2 tahun lalu, tepatnya saat Luna baru saja menginjak bangku SMA. Setidaknya Luna lebih terurus sebab ada sosok sang Bunda yang tak bosan mengomelinya. Mulai dari penampilan, kebiasaan buruk, jam makan semuanya tak lepas dari perhatian bunda.
Namun setelah Bunda meminta berpisah dengan ayah dan memilih menetap di Bali bersama pasangan barunya. Luna menjadi gadis yang sekarang, tak begitu peduli akan penampilan dan lingkungan sekitar, termasuk perihal apa yang orang katakan tentang dirinya.
"Jaga diri baik- baik, ya. Kamu udah gede, harus udah bisa perhatiin diri kamu sendiri." Ucapan Bunda masih teringat jelas dibenak Luna saat wanita itu kemudian menyeret kopernya dibandara, meninggalkannya dengan mata berkaca-kaca.
Bunda, wanita yang Luna anggap sebagai sosok paling setia yang akan menemaninya kapan saja dikala suka dan duka nyatanya kini menjadi penyebab utama atas segala sikap yang dilakoninya.
Luna patah, parahnya lagi jatuh. Tapi ia beruntung pada masa-masa terkacaunya Opet bersedia mengulurkan tangannya, menjadi tempatnya bersadar dan berkeluh kesah sepuasnya, kendati kata-katanya kadang terdengar pedas dicerna dan terkesan jujur. Seperti kali ini...
"Lo mau pergi ke pantai?" Opet berkacak pinggang seperti emak-emak yang tengah memarahi anaknya, menatap penampilan Luna dari bawah sampai ujung kepala. Ia berdecak. "Ck, ck, ck... bahaya."
Luna mengangkat bahunya acuh. Gadis itu dengan percaya diri hanya menggunakan hotpants dan baju atasan yang bagian pundaknya kekurangan bahan. Kalo Opet khilaf gimana coba? bisa barabe urusannya!
Luna mengerjapkan matanya tanpa dosa. "Salahnya dimana?"
Laki-laki dihadapan Luna itu menggaruk tengkuknya, selanjutnya manarik Luna masuk kembali kedalam kamar.
"Lo mau ngapain?! Kita belum muhrim!" pekik Luna menahan langkahnya diambang pintu, satu tangannya yang terbebas memegang kusen pintu erat.
"Mulut sok suci tapi penampilan udah kayak lonte!" cerca Opet.
"Astagfirullah Opet mulutnya!"
"Dapet kado isinya tomat, bodo amat!"
Setelah beberapa menit mengobrak-abrik lemari Luna yang sama sekali tak tertata. Opet melemparkan kameja hitam kotak-kotak serta celana jeans abu-abu tepat ke wajah Luna. Lantas ia mengusap-usap telapak tangannya seolah baru saja mengobrak-abrik sampah.
"Memangnya lo mau ajak gue kemana, sih?" tanya Luna.
Opet spontan menutup mata dan buru-buru melangkah keluar saat Luna hendak membuka bajunya. Luna hanya mengedikkan bahunya acuh.
"Tau tempat dong Lun!"
"Ribet lo pet!"
"Buruan! Gue mau bawa lo kutub utara. Mempertemukan lo sama kerabat-kerabat lo disana? Habis itu gue tinggalin lo. Damailah hidup gue."
"Siapa?"
"Beruang."
Tak butuh waktu lama Luna keluar dari balik pintu dengan pakaian yang dipilihkan Opet barusan. Gerah, apalagi cuaca diluar semakin panas. Luna rasanya jadi malas keluar rumah.
"Nah kalo gini kan enak diliatnya." Opet tersenyum bangga.
"Firasat gue gak enak." Selidik Luna dengan tatapan mengintimidasinya.
Opet sudah mengambil langkah menuju depan rumahnya. Meninggalkan Luna yang masih menduga-duga kemana laki-laki itu akan membawanya. Sejauh ini tempat tidur adalah tempat favoritnya. Jadi harusnya Luna tak punya alasan untuk meninggalkannya dan menurut mengikuti Opet.
"Buruan Luna! Gue tinggal nih!" teriak Opet dari luar tak sabaran.
