"Kenapa tiba-tiba Mama bertanya tentang itu?" "Ah, lupakan saja. Ayo, kita masuk," jawab Mama. Kursi roda yang tadi susah untuk didorong, seketika terasa sangat ringan. Dan kami pun masuk ke dalam restoran, yang di mana sudah ada Kak Anna dan Bang Ben di sana. "Macet?" Satu pertanyaan diberikan kakakku saat kami tiba. "Tidaklah, Ben. Macet di mana?" jawab Papa. "Kirain macet, soalnya lama datangnya.""Maaf, Bang. Ada sedikit kendala sedikit. Kalian sudah pesan? Mau makan apa kita siang ini?" Aku mengalihkan pembicaraan. Bang Ben memberikan buku menu kepadaku agar bisa memilih makanan apa yang ingin aku nikmati. Sayangnya, tidak ada satu menu makanan pun yang menggugah selera. Jangankan menyantapnya langsung, melihat dari gambar saja sudah membuatku enek. "Aku, gak pesen makan, ah." Bang Ben langsung menoleh, menatapku dengan kening yang mengkerut. "Loh, kok enggak mau makan? Tadi, kamu yang minta kita makan di sini. Sekarang, kok malah enggak mau makan?""Enek, Pah. Aku liat
"Aku jadi curiga sama Papa.""Masa, sih, Papa? Kamu kali, Bang?""Demi Allah, Tsa. Aku sama Rendra cuma ngomongin Dania, dan itu juga cuma sebentar ketemunya. Rendra juga enggak bilang dia kerja apa, di mana, dan sebagainya. Fokus kita hanya pada rencanaku waktu itu." Bang Ben menjelaskan lagi. Saat ini, aku beserta kakak dan kakak iparku tengah berada di kedai bakso yang ada di pinggir jalan. Tadi setelah makan siang, Mama dan Papa langsung pulang. Sedangkan aku, izin untuk ikut Bang Ben ke rumahnya. Itu alasan saja, padahal yang sebenarnya, kami mampir di kedai bakso untuk membicarakan sesuatu. Di sini, hanya aku yang makan bakso. Kak Anna dan Bang Ben hanya menemani seraya ngemil kuaci dan ngobrol. Apa yang kami bahas? Lagi-lagi tentang Mas Rendra. Aku menceritakan tentang kiriman misterius, juga Papa yang sepertinya menyembunyikan sesuatu dariku. Iya, aku curiga jika sebenarnya Papa tahu tentang Mas Rendra. Namun, dia sengaja tidak mau bercerita karena alasan yang entah apa.
"Barusan Papa dapat kabar kalau Dania meninggal." "Innalilahi ...." Aku berucap lirih dengan perasaan tak percaya. "Dania meninggal karena bunuh diri, Tsa." Papa kembali berucap, dan kali ini semakin membuatku terkejut luar biasa. "Papa yakin? Kayaknya enggak mungkin, deh, Pah," kataku, masih tidak percaya. Namun, beberapa detik kemudian Papa mengirimkan sebuah foto, yang di mana tubuh seorang wanita muda tergantung dengan leher yang terikat kain. Dania. Iya, wajah itu masih kukenali meskipun pucat dan sedikit membiru. Aku menutup mulut seraya memperhatikan gambar yang entah dari siapa Papa mendapatkannya. Dadaku berdegup kencang, suhu tubuh pun tiba-tiba memanas melihat adik ipar yang meregang nyawa dengan sangat tragis. Apa yang membuat Dania mengakhiri hidupnya? "Tsa, Papa tutup dulu telponnya, ya? Nanti Papa kabari lagi," ujar Papa yang masih tersambung lewat panggilan telepon. Aku tidak menjawab. Mataku terus menyoroti gambar Dania, hingga kedatangan Mama pun tidak aku
Waktu beranjak malam. Papa belum memberikan kabar lagi, dan pertanyaan yang tadi aku layangkan pun, tidak mendapatkan jawaban. Karena perut terasa lapar, aku turun ke lantai satu untuk pergi ke dapur. Suasana rumah sangat sepi. Mama pasti di kamar, dan Bi Imas entah ada di mana. Mungkin di kamarnya juga. "Mah." Aku memanggil ibuku untuk mengajaknya makan bersama. Karena aku yakin, ia belum keluar dari kamar sejak siang tadi. "Mamah," panggilku lagi dengan suara sedikit keras dari sebelumnya. Karena tidak ada jawaban, aku pun akhirnya mendorong pintu, lalu masuk. Kaki ini berhenti melangkah ketika melihat Mama yang duduk di kursi roda dengan membelakangi pintu. Pandangannya lurus ke depan, pada gorden yang menutupi kaca. "Mah, kok aku panggil enggak nyaut?" kataku, mengusap pundaknya. "Ternyata secinta itu papamu pada dia." Mama berucap, dan mampu membuat keningku mengkerut. "Dia? Dia siapa maksud Mama?" tanyaku. "Dania. Siapa lagi? Papa ke Jakarta, kan?" Mama menoleh, lalu me
