Home / Fiksi Remaja / Miss Lazy / 3. Selalu Ada

Share

3. Selalu Ada

Menjelang pukul 5 sore, Luna dan Opet memutuskan untuk pulang. Tapi dipertengahan jalan, tak ada angin tak ada hujan Jenie tiba-tiba ngambek, alias mogok. Memaksa keduanya mau tak mau mendorong benda itu sepanjang sisa perjalanan.

"Motor jelek. Nyusahin aja bisanya!" hardik Luna. Kakinya menendang ban motor Opet kesal, setelahnya mengaduh kesakitan.

"Mampus lo," cerca Opet tersenyum puas.

Luna lantas melepas helm dikepalanya brutal, rambutnya yang berantakan tak berniat ia rapikan. "Sial, sial, sial! Semuanya gara-gara lo! Andai aja tadi gue gak ikut."

"Terus, salahin aja gue." Opet ikut geram.

Gadis itu menatap nyalang sahabatnya. "Emang salah!" bentaknya, kemudian berlalu begitu saja melewati Opet.

"Eh, eh, mau kemana? Bantuin dorong ini woyyy!" seru Opet. Luna memutar tubuhnya ogah-ogahan. Penampakannya lusuh, tapi siapa peduli.

"Males! Gue mau cari ojek aja!" pungkasnya sembari mengedarkan pandangan.

Opet mendengus kasar, agaknya lelah menghadapi makhluk spesies macam Luna. "Gak perlu, nanggung bentar lagi juga nyampe. Gak usah manja!"

"Ikhh... capek Opet!" keluh gadis itu sembari menghentak-hentakkan kakinya. Selanjutnya ia mendudukkam pantatnya ditrotoar tanpa ambil peduli. Persis seperti anak kecil yang sedang ngambek. Tolong, Opet jadi malu!

Opet mendesah pelan, Luna jauh lebih merepotkan daripada Jenie.

Beberapa pengendara yang melintas menatap keduanya bergantian. Mengulum bibir menduga spekulasi-spekulasi apa yang terjadi diantara mereka.

"Jangan lesehan disitu. Nanti orang ngira lo gembel beneran. Yuk pulang, bentar lagi udah mau magrib nih." Ajak Opet begitu berdiri dihadapan Luna.

"Gue gak mau jalan lagi, pegel."

Mencoba lebih bersabar, Opet ikut mendudukkan dirinya disamping Luna. Semburat Orange yang mulai menghiasi langit Jakarta tampak indah sore itu, begitu pula lampu-lampu jalan yang mulai menyala disepanjang jalan. Tapi berbagai kegiatan rupanya masih berjalan seolah mereka tak peduli akan waktu dan hari yang akan segera berakhir.

"Opet."

"Hmmm..." Opet bergumam membalas panggilan gadis itu. Pandangannya asik mengedar pada segala kegiatan disekitar, begitu juga Luna.

Gadis itu menghela nafasnya panjang, dagunya bertopang pada kedua telapak tangan yang bertumpu pada lututnya. "Tau kenapa gue gak suka jadi sibuk ataupun suka sama orang-orang sibuk?"

Opet disampingnya bergeming, menatapnya sekilas, membiarkan Luna berbicara lebih dulu.

"Mereka itu munafik. Kayak ayah yang jarang banget dirumah dan terus-terusan kerja. Entah dia lupa atau gak tau letak kebahagiaan anak-anaknya itu bukan sekedar bisa dibeliin apapun.  Tapi dengan adanya mereka disamping kita itu udah bisa bikin mereka senang," ungkap Luna dengan lugas tanpa ragu mengatakannya pada Opet.

Opet hanya mengagguk-anggukan kepalanya pelan. Ia paham apa yang selalu Luna rasakan dengan kondisi keluarga yang tak lagi utuh. Luna kesepian. Dan kesibukan orang-orang disekitarnya kerap kali membuat kesendirian dan sunyi dalam jiwanya itu hinggap.

"Waktu bunda milih pergi, Ayah jadi sombong. Berlagak nyaman dengan apa yang ia lakukan, padahal sebaliknya dia capek lakuin itu. Tapi didepan orang lain dia seolah bangga. Munafik' kan."

Tercipta hening diantara keduanya untuk beberapa saat selain dari bising suara kendaraan yang berlalu lalang didepan mata.

"Namanya juga hidup Lun. Semua manusia dituntut kerja keras buat memenuhi hidupnya. Begitu pula mengesamping kebahagiaan."

Luna melirik Opet lewat sudut matanya, mencerna setiap ucapan laki-laki itu dengan baik.

"Contohnya kayak kakek itu, gue tebak dari pagi dia udah dorong-dorong gerobak penuh sampah itu." Dagunya menunjuk seorang pria tua yang berdiri dekat tiang lampu jalan, disampingnya terdapat gerobak penuh kardus-kardus bekas dan beberapa kantong sampah. Luna menatapnya nanar.

"Sekarang dia bisa senyum karena bisa pulang dan dapetin beberapa peser uang buat kebutuhan keluarganya barangkali." Lanjut Opet.

"Seharusnya kakek itu gak layak buat kerja," Luna menimpali, suaranya berubah lirih.

Opet tersenyum tipis tanpa sebab. "Situasi yang menuntut mereka buat kerja keras Lun. Sama kayak ayah lo, dia mau yang terbaik buat lo walaupun caranya bikin lo kesepian. Seandainya ayah lo gak mampu lagi buat kerja, lo mau apa?"