"Gue gak jadi ikut!" sahut Luna, kemudian membantingkan tubuhnya ke atas kasur yang sejak tadi seolah merayunya untuk ia tiduri.
💤💤💤
Gramedia menjadi tempat tujuan Opet membawa Luna secara paksa. Netra gelapnya menyusuri setiap rak buku diekori Luna yang tak berhenti menggerutu tanpa jeda. Beberapa orang sempat menatap mereka risih, lebih tepatnya Luna yang suaranya bak toa."Jalan-jalan sih jalan-jalan. Tapi gue enek kalo pemandangannya buku-buku kayak gini. Mending gue tiduran di rumah, nonton anime sepuasnya."
"Males tau gak liat wajah-wajah kolot yang kuker dan sok pinter baca-baca buku."
"Permisi Bu." Luna menggeser tubuhnya, membiarkan seorang gadis berlalu. Raut wajahnya berubah sinis. Apa dia bilang? Ibu? Apa ia terlihat setua itu? Ingin rasanya ia jambak rambut gadis itu.
Opet tertawa geli. "Ibu baringan aja di lantai kalo masih ngotot pengen tidur. Justru alasan saya bawa ibu kesini, biar ibu gak tiduran mulu."
"Opet-"
"Mereka liatin lo dari tadi Lun, jangan banyak tingkah. Bisa-bisa lo yang diamuk mereka udah lo katain kolot." Beritahu Opet.
Luna mengatupkan bibirnya saat itu juga, mengedarkan pandangannya menyadari tatapan sekitar yang menyorotnya tak suka. Luna sadar, ia salah bicara.
"Makanya jangan kesini, ayo pulang aja pet." Luna berbisik.
"Masih ada yang perlu gue cari."
Luna merotasikan bola matanya. "Dari tadi kita muter dari sabang sampai merauke. Lo sebenernya cari apa Opet?!" tanyanya geram masih setengah berbisik.
"Lepay lo Lun. Baru juga 10 menit."
Gadis itu meringis. "10 menit itu terlalu sayang dilewatin cuma buat mondar-mandir."
"Ketemu!"
Luna berjengit kaget. Opet mengangkat sebuah buku tebal bertuliskan "Kumpulan Soal Ujian SMBPTN."
"Nih buat lo." Luna mengerjap saat benda itu berpindah ketangannya, berat.
"Kok gue?" tanyanya tak mengerti menatap Opet, bingung.
"Bentar lagi kita lulus. Lo gak mau tinggal kelas kan?"
Luna hanya diam. Memperhatikan Opet yang masih betah menyusuri setiap rak.
Ia berjalan mendekat. "Tapi ini masih lama, kita baru aja naik kelas 3."
Opet memusatkan seluruh perhatiannya pada Luna. Mengulas senyuman manisnya yang membuat beberapa gadis yang duduk dimeja sudut Gramedia menjerit tertahan. Ternyata sejak tadi mereka memperhatikan Opet juga.
"Apa salahnya siapin sejak awal?" tanya Opet. Agaknya geram, sebab selama ini dirinya yang selalu membantu Luna memahami materi dan mengerjakan tugas sekolahnya. Dan setelah lulus nanti ia tidak akan bisa sering-sering membantunya, terlebih keduanya akan masuk jurusan yang berbeda.
"Gak lulus pun gue gak masalah." Luna berjinjit, berusaha mengembalikan buku itu ketempat asalnya.
Opet menghela nafas sabar. "Lo tuh musti kudu di ruqyah emang. Hidup itu bukan tentang sekedar rebahan, bangun tidur, makan, tidur lagi. Lo mau jadi apa nanti?"
Luna merapatkan bibirnya. Pandangannya jatuh ke lantai. Opet menatapnya heran berusaha memahami pola pikir gadis dihadapannya. Nyatanya kebersamaannya dengan Luna selama hampir 18 tahun tak mampu membuatnya memahami segalanya tentang Luna.
"Gue gak pinter kayak lo pet. Gue juga gak jago masak kayak lo, apalagi bersih-bersih. pokoknya gue gak jago melakukan banyak hal kayak lo. Dan gue juga gak punya siapa-siapa yang nerima gue apa adanya kayak gini selain lo." curhat Luna tanpa sebab.