"Mama, bangun!" "Ada apa, Neng?"Bi Marni datang dan langsung masuk ke kamar, saat aku sedang berusaha membuat Mama bangun seraya terus menggoyahkan tubuhnya. "Mama gak bangun-bangun, Bi.""Astaghfirullahaladzim .... Apa Ibu pingsan, Neng?" Bi Imas kembali bertanya, lalu dia mendekati tubuh Mama. Aku tidak menjawab, hanya diam seraya mengatur debaran jantung yang kian tak terkendali. Bi Imas duduk di pinggir ranjang. Dia mengubah posisi tubuh Mama yang tadinya miring, jadi terlentang. "Neng, denyut nadinya Ibu enggak kerasa." Bi Imas berucap seraya melihat ke arahku. Aku menggelengkan kepala, mengusir mimpi buruk yang kian terasa nyata. "Enggak mungkin, Bibi. Astaghfirullahaladzim, enggak mungkin," ucapku seraya menjatuhkan diri, duduk di lantai seraya menutup wajah. "Sebentar, Neng. Bibi cari bantuan dulu ke luar."Aku tidak menjawab ucapan Bi Imas, dan lebih memfokuskan diri pada Mama yang matanya enggan terbuka. Padahal, aku sudah memanggil Mama berulang kali, dan mengajakn
"Mama!" Aku berteriak kencang seraya membuka mata. Jantung berdegup kencang. Keringat dingin mulai keluar dari pori-pori kulit, membasahi pakaian yang aku kenakan. "Alhamdulillah, Neng Tsania sudah sadar."Aku menoleh pada wanita yang berada di sampingku, yang tak lain adalah Bi Imas. "Bi, aku mimpi Mama meninggal. Astaghfirullahaladzim ... aku takut banget, sampai keringetan begini," kataku, seraya mengusap pelipis yang basah. Bi Imas menatapku sendu. Dia memberikanku minum setelah aku beringsut duduk dan mengatakan sangat haus. Beberapa teguk air sudah masuk ke dalam perut, dan aku pun memberikan botol air mineral kembali ke tangan Bibi. "Neng, Neng Tsania tidak bermimpi." Bi Imas nyeletuk, seiring dengan pintu yang diketuk dari luar. "Sudah bangun?" tanya Papa. Aku melihat wajah Papa dan Bi Imas bergantian, lalu mengingat lagi apa yang tadi terjadi. Mama tidak bangun, lalu dibawa ke rumah sakit, dan ... oh, ya ampun. Ternyata aku masih di rumah sakit sekarang? Dan Meningga
"Permintaan ibunya? Maksudnya gimana, Pah? Jadi, Dania gantung diri bukan karena menghindari rasa malu gara-gara kita?" Akhirnya aku mengeluarkan suara, bertanya karena rasa penasaran akan ucapan Papa barusan. "Menurut surat yang dia tulis, sih gitu. Katanya, dia capek karena terus ditekan ibunya supaya mencari laki-laki kaya, yang bisa menikah dengan Dania," ujar Papa menjelaskan. "Kok, tega banget?" Aku kembali bersuara. "Tau sendirilah, Tsa, sekarang Rendra jarang pulang, jarang juga kasih uang untuk ibunya karena pekerjaan Rendra pun tidak mendapatkan gaji sebesar saat mengelola pabrik kita. Kalaupun Rendra kirim uang, itu sekedar untuk makan mereka dan beli susu Ayu. Sedangkan mertuamu yang sudah terbiasa dengan nominal uang yang lumayan besar dari Rendra, merasa tidak cukup dengan pemberian suamimu akhir-akhir ini. Makanya, dia jadi frustrasi banget saat pernikahan Dania dan Ben gagal. Terus menyuruh Dania mencari kerja, sekaligus mencari laki-laki kaya yang mau menikah deng
Pandangan aku dan dia bertemu untuk beberapa saat. Matanya merah, jejak air mata terlihat di kedua pipi putihnya. Segera aku menunduk tanpa sedikit pun ingin menyapanya. Jangankan menyapa, tersenyum pun bibirku berat melakukannya. Bagiku, dia adalah orang asing. Aku sudah tidak mengenalinya lagi setelah kejadian di mana dia mengaku mencintai suamiku, menginginkan suamiku, bahkan bersekongkol menjahatiku. "Maafkan aku, Tsania."Satu kalimat keluar dari bibir wanita yang tak lain adalah Sabrina. Suaranya bergetar dengan diakhiri isak tangis. Aku tidak menjawab. Kepalaku menunduk, lalu mulai memanjatkan doa untuk seseorang yang jasadnya terkubur di dalam tanah. Dendam memanglah bukan sifatku. Namun, untuk memaafkan dan melupakan kesakitan yang pernah orang lain berikan, tidaklah mudah untukku melakukannya. Sakit fisik mungkin bisa sembuh dengan obat. Namun, tidak dengan sakit hati. Lukanya memang tidak terlihat, tapi begitu melekat dalam sanubari. "Aku menyesal, aku menyadari apa