Menjelang pukul 5 sore, Luna dan Opet memutuskan untuk pulang. Tapi dipertengahan jalan, tak ada angin tak ada hujan Jenie tiba-tiba ngambek, alias mogok. Memaksa keduanya mau tak mau mendorong benda itu sepanjang sisa perjalanan.
"Motor jelek. Nyusahin aja bisanya!" hardik Luna. Kakinya menendang ban motor Opet kesal, setelahnya mengaduh kesakitan.
"Mampus lo," cerca Opet tersenyum puas.
Luna lantas melepas helm dikepalanya brutal, rambutnya yang berantakan tak berniat ia rapikan. "Sial, sial, sial! Semuanya gara-gara lo! Andai aja tadi gue gak ikut."
"Terus, salahin aja gue." Opet ikut geram.
Gadis itu menatap nyalang sahabatnya. "Emang salah!" bentaknya, kemudian berlalu begitu saja melewati Opet.
"Eh, eh, mau kemana? Bantuin dorong ini woyyy!" seru Opet. Luna memutar tubuhnya ogah-ogahan. Penampakannya lusuh, tapi siapa peduli.
"Males! Gue mau cari ojek aja!" pungkasnya sembari mengedarkan pandangan.
Opet mendengus kasar, agaknya lelah menghadapi makhluk spesies macam Luna. "Gak perlu, nanggung bentar lagi juga nyampe. Gak usah manja!"
"Ikhh... capek Opet!" keluh gadis itu sembari menghentak-hentakkan kakinya. Selanjutnya ia mendudukkam pantatnya ditrotoar tanpa ambil peduli. Persis seperti anak kecil yang sedang ngambek. Tolong, Opet jadi malu!
Opet mendesah pelan, Luna jauh lebih merepotkan daripada Jenie.
Beberapa pengendara yang melintas menatap keduanya bergantian. Mengulum bibir menduga spekulasi-spekulasi apa yang terjadi diantara mereka.
"Jangan lesehan disitu. Nanti orang ngira lo gembel beneran. Yuk pulang, bentar lagi udah mau magrib nih." Ajak Opet begitu berdiri dihadapan Luna.
"Gue gak mau jalan lagi, pegel."
Mencoba lebih bersabar, Opet ikut mendudukkan dirinya disamping Luna. Semburat Orange yang mulai menghiasi langit Jakarta tampak indah sore itu, begitu pula lampu-lampu jalan yang mulai menyala disepanjang jalan. Tapi berbagai kegiatan rupanya masih berjalan seolah mereka tak peduli akan waktu dan hari yang akan segera berakhir.
"Opet."
"Hmmm..." Opet bergumam membalas panggilan gadis itu. Pandangannya asik mengedar pada segala kegiatan disekitar, begitu juga Luna.
Gadis itu menghela nafasnya panjang, dagunya bertopang pada kedua telapak tangan yang bertumpu pada lututnya. "Tau kenapa gue gak suka jadi sibuk ataupun suka sama orang-orang sibuk?"
Opet disampingnya bergeming, menatapnya sekilas, membiarkan Luna berbicara lebih dulu.
"Mereka itu munafik. Kayak ayah yang jarang banget dirumah dan terus-terusan kerja. Entah dia lupa atau gak tau letak kebahagiaan anak-anaknya itu bukan sekedar bisa dibeliin apapun. Tapi dengan adanya mereka disamping kita itu udah bisa bikin mereka senang," ungkap Luna dengan lugas tanpa ragu mengatakannya pada Opet.
Opet hanya mengagguk-anggukan kepalanya pelan. Ia paham apa yang selalu Luna rasakan dengan kondisi keluarga yang tak lagi utuh. Luna kesepian. Dan kesibukan orang-orang disekitarnya kerap kali membuat kesendirian dan sunyi dalam jiwanya itu hinggap.
"Waktu bunda milih pergi, Ayah jadi sombong. Berlagak nyaman dengan apa yang ia lakukan, padahal sebaliknya dia capek lakuin itu. Tapi didepan orang lain dia seolah bangga. Munafik' kan."
