Ada yang aneh saat Barra Savian Rahardi si Ketua OSIS SMA Taruna Bangsa atau lebih dikenal kulkas berjalan lengkap dengan wajah datarnya tiba-tiba meminta Luna mengikutinya.
Dahi Luna mengerut samar, menatap Barra disampingnya seolah bertanya kemana laki-laki itu akan membawanya. Tapi respon yang didapat hanya tampang datar yang menyebalkan. Tangan Luna rasanya gatal, bawaannya pengen nyakar!
"Setidaknya lo ngomong dulu mau bawa gue kemana?" tanya Luna pada akhirnya. Dia menghentikan langkahnya, begitu pun Barra.
"Lo disuruh datengin Pak Juan. Mending lo jalan buruan," titah Barra mendorong bahu Luna pelan agar berjalan lebih dulu, sebuah perlakuan yang cukup membuatnya terkejut.
Luna mencibir sembari meniup poninya yang sedikit lepek. Melangkah menyusuri koridor yang cukup sepi sebab ini masih jam pelajaran dan para guru pastinya sedang mengajar.
Barra melirik sepatu Luna yang talinya tidak diikat, salah satu kebiasaannya sejak dulu yang tak pernah berubah. Kepalanya bergeleng kecil, tak ingin peduli.
"Kenapa dia harus manggil gue?"
Laki-laki itu mengedikkan bahunya acuh menanggapi pertanyaan Luna. "Mana gue tau."
Gadis itu tiba-tiba memutar tubuhnya menghadap Barra, membuatnya terhenyak untuk beberapa saat, apalagi saat Luna mengikis jarak diantara keduanya untuk lebih dekat. Gadis itu tanpa canggung menatap dalam mata Barra, barangkali menemukan sesuatu hal yang janggal dengan sikapnya. Tapi Barra terlalu hebat bersikap tidak peduli, buktinya wajahnya tetap datar tanpa ekpresi.
Kepala Luna celingukan sebelum akhirnya mundur satu langkah. Ia tidak ingin dikira berbuat yang macam-macam.
Mata Luna memicing tajam. "Lo mau tipu gue ya? Cepet bilang niat lo yang sebenarnya dengan tiba-tiba bersikap sok akrab sama gue kayak gini!" tuntutnya sembari melipat tangan didepan dada dengan tatapan curiga.
Sebelah alis Barra terangkat, tak mengerti maksud pertanyaan Luna. Laki-laki itu berdecak sebelum menanggapi.
"Gue tau hubungan gue sama lo itu emang gak baik. Tapi bisa gak sekalinya kita ketemu lo gak perlu negative thingking sama gue?"
Luna terkekeh tanpa sebab, membuang mukanya ke arah lain sekilas. "Gue gak negative thingking, gue cuma bersikap sebagaimana lo ke gue." Tekannya.
"Sadar gak selama ini lo melihat gue layaknya musuh lo?" tanya Barra lebih santai, meredam dengan apik emosinya didepan Luna. Karena jika ia benar-benar terpancing, sama saja ia menjatuhkan harga dirinya didepan gadis itu.
"Lho... bukannya memang gitu? Kapan kita pernah berteman baik?" Luna makin nyolot, sebisa mungkin Barra tetap terlihat dingin. Sejak dulu berhadapan dengan Luna adalah hal yang rumit bagi Barra, dan ia tak tahu mengapa.
Barra mengangguk-menganggukkan kepalanya. "Oke, sekarang gue berusaha bersikap ramah sama lo. Gue cuma nyampein pesan Pak Juan buat bawa lo. Udah itu kelar, gitu aja. Gak perlu kaitkan dengan bagaimana sikap kita dulu ataupun sekarang."
"Lo yang mulai duluan!" Luna melanjutkan kembali langkahnya dengan kedua tangan yang masih bersedakap didepan dada, dan dagunya yang diangkat tinggi-tinggi.
"Kekanak-kanakan." batin Barra.
"Kenapa harus lo? Kenapa gak orang lain aja yang manggil gue?" tanya Luna lagi, sekadar memecah hening dan canggung yang tiba-tiba hadir. Tapi memang pada dasarnya sepertinya Luna yang gemar mencari masalah dengan Barra, maka Barra pun tak akan segan berlaku kelewatan terhadapnya.
