"Walau kata orang hidup gue ini gak begitu punya manfaat, but this is my life. Ciptakanlah bahagiamu sendiri jika tak menemukannya pada orang lain. Jangan, pokoknya jangan tiru gue!" - Aluna Sesat
💤💤💤
TOLOOONG... !!!Jangan berfikir sedang ada adegan action yang menegangkan. Ini cuma jeritan batin seorang gadis yang masih betah diatas kasurnya. Namanya Luna, gak pake Lucinta. Lebih tepatnya Aluna Meysha Jovita.
Jarum jam baru saja menunjukkan pukul 7, setidaknya Luna butuh dua jam lagi untuk hibernasi di hari minggu yang selalu dia nanti-nanti. Tapi rencana itu gagal oleh alunan musik I was king milik One Ok Rock dari ruangan sebelah yang diputar dalam volume diatas rata-rata.
WHEN I WAS KING...
I WAS KING...
Musik masih setia mengalun. Curiga si pelaku yang tak lain adalah kakaknya sendiri kehilangan nurani untuk tidak tanggung-tanggung membuat kuping seluruh penghuni komplek budek berjamaah seraya mengusap dada berucap istighfar.
Baikah mungkin ini terkesan berlebihan, tapi ini memuakkan. Kendati bukan kali ini saja kakak Luna menggila, Luna hanya ingin hari minggunya berlalu dengan tentram dan damai terlepas dari segala tugas yang ada dan dengan sengaja ia campakkan, setidaknya untuk hari ini saja.
"Tolong Luna, ya Tuhan!" Luna mengeram kesal, menutup kupingnya dengan bantal barangkali bisa meredam suara, tapi sia-sia.
Gadis itu menghela nafas panjang, menatap malas plafon kamarnya yang polos. Detik berikutnya suara sumbang yang menggelegar ikut andil dalam alunan musik. Euwhh... Fales luar biasa! Jika Luna adalah juri dalam acara Indonesia Got Talent, Luna pastikan panggungnya roboh detik itu juga, atau bisa jadi listrik satu negara bisa mati.
Bantal disamping kepalanya sudah melayang kesembarang arah. Luna sudah tak tahan, dia tak akan membiarkan rencana hari minggu yang di agungkannya berantakan. Maka dari itu, dengan terpaksa Luna menyibak selimut yang menutupi seluruh badannya.
Kedua kaki jenjang itu mulai berpijak diatas lantai kamar yang bercecer segala benda mulai dari plastik bekas makanan, kaos kaki, buku pelajaran, bahkan ponselnya tergelatak asal begitu saja. Ya, Luna memang bukan tipe gadis yang peduli arti kata rapi, cocok saja dengan julukannya Miss Lazy. Terlalu malas untuk melakukan apapun.
Memandang penampilannya yang berantakan khas bangun tidur didepan cermin setinggi tubuhnya, sekali lagi Luna menghela nafas panjang barangkali mendapat sisa-sisa kesabaran untuk tidak tersulut.
"ALVIAN KAMPRETTT!!!" jeritnya tiba-tiba.
Detik berikutnya, gadis itu berlari layaknya citah menuju kamar sebelah milik kakaknya, menerobos masuk tanpa izin. Matanya terpancang awas mencari si biang kerok penghancur ketenangannya di hari minggu.
"Dimana lo Alvi?!" serunya bak seorang rentenir kala tak menemukan sang kakak.
Netra coklat yang mengilatkan kekesalan menggebu-gebu itu beralih menatap sound system yang menjadi sumber suara terkutuk.
Dengan kekesalan yang mencapai puncak, Luna mematikan benda itu dengan mencabut segala kabel di stop kontak. Karena hanya itu cara yang ia tahu untuk mematikannya.
Pintu kamar mandi diruangan itu lantas terbuka setelahnya, menampilkan perawakan sang Kakak yang hanya mengenakan anduk dipinggang.
Dia Alvian Octa Mahendra, mahasiswa semester awal jurusan Teknik Industri yang hobinya tebar pesona. Playboy cap badak yang hobinya gonta-ganti cewek seminggu sekali. Ngakunya cowok idaman nan populer, anak band yang punya konten youtube hampir mencapai 100 ribu subscriber. Sayang, adiknya yang tak tahu diri tak pernah mengakui semua itu, memalukan.