Tercipta hening diantara keduanya untuk beberapa saat selain dari bising suara kendaraan yang berlalu lalang didepan mata.
"Namanya juga hidup Lun. Semua manusia dituntut kerja keras buat memenuhi hidupnya. Begitu pula mengesamping kebahagiaan."
Luna melirik Opet lewat sudut matanya, mencerna setiap ucapan laki-laki itu dengan baik.
"Contohnya kayak kakek itu, gue tebak dari pagi dia udah dorong-dorong gerobak penuh sampah itu." Dagunya menunjuk seorang pria tua yang berdiri dekat tiang lampu jalan, disampingnya terdapat gerobak penuh kardus-kardus bekas dan beberapa kantong sampah. Luna menatapnya nanar.
"Sekarang dia bisa senyum karena bisa pulang dan dapetin beberapa peser uang buat kebutuhan keluarganya barangkali." Lanjut Opet.
"Seharusnya kakek itu gak layak buat kerja," Luna menimpali, suaranya berubah lirih.
Opet tersenyum tipis tanpa sebab. "Situasi yang menuntut mereka buat kerja keras Lun. Sama kayak ayah lo, dia mau yang terbaik buat lo walaupun caranya bikin lo kesepian. Seandainya ayah lo gak mampu lagi buat kerja, lo mau apa?"
Luna bungkam. Ia kehilangan kata-kata, tatapan matanya sepenuhnya mengarah pada Opet yang tersenyum, menunggu jawabannya.
"Ayah bilang, hartanya cukup buat tujuh turunan. Apalagi kalo gue numpang hidup sama lo, otomatis gue bisa tambah kaya dari hasil morotin lo."
Tawa renyah Opet sukses mengundang beberapa pasang mata disekitarnya. Laki-laki itu menatap Luna geli setelah mendengar jawabannya. "Yeuuu... dasar matre lo!"
Luna hanya diam dengan senyuman dibibirnya. Namun sedetik ucapan selanjutnya yang ia keluarkan berhasil membuat Opet tertegun.
"Makasih pet. Lo mau selalu ada buat gue. Makasih juga lo selalu mengesampingkan kesibukan lo biar bikin hidup gue gak gabut. Gue akui lo... sahabat terbaik gue."
Pfffttt...
Luna spontan menutup hidungnya. "Buset, polusi apa nih baunya kayak gini, busuk!"
Opet terkikik sembari menegakkan tubuhnya. "Ini pertanda kita harus buru-buru pulang."
"Opet! Kentut lo bau!" rengek Luna menampol keras pantat Opet hingga membuat laki-laki itu terjingkat.
Ditengah adegan itu berlangsung, sebuah pengendara motor yang berlalu tiba-tiba saja membunyikan klakson nyaring dengan sengaja.
Tittttt...
Luna terperanjat. "Kampret! Semprul lo!" celanya.
Si pengendara motor lantas menghentikan laju motornya tak jauh dari tempat Luan beridiri. Menurunkan kaca helm full facenya guna membalas tatapan tajam Luna.
"Kasian, mogok ya?" tanyanya dengan nada mengejek. Menyeringai dibalik helmnya.
Luna bersedekap dada, berdecih kesal menatap laki-laki itu.
"Iya! Apa urusannya sama lo!"
Laki-laki itu menatap Opet sekilas yang memasang wajah datar, beralih pada Luna yang wajahnya sudah merah padam.
"Yang sabar Lun. Dorong terus sampe rumah. Gue cuma mau bilang, Mam-pus!"
Luna marah, tangannya terkepal kuat.
"Rega! Gue doain lo nyungsep!" Teriak Luna kemudian, gadis itu meraih kaleng bekas dipinggir trotoar yang tak sengaja ia temukan.
"Udah lah Lun. Gak usah diladenin." Tahan Opet mencekal lengan Luna sebelum benda itu benar-benar dilemparnya yang ditakutkan malah salah sasaran.
