"Hamil?" ujar Bang Ben dengan kening yang mengkerut. Aku mengangguk dengan menggigit bibir menahan isak tangis. Seketika suasana menjadi hening, baik aku maupun Bang Ben tidak sama sekali mengeluarkan suara. Entah apa juga yang ada di dalam pikiran kakakku, hingga bibirnya menjadi tertutup sangat rapat.Tidak senangkah dia mereka dengan berita ini? Sudah aku duga. Kehamilanku tidak akan mendapatkan sambutan baik oleh keluargaku. "Alhamdulillah .... Aku senang mendengar kabar ini, Tsa." Kak Anna nyeletuk setelah beberapa saat terdiam. "Ya, Alhamdulillah. Akhirnya kamu pun akan jadi seorang ibu, Tsa," timpal Bang Aldi, kemudian memelukku lagi. Hambar. Ucapan syukur yang keluar dari bibir kakakku tidak seantusias seperti saat mereka tahu Kak Anna tengah mengandung. Ah, kenapa juga aku harus berharap mendapatkan sambutan yang meriah? Bukannya, memang kehamilan ini datang di tengah-tengah masalah yang belum ada ujungnya? Pantas saja terdengar biasa saja. Karena mungkin saja, kehadi
"Kenapa gak perlu? Rendra ayah dari anak yang ada dalam kandungan Tsania, loh. Jadi, dia harus tahu." Papa kembali mengeluarkan pendapatnya. "Iya, Mama tahu jika Rendra ayah dari anak dalam perut Tsania. Tapi, Papa harus berpikir juga. Jika Rendra tahu sekarang, yang ada kehamilan Tsania akan dimanfaatkan oleh mereka. Dan rencana untuk membuat Dania menjauh, itu akan sia-sia. Sudahlah, nanti saja beritahu Rendra-nya. Setelah mereka resmi berpisah."Semua orang terdiam setelah Mama menyelesaikan ucapannya. Tak ada yang berani menjawab, apalagi mendebatnya. Kulihat Papa hanya mengembuskan napas kasar. Begitu juga dengan Bang Ben dan istrinya yang saling pandang, lalu tersenyum tipis ke arahku. "Benar kata Mama, Pah. Lagipula, kita tidak tahu di mana Mas Rendra berada. Jadi ... tidak usah memberitahukan pada dia sekarang," tuturku, membesarkan hati. Rasanya sesak dada ini mengucapkan kalimat yang sebagian tak diinginkan hati. Sebagai wanita hamil pada umumnya, aku menginginkan kebera
"Masa, sih aku salah lihat? Enggak, deh. Aku yakin banget dan masih aku kenali postur tubuh itu."Sepanjang perjalanan dari kebun ke tempat tadi Papa memarkirkan mobil, aku terus saja bicara sendiri seraya mengingat apa yang tadi aku lihat. Iya, ini masih tentang pemetik teh yang tadi menyapaku. Eh, tapi bukan. Bukan mereka yang membuatku tidak bisa mengalihkan pikiran. Akan tetapi, satu orang laki-laki yang sepertinya aku kenal. Dia seperti Mas Rendra. Demi Tuhan aku tidak mengada-ada. Hati kecilku meyakini, itu memang dia. Namun ... rasa tidak mungkin terus saja aku gumamkan, karena tidak ingin terlalu berharap akan dekatnya dia denganku. Tidak mungkin. Ya, itu tidak mungkin dia. "Sudah sarapannya, Tsa?" tanya Papa, ketika aku sampai di gudang teh."Sudah, Pah. Sudah habis." Aku menjawab dengan seulas senyum tipis. Kursi lipat aku yang aku jinjing, aku buka kembali dan kududuki. Sedangkan pikiran, masih pada kejadian singkat yang membuat hatiku bertanya-tanya. "Mau pulang sek
"Sudah pulang, Tsa? Gimana, tadi muntah lagi, gak di kebun? Makannya habis? Susunya diminum enggak?"Rentetan pertanyaan diberikan Mama ketika aku masuk ke rumah dan menghampiri dia yang tengah menonton siaran televisi. Senyum aku berikan sebelum menjawab semua pertanyaannya. Aku duduk di samping Mama, kemudian memeluk wanita itu dari samping. "Sarapannya habis, Mah. Tadi aku enggak muntah sama sekali.""Iyakah?" ucapnya, "berarti, si dedek mau makan di tempat yang sejuk, Tsa?" Aku hanya tersenyum kecil, lalu mengurai pelukan. Selanjutnya, sebelah tangan Mama mengusap perutku yang masih rata. "Papa ke pabrik, ya? Kalian baik-baik di rumah. Ada yang Mama dan Tsania inginkan, gak? Nanti Papa bawain saat pulang."Papa yang tadi buru-buru masuk ke kamar mandi karena ingin buang air, kini menghampiri kami dan bertanya. "Enggak, deh, Pah. Aku, gak mau apa-apa," kataku. "Mama?" Papa bertanya pada wanita di sampingku. "Enggak ada. Mama enggak mau apa-apa juga."Papa manggut-manggut, ke
