Home / Fiksi Remaja / Miss Lazy / 5. Barra Si Ketua Osis

Share

5. Barra Si Ketua Osis

Ada yang aneh saat Barra Savian Rahardi si Ketua OSIS SMA Taruna Bangsa atau lebih dikenal  kulkas berjalan lengkap dengan wajah datarnya tiba-tiba meminta Luna mengikutinya.

Dahi Luna mengerut samar, menatap Barra disampingnya seolah bertanya kemana laki-laki itu akan membawanya. Tapi respon yang didapat hanya tampang datar yang menyebalkan. Tangan Luna rasanya gatal, bawaannya pengen nyakar!

"Setidaknya lo ngomong dulu mau bawa gue kemana?" tanya Luna pada akhirnya. Dia menghentikan langkahnya, begitu pun Barra.

"Lo disuruh datengin Pak Juan. Mending lo jalan buruan," titah Barra mendorong bahu Luna pelan agar berjalan lebih dulu, sebuah perlakuan yang cukup membuatnya terkejut.

Luna mencibir sembari meniup poninya yang sedikit lepek. Melangkah menyusuri koridor yang cukup sepi sebab ini masih jam pelajaran dan  para guru pastinya sedang mengajar.

Barra melirik sepatu Luna yang talinya tidak diikat, salah satu kebiasaannya sejak dulu yang tak pernah berubah. Kepalanya bergeleng kecil, tak ingin peduli.

"Kenapa dia harus manggil gue?"

Laki-laki itu mengedikkan bahunya acuh menanggapi pertanyaan Luna. "Mana gue tau."

Gadis itu tiba-tiba memutar tubuhnya menghadap Barra, membuatnya terhenyak untuk beberapa saat, apalagi saat Luna mengikis jarak diantara keduanya untuk lebih dekat. Gadis itu tanpa canggung menatap dalam mata Barra,  barangkali menemukan sesuatu hal yang janggal dengan sikapnya. Tapi Barra terlalu hebat bersikap tidak peduli, buktinya wajahnya tetap datar tanpa ekpresi.

Kepala Luna celingukan sebelum akhirnya mundur satu langkah. Ia tidak ingin dikira berbuat yang macam-macam.

Mata Luna memicing tajam. "Lo mau tipu gue ya? Cepet bilang niat lo yang sebenarnya dengan tiba-tiba bersikap sok akrab sama gue kayak gini!" tuntutnya sembari melipat tangan didepan dada dengan tatapan curiga.

Sebelah alis Barra terangkat, tak mengerti maksud pertanyaan Luna. Laki-laki itu berdecak sebelum menanggapi.

"Gue tau hubungan gue sama lo itu emang gak baik. Tapi bisa gak sekalinya kita ketemu lo gak perlu negative thingking sama gue?"

Luna terkekeh tanpa sebab, membuang mukanya ke arah lain sekilas. "Gue gak negative thingking, gue cuma bersikap sebagaimana lo ke gue." Tekannya.

"Sadar gak selama ini lo melihat gue layaknya musuh lo?" tanya Barra lebih santai, meredam dengan apik emosinya didepan Luna. Karena jika ia benar-benar terpancing, sama saja ia menjatuhkan harga dirinya didepan gadis itu.

"Lho... bukannya memang gitu? Kapan kita pernah berteman baik?" Luna makin nyolot, sebisa mungkin Barra tetap terlihat dingin. Sejak dulu berhadapan dengan Luna adalah hal yang rumit bagi Barra, dan ia tak tahu mengapa.

Barra mengangguk-menganggukkan kepalanya. "Oke, sekarang gue berusaha bersikap ramah sama lo. Gue cuma nyampein pesan Pak Juan buat bawa lo. Udah itu kelar, gitu aja. Gak perlu kaitkan dengan bagaimana sikap kita dulu ataupun sekarang."

"Lo yang mulai duluan!" Luna melanjutkan kembali langkahnya dengan kedua tangan yang masih bersedakap didepan dada, dan dagunya yang diangkat tinggi-tinggi.

"Kekanak-kanakan." batin Barra.

"Kenapa harus lo? Kenapa gak orang lain aja yang manggil gue?" tanya Luna lagi, sekadar memecah hening dan canggung yang tiba-tiba hadir. Tapi memang pada dasarnya sepertinya Luna yang gemar mencari masalah dengan Barra, maka Barra pun tak akan segan berlaku kelewatan terhadapnya.

"Kalaupun gue bisa nawar, gue gak sudi jemput lo ke kelas, apalagi manggil nama lo," sahut Barra kalem namun menusuk.

"Terakhir kali gue tonjok lo 2 tahun yang lalu kan?"

Iris gelap Barra sempat membesar, tanda bahwa ia sedikit terkejut mengingat hal memalukan dimana ia ditonjok Luna 2 tahun lalu didepan umum.

Barra berusaha kembali tenang. "Gue males inget hal yang gak berguna. Ibarat jalan ditempat, bahkan sampai detik ini gue lihat lo masih tetep kayak dulu. Pemalas, bodoh, lemot, tukang ngeluh, ceroboh, yang bisanya cuma bergantung sama Opet." Penuturan Barra membuat dada Luna bergemuruh tak terima.

"Wah... ngajak ribut!" Luna melipat lengan kamejanya ke atas, berancang-ancang dengan kedua kepalan tangannya yang seolah siap menyerang Barra. "Bisa-bisanya lo ngeremehin gue. Kalaupun gue mau, gue bisa lakuin hal apapun kayak lo. Lebih hebat kayak lo!"

Barra berdecih, ini yang tidak ia suka dari gadis dihadapannya, seenaknya dalam perkataan tanpa tahu bagaimana nantinya. Barra masih tak menyangka bagaimana bisa dirinya pernah menyukai gadis aneh itu saat dibangku SD.