"Lagian gak ada kerjaan amat ledekin orang!"
💤💤💤
Luna melempar kantong berisi buku yang dibelikan Opet ke atas kasur asal, disusul tubuhnya yang ikut terlentang begitu saja.Kakinya yang menggantung bergerak-gerak kecil. Sudut bibirnya tertarik ke atas tanpa sebab. Mengingat hari minggu yang dilewatinya kali ini dengan Opet cukup berkesan. Walaupun beberapa kali ia sempat kesal.
Ting!
Suara notifikasi pesan masuk.
Abang Kampret
| Lun nyalain lampu-lampu depan| Gue pulang agak malemamMe| Gak usah pulang sekalianLuna memutar bola matanya jengah. Mengingat ucapan Alvian tadi bukankah akan pulang sore, tapi nyatanya lebih dari sore.Abang Kampret
| Adek biadapLuna tak lagi membalas pesan Alvian. Gadis itu memilih melangkahkan kakinya ke balkon kamar dan bukannya segera melakukan hal yang diperintahkan sang kakak.
Kepalanya celingukan membidij pada kamar Opet yang bersebrangan dengannya. Gorden jendalanya sedikit terbuka. Tak sengaja Luna mengintip Opet yang hendak membuka bajunya. Sontak Luna menutup mata dengan telapak tangannya cepat, begitu pula Opet yang menyadarinya buru-buru mengenakan baju.
Suara jendela dibuka. Opet melangkahkan kakinya keluar. "Ngintip gue lo ya?"
"Gak sengaja!" elak Luna.
"Heleh, memangnya selama ini gue gak tau apa. Otak lo mesum kan?" selidiknya sembari bersedekap dada.
"Dih, fitnah! Apa buktinya?" Luna tak terima.
"Buktinya tadi lo nepuk-nepuk pantat gue. Terus barusan intip gue lagi buka baju."
Luna geram, bisa-bisanya Opet menuduhnya yang tidak-tidak.
"Heh Opet! Gak usah sok suci deh. Lo bahkan pernah cuma pake bokser lari-lari sama gue waktu bocah."
Opet tersenyum kikuk, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "I-itu kan bocah. Sekarang kita udah gede."
"Anu lo gede juga gak?"
Pertanyaan ambigu itu membuat Opet melotot. "Heh Markonah! Gue aduin abang lo ya!"
"Aduin apaan? Gue buat salah apa? Nah kan, sekarang siapa yang otaknya mesum!"
Disisi lain, seseorang berdiri tak jauh memperhatikan keduanya tanpa Luna ataupun Opet sadari. Ia berdecih menangkap gelak tawa Luna yang menggema.
To Be Continue...
Hari Senin, katakan saja ini hari yang hampir semua orang benci. Pasalnya segala kegiatan dimulai kembali, harapnya ingin cepat-cepat hari minggu lagi. Dan siapapun tak bisa menghindar dari segala kesibukan yang ada, termasuk si pemalas sekalipun.Barisan siswa dipinggir lapangan itu mulai tak enak dipandang. Beberapa dari mereka mendesah gerah kepanasan, mencibir sang kepala sekolah yang tak berhenti berbicara diatas mimbar, padahal isinya sama seperti senin-senin sebelumnya."Telen aja sekalian itu mic.""Dia emang niat siksa kita biar jadi ikan asin.""Ketek gue udah banjir keringat ini.""Andai upacara bisa bawa payung.""Mengadi-ngadi kau!""Mending kalo liat Oppa yang glowing mar kinclong, lah ini tua-tua keladi haus perhatian.""Jangan kenceng-kenceng ngomongnya nanti kedengeran!"Kira-kira seperti itulah gerutuan yang keluar dari setiap mulut murid-murid yang mana lebih didominasi perempuan, sisanya pasrah menunggu kuasa
