Hari Senin, katakan saja ini hari yang hampir semua orang benci. Pasalnya segala kegiatan dimulai kembali, harapnya ingin cepat-cepat hari minggu lagi. Dan siapapun tak bisa menghindar dari segala kesibukan yang ada, termasuk si pemalas sekalipun.
Barisan siswa dipinggir lapangan itu mulai tak enak dipandang. Beberapa dari mereka mendesah gerah kepanasan, mencibir sang kepala sekolah yang tak berhenti berbicara diatas mimbar, padahal isinya sama seperti senin-senin sebelumnya.
"Telen aja sekalian itu mic."
"Dia emang niat siksa kita biar jadi ikan asin."
"Ketek gue udah banjir keringat ini."
"Andai upacara bisa bawa payung."
"Mengadi-ngadi kau!"
"Mending kalo liat Oppa yang glowing mar kinclong, lah ini tua-tua keladi haus perhatian."
"Jangan kenceng-kenceng ngomongnya nanti kedengeran!"
Kira-kira seperti itulah gerutuan yang keluar dari setiap mulut murid-murid yang mana lebih didominasi perempuan, sisanya pasrah menunggu kuasa ilahi menghentikan aksi pidato panjang sepanjang jalan kenangan. Oke lebay!
"Sumpah, gue gak tahan. Apa gue harus pura-pura pingsan?"
Luna menoleh memandang malas seorang gadis berambut sebahu yang berdiri disampingnya sembari mengibas-ngibaskan tangan didepan wajah.
"Itu pak gundul minta gue sumpel juga apa mulutnya. Pengar gue dengerin suaranya."
"Amel jangan banyak ngomong. Make up lo retak!" Temannya yang berdiri disamping memberi tahu. Agaknya berdusta, sebab ia pun jengkel mendengar gerutuan gadis itu sejak tadi.
"Hah, beneran?" gadis bernama Amel mulai panik. Bibir Luna berkedut melihat reaksi gadis itu.
Pandangannya kemudian beralih menatap sosok jangkung yang berdiri disebrang barisannya, Opet.
Laki-laki itu meliriknya tajam ke arah dasinya yang tak diikat rapi. Tapi rupanya Luna salah memahami maksud Opet, gadis itu malah memeluk dirinya dengan mata melotot.
"Kamu kenapa Lun?" Iva, gadis berkaca mata yang berdiri dibelakang Luna bertanya, matanya mengikuti arah pandang Luna.
"Tukeran Va!" pinta Luna tiba-tiba. Iva tak bisa menolak saat Luna berpindah posisi berdiri dibelakangnya dan mendorong pelan punggungnya kedepan begitu saja.
Seketika pipi Iva bersemu saat tak sengaja pandangan matanya bertemu dengan manik mata Opet. Iva menegakkan tubuhnya salah tingkah.
Sementara itu Luna dibelakangnya sibuk menilik penampilannya. Menyadari maksud Opet menatapnya seperti itu adalah karena dasinya yang tak diikat rapi.
Bodoh. Luna menelengkan kepalanya, menatap balik Opet yang kini malah membuang muka. "Sok ganteng," desisnya.
Iva didepannya hanya diam sembari mengatur detak jantungnya yang berdebar tak karuan. Iva lagi gak kena serangan jantungkan? Jika iya, Opet lah tersangka utamanya.
"Baiklah saya cukupkan sampai disini..."
Para siswa akhirnya bisa mendesah lega, setelah sang komandan pasukan membubarkan upacara, siswa-siswi berhamburan meninggalkan lapangan yang meraka pandanga bak neraka. Berbondong-bondong masuk ke kelas, beberapa dari mereka ada yang melarikan diri ke kantin, tak heran memang.
"Tugas fisika kamu udah kerjain Lun?" tanya Iva selagi berjalan menyusuri koridor menuju kelas mereka yang berada dilantai 2.
"Udah, Opet yang kerjain." Luna menyengir tanpa dosa. Iva menghela nafas panjang menatap iri sahabatnya. "Enak, ya punya sahabat kayak Opet."