"Terus, maksud lo ngomong gitu apa?"
Luna mengangkat wajahnya, memandang Opet dengan puppy eyesnya seimut mungkin. Opet masih tak paham. "Gue berniat mau numpang hidup sama lo, boleh ya pet?"
Opet bergidik ngeri. "Najis!" tandasnya semberi menyentil dahi gadis itu.
Luna mencebik kesal mengusap-usap dahinya. "Kok gitu sih ngomongnya. Gue ini cewek, sensitif, omongan lo barusan itu udah bikin hati gue celetat-celetit!" protesnya.
"Dih, baper!"
"Pokoknya pulang dari sini, beliin gue martabak!" tuntut Luna.
"Boleh, tapi pake duit lo."
"Gue miskin!" tekan Luna. Opet hanya memutar bola matanya pasrah. "Ayah lo kaya setidaknya. Gak bersyukur amat jadi manusia!"
💤💤💤
Sesuai permintaan Luna, Opet rela membelikan martabak spesial hanya untuk Luna seorang begitu pulang dari Gramedia asal gadis itu berhenti mengeluh.Kini keduanya berada ditaman umum salah satu pusat Jakarta. Duduk dihamparan rumput hijau dibawah naungan pohon Tabebuya yang meneduhkan.
Keduanya sama-sama mengedarkan pandangan, memperhatikan segala kegiatan yang ada disekitar. Kebanyakan yang datang sama-sama sekedar menghabiskan waktu hari minggu, tak heran jika sedikit ramai.
"Lo gak niat bagi martabaknya sama gue Lun?" Opet mencebik kesal. Sementara Luna sibuk mengunyah martabak dimulutnya. Pipinya mengembung lucu.
"Mau? Beli sendiri." Gadis itu tergelak seorang diri, hingga akhirnya tersedak. Opet panik, menepuk-nepuk punggung Luna seraya menyerahkan botol air mineral yang buru-buru ditengaknya.
"Kualat! Pelit sih, udah gitu gak tau diri lagi siapa yang beliin lo makanan."
Luna mengerlingkan matanya selagi mengatur nafas. Hampir saja ia mati muda barusan. "Gue gak pelit, lo nya aja yang gak ikhlas terus doa-doain gue biar kayak barusan kan?"
"Dasar tukang fitnah lagi lo Oneng!" Geram Opet, menyumpalkan sepotong martabak ke mulut Luna.
Selagi menunggu Luna menghabiskan martabaknya, Opet mengeluarkan ponsel dari saku. Mengotak-atiknya sebentar kemudian memasukkan benda itu kedalam sakunya lagi. Sebelumnya ia juga mengecek jam yang sudah menunjukkan pukul 3 sore. Waktu berlalu cepat rupanya.
"Lo punya pacar ya, Pet?"
Opet terperanjat begitu ia mengangkat pandangannya, wajah Luna kini tepat berada dihadapannya dengan jarak yang terlalu dekat sekarang.
"Gak usah deket-deket!" decaknya mendorong dahi Luna agar gadis itu menjauh. "Gue gak pacaran!"
"Terus siapa yang manggil lo sayang di w******p barusan?" Luna penasaran.
"Lo kayak gak tau gue aja, Lun. Lupa sahabat lo ini banyak yang naksir. Harusnya lo bangga punya sahabat kayak gue."
Kini giliran Luna yang berdecak kesal menghadapi kepercayadirian seorang Opet. Gadis itu merebahkan tubuhnya menyamping dengan meletakkan kepalanya dipangkuan Opet. Opet sendiri tak ambil pusing dan membiarkannya, sudah biasa.
Gadis itu menjatuhkan pandangannya pada pasangan yang duduk dekat kolam. Silih melempar canda tawa. Dikira ia bakal iri apa? Enggak!
"Pet emang mereka semua pada mau sama cowok macam lo? Belum tau aja lo aslinya gimana. Gue yakin sehari aja mereka pasti udah minta putus. Soalnya mulut lo kayak merecon," tutur Luna.
"Lo gak usah meremehkan gue Lun. Yang harusnya ngomong kayak gitu itu gue. Gue khawatir sama pasangan lo nanti. Gue sih gampang, kalo pengen tinggal klik."
