Pagi selalu jadi waktu paling memuakkan bagi Luna. Selain kedua matanya yang terasa berat dan sulit untuk sepenuhnya terbuka, ia tidak suka dilibatkaan dalam setiap hal yang mendorongnya untuk banyak melakukan kegiatan. Sesederhana apapun hal yang ia lakukan, selalu saja ada keluhan yang terlontar.
Luna sadar kelak sikapnya tersebut akan menjadi bumerang atas setiap ketertinggalannya dalam hal apapun, lantas membuatnya dituntut lebih keras untuk bergerak maju. Luna hanya merasa ia belum menemukan momentum yang tepat untuk berubah. Entah kapan, namun suatu saat Luna tahu ia harus berubah."Kemana si, perasaan gue taro disini. Gak mungkin kan kaos kaki gue bisa jalan-jalan sendiri buat ngumpet?"Gadis yang sepertinya lupa menyisir rambut itu duduk lesehan didepan rak sepatu. Matanya menyisir setiap rak, mencari sebelah kaos kakinya yang entah kemana.“Bang, kaos kaki gue yang sebelahnya lagi kemana?” Luna menghampiri Alvian didapur yang sibuk dengaKenyataannya, Luna tidak benar-benar pingsan. Sebelumnya gadis itu hanya ingin beristirahat sejenak dengan membaringkan tubuhnya dipinggir lapangan setelah menyelesaikan hukuman. Namun hal itu justru menimbulkan prasangka bahwa dirinya tak sadarkan diri.Luna tak bisa berkutik saat banyak orang-orang mulai mengerumuni dan mengira dirinya pingsan. Tak ingin menanggung malu, maka Luna melanjutkan aksinya. Ia sedikit terkejut saat seseorang membopongnya pergi dari lapangan. Lantas tersenyum dalam diam saat tahu orang itu adalah Opet. Opet datang diwaktu yang tepat."Jadi lo gak pingsan?" tanya Opet, terperangah begitu melihat Luna tersenyum lebar tanpa rasa bersalah sedikitpun diatas ranjang ruang kesehatan."Gak, gue cuma lemes." Luna mengelang singkat. "Jadi barusan itu apa?" Opet berkacak pinggang, menuntut pengakuan Luna."Orang lain ngira gue pingsan. Mana pipi gue udah digebuk-gebuk. Daripada nanggung malu gue lanjut pura-pura pingsan aja kan?"
"Walau kata orang hidup gue ini gak begitu punya manfaat, but this is my life. Ciptakanlah bahagiamu sendiri jika tak menemukannya pada orang lain. Jangan, pokoknya jangan tiru gue!" - Aluna Sesat💤💤💤TOLOOONG... !!!Jangan berfikir sedang ada adegan action yang menegangkan. Ini cuma jeritan batin seorang gadis yang masih betah diatas kasurnya. Namanya Luna, gak pake Lucinta. Lebih tepatnya Aluna Meysha Jovita.Jarum jam baru saja menunjukkan pukul 7, setidaknya Luna butuh dua jam lagi untuk hibernasi di hari minggu yang selalu dia nanti-nanti. Tapi rencana itu gagal oleh alunan musik I was king milik One Ok Rock dari ruangan sebelah yang diputar dalam volume diatas rata-rata.WHEN I WAS KING...I WAS KING...Musik masih setia mengalun. Curiga si pelaku yang tak lain adalah kakaknya sendiri kehilangan nurani untuk tidak tanggung-tanggung membuat kuping seluruh penghuni komplek budek berjamaah seraya mengusap dada beruca
2 tahun lalu, tepatnya saat Luna baru saja menginjak bangku SMA. Setidaknya Luna lebih terurus sebab ada sosok sang Bunda yang tak bosan mengomelinya. Mulai dari penampilan, kebiasaan buruk, jam makan semuanya tak lepas dari perhatian bunda.Namun setelah Bunda meminta berpisah dengan ayah dan memilih menetap di Bali bersama pasangan barunya. Luna menjadi gadis yang sekarang, tak begitu peduli akan penampilan dan lingkungan sekitar, termasuk perihal apa yang orang katakan tentang dirinya."Jaga diri baik- baik, ya. Kamu udah gede, harus udah bisa perhatiin diri kamu sendiri." Ucapan Bunda masih teringat jelas dibenak Luna saat wanita itu kemudian menyeret kopernya dibandara, meninggalkannya dengan mata berkaca-kaca.Bunda, wanita yang Luna anggap sebagai sosok paling setia yang akan menemaninya kapan saja dikala suka dan duka nyatanya kini menjadi penyebab utama atas segala sikap yang dilakoninya.Luna patah, parahnya lagi jatuh. Tapi ia beruntung pada