"Kalaupun gue bisa nawar, gue gak sudi jemput lo ke kelas, apalagi manggil nama lo," sahut Barra kalem namun menusuk.
"Terakhir kali gue tonjok lo 2 tahun yang lalu kan?"
Iris gelap Barra sempat membesar, tanda bahwa ia sedikit terkejut mengingat hal memalukan dimana ia ditonjok Luna 2 tahun lalu didepan umum.
Barra berusaha kembali tenang. "Gue males inget hal yang gak berguna. Ibarat jalan ditempat, bahkan sampai detik ini gue lihat lo masih tetep kayak dulu. Pemalas, bodoh, lemot, tukang ngeluh, ceroboh, yang bisanya cuma bergantung sama Opet." Penuturan Barra membuat dada Luna bergemuruh tak terima.
"Wah... ngajak ribut!" Luna melipat lengan kamejanya ke atas, berancang-ancang dengan kedua kepalan tangannya yang seolah siap menyerang Barra. "Bisa-bisanya lo ngeremehin gue. Kalaupun gue mau, gue bisa lakuin hal apapun kayak lo. Lebih hebat kayak lo!"
Barra berdecih, ini yang tidak ia suka dari gadis dihadapannya, seenaknya dalam perkataan tanpa tahu bagaimana nantinya. Barra masih tak menyangka bagaimana bisa dirinya pernah menyukai gadis aneh itu saat dibangku SD.
Cinta monyet yang sangat ia sesali. Ah, Barra tak pernah ingin mengakui kenyataan itu!
Yap, Barra adalah teman Luna saat dibangku SD dulu. Kala itu Barra adalah murid pindahan yang tak pernah banyak bicara dikelas, pendiam. Dan Luna yang mulutnya ceplas-ceplos mengomentari sikap Barra yang menurutnya menjengkelkan, hal itu berhasil memancing Barra untuk berani menunjukkan dirinya yang sebenarnya, bahkan ia mulai tak segan untuk berucap seleluasa Luna, dan memang seperti inilah Barra yang sebenarnya, dingin, tegas, tidak ingin direndahkan.
Sejak SMP sampai SMA, Barra berusaha menjaga jarak dari Luna tanpa sebab, mungkin lebih tepatnya menghindari perdebatan yang kerap hadir setiap kali bertemu atau kecanggungan yang ikut mengambil tempat dalam diri masing-masing. Sekilas mereka terlihat asing satu sama lain, tapi kala tatapan mereka bertemu ada sapa yang tertahan.
Barra tau pasti diantara mereka ada tembok besar yang menghalangi keduanya, maka dari itu keduanya tak dapat memahami satu sama lain. Barra yang beranggapan jika Luna membencinya, dan Luna yang juga berfikir bahwa ia menjadi pengganggu bagi Barra.
💤💤💤
"Udahan dulu lah." Opet mengangguk mengikuti temannya untuk duduk dipinggir lapangan.Kelas Opet kebagian jam olahraga kali ini, meski materi dan beberapa praktek sudah selesai sejak 20 menit yang lalu, waktu yang tersisa rupanya masih banyak. Berbeda dengan siswa perempuan yang sudah ngibrit duluan ke kalas, beberapa siswa laki-laki yang tersisa bertahan dilapangan untuk sekedar bermain bola basket.
"Jam berapa Ban?" tanya Opet pada Banyu disampingnya. Yang ditanya mengedikan bahu namun tetap menjawab seadanya. "Paling bentar lagi bel istarahat bunyi."
"Gue ganti baju duluan deh." Putusnya sembari beranjak, dan tentunya diekori Banyu dibelakang.
Sepulang dari kamar mandi dan mengganti pakaian, dahi Opet berkerut mendapati pemandangan dimana Luna dan Barra bersama. Langka, jelas sangat langka. Barra sahabat baik Opet, tapi setahunya tidak dengan Luna. Bahkan gadis itu pernah beberapa kali bercerita perihal Barra yang amat tidak disukainya. Lalu kini, apa yang terjadi diantara mereka?