Luna mendengus sebal. Menanggapi Opet sama saja mempermalukan dirinya. Opet selalu punya jawaban atas setiap pernyataan yang Luna katakan. Dengan mudahnya mematahkan segala apa yang menurutnya benar. Dan Luna akui selama ia menuruti Opet semuanya berjalan baik-baik saja.
Lalu kini pertanyaannya bagaimana seandainya laki-laki itu memiliki pacar? Bukankah prioritasnya bukan lagi dirinya yang hanya sebatas sahabat?
"Pet, cariin gue pacar!"
"Hah?" Opet melongo.
"Sebelum lo punya pacar, lo harus cariin gue dulu pacar. Minimal kayak lo, yang mau gue susahin, yang mau gue porotin, yang mau bantuin gue bikin tugas, pokoknya yang kayak lo."
Opet mengerjapkan matanya, meneguk ludahnya sendiri saat Luna menatapnya dalam penuh harap.
Luna Kesurupan!
To Be Continue...
Menjelang pukul 5 sore, Luna dan Opet memutuskan untuk pulang. Tapi dipertengahan jalan, tak ada angin tak ada hujan Jenie tiba-tiba ngambek, alias mogok. Memaksa keduanya mau tak mau mendorong benda itu sepanjang sisa perjalanan."Motor jelek. Nyusahin aja bisanya!" hardik Luna. Kakinya menendang ban motor Opet kesal, setelahnya mengaduh kesakitan."Mampus lo," cerca Opet tersenyum puas.Luna lantas melepas helm dikepalanya brutal, rambutnya yang berantakan tak berniat ia rapikan. "Sial, sial, sial! Semuanya gara-gara lo! Andai aja tadi gue gak ikut.""Terus, salahin aja gue." Opet ikut geram.Gadis itu menatap nyalang sahabatnya. "Emang salah!" bentaknya, kemudian berlalu begitu saja melewati Opet."Eh, eh, mau kemana? Bantuin dorong ini woyyy!" seru Opet. Luna memutar tubuhnya ogah-ogahan. Penampakannya lusuh, tapi siapa peduli."Males! Gue mau cari ojek aja!" pungkasnya sembari mengedarkan pandangan.Opet mendengus kasar, agaknya l
Hari Senin, katakan saja ini hari yang hampir semua orang benci. Pasalnya segala kegiatan dimulai kembali, harapnya ingin cepat-cepat hari minggu lagi. Dan siapapun tak bisa menghindar dari segala kesibukan yang ada, termasuk si pemalas sekalipun.Barisan siswa dipinggir lapangan itu mulai tak enak dipandang. Beberapa dari mereka mendesah gerah kepanasan, mencibir sang kepala sekolah yang tak berhenti berbicara diatas mimbar, padahal isinya sama seperti senin-senin sebelumnya."Telen aja sekalian itu mic.""Dia emang niat siksa kita biar jadi ikan asin.""Ketek gue udah banjir keringat ini.""Andai upacara bisa bawa payung.""Mengadi-ngadi kau!""Mending kalo liat Oppa yang glowing mar kinclong, lah ini tua-tua keladi haus perhatian.""Jangan kenceng-kenceng ngomongnya nanti kedengeran!"Kira-kira seperti itulah gerutuan yang keluar dari setiap mulut murid-murid yang mana lebih didominasi perempuan, sisanya pasrah menunggu kuasa