Menjelang pukul 5 sore, Luna dan Opet memutuskan untuk pulang. Tapi dipertengahan jalan, tak ada angin tak ada hujan Jenie tiba-tiba ngambek, alias mogok. Memaksa keduanya mau tak mau mendorong benda itu sepanjang sisa perjalanan."Motor jelek. Nyusahin aja bisanya!" hardik Luna. Kakinya menendang ban motor Opet kesal, setelahnya mengaduh kesakitan."Mampus lo," cerca Opet tersenyum puas.Luna lantas melepas helm dikepalanya brutal, rambutnya yang berantakan tak berniat ia rapikan. "Sial, sial, sial! Semuanya gara-gara lo! Andai aja tadi gue gak ikut.""Terus, salahin aja gue." Opet ikut geram.Gadis itu menatap nyalang sahabatnya. "Emang salah!" bentaknya, kemudian berlalu begitu saja melewati Opet."Eh, eh, mau kemana? Bantuin dorong ini woyyy!" seru Opet. Luna memutar tubuhnya ogah-ogahan. Penampakannya lusuh, tapi siapa peduli."Males! Gue mau cari ojek aja!" pungkasnya sembari mengedarkan pandangan.Opet mendengus kasar, agaknya l
Hari Senin, katakan saja ini hari yang hampir semua orang benci. Pasalnya segala kegiatan dimulai kembali, harapnya ingin cepat-cepat hari minggu lagi. Dan siapapun tak bisa menghindar dari segala kesibukan yang ada, termasuk si pemalas sekalipun.Barisan siswa dipinggir lapangan itu mulai tak enak dipandang. Beberapa dari mereka mendesah gerah kepanasan, mencibir sang kepala sekolah yang tak berhenti berbicara diatas mimbar, padahal isinya sama seperti senin-senin sebelumnya."Telen aja sekalian itu mic.""Dia emang niat siksa kita biar jadi ikan asin.""Ketek gue udah banjir keringat ini.""Andai upacara bisa bawa payung.""Mengadi-ngadi kau!""Mending kalo liat Oppa yang glowing mar kinclong, lah ini tua-tua keladi haus perhatian.""Jangan kenceng-kenceng ngomongnya nanti kedengeran!"Kira-kira seperti itulah gerutuan yang keluar dari setiap mulut murid-murid yang mana lebih didominasi perempuan, sisanya pasrah menunggu kuasa
Ada yang aneh saat Barra Savian Rahardi si Ketua OSIS SMA Taruna Bangsa atau lebih dikenal kulkas berjalan lengkap dengan wajah datarnya tiba-tiba meminta Luna mengikutinya.Dahi Luna mengerut samar, menatap Barra disampingnya seolah bertanya kemana laki-laki itu akan membawanya. Tapi respon yang didapat hanya tampang datar yang menyebalkan. Tangan Luna rasanya gatal, bawaannya pengen nyakar!"Setidaknya lo ngomong dulu mau bawa gue kemana?" tanya Luna pada akhirnya. Dia menghentikan langkahnya, begitu pun Barra."Lo disuruh datengin Pak Juan. Mending lo jalan buruan," titah Barra mendorong bahu Luna pelan agar berjalan lebih dulu, sebuah perlakuan yang cukup membuatnya terkejut.Luna mencibir sembari meniup poninya yang sedikit lepek. Melangkah menyusuri koridor yang cukup sepi sebab ini masih jam pelajaran dan para guru pastinya sedang mengajar.Barra melirik sepatu Luna yang talinya tidak diikat, salah satu kebiasaannya sejak dulu yang ta
Tiga orang itu saling melirik satu sama lain. Suasananya berubah kaku, Luna beberapa kali diam-diam menarik ujung seragam Opet disampingnya, bermaksud meminta bantuan. Wajahnya mulai terlihat gelisah, tapi entah kenapa Opet sama sekali tidak menyadarinya. Sejatinya Opet juga bingung harus berbuat apa, apalagi mendapat tatapan intens dari Pak Juan seperti ini.Rasanya seperti tengah diintrogasi guna mendapat izin dari mertua."Jika sekali dua kali setidaknya masih bisa saya toleransi."Opet meneguk ludahnya sendiri, sebelumnya ia juga sudah menduga hal ini akan terjadi. Ditatapnya Pak Juan setenang mungkin."Tapi jika terus-terusan seperti ini, artinya semua nilai-nilai kamu itu tidak murni, Aluna." Pria berkaca mata itu lantas menatap Luna prihatin."Tapi saya yang kerjain kok pak," sambar Luna dengan nada memelas.Pak Juan mengernyit bingung, tak yakin dengan pernyataan Luna barusan. "Jadi yang benar, kamu yang kerjain apa Rio yang kerjain?
Drtt... drtt... drtt...Getaran yang bersumber dari saku roknya membuat Luna tersentak ditengah kantuknya yang semakin merajalela. Gadis itu menguap lebar engan menutup mulut. Melirik sekilas pada guru yang sedang menjelaskan materi didepan kelas sebelum mengecek siapa yang mengiriminya pesan.Opet💩| Abis bel pulang, gue ada kumpulan osis dulu| Lo tungguin bentar ya| Kalo kelamaan, duluan jg gppMe|Gue tungguin deh dikelasOpet💩| WokehLuna menghela nafas panjang. 1 jam lagi bel pulang berbunyi, sejak tadi yang menjadi perhatiannya adalah memastikan jarum jam terus bergerak yang entah mengapa berjalan begitu lambat."Yang dibelakang bisa perhatikan ke depan?"Luna masih tak sadar ketika guru didepan kelas berbicara padanya. Gadis itu malah menatap keluar jendela, kelewat malas untuk menyimak segala materi. Omongan Luna tadi nyatanya tak benar-benar dapat ia pegang."Lun... Pak Yogi ngomong sama kamu,"