa ingin sekali melihatnya," ujar Papa seraya mengusap kedua matanya. Aku tidak bisa melakukan apa-apa. Tanganku mengusap-usap punggung Papa, lalu akhirnya kami berpelukan. Sebenarnya, aku pun merasakan hal yang sama. Tadi setelah salat maghrib, tiba-tiba mengingat Mama. Namun, aku tidak mengatakannya pada siapa pun. Aku pendam rasa ini, karena mungkin hanya aku yang merasakannya. Ternyata tidak, Papa pun merasakan kerinduan yang sama pada wanita yang sudah tidak lagi bersama kami saat ini. "Masih ada penyesalan di sini, Tsa." Papa meraba dadanya. "Seandainya saja saat itu Papa langsung pulang, mungkin sekarang Mama masih ada, ya?" lanjut Papa lagi. "Ssttt .... Jangan bicara seperti itu, Pah. Kan, kata Papa juga semuanya sudah Allah atur. Kapan kita meninggal, di mana dan dengan cara apa, sudah Allah tentukan lebih dulu sebelum kita dilahirkan ke dunia ini."Papa mengurai pelukan, lalu mengangguk pelan. Dia menari
Gorden yang aku tutup tiba-tiba, aku buka kembali untuk melihat orang tadi. Akan tetapi, orang asing itu sudah tidak ada di tempatnya. Dia pergi dan entah ke mana. Hati semakin khawatir, takut jika orang tadi punya niat buruk padaku, atau semua penghuni rumah ini. Sangat menyeramkan. [Mas, tadi ada orang asing yang ngintai rumah kita,] ujarku, mengirimkan pesan pada Mas Rendra. Sayangnya, suamiku itu membalas pesan yang aku kirim. Jangankan membalasnya, dibaca pun tidak sama sekali. Suamiku itu pasti sedang bekerja saat ini. [Pah.] Aku memanggil Papa, lewat pesan juga. Sama seperti Mas Rendra, Papa juga tidak sama sekali membaca pesanku. Ada rasa kesal pada dua lelaki itu karena mengabaikan pesanku, tapi aku juga sadar jika mereka sedang bekerja saat ini. Lalu aku harus apa untuk mengalihkan rasa takut ini? "Astaghfirullah!"Ketukan di pintu membuatku yang tengah melamun, terlonjak kaget mendengarnya. Dada kuusap berulang kali seraya mengatur napas. "Siapa?" tanyaku, seteng