Cinta monyet yang sangat ia sesali. Ah, Barra tak pernah ingin mengakui kenyataan itu!

Yap, Barra adalah teman Luna saat dibangku SD dulu. Kala itu Barra adalah murid pindahan yang tak pernah banyak bicara dikelas, pendiam. Dan Luna yang mulutnya ceplas-ceplos mengomentari sikap Barra yang menurutnya menjengkelkan, hal itu berhasil memancing Barra untuk berani menunjukkan dirinya yang sebenarnya, bahkan ia mulai tak segan untuk berucap seleluasa Luna, dan memang seperti inilah Barra yang sebenarnya, dingin, tegas, tidak ingin direndahkan.

Sejak SMP sampai SMA, Barra berusaha menjaga jarak dari Luna tanpa sebab, mungkin lebih tepatnya menghindari perdebatan yang kerap hadir setiap kali bertemu atau kecanggungan yang ikut mengambil tempat dalam diri masing-masing. Sekilas mereka terlihat asing satu sama lain, tapi kala tatapan mereka bertemu ada sapa yang tertahan.

Barra tau pasti diantara mereka ada tembok besar yang menghalangi keduanya, maka dari itu keduanya tak dapat memahami satu sama lain. Barra yang beranggapan jika Luna membencinya, dan Luna yang juga berfikir bahwa ia menjadi pengganggu bagi Barra.

💤💤💤

"Udahan dulu lah." Opet mengangguk mengikuti temannya untuk duduk dipinggir lapangan.

Kelas Opet kebagian jam olahraga kali ini, meski materi dan beberapa praktek sudah selesai sejak 20 menit yang lalu, waktu yang tersisa rupanya masih banyak. Berbeda dengan siswa perempuan yang sudah ngibrit duluan ke kalas, beberapa siswa laki-laki yang tersisa bertahan dilapangan untuk sekedar bermain bola basket.

"Jam berapa Ban?" tanya Opet pada Banyu disampingnya. Yang ditanya mengedikan bahu namun tetap menjawab seadanya. "Paling bentar lagi bel istarahat bunyi."

"Gue ganti baju duluan deh." Putusnya sembari beranjak, dan tentunya diekori Banyu dibelakang.

Sepulang dari kamar mandi dan mengganti pakaian, dahi Opet berkerut mendapati pemandangan dimana Luna dan Barra bersama. Langka, jelas sangat langka. Barra sahabat baik Opet, tapi setahunya tidak dengan Luna. Bahkan gadis itu pernah beberapa kali bercerita perihal Barra yang amat tidak disukainya. Lalu kini, apa yang terjadi diantara mereka?

Tanpa ragu Opet membawa langkahnya mendekat, menghiraukan Banyu yang menyerukan namanya untuk menunggu. Opet semakin dibuat penasaran kala Luna hendak beranjak pergi, tangannya dicekal cepat oleh Barra dan kembali menghadapnya. Luna terlihat menggerutu kesal.

"Ribet banget sih lo, cuma ikut apa susahnya!" Barra menarik lengan Luna kasar, setengah menyeretnya.

"Gue gak mau! Kasar juga ya lo ternyata!" Luna berhasil melepaskan tangan Barra. Langkah gadis itu mundur secara perlahan, tapi Barra tak akan membiarkan Luna pergi begitu saja. Maka pada detik Luna hendak mengambil langkah pergi, Barra terpaksa menarik rambut Luna.

"Toloooong!" Gadis itu mengerang, meringis memegangi rambutnya. "Lepas gak?!"

"Makanya nurut!" cetusnya.

"Kalian ini pada kenapa?" Suara Opet  menghentikan aksi Barra yang kemudian melepaskan tangannya dari rambut Luna. Gadis itu misuh-misuh menata rambutnya yang jadi berantakan dengan wajah super kesal.

"Pak Juan manggil si nek lampir ini, lo kasih tau biar ngerti." Beri tahunya pada Opet.

"Heh sembarangan manggil gue nenek lampir, gue masih punya nama ya!" Luna melotot tajam.

"Ini yang gak gue suka dari lo! Masalah kecil digede-gedein!"

"Memangnya gue suka juga sama lo? Enggak! Lo sendiri harusnya sadar. Cowok baperan!" hardik Luna.

"Kenapa ribut-ribut?" Suara mengintrupsi milik Pak Juan yang entah kapan hadir membuat ketiganya terhenyak.

"Dia pak!" seru Luna dan Barra tiba-tiba bersamaan.

"Singkirin tangan kotor lo!" desis Barra menepis kasar tangan Luna dari hadapannya. Luna mengusap-usap tangannya seolah ia bisa saja terkena virus oleh sentuhan Barra.

"Saya cuma nyampein pesan bapak buat panggil nek lampir ini. Tapi dianya yang malah cari masalah," aku Barra sembari melayangkan tatapan sinisnya pada Luna.

"Gue bilang jangan panggil nek lam-"

Opet menyenggol pelan lengan Luna, membuat gadis itu mengatupkan bibirnya.

"Yasudah, Barra boleh kembali ke kelas. Terimakasih."

Barra lantas berlalu pergi. Meninggalkan Luna yang masih kesal, dan Opet yang kebingungan.

"Saya pak? Saya bahkan gak tau salah saya disini apa?" Opet bingung antara harus pergi begitu saja atau meminta izin terpebih dahulu.

"Kebetulan ada kamu, saya lebih baik bicara sama kalian berdua," ujar Pak Juan.

Opet mengulum bibirnya, sepenuhnya menatap Luna. "Lo buat salah apa Lun, sampe-sampe nyeret nama gue segala?"

"Mana gue tau." Luna mengedikkam bahunya sembari mengekori Pak Juan.


To Be Continue...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status