Alvian dengan percaya diri menyugar rambutnya yang basah sehabis dikeramas. Berkhayal layaknya bintang iklan sampo di televisi.
Luna menatapnya jijik, memangnya keren apa?!
"Ngapain dimatiin?" tanya Alvian begitu menyadari kehadiran makhluk lain dikamarnya.
"Pake nanya, lo ganggu ketenangan gue tau gak! Awas aja kalo dinyalain lagi, gue bisa aja mengundang masa buat penggal lo hidup-hidup. Atau benda kesayangan lo itu gue lempar ke kali!"
Alvian terkesiap begitu Luna keluar sembari menutup pintu dengan kasar. Namun selang beberapa detik pintu itu kembali terbuka. "Satu lagi, gue lebih baik dengerin suara kentutnya Opet dari pada suara lo!"
"Terus gue peduli?" cibir Alvian dengan nada meledek.
Pintu kembali dibuka. "Bukan masalah lo peduli atau enggak. Disini situasinya satu komplek tersiksa plus bisa budek, lo mau bawa mereka semua ke THT?!"
Setelahnya Luna pergi begitu saja, kali ini membiarkan pintu tetap terbuka. Sejak kapan adiknya itu peduli dengan penghuni komplek?
Alvian mengerjap pelan. Apa adiknya baru saja kerasukan barusan? "Heran, punya adek galak amat. Gak seneng apa liat abangnya bahagia bentaran doang," ujarnya pelan.
"Gue denger!" teriak Luna menggelegar, hampir saja membuat jantung Alvian loncat. Laki-laki itu hanya bisa mendesis sabar.
💤💤💤
Suara air yang menyembur dari selang serta gemerisik daun yang dibelai angin sepoi-sepoi menjadi satu-satunya suara yang mengiringi keheningan area perkomplekan. Membuai Luna yang tak bisa berhenti menguap sejak tadi bak koala, bedanya yang satu ini gak bisa manjat pohon.Luna mengantuk tingkat dewa, meski begitu matanya tetap memperhatikan punggung seorang laki-laki yang sibuk memandikan motor vespa-nya penuh sayang.
"Opet." Panggil Luna. Si empunya nama sibuk komat-kamit memuji motornya sendiri yang dinamai 'Jenie'.
Kalau saja itu motor bernyawa, pasti senyum malu-malu biawak. Secara yang muji orang ganteng nan populer yang dikagumi banyak gadis. Ya, setidaknya Jenie bangga jadi motor yang dapat pujian dari banyaknya gadis yang berharap bisa dilirik sang empu.
"Opettt!"
Laki-laki itu seolah tuli, suara panggilan Luna sama sekali tak menarik atensinya. Luna meringis melihat tingkah sahabatnya yang dikenal jenius tapi kadang aneh. Kasihan yang jadi jodohnya nanti, begitu pikirnya.
"OPET!" teriakan Luna akhirnya sukses membuat kepala laki-laki itu menoleh.
"Apa? Gak ada nama panggilan yang kerenan dikit apa selain Opet. Bagus-bagus nama gue Athalario Petro Radeyo, bisa-bisanya lu panggil gue sekenanya." laki-laki itu menyahut dengan tampang tak terima, matanya mengerling jengkel.
"Ya abis, gampangan Opet. Atau sekalian aja pake C, jadi Copet," cicit Luna ditempatnya, ikut menekuk wajah.
Athalario a.k.a Opet. Nama panggilan aslinya Rio. Entah dari mana nama Opet itu tercetus pertama kali, yang pasti orang lain lebih akrab memanggilnya begitu.
Opet sahabat dekat Luna sejak orok, tak perlu ditanya mereka sedekat apa. Kendati sifat mereka bertolak belakang bak langit dan bumi, kedekatan mereka begitu tak terpisahkan layaknya nasi dan lauk. Kalo gak ada lauk makanannya hambar, kalo gak ada nasi ya gak bakal kenyang.
Tapi selama ini Opet merasa menjadi pihak yang paling merugi. Sebab Luna itu ibarat piringnya saja. Apa-apa minta tolong padanya.
Opet melirik Luna lewat ekor matanya. "Gak bergairah amat hidup lo Lun," sindirnya. Luna mendengus, Opet sudah terlihat seperti ibu-ibu komplek tukang nyinyir sekarang. Luna hanya berharap laki-laki itu tidak mengeluarkan jiwa emak-emaknya yang suka mengomel.