Ada yang aneh saat Barra Savian Rahardi si Ketua OSIS SMA Taruna Bangsa atau lebih dikenal kulkas berjalan lengkap dengan wajah datarnya tiba-tiba meminta Luna mengikutinya.Dahi Luna mengerut samar, menatap Barra disampingnya seolah bertanya kemana laki-laki itu akan membawanya. Tapi respon yang didapat hanya tampang datar yang menyebalkan. Tangan Luna rasanya gatal, bawaannya pengen nyakar!"Setidaknya lo ngomong dulu mau bawa gue kemana?" tanya Luna pada akhirnya. Dia menghentikan langkahnya, begitu pun Barra."Lo disuruh datengin Pak Juan. Mending lo jalan buruan," titah Barra mendorong bahu Luna pelan agar berjalan lebih dulu, sebuah perlakuan yang cukup membuatnya terkejut.Luna mencibir sembari meniup poninya yang sedikit lepek. Melangkah menyusuri koridor yang cukup sepi sebab ini masih jam pelajaran dan para guru pastinya sedang mengajar.Barra melirik sepatu Luna yang talinya tidak diikat, salah satu kebiasaannya sejak dulu yang ta
Tiga orang itu saling melirik satu sama lain. Suasananya berubah kaku, Luna beberapa kali diam-diam menarik ujung seragam Opet disampingnya, bermaksud meminta bantuan. Wajahnya mulai terlihat gelisah, tapi entah kenapa Opet sama sekali tidak menyadarinya. Sejatinya Opet juga bingung harus berbuat apa, apalagi mendapat tatapan intens dari Pak Juan seperti ini.Rasanya seperti tengah diintrogasi guna mendapat izin dari mertua."Jika sekali dua kali setidaknya masih bisa saya toleransi."Opet meneguk ludahnya sendiri, sebelumnya ia juga sudah menduga hal ini akan terjadi. Ditatapnya Pak Juan setenang mungkin."Tapi jika terus-terusan seperti ini, artinya semua nilai-nilai kamu itu tidak murni, Aluna." Pria berkaca mata itu lantas menatap Luna prihatin."Tapi saya yang kerjain kok pak," sambar Luna dengan nada memelas.Pak Juan mengernyit bingung, tak yakin dengan pernyataan Luna barusan. "Jadi yang benar, kamu yang kerjain apa Rio yang kerjain?
Drtt... drtt... drtt...Getaran yang bersumber dari saku roknya membuat Luna tersentak ditengah kantuknya yang semakin merajalela. Gadis itu menguap lebar engan menutup mulut. Melirik sekilas pada guru yang sedang menjelaskan materi didepan kelas sebelum mengecek siapa yang mengiriminya pesan.Opet💩| Abis bel pulang, gue ada kumpulan osis dulu| Lo tungguin bentar ya| Kalo kelamaan, duluan jg gppMe|Gue tungguin deh dikelasOpet💩| WokehLuna menghela nafas panjang. 1 jam lagi bel pulang berbunyi, sejak tadi yang menjadi perhatiannya adalah memastikan jarum jam terus bergerak yang entah mengapa berjalan begitu lambat."Yang dibelakang bisa perhatikan ke depan?"Luna masih tak sadar ketika guru didepan kelas berbicara padanya. Gadis itu malah menatap keluar jendela, kelewat malas untuk menyimak segala materi. Omongan Luna tadi nyatanya tak benar-benar dapat ia pegang."Lun... Pak Yogi ngomong sama kamu,"
Baru saja kakinya melangkah pada undakan tangga ke-3. Suara mengintrupsi dari belakang menghentikan gerakan Rega. Laki-laki itu memejamkan matanya sebentar sebelum akhirnya memutar tubuh menatap sosok pria yang masih mengenakan setelan kerjanya. Gurat wajah lelah tercetak jelas disana, meski kini pria itu menatapnya tajam.Berharap mendapat sambutan hangat? Menginjakkan kakinya dirumah ini saja Rega sudah cukup muak.Ini baru pukul 8, Rega pikir Papanya belum pulang. Biasanya pria itu sampai dirumah pukul 9 atau bahkan tengah malam."Baru pulang kamu? Kenapa sekalian aja gak usah pulang?!"Rega hanya diam kala ucapan dengan nada tinggi itu menelusup masuk gendang telinganya. Menciptakan gema yang entah mengapa mendengung cukup lama. Seolah sengaja diulang-ulang, dan rasanya menghantarkan sesak yang perlahan menjelma menjadi luka baru yang menghiasi relung hatinya."Saya sekolahin kamu bukan buat jadi berandalan. Hobinya kelayapan, disekolah bisanya