Tanpa ragu Opet membawa langkahnya mendekat, menghiraukan Banyu yang menyerukan namanya untuk menunggu. Opet semakin dibuat penasaran kala Luna hendak beranjak pergi, tangannya dicekal cepat oleh Barra dan kembali menghadapnya. Luna terlihat menggerutu kesal.
"Ribet banget sih lo, cuma ikut apa susahnya!" Barra menarik lengan Luna kasar, setengah menyeretnya.
"Gue gak mau! Kasar juga ya lo ternyata!" Luna berhasil melepaskan tangan Barra. Langkah gadis itu mundur secara perlahan, tapi Barra tak akan membiarkan Luna pergi begitu saja. Maka pada detik Luna hendak mengambil langkah pergi, Barra terpaksa menarik rambut Luna.
"Toloooong!" Gadis itu mengerang, meringis memegangi rambutnya. "Lepas gak?!"
"Makanya nurut!" cetusnya.
"Kalian ini pada kenapa?" Suara Opet menghentikan aksi Barra yang kemudian melepaskan tangannya dari rambut Luna. Gadis itu misuh-misuh menata rambutnya yang jadi berantakan dengan wajah super kesal.
"Pak Juan manggil si nek lampir ini, lo kasih tau biar ngerti." Beri tahunya pada Opet.
"Heh sembarangan manggil gue nenek lampir, gue masih punya nama ya!" Luna melotot tajam.
"Ini yang gak gue suka dari lo! Masalah kecil digede-gedein!"
"Memangnya gue suka juga sama lo? Enggak! Lo sendiri harusnya sadar. Cowok baperan!" hardik Luna.
"Kenapa ribut-ribut?" Suara mengintrupsi milik Pak Juan yang entah kapan hadir membuat ketiganya terhenyak.
"Dia pak!" seru Luna dan Barra tiba-tiba bersamaan.
"Singkirin tangan kotor lo!" desis Barra menepis kasar tangan Luna dari hadapannya. Luna mengusap-usap tangannya seolah ia bisa saja terkena virus oleh sentuhan Barra.
"Saya cuma nyampein pesan bapak buat panggil nek lampir ini. Tapi dianya yang malah cari masalah," aku Barra sembari melayangkan tatapan sinisnya pada Luna.
"Gue bilang jangan panggil nek lam-"
Opet menyenggol pelan lengan Luna, membuat gadis itu mengatupkan bibirnya.
"Yasudah, Barra boleh kembali ke kelas. Terimakasih."
Barra lantas berlalu pergi. Meninggalkan Luna yang masih kesal, dan Opet yang kebingungan.
"Saya pak? Saya bahkan gak tau salah saya disini apa?" Opet bingung antara harus pergi begitu saja atau meminta izin terpebih dahulu.
"Kebetulan ada kamu, saya lebih baik bicara sama kalian berdua," ujar Pak Juan.
Opet mengulum bibirnya, sepenuhnya menatap Luna. "Lo buat salah apa Lun, sampe-sampe nyeret nama gue segala?"
"Mana gue tau." Luna mengedikkam bahunya sembari mengekori Pak Juan.
To Be Continue...
Tiga orang itu saling melirik satu sama lain. Suasananya berubah kaku, Luna beberapa kali diam-diam menarik ujung seragam Opet disampingnya, bermaksud meminta bantuan. Wajahnya mulai terlihat gelisah, tapi entah kenapa Opet sama sekali tidak menyadarinya. Sejatinya Opet juga bingung harus berbuat apa, apalagi mendapat tatapan intens dari Pak Juan seperti ini.Rasanya seperti tengah diintrogasi guna mendapat izin dari mertua."Jika sekali dua kali setidaknya masih bisa saya toleransi."Opet meneguk ludahnya sendiri, sebelumnya ia juga sudah menduga hal ini akan terjadi. Ditatapnya Pak Juan setenang mungkin."Tapi jika terus-terusan seperti ini, artinya semua nilai-nilai kamu itu tidak murni, Aluna." Pria berkaca mata itu lantas menatap Luna prihatin."Tapi saya yang kerjain kok pak," sambar Luna dengan nada memelas.Pak Juan mengernyit bingung, tak yakin dengan pernyataan Luna barusan. "Jadi yang benar, kamu yang kerjain apa Rio yang kerjain?