"Banyak enaknya, banyak gak enaknya. Tapi kan kamu sahabat aku, otomatis Opet sahabat kamu juga lah."
Iva hanya mengangguk mengiyakan sembari mengulas senyuman tipis. Entah kenapa mendengar kata 'sahabat' sebagai status hubungan diantara Luna dan Opet membuatnya kadang tak yakin. Kenyataannya yang mereka pertontonkan didepan publik lebih dari itu, dan jika iya Iva mungkin akan menjadi orang pertama yang tersenyum dengan hati yang patah. Sebab ia tak bisa berbuat apa-apa. Apalagi Luna sahabat terdekatnya.
Tak sengaja saat pandangan Luna mengedar asal, tatapannya jatuh pada salah satu sosok laki-laki diantara barisan siswa yang masih tertahan dilapangan, sembari menekuk sebelah kaki dan kedua tangan menyilang menjewer telinga masing-masing.
Bisa ditebak, mereka murid-murid yang melanggar aturan. Entah itu datang kesiangan atau memakai atribut sekolah tidak lengkap. Dilihat dari wajah-wajah yang berbaris disana tidak lagi asing, rata-rata mereka memang murid langganan yang sering melanggar aturan.
Detik berikutnya manik mata Luna beradu dengan iris legam milik sosok yang menarik atensinya sejak tadi. Rega, laki-laki yang kemarin sempat membuatnya kesal itu kini menampilkan smirk khas andalannya. Tapi Luna hanya menatapnya datar.
💤💤💤
"Rega! Kenapa kamu senyum-senyum?! Saya ngomong itu didengerin! Dipahami! Diterapkan!""Berdiri yang bener!"
Yang dibentak sontak menegakkan tubuhnya. Menyenggol pelan bahu teman disampingnya hingga hampir membuatnya tersungkur.
"Apaan si, dorong-dorong!"
Pria tua yang kerap dipanggil pak Surya menatap tajam satu per satu. "Kalian itu sekolah mau apa? Gaya kayak brandalan, rambut gondrong, gak pake dasi, baju juga harusnya dikedalemin udah saya kasih tahu berapa kali!" Emosi Pak Surya, tangannya menggenggam penggaris kayu erat-erat. Membuat kelima orang siswa itu sesekali meringis takut-takut benda itu melayang ke arahnya.
"Sekarang alasannya apalagi bisa datang kesiangan?" tanyanya pada Rega. Katakan saja diantara kelima laki-laki yang berdiri, Rega itu ibarat induknya, sumber utama atas setiap kelakuan yang ditiru antek-anteknya.
"Maaf pak, tadi saya mandiin adek saya dulu, jadi saya berangkat kesiangan," jawab Rega menundukkan kepalanya. Entah benar-benar menyesal atau hanya untuk sekeder terlihat meyakinkan.
"Lo gak punya adek Ga," bisik temannya disamping kiri-Adit namanya, yang suaranya masih bisa didengar jelas Pak Surya.
"Rega lagi ekting dit, lo ngertiin napa!" Temannya yang satu lagi memberitahu dengan gemas, Dio.
Pak Surya melotot. Kelima laki-laki itu melirik penggaris kayu takut. "Berani bohong kalian sama saya!"
"E-enggak pak. Kita gak bohong, kita cuma lagi usaha. Usaha menghindari hukuman dari bapak!" Satu-satunya cowok yang memakai topi angkat bicara, Dimas.
"Heh, kita gak kenal lari dari hukuman! Berani berbuat berani mengakui!" laki-laki berkulit paling putih tiba-tiba menimpali. Pernyataannya mengundang tatapan cengo temannya yang kini bersungut-sungut dalam hati.
"Ferdi pinter tapi kok gobl*k, ya."
"Kalian berlima saya tambah massa hukumannya. Sepulang sekolah gak boleh ada yang kabur, semuanya harus ngepel seluruh koridor sekolah ini!" tegas Pak Surya, mutlak dan tak terbantahkan.
"Hah?!" 3 Diantaranya menganga, termasuk Rega.
"Apa?!" Ferdi ikut cengo, meski agak terlambat.