Dibalik tembok, bersama kepulan asap rokok yang mengepul. Laki-laki itu duduk dengan nyaman, tersenyum sembari mendongakkan kepalanya, menatap rembulan yang menyinarinya wajahnya yang sekilas terlihat baik-baik saja meski pada beberapa tempat tampak lebam, tapi rupanya ia tak cukup peduli. Selain karena terbiasa, ia tak tahu harus bagaimana."Aaaa... sakit! Pelan-pelan dong!"Laki-laki itu tersenyum geli mendengar keributan dari sebuah kamar. Bagaimana setiap jeritan yang melengking dari salah satu diantara mereka mampu membuatnya tertawa dalam diam. Sejenak, ia seolah lupa perihal kejadian beberapa saat lalu."Lo gak tau rasanya gimana! Aaaa... Kampret! Gue bilang pelan-pelan!" jeritnya lagi.Rega, laki-laki itu kembali menghisap benda bernikotin yang terselip diantara dua ruas jarinya. Ini sudah puntung ke-3, tapi seolah lupa diri Rega tak tahu kapan akan berhenti.Untuk malam ini saja, ia ingin semua berlalu sebagaimana mustinya. Tak ada bentakan, pe
Dikelasnya, Opet bertopang dagu menatap lurus papan tulis. Tak biasanya, kali ini ia tak dapat fokus menyimak pelajaran. Entah apa yang dipikirkannya kala itu, yang pasti ia ingin segera pulang, demikian penasaran dengan apa yang Luna lakukan dirumahnya. Walaupun ia sudah cukup tahu apa yang akan dilakukan gadis itu selain rebahan dikasur sembari memakan cemilan yang bercecer dan laptop yang menampilkan anime atau drakor kesukaannya."Ngelamun aja lo, Pet." Banyu disampingnya yang sejak tadi sibuk konser tanpa suara menyentak Opet. Membuat Laki-laki itu kelabakan lantas mengusap wajahnya dengan kedua tangan."Mikirin apa, sih lo?" Opet mengelang pelan, mendapat respon seperti itu Banyu hanya dapat mendengus pelan."Kayaknya gue perlu ke toilet dulu deh," ujar Opet."Mau boker lo?" Banyu mendelik. "Yaudah sono, jan lupa cebok.""Yeuu... si kampret!" Opet menonyor pelan kepala Banyu sebelum menegakkan tubuhnya.Begitu Opet meminta izin lantas setela
Kenyataannya, Luna tidak benar-benar pingsan. Sebelumnya gadis itu hanya ingin beristirahat sejenak dengan membaringkan tubuhnya dipinggir lapangan setelah menyelesaikan hukuman. Namun hal itu justru menimbulkan prasangka bahwa dirinya tak sadarkan diri.Luna tak bisa berkutik saat banyak orang-orang mulai mengerumuni dan mengira dirinya pingsan. Tak ingin menanggung malu, maka Luna melanjutkan aksinya. Ia sedikit terkejut saat seseorang membopongnya pergi dari lapangan. Lantas tersenyum dalam diam saat tahu orang itu adalah Opet. Opet datang diwaktu yang tepat."Jadi lo gak pingsan?" tanya Opet, terperangah begitu melihat Luna tersenyum lebar tanpa rasa bersalah sedikitpun diatas ranjang ruang kesehatan."Gak, gue cuma lemes." Luna mengelang singkat. "Jadi barusan itu apa?" Opet berkacak pinggang, menuntut pengakuan Luna."Orang lain ngira gue pingsan. Mana pipi gue udah digebuk-gebuk. Daripada nanggung malu gue lanjut pura-pura pingsan aja kan?"