"Hidup-hidup gue, kenapa lo yang susah," sinis Luna.
"Memang selama ini lo nyusahin gue." cetus Opet. Nah kan, mulut pedasnya keluar.
"Kebaikan itu gak perlu diumbar-umbar. Pahalanya entar ditarik lagi." Luna berdecak malas, memilih merebahkan tubuhnya diundakan tangga sembari memejamkan mata. Sinar matahari yang menyorotnya semakin terik tak begitu ia pedulikan.
"Astagfirullah, gue kira kesetan! Hampir aja mau gue injek!" seloroh Alvian yang baru saja keluar rumah lengkap dengan penampilannya yang terkesan manly dibalut jaket hitam, celana jeans, dan rambut yang ditata sedemikian rupa.
Tampan...
Luna mendengus sinis sembari mendudukkan dirinya dengan benar, hampir saja Alvian menginjaknya. "Abang laknat lo!"
"Suruh siapa tiduran disitu! Gini, abang mau ke studio sampe sorean," ujar Alvian sembari melangkah menghampiri motor gedenya yang terparkir diluar garasi.
"Opet!"
"Ya, bang?" Opet menyahut cepat begitu Alvian memanggilnya. Luna mengerling jengkel.
"Tolong kasih si Luna makan, ya. Gue gak sempet masak. Masakin apa aja yang penting itu peliharaan mau makan." pesannya. Laki-laki itu mulai menyalakan mesin motornya.
"Dikira gue hewan apa." Dalam hati Luna merutuk.
"Siap bang!" Opet mengacungkan jempolnya.
"Oke, nitip Luna. Gue berangkat!"
Suara knalpot motor yang menderu itu lantas menghilang ditelan jarak. Opet kembali sibuk menyiram si Jenie. Sementara Luna bersedekap dada.
"Mending lo mandi deh Lun, biar gak kayak gembel-gembel banget. Gue mau bawa lo jalan-jalan deh biar hidup lo gak gabut." Opet terkekeh seraya menggelengkan kepalanya melihat Luna yang hampir terlihat layaknya gembel. Rambutnya awut-awutan, sudah jelas Luna pastinya belum melangkahkan kaki ke kamar mandi sejak pagi. Padahal ini sudah hampir siang. Apa perlu ia mandikan juga? Eh!
"Gue gak perlu mandi, mubazir Air," sahut Luna.
"Gue yang malu kalo penampilan lo kayak gini. Ya, setidaknya sebagai cewek lo gak mau apa keliatan modis, rapi, anggun. Biar cowok pada tertarik gitu."
"Emangnya lo gak tertarik kalo gue kayak gini?" ada hening beberapa detik saat pertanyaan itu meluncur dari lidah Luna.
Opet manaikan sebelah alisnya. "Jawabannya pengen apa?"
"Gue gak suka orang pendusta." Tekan Luna dengan tatapan mengintimidasi memandang Opet yang tengah berpura-pura berfikir.
Laki-laki itu menyeringai. "Kalo gue bilang lo sejelek apa, nanti ngamuk."
"Berapa persen?" Wajah Luna berubah datar. Opet mengulum bibirnya melihat raut wajah gadir itu.
"9... "
"Cukup! Gue mandi, puas!" Luna berdiri, melangkah kedalam rumah sembari membanting pintu.
"Jangan lupa pake sabun!"
"Pake bensin!"
"Mantap!"
To Be Continue...