Drtt... drtt... drtt...Getaran yang bersumber dari saku roknya membuat Luna tersentak ditengah kantuknya yang semakin merajalela. Gadis itu menguap lebar engan menutup mulut. Melirik sekilas pada guru yang sedang menjelaskan materi didepan kelas sebelum mengecek siapa yang mengiriminya pesan.Opet💩| Abis bel pulang, gue ada kumpulan osis dulu| Lo tungguin bentar ya| Kalo kelamaan, duluan jg gppMe|Gue tungguin deh dikelasOpet💩| WokehLuna menghela nafas panjang. 1 jam lagi bel pulang berbunyi, sejak tadi yang menjadi perhatiannya adalah memastikan jarum jam terus bergerak yang entah mengapa berjalan begitu lambat."Yang dibelakang bisa perhatikan ke depan?"Luna masih tak sadar ketika guru didepan kelas berbicara padanya. Gadis itu malah menatap keluar jendela, kelewat malas untuk menyimak segala materi. Omongan Luna tadi nyatanya tak benar-benar dapat ia pegang."Lun... Pak Yogi ngomong sama kamu,"
Baru saja kakinya melangkah pada undakan tangga ke-3. Suara mengintrupsi dari belakang menghentikan gerakan Rega. Laki-laki itu memejamkan matanya sebentar sebelum akhirnya memutar tubuh menatap sosok pria yang masih mengenakan setelan kerjanya. Gurat wajah lelah tercetak jelas disana, meski kini pria itu menatapnya tajam.Berharap mendapat sambutan hangat? Menginjakkan kakinya dirumah ini saja Rega sudah cukup muak.Ini baru pukul 8, Rega pikir Papanya belum pulang. Biasanya pria itu sampai dirumah pukul 9 atau bahkan tengah malam."Baru pulang kamu? Kenapa sekalian aja gak usah pulang?!"Rega hanya diam kala ucapan dengan nada tinggi itu menelusup masuk gendang telinganya. Menciptakan gema yang entah mengapa mendengung cukup lama. Seolah sengaja diulang-ulang, dan rasanya menghantarkan sesak yang perlahan menjelma menjadi luka baru yang menghiasi relung hatinya."Saya sekolahin kamu bukan buat jadi berandalan. Hobinya kelayapan, disekolah bisanya
Dibalik tembok, bersama kepulan asap rokok yang mengepul. Laki-laki itu duduk dengan nyaman, tersenyum sembari mendongakkan kepalanya, menatap rembulan yang menyinarinya wajahnya yang sekilas terlihat baik-baik saja meski pada beberapa tempat tampak lebam, tapi rupanya ia tak cukup peduli. Selain karena terbiasa, ia tak tahu harus bagaimana."Aaaa... sakit! Pelan-pelan dong!"Laki-laki itu tersenyum geli mendengar keributan dari sebuah kamar. Bagaimana setiap jeritan yang melengking dari salah satu diantara mereka mampu membuatnya tertawa dalam diam. Sejenak, ia seolah lupa perihal kejadian beberapa saat lalu."Lo gak tau rasanya gimana! Aaaa... Kampret! Gue bilang pelan-pelan!" jeritnya lagi.Rega, laki-laki itu kembali menghisap benda bernikotin yang terselip diantara dua ruas jarinya. Ini sudah puntung ke-3, tapi seolah lupa diri Rega tak tahu kapan akan berhenti.Untuk malam ini saja, ia ingin semua berlalu sebagaimana mustinya. Tak ada bentakan, pe
Dikelasnya, Opet bertopang dagu menatap lurus papan tulis. Tak biasanya, kali ini ia tak dapat fokus menyimak pelajaran. Entah apa yang dipikirkannya kala itu, yang pasti ia ingin segera pulang, demikian penasaran dengan apa yang Luna lakukan dirumahnya. Walaupun ia sudah cukup tahu apa yang akan dilakukan gadis itu selain rebahan dikasur sembari memakan cemilan yang bercecer dan laptop yang menampilkan anime atau drakor kesukaannya."Ngelamun aja lo, Pet." Banyu disampingnya yang sejak tadi sibuk konser tanpa suara menyentak Opet. Membuat Laki-laki itu kelabakan lantas mengusap wajahnya dengan kedua tangan."Mikirin apa, sih lo?" Opet mengelang pelan, mendapat respon seperti itu Banyu hanya dapat mendengus pelan."Kayaknya gue perlu ke toilet dulu deh," ujar Opet."Mau boker lo?" Banyu mendelik. "Yaudah sono, jan lupa cebok.""Yeuu... si kampret!" Opet menonyor pelan kepala Banyu sebelum menegakkan tubuhnya.Begitu Opet meminta izin lantas setela