Pagi selalu jadi waktu paling memuakkan bagi Luna. Selain kedua matanya yang terasa berat dan sulit untuk sepenuhnya terbuka, ia tidak suka dilibatkaan dalam setiap hal yang mendorongnya untuk banyak melakukan kegiatan. Sesederhana apapun hal yang ia lakukan, selalu saja ada keluhan yang terlontar. Luna sadar kelak sikapnya tersebut akan menjadi bumerang atas setiap ketertinggalannya dalam hal apapun, lantas membuatnya dituntut lebih keras untuk bergerak maju. Luna hanya merasa ia belum menemukan momentum yang tepat untuk berubah. Entah kapan, namun suatu saat Luna tahu ia harus berubah."Kemana si, perasaan gue taro disini. Gak mungkin kan kaos kaki gue bisa jalan-jalan sendiri buat ngumpet?"Gadis yang sepertinya lupa menyisir rambut itu duduk lesehan didepan rak sepatu. Matanya menyisir setiap rak, mencari sebelah kaos kakinya yang entah kemana.“Bang, kaos kaki gue yang sebelahnya lagi kemana?” Luna menghampiri Alvian didapur yang sibuk denga
"Aku minta putus.""Putus? Kenapa?""Kamu pikir aku gak tahu berapa banyak cewek simpanan kamu!""Harusnya tau si.""Aku kira aku bisa jadi cewek yang lebih spesial buat kamu. Jadi satu-satunya yang bisa tahan lama. Tapi ternyata bener kata meraka, kamu tuh berengsek.""Salah sendiri gak mau dengerin mereka.""Aku gak tahan lagi sama kamu, pokoknya aku minta putus.""Oke, kita putus.""Kamu berengsek, Alvi!"PlakkkAlvian melirik pipinya yang dihiasi ruam kemerahan yang tak begitu kentara lewat kaca spion motornya. Bersyukur wajah tampannya tidak dicakar gadis beberapa saat lalu yang menemuinya hanya untuk mengatakan kata putus diantara keduanya.Tadinya, jika tahu seperti ini Alvian tidak akan repot-repot pergi keluar untuk menemuinya. Bahkan tanpa kata putus sekalipun, hubungan mereka bisa berakhir begitu saja tanpa kata-kata. Betina memang merepotkan, batin Alvian.Mata elang laki-laki
"Opet liat gue, dong! Lo kenapa sih. Tadi istirahat juga gak ajak gue ke kantin. Gue belum makan tau, gue laper!" rengek Luna, mulai geram mendapati sikap Opet yang engan berbincang atau bahkan sekedar menatapnya lewat kaca spion. Beberapa kali laki-laki itu membuang mukanya seolah-oleh sengaja menghindari tatapan Luna.Gadis itu memukul bahu Opet cukup keres sebagai bentuk kekesalannya. Bagaimanapun Luna butuh penjelasan atas sikap Opet yang tiba-tiba seperti ini, setidaknya Opet mengatakan apa yang salah darinya. Bukan diam seribu bahasa dan membuat Luna dirundung ribuan pertanyaan tanpa jawaban dan merasa bersalah tanpa alasan."Gue lagi nyetir, Lun!" sahut Opet akhirnya meski dengan nada ketus.Luna mencebik kesal, menarik keatas kaca helmnya. Kepalanya menjulur lebih dekat agar Opet bisa mendengar suaranya dengan jelas. "Setidaknya ngomong apa kek. Jangan cuma hmm... doang. Bilang kalo gue punya salah sama lo!" cetusnya berapi-api kemudian setelahnya
Rega luar biasa terkejut saat mendapati laki-laki yang tetiba saja berdiri mencegat laju motornya, memaksanya mengerem secara mendadak. Seandainya tidak tepat waktu, Rega pastikan ban motornya akan melukai kaki laki-laki itu. Menghela nafas lega, Rega melirik wajah si biang kerok yang tampak temaram disinari cahaya bulan. "Cari mati lo?" tanyanya dengan intonasi dalam meredam kesal. Apalagi mendapati wajah laki-laki itu yang tetap kelem, seolah hal barusan bukanlah masalah besar. "Lo yang cari mati, mau kemana lagi habis ini?" laki-laki pemilik wajah datar itu menatap Rega mengintimadasi, terlebih plaster dipelipis yang menarik perhatiannya. Apa itu salah satu ulah Prahardi? begitu pikirnya. "Loncat dari atas jembatan. Ngapain nanya? Sok perhatian amat." Rega melengos tak ramah. Ralat, selalunya seperti itu jika berhadapan dengan Bara. "Bokap lo gak ada dirumah," kata Bara sesaat sebelum melangkahkan kakinya melewati Rega yang tercenung mencerna