Selanjutnya suara 'Brukk' membuat 5 masang mata disana mengarah pada Adit yang sudah terkapar mengenaskan. Adit koid. Ralat, pura-pura pingsan.
"Berdiri yang bener! Atau saya tambahin lagi hukumannya!"
Spontan Adit berdiri tegak, ke empat temannya mulai misuh-misuh menyalahkan satu sama lain.
💤💤💤
2 Jam berlalu, tak ada satu kalimat atau barangkali satu kata yang menyangkut diotak Luna setelah guru geografi menjelaskan materi panjang kali lebar dan berlalu pergi setelahnya.Seolah kehabisan baterai, Luna menjatuhkan kepalanya ke meja, matanya mulai terasa berat. Niatnya ingin tidur sebentar, tapi kondisi kelasnya yang sedang tak terkendali membuat Luna tak bisa memejamkan matanya dengan tenang.
Iva yang duduk disebelah kursinya sibuk bersama buku novelnya. Jika tengah fokus gadis itu memang sulit sekali diganggu.
Berdirinya ketua kelas didepan kemudian mengetuk meja dua kali sukses mengambil alih seluruh atensi setiap makluk disana, termasuk Luna meskipun matanya setengah tertutup.
"Untuk pelajaran Biologi. Gurunya izin gak bisa mengajar hari ini karena ada urusan mendesak."
Kurang dari 5 detik, sorak-sorai gembira menggema dilangit-langit kelas IPA 3 setelah pernyataan dari sang ketua kelas, Revian.
Luna pun dengan lega bisa sepenuhnya menutup mata, berselancar menuju alam mimpinya.
Tapi tak bertahan lama saat tiba-tiba sosok tak diundang datang dengan suara baritonnya.
"Berisik! Jam kosong bukan berarti bisa bebas gitu aja! Kerjain tugas yang dikasih, jangan ganggu kelas-kelas lain yang lagi fokus belajar!"
Sumpah serapah dari setiap penghuni kelas tak dapat terealisasikan. Mereka hanya mendengus pasrah. Mulai duduk menghampiri kursi nya masing-masing dan melakukan hal yang diperintahkan.
"Yeuuu... dasar sombong! Mentang-mentang ketua OSIS!" cibir Luna kesal. Iva terkekeh melihat wajah masam Luna yang terpaksa harus menegakkan tubuhnya. Mengeluarkan buku paketnya dengan heboh sembari melempar tatapan penuh dendam pada cowok yang berdiri diambang pintu kelas, kemudian setelahnya berlalu.
Luna menghela nafas panjang, kenapa manusia-manusia disekitarnya harus seribet ini? Begitu pikirnya.
"Yang namanya Luna, ikut gue." Luna mendongak saat suara milik cowok yang berlalu tadi, kini tepat didepan matanya.
To Be Continue...
Ada yang aneh saat Barra Savian Rahardi si Ketua OSIS SMA Taruna Bangsa atau lebih dikenal kulkas berjalan lengkap dengan wajah datarnya tiba-tiba meminta Luna mengikutinya.Dahi Luna mengerut samar, menatap Barra disampingnya seolah bertanya kemana laki-laki itu akan membawanya. Tapi respon yang didapat hanya tampang datar yang menyebalkan. Tangan Luna rasanya gatal, bawaannya pengen nyakar!"Setidaknya lo ngomong dulu mau bawa gue kemana?" tanya Luna pada akhirnya. Dia menghentikan langkahnya, begitu pun Barra."Lo disuruh datengin Pak Juan. Mending lo jalan buruan," titah Barra mendorong bahu Luna pelan agar berjalan lebih dulu, sebuah perlakuan yang cukup membuatnya terkejut.Luna mencibir sembari meniup poninya yang sedikit lepek. Melangkah menyusuri koridor yang cukup sepi sebab ini masih jam pelajaran dan para guru pastinya sedang mengajar.Barra melirik sepatu Luna yang talinya tidak diikat, salah satu kebiasaannya sejak dulu yang ta
Tiga orang itu saling melirik satu sama lain. Suasananya berubah kaku, Luna beberapa kali diam-diam menarik ujung seragam Opet disampingnya, bermaksud meminta bantuan. Wajahnya mulai terlihat gelisah, tapi entah kenapa Opet sama sekali tidak menyadarinya. Sejatinya Opet juga bingung harus berbuat apa, apalagi mendapat tatapan intens dari Pak Juan seperti ini.Rasanya seperti tengah diintrogasi guna mendapat izin dari mertua."Jika sekali dua kali setidaknya masih bisa saya toleransi."Opet meneguk ludahnya sendiri, sebelumnya ia juga sudah menduga hal ini akan terjadi. Ditatapnya Pak Juan setenang mungkin."Tapi jika terus-terusan seperti ini, artinya semua nilai-nilai kamu itu tidak murni, Aluna." Pria berkaca mata itu lantas menatap Luna prihatin."Tapi saya yang kerjain kok pak," sambar Luna dengan nada memelas.Pak Juan mengernyit bingung, tak yakin dengan pernyataan Luna barusan. "Jadi yang benar, kamu yang kerjain apa Rio yang kerjain?