Ada yang aneh saat Barra Savian Rahardi si Ketua OSIS SMA Taruna Bangsa atau lebih dikenal kulkas berjalan lengkap dengan wajah datarnya tiba-tiba meminta Luna mengikutinya.Dahi Luna mengerut samar, menatap Barra disampingnya seolah bertanya kemana laki-laki itu akan membawanya. Tapi respon yang didapat hanya tampang datar yang menyebalkan. Tangan Luna rasanya gatal, bawaannya pengen nyakar!"Setidaknya lo ngomong dulu mau bawa gue kemana?" tanya Luna pada akhirnya. Dia menghentikan langkahnya, begitu pun Barra."Lo disuruh datengin Pak Juan. Mending lo jalan buruan," titah Barra mendorong bahu Luna pelan agar berjalan lebih dulu, sebuah perlakuan yang cukup membuatnya terkejut.Luna mencibir sembari meniup poninya yang sedikit lepek. Melangkah menyusuri koridor yang cukup sepi sebab ini masih jam pelajaran dan para guru pastinya sedang mengajar.Barra melirik sepatu Luna yang talinya tidak diikat, salah satu kebiasaannya sejak dulu yang ta
Tiga orang itu saling melirik satu sama lain. Suasananya berubah kaku, Luna beberapa kali diam-diam menarik ujung seragam Opet disampingnya, bermaksud meminta bantuan. Wajahnya mulai terlihat gelisah, tapi entah kenapa Opet sama sekali tidak menyadarinya. Sejatinya Opet juga bingung harus berbuat apa, apalagi mendapat tatapan intens dari Pak Juan seperti ini.Rasanya seperti tengah diintrogasi guna mendapat izin dari mertua."Jika sekali dua kali setidaknya masih bisa saya toleransi."Opet meneguk ludahnya sendiri, sebelumnya ia juga sudah menduga hal ini akan terjadi. Ditatapnya Pak Juan setenang mungkin."Tapi jika terus-terusan seperti ini, artinya semua nilai-nilai kamu itu tidak murni, Aluna." Pria berkaca mata itu lantas menatap Luna prihatin."Tapi saya yang kerjain kok pak," sambar Luna dengan nada memelas.Pak Juan mengernyit bingung, tak yakin dengan pernyataan Luna barusan. "Jadi yang benar, kamu yang kerjain apa Rio yang kerjain?
Drtt... drtt... drtt...Getaran yang bersumber dari saku roknya membuat Luna tersentak ditengah kantuknya yang semakin merajalela. Gadis itu menguap lebar engan menutup mulut. Melirik sekilas pada guru yang sedang menjelaskan materi didepan kelas sebelum mengecek siapa yang mengiriminya pesan.Opet💩| Abis bel pulang, gue ada kumpulan osis dulu| Lo tungguin bentar ya| Kalo kelamaan, duluan jg gppMe|Gue tungguin deh dikelasOpet💩| WokehLuna menghela nafas panjang. 1 jam lagi bel pulang berbunyi, sejak tadi yang menjadi perhatiannya adalah memastikan jarum jam terus bergerak yang entah mengapa berjalan begitu lambat."Yang dibelakang bisa perhatikan ke depan?"Luna masih tak sadar ketika guru didepan kelas berbicara padanya. Gadis itu malah menatap keluar jendela, kelewat malas untuk menyimak segala materi. Omongan Luna tadi nyatanya tak benar-benar dapat ia pegang."Lun... Pak Yogi ngomong sama kamu,"
Baru saja kakinya melangkah pada undakan tangga ke-3. Suara mengintrupsi dari belakang menghentikan gerakan Rega. Laki-laki itu memejamkan matanya sebentar sebelum akhirnya memutar tubuh menatap sosok pria yang masih mengenakan setelan kerjanya. Gurat wajah lelah tercetak jelas disana, meski kini pria itu menatapnya tajam.Berharap mendapat sambutan hangat? Menginjakkan kakinya dirumah ini saja Rega sudah cukup muak.Ini baru pukul 8, Rega pikir Papanya belum pulang. Biasanya pria itu sampai dirumah pukul 9 atau bahkan tengah malam."Baru pulang kamu? Kenapa sekalian aja gak usah pulang?!"Rega hanya diam kala ucapan dengan nada tinggi itu menelusup masuk gendang telinganya. Menciptakan gema yang entah mengapa mendengung cukup lama. Seolah sengaja diulang-ulang, dan rasanya menghantarkan sesak yang perlahan menjelma menjadi luka baru yang menghiasi relung hatinya."Saya sekolahin kamu bukan buat jadi berandalan. Hobinya kelayapan, disekolah bisanya