Hening, dua orang yang berjalan beriringan itu hanya bungkam, tenggelam dengan pikiran mereka masing-masing. Rega melirik Iva sekilas, cewek kaku itu hanya menunduk.Rencananya ia akan mengantarkan Iva pulang, namun sebelumnya ia harus pergi ke rumah Adit untuk mengambil motornya yang tinggalkannya disana semalam. Selain itu ia juga harus berpamitan dan berterima kasih pada Adit telah bersedia menampungnya untuk semalam. Walau laki-laki itu selalu mengatakan Rega bebas ingin menginap berapa lama pun tak masalah."Padahal lo bisa nunggu dirumah Luna," gumam Rega memecah sunyi.Cowok yang kini berhiaskan plaster dipelipisnya itu mendongak. Memandang semburat orange yang mulai menghiasi angkasa, tanpa awan yang beberapa waktu lalu membuatnya tampak abu-abu.Iva tak menjawab, bingung harus mengatakan apa. Ia gugup saat mata elang Rega kini menatapnya intens. Jika diingat-ingat lagi, mungkin ini pertama kalinya Rega berbicara padanya wa
"Arghhh... lo gendong gue yang bener dong. Segitu gak terimanya menderita bentar!" Luna mendorong Rega geram begitu laki-laki itu menurunkan tubuhnya tanpa aba-aba, padahal jarak menuju rumahnya masih cukup jauh. "Kalo aja lo gak teriak-teriak dikuping, gue gak masalah!" omel laki-laki itu sembari mengusap-usap telinganya yang memerah. "Ck, dasarnya tukang onar tuh ya gini," geram Luna. "Gak tau diri!" Rega menepis lengan Luna yang memegangi bahunya guna menyesuaikan keseimbangan. Gadis itu mendesis lantas berjalan tergopoh setengah terpincang mendahuluinya menghampiri Opet dan Iva. Dua orang itu terheran menatap kedatangan Luna dari arah belakang yang terengah-engah. "Kalian habis dari mana?" tanya Opet pada Luna. Disisi lain Luna menghela napas lega saat gadis yang dibonceng Opet ternyata Iva yang mana sudah berjanji akan kerumahnya kala itu. Entah mengapa ia sedikit tidak rela jika seandainya itu orang lain. Ehm... mungkin lebih tepatnya ji
"Maksud lo apa kayak gini sama Iva?" Opet menatap tajam gadis dihadapannya yang seketika mati kutu. Melirik gadis disampingnya yang tampak berantakan, memungut kaca matanya yang sudah retak sebagian. "Lo gak apa-apa kan?" Iva mengangguk pelan sebagai jawaban sembari menerima kacamatanya kembali. Karina berdecak tak suka. Mendelik kesal pada Iva yang berusaha menyeka air matanya yang tanpa henti mengalir begitu saja. "Drama!" hardiknya dengan nada rendah. "Jadi gini kelakuan anak kepala sekolah yang terhormat itu?" Laki-laki itu kembali menatap Karina tajam, suaranya dingin namun terdengar mencekam. Kedua antek-antek Karina menunduk gentar tak berani menatap Opet. "Gue cuma-" "Cuma apa?" sela Opet cepat. Karina lagi-lagi dibuat diam. "Ternyata selama ini begini kelakuan lo. Berbuat semena-mena dan menindas orang-orang kayak Iva barusan." Karina bersedap dada, gadis itu menyelipkan anak rambut yang menghalangi wajahnya. "Udahlah, l
Dikelasnya, Opet bertopang dagu menatap lurus papan tulis. Tak biasanya, kali ini ia tak dapat fokus menyimak pelajaran. Entah apa yang dipikirkannya kala itu, yang pasti ia ingin segera pulang, demikian penasaran dengan apa yang Luna lakukan dirumahnya. Walaupun ia sudah cukup tahu apa yang akan dilakukan gadis itu selain rebahan dikasur sembari memakan cemilan yang bercecer dan laptop yang menampilkan anime atau drakor kesukaannya."Ngelamun aja lo, Pet." Banyu disampingnya yang sejak tadi sibuk konser tanpa suara menyentak Opet. Membuat Laki-laki itu kelabakan lantas mengusap wajahnya dengan kedua tangan."Mikirin apa, sih lo?" Opet mengelang pelan, mendapat respon seperti itu Banyu hanya dapat mendengus pelan."Kayaknya gue perlu ke toilet dulu deh," ujar Opet."Mau boker lo?" Banyu mendelik. "Yaudah sono, jan lupa cebok.""Yeuu... si kampret!" Opet menonyor pelan kepala Banyu sebelum menegakkan tubuhnya.Begitu Opet meminta izin lantas setela