"Maksud lo apa kayak gini sama Iva?" Opet menatap tajam gadis dihadapannya yang seketika mati kutu. Melirik gadis disampingnya yang tampak berantakan, memungut kaca matanya yang sudah retak sebagian. "Lo gak apa-apa kan?" Iva mengangguk pelan sebagai jawaban sembari menerima kacamatanya kembali. Karina berdecak tak suka. Mendelik kesal pada Iva yang berusaha menyeka air matanya yang tanpa henti mengalir begitu saja. "Drama!" hardiknya dengan nada rendah. "Jadi gini kelakuan anak kepala sekolah yang terhormat itu?" Laki-laki itu kembali menatap Karina tajam, suaranya dingin namun terdengar mencekam. Kedua antek-antek Karina menunduk gentar tak berani menatap Opet. "Gue cuma-" "Cuma apa?" sela Opet cepat. Karina lagi-lagi dibuat diam. "Ternyata selama ini begini kelakuan lo. Berbuat semena-mena dan menindas orang-orang kayak Iva barusan." Karina bersedap dada, gadis itu menyelipkan anak rambut yang menghalangi wajahnya. "Udahlah, l
"Arghhh... lo gendong gue yang bener dong. Segitu gak terimanya menderita bentar!" Luna mendorong Rega geram begitu laki-laki itu menurunkan tubuhnya tanpa aba-aba, padahal jarak menuju rumahnya masih cukup jauh. "Kalo aja lo gak teriak-teriak dikuping, gue gak masalah!" omel laki-laki itu sembari mengusap-usap telinganya yang memerah. "Ck, dasarnya tukang onar tuh ya gini," geram Luna. "Gak tau diri!" Rega menepis lengan Luna yang memegangi bahunya guna menyesuaikan keseimbangan. Gadis itu mendesis lantas berjalan tergopoh setengah terpincang mendahuluinya menghampiri Opet dan Iva. Dua orang itu terheran menatap kedatangan Luna dari arah belakang yang terengah-engah. "Kalian habis dari mana?" tanya Opet pada Luna. Disisi lain Luna menghela napas lega saat gadis yang dibonceng Opet ternyata Iva yang mana sudah berjanji akan kerumahnya kala itu. Entah mengapa ia sedikit tidak rela jika seandainya itu orang lain. Ehm... mungkin lebih tepatnya ji
Hening, dua orang yang berjalan beriringan itu hanya bungkam, tenggelam dengan pikiran mereka masing-masing. Rega melirik Iva sekilas, cewek kaku itu hanya menunduk.Rencananya ia akan mengantarkan Iva pulang, namun sebelumnya ia harus pergi ke rumah Adit untuk mengambil motornya yang tinggalkannya disana semalam. Selain itu ia juga harus berpamitan dan berterima kasih pada Adit telah bersedia menampungnya untuk semalam. Walau laki-laki itu selalu mengatakan Rega bebas ingin menginap berapa lama pun tak masalah."Padahal lo bisa nunggu dirumah Luna," gumam Rega memecah sunyi.Cowok yang kini berhiaskan plaster dipelipisnya itu mendongak. Memandang semburat orange yang mulai menghiasi angkasa, tanpa awan yang beberapa waktu lalu membuatnya tampak abu-abu.Iva tak menjawab, bingung harus mengatakan apa. Ia gugup saat mata elang Rega kini menatapnya intens. Jika diingat-ingat lagi, mungkin ini pertama kalinya Rega berbicara padanya wa