2 tahun lalu, tepatnya saat Luna baru saja menginjak bangku SMA. Setidaknya Luna lebih terurus sebab ada sosok sang Bunda yang tak bosan mengomelinya. Mulai dari penampilan, kebiasaan buruk, jam makan semuanya tak lepas dari perhatian bunda.Namun setelah Bunda meminta berpisah dengan ayah dan memilih menetap di Bali bersama pasangan barunya. Luna menjadi gadis yang sekarang, tak begitu peduli akan penampilan dan lingkungan sekitar, termasuk perihal apa yang orang katakan tentang dirinya."Jaga diri baik- baik, ya. Kamu udah gede, harus udah bisa perhatiin diri kamu sendiri." Ucapan Bunda masih teringat jelas dibenak Luna saat wanita itu kemudian menyeret kopernya dibandara, meninggalkannya dengan mata berkaca-kaca.Bunda, wanita yang Luna anggap sebagai sosok paling setia yang akan menemaninya kapan saja dikala suka dan duka nyatanya kini menjadi penyebab utama atas segala sikap yang dilakoninya.Luna patah, parahnya lagi jatuh. Tapi ia beruntung pada
Menjelang pukul 5 sore, Luna dan Opet memutuskan untuk pulang. Tapi dipertengahan jalan, tak ada angin tak ada hujan Jenie tiba-tiba ngambek, alias mogok. Memaksa keduanya mau tak mau mendorong benda itu sepanjang sisa perjalanan."Motor jelek. Nyusahin aja bisanya!" hardik Luna. Kakinya menendang ban motor Opet kesal, setelahnya mengaduh kesakitan."Mampus lo," cerca Opet tersenyum puas.Luna lantas melepas helm dikepalanya brutal, rambutnya yang berantakan tak berniat ia rapikan. "Sial, sial, sial! Semuanya gara-gara lo! Andai aja tadi gue gak ikut.""Terus, salahin aja gue." Opet ikut geram.Gadis itu menatap nyalang sahabatnya. "Emang salah!" bentaknya, kemudian berlalu begitu saja melewati Opet."Eh, eh, mau kemana? Bantuin dorong ini woyyy!" seru Opet. Luna memutar tubuhnya ogah-ogahan. Penampakannya lusuh, tapi siapa peduli."Males! Gue mau cari ojek aja!" pungkasnya sembari mengedarkan pandangan.Opet mendengus kasar, agaknya l
Hari Senin, katakan saja ini hari yang hampir semua orang benci. Pasalnya segala kegiatan dimulai kembali, harapnya ingin cepat-cepat hari minggu lagi. Dan siapapun tak bisa menghindar dari segala kesibukan yang ada, termasuk si pemalas sekalipun.Barisan siswa dipinggir lapangan itu mulai tak enak dipandang. Beberapa dari mereka mendesah gerah kepanasan, mencibir sang kepala sekolah yang tak berhenti berbicara diatas mimbar, padahal isinya sama seperti senin-senin sebelumnya."Telen aja sekalian itu mic.""Dia emang niat siksa kita biar jadi ikan asin.""Ketek gue udah banjir keringat ini.""Andai upacara bisa bawa payung.""Mengadi-ngadi kau!""Mending kalo liat Oppa yang glowing mar kinclong, lah ini tua-tua keladi haus perhatian.""Jangan kenceng-kenceng ngomongnya nanti kedengeran!"Kira-kira seperti itulah gerutuan yang keluar dari setiap mulut murid-murid yang mana lebih didominasi perempuan, sisanya pasrah menunggu kuasa
Ada yang aneh saat Barra Savian Rahardi si Ketua OSIS SMA Taruna Bangsa atau lebih dikenal kulkas berjalan lengkap dengan wajah datarnya tiba-tiba meminta Luna mengikutinya.Dahi Luna mengerut samar, menatap Barra disampingnya seolah bertanya kemana laki-laki itu akan membawanya. Tapi respon yang didapat hanya tampang datar yang menyebalkan. Tangan Luna rasanya gatal, bawaannya pengen nyakar!"Setidaknya lo ngomong dulu mau bawa gue kemana?" tanya Luna pada akhirnya. Dia menghentikan langkahnya, begitu pun Barra."Lo disuruh datengin Pak Juan. Mending lo jalan buruan," titah Barra mendorong bahu Luna pelan agar berjalan lebih dulu, sebuah perlakuan yang cukup membuatnya terkejut.Luna mencibir sembari meniup poninya yang sedikit lepek. Melangkah menyusuri koridor yang cukup sepi sebab ini masih jam pelajaran dan para guru pastinya sedang mengajar.Barra melirik sepatu Luna yang talinya tidak diikat, salah satu kebiasaannya sejak dulu yang ta
Tiga orang itu saling melirik satu sama lain. Suasananya berubah kaku, Luna beberapa kali diam-diam menarik ujung seragam Opet disampingnya, bermaksud meminta bantuan. Wajahnya mulai terlihat gelisah, tapi entah kenapa Opet sama sekali tidak menyadarinya. Sejatinya Opet juga bingung harus berbuat apa, apalagi mendapat tatapan intens dari Pak Juan seperti ini.Rasanya seperti tengah diintrogasi guna mendapat izin dari mertua."Jika sekali dua kali setidaknya masih bisa saya toleransi."Opet meneguk ludahnya sendiri, sebelumnya ia juga sudah menduga hal ini akan terjadi. Ditatapnya Pak Juan setenang mungkin."Tapi jika terus-terusan seperti ini, artinya semua nilai-nilai kamu itu tidak murni, Aluna." Pria berkaca mata itu lantas menatap Luna prihatin."Tapi saya yang kerjain kok pak," sambar Luna dengan nada memelas.Pak Juan mengernyit bingung, tak yakin dengan pernyataan Luna barusan. "Jadi yang benar, kamu yang kerjain apa Rio yang kerjain?
