Hening, dua orang yang berjalan beriringan itu hanya bungkam, tenggelam dengan pikiran mereka masing-masing. Rega melirik Iva sekilas, cewek kaku itu hanya menunduk.
Rencananya ia akan mengantarkan Iva pulang, namun sebelumnya ia harus pergi ke rumah Adit untuk mengambil motornya yang tinggalkannya disana semalam. Selain itu ia juga harus berpamitan dan berterima kasih pada Adit telah bersedia menampungnya untuk semalam. Walau laki-laki itu selalu mengatakan Rega bebas ingin menginap berapa lama pun tak masalah.
"Padahal lo bisa nunggu dirumah Luna," gumam Rega memecah sunyi.
Cowok yang kini berhiaskan plaster dipelipisnya itu mendongak. Memandang semburat orange yang mulai menghiasi angkasa, tanpa awan yang beberapa waktu lalu membuatnya tampak abu-abu.
Iva tak menjawab, bingung harus mengatakan apa. Ia gugup saat mata elang Rega kini menatapnya intens. Jika diingat-ingat lagi, mungkin ini pertama kalinya Rega berbicara padanya wa
Rega luar biasa terkejut saat mendapati laki-laki yang tetiba saja berdiri mencegat laju motornya, memaksanya mengerem secara mendadak. Seandainya tidak tepat waktu, Rega pastikan ban motornya akan melukai kaki laki-laki itu. Menghela nafas lega, Rega melirik wajah si biang kerok yang tampak temaram disinari cahaya bulan. "Cari mati lo?" tanyanya dengan intonasi dalam meredam kesal. Apalagi mendapati wajah laki-laki itu yang tetap kelem, seolah hal barusan bukanlah masalah besar. "Lo yang cari mati, mau kemana lagi habis ini?" laki-laki pemilik wajah datar itu menatap Rega mengintimadasi, terlebih plaster dipelipis yang menarik perhatiannya. Apa itu salah satu ulah Prahardi? begitu pikirnya. "Loncat dari atas jembatan. Ngapain nanya? Sok perhatian amat." Rega melengos tak ramah. Ralat, selalunya seperti itu jika berhadapan dengan Bara. "Bokap lo gak ada dirumah," kata Bara sesaat sebelum melangkahkan kakinya melewati Rega yang tercenung mencerna
"Opet liat gue, dong! Lo kenapa sih. Tadi istirahat juga gak ajak gue ke kantin. Gue belum makan tau, gue laper!" rengek Luna, mulai geram mendapati sikap Opet yang engan berbincang atau bahkan sekedar menatapnya lewat kaca spion. Beberapa kali laki-laki itu membuang mukanya seolah-oleh sengaja menghindari tatapan Luna.Gadis itu memukul bahu Opet cukup keres sebagai bentuk kekesalannya. Bagaimanapun Luna butuh penjelasan atas sikap Opet yang tiba-tiba seperti ini, setidaknya Opet mengatakan apa yang salah darinya. Bukan diam seribu bahasa dan membuat Luna dirundung ribuan pertanyaan tanpa jawaban dan merasa bersalah tanpa alasan."Gue lagi nyetir, Lun!" sahut Opet akhirnya meski dengan nada ketus.Luna mencebik kesal, menarik keatas kaca helmnya. Kepalanya menjulur lebih dekat agar Opet bisa mendengar suaranya dengan jelas. "Setidaknya ngomong apa kek. Jangan cuma hmm... doang. Bilang kalo gue punya salah sama lo!" cetusnya berapi-api kemudian setelahnya
"Aku minta putus.""Putus? Kenapa?""Kamu pikir aku gak tahu berapa banyak cewek simpanan kamu!""Harusnya tau si.""Aku kira aku bisa jadi cewek yang lebih spesial buat kamu. Jadi satu-satunya yang bisa tahan lama. Tapi ternyata bener kata meraka, kamu tuh berengsek.""Salah sendiri gak mau dengerin mereka.""Aku gak tahan lagi sama kamu, pokoknya aku minta putus.""Oke, kita putus.""Kamu berengsek, Alvi!"PlakkkAlvian melirik pipinya yang dihiasi ruam kemerahan yang tak begitu kentara lewat kaca spion motornya. Bersyukur wajah tampannya tidak dicakar gadis beberapa saat lalu yang menemuinya hanya untuk mengatakan kata putus diantara keduanya.Tadinya, jika tahu seperti ini Alvian tidak akan repot-repot pergi keluar untuk menemuinya. Bahkan tanpa kata putus sekalipun, hubungan mereka bisa berakhir begitu saja tanpa kata-kata. Betina memang merepotkan, batin Alvian.Mata elang laki-laki
Pagi selalu jadi waktu paling memuakkan bagi Luna. Selain kedua matanya yang terasa berat dan sulit untuk sepenuhnya terbuka, ia tidak suka dilibatkaan dalam setiap hal yang mendorongnya untuk banyak melakukan kegiatan. Sesederhana apapun hal yang ia lakukan, selalu saja ada keluhan yang terlontar. Luna sadar kelak sikapnya tersebut akan menjadi bumerang atas setiap ketertinggalannya dalam hal apapun, lantas membuatnya dituntut lebih keras untuk bergerak maju. Luna hanya merasa ia belum menemukan momentum yang tepat untuk berubah. Entah kapan, namun suatu saat Luna tahu ia harus berubah."Kemana si, perasaan gue taro disini. Gak mungkin kan kaos kaki gue bisa jalan-jalan sendiri buat ngumpet?"Gadis yang sepertinya lupa menyisir rambut itu duduk lesehan didepan rak sepatu. Matanya menyisir setiap rak, mencari sebelah kaos kakinya yang entah kemana.“Bang, kaos kaki gue yang sebelahnya lagi kemana?” Luna menghampiri Alvian didapur yang sibuk denga