Drtt... drtt... drtt...Getaran yang bersumber dari saku roknya membuat Luna tersentak ditengah kantuknya yang semakin merajalela. Gadis itu menguap lebar engan menutup mulut. Melirik sekilas pada guru yang sedang menjelaskan materi didepan kelas sebelum mengecek siapa yang mengiriminya pesan.Opet💩| Abis bel pulang, gue ada kumpulan osis dulu| Lo tungguin bentar ya| Kalo kelamaan, duluan jg gppMe|Gue tungguin deh dikelasOpet💩| WokehLuna menghela nafas panjang. 1 jam lagi bel pulang berbunyi, sejak tadi yang menjadi perhatiannya adalah memastikan jarum jam terus bergerak yang entah mengapa berjalan begitu lambat."Yang dibelakang bisa perhatikan ke depan?"Luna masih tak sadar ketika guru didepan kelas berbicara padanya. Gadis itu malah menatap keluar jendela, kelewat malas untuk menyimak segala materi. Omongan Luna tadi nyatanya tak benar-benar dapat ia pegang."Lun... Pak Yogi ngomong sama kamu,"
Baru saja kakinya melangkah pada undakan tangga ke-3. Suara mengintrupsi dari belakang menghentikan gerakan Rega. Laki-laki itu memejamkan matanya sebentar sebelum akhirnya memutar tubuh menatap sosok pria yang masih mengenakan setelan kerjanya. Gurat wajah lelah tercetak jelas disana, meski kini pria itu menatapnya tajam.Berharap mendapat sambutan hangat? Menginjakkan kakinya dirumah ini saja Rega sudah cukup muak.Ini baru pukul 8, Rega pikir Papanya belum pulang. Biasanya pria itu sampai dirumah pukul 9 atau bahkan tengah malam."Baru pulang kamu? Kenapa sekalian aja gak usah pulang?!"Rega hanya diam kala ucapan dengan nada tinggi itu menelusup masuk gendang telinganya. Menciptakan gema yang entah mengapa mendengung cukup lama. Seolah sengaja diulang-ulang, dan rasanya menghantarkan sesak yang perlahan menjelma menjadi luka baru yang menghiasi relung hatinya."Saya sekolahin kamu bukan buat jadi berandalan. Hobinya kelayapan, disekolah bisanya
Dibalik tembok, bersama kepulan asap rokok yang mengepul. Laki-laki itu duduk dengan nyaman, tersenyum sembari mendongakkan kepalanya, menatap rembulan yang menyinarinya wajahnya yang sekilas terlihat baik-baik saja meski pada beberapa tempat tampak lebam, tapi rupanya ia tak cukup peduli. Selain karena terbiasa, ia tak tahu harus bagaimana."Aaaa... sakit! Pelan-pelan dong!"Laki-laki itu tersenyum geli mendengar keributan dari sebuah kamar. Bagaimana setiap jeritan yang melengking dari salah satu diantara mereka mampu membuatnya tertawa dalam diam. Sejenak, ia seolah lupa perihal kejadian beberapa saat lalu."Lo gak tau rasanya gimana! Aaaa... Kampret! Gue bilang pelan-pelan!" jeritnya lagi.Rega, laki-laki itu kembali menghisap benda bernikotin yang terselip diantara dua ruas jarinya. Ini sudah puntung ke-3, tapi seolah lupa diri Rega tak tahu kapan akan berhenti.Untuk malam ini saja, ia ingin semua berlalu sebagaimana mustinya. Tak ada bentakan, pe