Dibalik tembok, bersama kepulan asap rokok yang mengepul. Laki-laki itu duduk dengan nyaman, tersenyum sembari mendongakkan kepalanya, menatap rembulan yang menyinarinya wajahnya yang sekilas terlihat baik-baik saja meski pada beberapa tempat tampak lebam, tapi rupanya ia tak cukup peduli. Selain karena terbiasa, ia tak tahu harus bagaimana."Aaaa... sakit! Pelan-pelan dong!"Laki-laki itu tersenyum geli mendengar keributan dari sebuah kamar. Bagaimana setiap jeritan yang melengking dari salah satu diantara mereka mampu membuatnya tertawa dalam diam. Sejenak, ia seolah lupa perihal kejadian beberapa saat lalu."Lo gak tau rasanya gimana! Aaaa... Kampret! Gue bilang pelan-pelan!" jeritnya lagi.Rega, laki-laki itu kembali menghisap benda bernikotin yang terselip diantara dua ruas jarinya. Ini sudah puntung ke-3, tapi seolah lupa diri Rega tak tahu kapan akan berhenti.Untuk malam ini saja, ia ingin semua berlalu sebagaimana mustinya. Tak ada bentakan, pe
Dikelasnya, Opet bertopang dagu menatap lurus papan tulis. Tak biasanya, kali ini ia tak dapat fokus menyimak pelajaran. Entah apa yang dipikirkannya kala itu, yang pasti ia ingin segera pulang, demikian penasaran dengan apa yang Luna lakukan dirumahnya. Walaupun ia sudah cukup tahu apa yang akan dilakukan gadis itu selain rebahan dikasur sembari memakan cemilan yang bercecer dan laptop yang menampilkan anime atau drakor kesukaannya."Ngelamun aja lo, Pet." Banyu disampingnya yang sejak tadi sibuk konser tanpa suara menyentak Opet. Membuat Laki-laki itu kelabakan lantas mengusap wajahnya dengan kedua tangan."Mikirin apa, sih lo?" Opet mengelang pelan, mendapat respon seperti itu Banyu hanya dapat mendengus pelan."Kayaknya gue perlu ke toilet dulu deh," ujar Opet."Mau boker lo?" Banyu mendelik. "Yaudah sono, jan lupa cebok.""Yeuu... si kampret!" Opet menonyor pelan kepala Banyu sebelum menegakkan tubuhnya.Begitu Opet meminta izin lantas setela
"Maksud lo apa kayak gini sama Iva?" Opet menatap tajam gadis dihadapannya yang seketika mati kutu. Melirik gadis disampingnya yang tampak berantakan, memungut kaca matanya yang sudah retak sebagian. "Lo gak apa-apa kan?" Iva mengangguk pelan sebagai jawaban sembari menerima kacamatanya kembali. Karina berdecak tak suka. Mendelik kesal pada Iva yang berusaha menyeka air matanya yang tanpa henti mengalir begitu saja. "Drama!" hardiknya dengan nada rendah. "Jadi gini kelakuan anak kepala sekolah yang terhormat itu?" Laki-laki itu kembali menatap Karina tajam, suaranya dingin namun terdengar mencekam. Kedua antek-antek Karina menunduk gentar tak berani menatap Opet. "Gue cuma-" "Cuma apa?" sela Opet cepat. Karina lagi-lagi dibuat diam. "Ternyata selama ini begini kelakuan lo. Berbuat semena-mena dan menindas orang-orang kayak Iva barusan." Karina bersedap dada, gadis itu menyelipkan anak rambut yang menghalangi wajahnya. "Udahlah, l