Aku membalas senyuman dari seseorang yang tidak bukan adalah ibu mertuaku. Iya, Ibu berdiri tegak dengan mata menatap satu per satu keluargaku. "Apa kabar, Menantuku?" Tangan Ibu terulur ke arahku. Mama menahan tanganku untuk tidak menerima uluran tangan besannya itu. Namun, aku tetap menyambut baik tangan Ibu, lalu menciumnya sama seperti saat kami belum ada masalah. "Kabar baik, Bu. Ibu sendiri bagaimana kabarnya? Mana Ayu?" Aku balik bertanya. "Ayu sedang bersama Dania di ruang ganti. Sedang dirias. Dia pasti cantik dengan baju pengantin yang melekat di tubuhnya," jawab Ibu, membanggakan anak perempuannya. "Oh, iya, silahkan duduk dulu. Sebentar lagi, Dania akan selesai. Dan ijab qobul akan segera dimulai."Aku dan Kak Anna saling pandang, lalu kami pun kembali berjalan menghampiri kursi kosong yang sudah disiapkan. Di dalam hati, aku tersenyum sinis dengan keadaan di gedung ini. Ini bukan seperti acara pernikahan pada umumnya, lebih tepatnya seperti acara nikahan anak SMP yan
Dadaku berdebar kencang dengan aliran darah yang terasa memanas ketika mataku dan dia saling bertemu. Aku bergeming dengan bibir terkatup rapat, tatapan terpaku pada seorang pria yang sudah satu bulan ini tak bertemu. Apakah aku tidak salah lihat? Benarkah itu dia? "Allah ...." Aku bergumam setelah kami memutuskan mengakhiri kontak mata, dan dia berjalan ke depan melewatiku. Kutatap terus punggung lebar milik laki-laki yang tak lain ayah dari anak dalam kandunganku. Hingga akhirnya, dia berhenti berjalan dan berdiri di samping meja ijab qobul. Mas Rendra mengambil mikrofon dari tangan MC, sepertinya dia akan mengatakan sesuatu. "Bu, tolong pegangin Ayu," kataku, memberikan bayi itu pada wanita tadi. Aku meninggalkan Ayu yang sudah terlelap, kemudian kembali ke tempat dudukku semula. Dekat. Kali ini jarak antara aku dan Mas Rendra sangatlah dekat. Mungkin, tempatku berada hanya tiga langkah saja dari di mana dia berdiri. "Kalau Rendra datang, itu artinya pernikahan Bang Ben a
Aku dan Papa keluar dari gedung seraya mendorong kursi roda Mama. Di belakang kami, Dania mengejar seraya memohon untuk Papa menikahinya. Aku sampai tidak habis pikir dengan Dania. Entah apa yang ada dalam pikiran dia, hingga sangat kekeh ingin menjadi bagian dari keluarga kami. Dengan tanpa rasa malu, dia menawarkan diri dan sangat bersedia dinikahi Papa, yang usianya sangat jauh darinya. Untuk menutupi rasa malu kah? Bukankah itu akan menambah rasa malu dia, yang gagal menikah dengan anaknya, dan malah menikah dengan ayahnya? "Tsania, tunggu! Tolong dengarkan jerit hatiku kali ini saja!"Aku menghentikan langkah ketika suara Dania melengking begitu kencang sembari menyebut namaku. Badan aku balikan, mata menatap dia yang juga memintaku dengan linangan air mata. "Tsania, dengan kerendahan hati, kali ini aku memohon untuk kamu sedikit saja mendengarkan isi hatiku. Tsa, aku memang bukan ipar yang baik untukmu, tapi tolong bantu aku kali ini saja," ujar Dania seraya memohon menan
"Dari .... Aduh, Bibi enggak tahu, Neng. Orangnya enggak sebut nama. Cuma ngasih ini yang katanya buat Neng Tsania, terus pergi gitu aja. Bibi gak sempat tanya namanya," ujar Bi Imas, menjelaskan. Aku mengambil kantong plastik besar dari tangan Bibi, lalu membuka dan melihat isinya. Lagi-lagi aku dibuat mengerutkan kening dengan isi plastik tersebut. "Apa dari orang suruhan Papa, ya?" kataku, menerka-nerka. Kenapa aku mengira dari Papa, karena isi plastik itu ternyata susu ibu hamil, biskuit, roti tawar dan berbagai macam makanan ringan yang ramah untuk wanita hamil. Ada juga minuman berbahan dasar kacang hijau, yang juga sangat baik untuk ibu hamil. Kalau bukan dari Papa, lalu dari siapa? Selain keluarga, tidak ada orang yang tahu jika saat ini aku tengah berbadan dua. "Apa itu, Tsa?" Aku mengalihkan pandangan dari makanan yang entah dari siapa, pada Mama yang datang menghampiri. "Makanan, Mah. Kayaknya Papa yang beli, terus nyuruh orang buat antar ke sini," jawabku, lalu men