Kenyataannya, Luna tidak benar-benar pingsan. Sebelumnya gadis itu hanya ingin beristirahat sejenak dengan membaringkan tubuhnya dipinggir lapangan setelah menyelesaikan hukuman. Namun hal itu justru menimbulkan prasangka bahwa dirinya tak sadarkan diri.Luna tak bisa berkutik saat banyak orang-orang mulai mengerumuni dan mengira dirinya pingsan. Tak ingin menanggung malu, maka Luna melanjutkan aksinya. Ia sedikit terkejut saat seseorang membopongnya pergi dari lapangan. Lantas tersenyum dalam diam saat tahu orang itu adalah Opet. Opet datang diwaktu yang tepat."Jadi lo gak pingsan?" tanya Opet, terperangah begitu melihat Luna tersenyum lebar tanpa rasa bersalah sedikitpun diatas ranjang ruang kesehatan."Gak, gue cuma lemes." Luna mengelang singkat. "Jadi barusan itu apa?" Opet berkacak pinggang, menuntut pengakuan Luna."Orang lain ngira gue pingsan. Mana pipi gue udah digebuk-gebuk. Daripada nanggung malu gue lanjut pura-pura pingsan aja kan?"
"Walau kata orang hidup gue ini gak begitu punya manfaat, but this is my life. Ciptakanlah bahagiamu sendiri jika tak menemukannya pada orang lain. Jangan, pokoknya jangan tiru gue!" - Aluna Sesat💤💤💤TOLOOONG... !!!Jangan berfikir sedang ada adegan action yang menegangkan. Ini cuma jeritan batin seorang gadis yang masih betah diatas kasurnya. Namanya Luna, gak pake Lucinta. Lebih tepatnya Aluna Meysha Jovita.Jarum jam baru saja menunjukkan pukul 7, setidaknya Luna butuh dua jam lagi untuk hibernasi di hari minggu yang selalu dia nanti-nanti. Tapi rencana itu gagal oleh alunan musik I was king milik One Ok Rock dari ruangan sebelah yang diputar dalam volume diatas rata-rata.WHEN I WAS KING...I WAS KING...Musik masih setia mengalun. Curiga si pelaku yang tak lain adalah kakaknya sendiri kehilangan nurani untuk tidak tanggung-tanggung membuat kuping seluruh penghuni komplek budek berjamaah seraya mengusap dada beruca
2 tahun lalu, tepatnya saat Luna baru saja menginjak bangku SMA. Setidaknya Luna lebih terurus sebab ada sosok sang Bunda yang tak bosan mengomelinya. Mulai dari penampilan, kebiasaan buruk, jam makan semuanya tak lepas dari perhatian bunda.Namun setelah Bunda meminta berpisah dengan ayah dan memilih menetap di Bali bersama pasangan barunya. Luna menjadi gadis yang sekarang, tak begitu peduli akan penampilan dan lingkungan sekitar, termasuk perihal apa yang orang katakan tentang dirinya."Jaga diri baik- baik, ya. Kamu udah gede, harus udah bisa perhatiin diri kamu sendiri." Ucapan Bunda masih teringat jelas dibenak Luna saat wanita itu kemudian menyeret kopernya dibandara, meninggalkannya dengan mata berkaca-kaca.Bunda, wanita yang Luna anggap sebagai sosok paling setia yang akan menemaninya kapan saja dikala suka dan duka nyatanya kini menjadi penyebab utama atas segala sikap yang dilakoninya.Luna patah, parahnya lagi jatuh. Tapi ia beruntung pada
Menjelang pukul 5 sore, Luna dan Opet memutuskan untuk pulang. Tapi dipertengahan jalan, tak ada angin tak ada hujan Jenie tiba-tiba ngambek, alias mogok. Memaksa keduanya mau tak mau mendorong benda itu sepanjang sisa perjalanan."Motor jelek. Nyusahin aja bisanya!" hardik Luna. Kakinya menendang ban motor Opet kesal, setelahnya mengaduh kesakitan."Mampus lo," cerca Opet tersenyum puas.Luna lantas melepas helm dikepalanya brutal, rambutnya yang berantakan tak berniat ia rapikan. "Sial, sial, sial! Semuanya gara-gara lo! Andai aja tadi gue gak ikut.""Terus, salahin aja gue." Opet ikut geram.Gadis itu menatap nyalang sahabatnya. "Emang salah!" bentaknya, kemudian berlalu begitu saja melewati Opet."Eh, eh, mau kemana? Bantuin dorong ini woyyy!" seru Opet. Luna memutar tubuhnya ogah-ogahan. Penampakannya lusuh, tapi siapa peduli."Males! Gue mau cari ojek aja!" pungkasnya sembari mengedarkan pandangan.Opet mendengus kasar, agaknya l