Luna bungkam. Ia kehilangan kata-kata, tatapan matanya sepenuhnya mengarah pada Opet yang tersenyum, menunggu jawabannya.

"Ayah bilang, hartanya cukup buat tujuh turunan. Apalagi kalo gue numpang hidup sama lo, otomatis gue bisa tambah kaya dari hasil morotin lo."

Tawa renyah Opet sukses mengundang beberapa pasang mata disekitarnya. Laki-laki itu menatap Luna geli setelah mendengar jawabannya. "Yeuuu... dasar matre lo!"

Luna hanya diam dengan senyuman dibibirnya. Namun sedetik ucapan selanjutnya yang ia keluarkan berhasil membuat Opet tertegun.

"Makasih pet. Lo mau selalu ada buat gue. Makasih juga lo selalu mengesampingkan kesibukan lo biar bikin hidup gue gak gabut. Gue akui lo... sahabat terbaik gue."

Pfffttt...

Luna spontan menutup hidungnya. "Buset, polusi apa nih baunya kayak gini, busuk!"

Opet terkikik sembari menegakkan tubuhnya. "Ini pertanda kita harus buru-buru pulang."

"Opet! Kentut lo bau!" rengek Luna menampol keras pantat Opet hingga membuat laki-laki itu terjingkat.

Ditengah adegan itu berlangsung, sebuah pengendara motor yang berlalu tiba-tiba saja membunyikan klakson nyaring dengan sengaja.

Tittttt...

Luna terperanjat. "Kampret! Semprul lo!" celanya.

Si pengendara motor lantas menghentikan laju motornya tak jauh dari tempat Luan beridiri. Menurunkan kaca helm full facenya guna membalas tatapan tajam Luna.

"Kasian, mogok ya?" tanyanya dengan nada mengejek. Menyeringai dibalik helmnya.

Luna bersedekap dada, berdecih kesal menatap laki-laki itu.

"Iya! Apa urusannya sama lo!"

Laki-laki itu menatap Opet sekilas yang memasang wajah datar, beralih pada Luna yang wajahnya sudah merah padam.

"Yang sabar Lun. Dorong terus sampe rumah. Gue cuma mau bilang, Mam-pus!"

Luna marah, tangannya terkepal kuat.

"Rega! Gue doain lo nyungsep!" Teriak Luna kemudian, gadis itu meraih kaleng bekas dipinggir trotoar yang tak sengaja ia temukan.

"Udah lah Lun. Gak usah diladenin." Tahan Opet mencekal lengan Luna sebelum benda itu benar-benar dilemparnya yang ditakutkan malah salah sasaran.

"Lagian gak ada kerjaan amat ledekin orang!"

💤💤💤

Luna melempar kantong berisi buku yang dibelikan Opet ke atas kasur asal, disusul tubuhnya yang ikut terlentang begitu saja.

Kakinya yang menggantung bergerak-gerak kecil. Sudut bibirnya tertarik ke atas tanpa sebab. Mengingat hari minggu yang dilewatinya kali ini dengan Opet cukup berkesan. Walaupun beberapa kali ia sempat kesal.

Ting!

Suara notifikasi pesan masuk.

Abang Kampret

| Lun nyalain lampu-lampu depan

| Gue pulang agak malemam

Me

| Gak usah pulang sekalian

Luna memutar bola matanya jengah. Mengingat ucapan Alvian tadi bukankah akan pulang sore, tapi nyatanya lebih dari sore.

Abang Kampret

| Adek biadap

Luna tak lagi membalas pesan Alvian. Gadis itu memilih melangkahkan kakinya ke balkon kamar dan bukannya segera melakukan hal yang diperintahkan sang kakak.

Kepalanya celingukan membidij pada kamar Opet yang bersebrangan dengannya. Gorden jendalanya sedikit terbuka. Tak sengaja Luna mengintip Opet yang hendak membuka bajunya. Sontak Luna menutup mata dengan telapak tangannya cepat, begitu pula Opet yang menyadarinya buru-buru mengenakan baju.

Suara jendela dibuka. Opet melangkahkan kakinya keluar. "Ngintip gue lo ya?"

"Gak sengaja!" elak Luna.

"Heleh, memangnya selama ini gue gak tau apa. Otak lo mesum kan?" selidiknya sembari bersedekap dada.

"Dih, fitnah! Apa buktinya?" Luna tak terima.

"Buktinya tadi lo nepuk-nepuk pantat gue. Terus barusan intip gue lagi buka baju."

Luna geram, bisa-bisanya Opet menuduhnya yang tidak-tidak.

"Heh Opet! Gak usah sok suci deh. Lo bahkan pernah cuma pake bokser lari-lari sama gue waktu bocah."

Opet tersenyum kikuk, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "I-itu kan bocah. Sekarang kita udah gede."

"Anu lo gede juga gak?"

Pertanyaan ambigu itu membuat Opet melotot. "Heh Markonah! Gue aduin abang lo ya!"

"Aduin apaan? Gue buat salah apa? Nah kan, sekarang siapa yang otaknya mesum!"

Disisi lain, seseorang berdiri tak jauh memperhatikan keduanya tanpa Luna ataupun Opet sadari. Ia berdecih menangkap gelak tawa Luna yang menggema.


To Be Continue...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status