Drtt... drtt... drtt...Getaran yang bersumber dari saku roknya membuat Luna tersentak ditengah kantuknya yang semakin merajalela. Gadis itu menguap lebar engan menutup mulut. Melirik sekilas pada guru yang sedang menjelaskan materi didepan kelas sebelum mengecek siapa yang mengiriminya pesan.Opet💩| Abis bel pulang, gue ada kumpulan osis dulu| Lo tungguin bentar ya| Kalo kelamaan, duluan jg gppMe|Gue tungguin deh dikelasOpet💩| WokehLuna menghela nafas panjang. 1 jam lagi bel pulang berbunyi, sejak tadi yang menjadi perhatiannya adalah memastikan jarum jam terus bergerak yang entah mengapa berjalan begitu lambat."Yang dibelakang bisa perhatikan ke depan?"Luna masih tak sadar ketika guru didepan kelas berbicara padanya. Gadis itu malah menatap keluar jendela, kelewat malas untuk menyimak segala materi. Omongan Luna tadi nyatanya tak benar-benar dapat ia pegang."Lun... Pak Yogi ngomong sama kamu,"
Baru saja kakinya melangkah pada undakan tangga ke-3. Suara mengintrupsi dari belakang menghentikan gerakan Rega. Laki-laki itu memejamkan matanya sebentar sebelum akhirnya memutar tubuh menatap sosok pria yang masih mengenakan setelan kerjanya. Gurat wajah lelah tercetak jelas disana, meski kini pria itu menatapnya tajam.Berharap mendapat sambutan hangat? Menginjakkan kakinya dirumah ini saja Rega sudah cukup muak.Ini baru pukul 8, Rega pikir Papanya belum pulang. Biasanya pria itu sampai dirumah pukul 9 atau bahkan tengah malam."Baru pulang kamu? Kenapa sekalian aja gak usah pulang?!"Rega hanya diam kala ucapan dengan nada tinggi itu menelusup masuk gendang telinganya. Menciptakan gema yang entah mengapa mendengung cukup lama. Seolah sengaja diulang-ulang, dan rasanya menghantarkan sesak yang perlahan menjelma menjadi luka baru yang menghiasi relung hatinya."Saya sekolahin kamu bukan buat jadi berandalan. Hobinya kelayapan, disekolah bisanya
Dibalik tembok, bersama kepulan asap rokok yang mengepul. Laki-laki itu duduk dengan nyaman, tersenyum sembari mendongakkan kepalanya, menatap rembulan yang menyinarinya wajahnya yang sekilas terlihat baik-baik saja meski pada beberapa tempat tampak lebam, tapi rupanya ia tak cukup peduli. Selain karena terbiasa, ia tak tahu harus bagaimana."Aaaa... sakit! Pelan-pelan dong!"Laki-laki itu tersenyum geli mendengar keributan dari sebuah kamar. Bagaimana setiap jeritan yang melengking dari salah satu diantara mereka mampu membuatnya tertawa dalam diam. Sejenak, ia seolah lupa perihal kejadian beberapa saat lalu."Lo gak tau rasanya gimana! Aaaa... Kampret! Gue bilang pelan-pelan!" jeritnya lagi.Rega, laki-laki itu kembali menghisap benda bernikotin yang terselip diantara dua ruas jarinya. Ini sudah puntung ke-3, tapi seolah lupa diri Rega tak tahu kapan akan berhenti.Untuk malam ini saja, ia ingin semua berlalu sebagaimana mustinya. Tak ada bentakan, pe