Dikelasnya, Opet bertopang dagu menatap lurus papan tulis. Tak biasanya, kali ini ia tak dapat fokus menyimak pelajaran. Entah apa yang dipikirkannya kala itu, yang pasti ia ingin segera pulang, demikian penasaran dengan apa yang Luna lakukan dirumahnya. Walaupun ia sudah cukup tahu apa yang akan dilakukan gadis itu selain rebahan dikasur sembari memakan cemilan yang bercecer dan laptop yang menampilkan anime atau drakor kesukaannya."Ngelamun aja lo, Pet." Banyu disampingnya yang sejak tadi sibuk konser tanpa suara menyentak Opet. Membuat Laki-laki itu kelabakan lantas mengusap wajahnya dengan kedua tangan."Mikirin apa, sih lo?" Opet mengelang pelan, mendapat respon seperti itu Banyu hanya dapat mendengus pelan."Kayaknya gue perlu ke toilet dulu deh," ujar Opet."Mau boker lo?" Banyu mendelik. "Yaudah sono, jan lupa cebok.""Yeuu... si kampret!" Opet menonyor pelan kepala Banyu sebelum menegakkan tubuhnya.Begitu Opet meminta izin lantas setela
"Maksud lo apa kayak gini sama Iva?" Opet menatap tajam gadis dihadapannya yang seketika mati kutu. Melirik gadis disampingnya yang tampak berantakan, memungut kaca matanya yang sudah retak sebagian. "Lo gak apa-apa kan?" Iva mengangguk pelan sebagai jawaban sembari menerima kacamatanya kembali. Karina berdecak tak suka. Mendelik kesal pada Iva yang berusaha menyeka air matanya yang tanpa henti mengalir begitu saja. "Drama!" hardiknya dengan nada rendah. "Jadi gini kelakuan anak kepala sekolah yang terhormat itu?" Laki-laki itu kembali menatap Karina tajam, suaranya dingin namun terdengar mencekam. Kedua antek-antek Karina menunduk gentar tak berani menatap Opet. "Gue cuma-" "Cuma apa?" sela Opet cepat. Karina lagi-lagi dibuat diam. "Ternyata selama ini begini kelakuan lo. Berbuat semena-mena dan menindas orang-orang kayak Iva barusan." Karina bersedap dada, gadis itu menyelipkan anak rambut yang menghalangi wajahnya. "Udahlah, l
"Arghhh... lo gendong gue yang bener dong. Segitu gak terimanya menderita bentar!" Luna mendorong Rega geram begitu laki-laki itu menurunkan tubuhnya tanpa aba-aba, padahal jarak menuju rumahnya masih cukup jauh. "Kalo aja lo gak teriak-teriak dikuping, gue gak masalah!" omel laki-laki itu sembari mengusap-usap telinganya yang memerah. "Ck, dasarnya tukang onar tuh ya gini," geram Luna. "Gak tau diri!" Rega menepis lengan Luna yang memegangi bahunya guna menyesuaikan keseimbangan. Gadis itu mendesis lantas berjalan tergopoh setengah terpincang mendahuluinya menghampiri Opet dan Iva. Dua orang itu terheran menatap kedatangan Luna dari arah belakang yang terengah-engah. "Kalian habis dari mana?" tanya Opet pada Luna. Disisi lain Luna menghela napas lega saat gadis yang dibonceng Opet ternyata Iva yang mana sudah berjanji akan kerumahnya kala itu. Entah mengapa ia sedikit tidak rela jika seandainya itu orang lain. Ehm... mungkin lebih tepatnya ji