Tiga orang itu saling melirik satu sama lain. Suasananya berubah kaku, Luna beberapa kali diam-diam menarik ujung seragam Opet disampingnya, bermaksud meminta bantuan. Wajahnya mulai terlihat gelisah, tapi entah kenapa Opet sama sekali tidak menyadarinya. Sejatinya Opet juga bingung harus berbuat apa, apalagi mendapat tatapan intens dari Pak Juan seperti ini.
Rasanya seperti tengah diintrogasi guna mendapat izin dari mertua.
"Jika sekali dua kali setidaknya masih bisa saya toleransi."
Opet meneguk ludahnya sendiri, sebelumnya ia juga sudah menduga hal ini akan terjadi. Ditatapnya Pak Juan setenang mungkin.
"Tapi jika terus-terusan seperti ini, artinya semua nilai-nilai kamu itu tidak murni, Aluna." Pria berkaca mata itu lantas menatap Luna prihatin.
"Tapi saya yang kerjain kok pak," sambar Luna dengan nada memelas.
Pak Juan mengernyit bingung, tak yakin dengan pernyataan Luna barusan. "Jadi yang benar, kamu yang kerjain apa Rio yang kerjain?!" tanyanya mulai jengkel.
Keduanya berjengit kaget saat pria dihadapan mereka menaikan nada suaranya. Pria yang dikenal punya humor tinggi saat mengajar dikelas itu kini terlihat mengerikan yang mampu membuatnya keduanya bergidik takut.
Opet menoleh, melempar tatapannya pada Luna seolah memberi gadis itu isyarat untuk menjawab pertanyaan Pak Juan seadanya. Intinya, ia pasrah.
"Dua-duanya deh pak," jawab Luna akhirnya. Pak Juan membenarkan letak kaca matanya, membingungkan.
Lantas setelahnya ia menatap Opet yang sejak tadi hanya duduk menyimak. "Rio, saya tau kamu ini sahabat terdekatnya Luna dan kamu salah satu murid teladan disekolah ini. Tapi jika kamu bersikap seperti ini terus pada Luna, kemungkinan Luna sekolah gak bakal dapat apa-apa." Pak Juan menghela nafas sejenak. "Jadi, bisa kan kamu bantu dorong Luna buat belajar, bukannya kamu yang malah mengerjakan tugas Luna. Lagian bukannya kelas kalian ini berbeda?"
Si empu yang terkait pembicaraan malah menguap lebar, melirik Opet lewat ekor matanya. Sungguh tak tahu diri, gerutu Opet dalam hatinya.
"Luna belajar juga gak bakal pinter-pinter, Pak," cicit Opet.
Brakkk...
Pak Juan dan Opet sontak berjengit kaget saat tiba-tiba Luna menggeplak meja dengan buku yang diambilnya asal entah dari mana.
"Yahh... semutnya mati," gumam gadis itu tanpa dosa seraya menatap nanar seekor semut yang sudah tak bernyawa. Opet meringis, sementara Pak Juan hanya menatap datar.
💤💤💤"Gue pinter kok. Cuman dalam hal lain yang gak orang lain ketahui." Bibirnya maju 5 senti selepas keluar dari ruangan kantor guru bersamaan dengan berbunyinya bel istirahat. Waktu kosongnya terbuang sia-sia, pikir Luna."Contohnya?" tanya Opet berharap jawaban Luna kali ini tak membuatnya ingin menepuk jidat. Bahkan detik ini saja Opet masih jengkel dengan kelakuan Luna barusan.
"Merangkai mimpi yang indah." Entah Opet harus ngakak atau bagaimana, tapi melihat bagaimana Luna mengatakannya dengan ekpresi seolah putus asa membuatnya terlihat menyebalkan.
Sudahlah, Luna memang terlalu sulit untuk dipahami. Beruntung hanya satu yang sepertinya didunia ini.
"Molor terus!" gadis itu mendengus kesal, kini rambutnya berantakan oleh ulah Opet.
"Itu kebutuhan, memangnya lo gak butuh molor?"
"Gue molor ya seperlunya. Gak kayak lo, molor terus gak bakal dapet apa-apa."
Luna tertegun, entah kenapa kalimat Opet berusan berhasil menyentil hatinya. Bukankah maksud Opet ia tidak berguna? Baiklah, Luna seharusnya bersikap seperti biasanya yang tak peduli terhadap perkataan orang lain. Tapi untuk kali ini, Luna tak bisa menerimanya. Terlebih kata-kata itu keluar dari mulut seseorang terdekatnya yang harusnya bisa mengenal Luna dengan baik.
Ia mengedarkan pandangannya pada siswa-siswi yang berlalu lalang dilorong sekolah dengan segala kegiatannya.
Gadis itu menatap Opet sekilas sembari menghela nafas panjang, menghembuskannya kasar. "BUAT LO! LO! LO SEMUA!"
Opet melotot saat Luna berteriak dan menunjuk secara acak siswa-siswi disepanjang koridor tiba-tiba tanpa alasan.
"DENGERIN UCAPAN GUE BAIK-BAIK YA! LIAT AJA! GUE MUNGKIN PEMALAS! TAPI GUE GAK SEBODOH YANG KALIAN KIRA!"
"GUE BISA PINTER! GUE BAKAL TUNJUKIN KE KALIAN KALO GUE INI GAK BISA DIREMEHIN... Mmphh!!!"
"Lo malah keliatan kayak orang gila kalo kayak gini caranya." Opet membekap mulut Luna, menyeretnya menghindari segala tatapan berbeda-beda makna yang mengarah padanya.
Gadis itu meronta, menghempaskan tangan Opet kasar. "Kenapa gue harus peduli?" sinisnya.
Opet merotasikan bola matanya. "Jelas, selain keliatan kayak orang gila dan bodoh lo kayak gak punya harga diri tahu gak?"
"Gue-" Luna tak melanjutkan perkataannya, gadis itu memilih melenggang berlalu meninggalkan Opet yang terpaku saat menyadari kata-katanya yang diduga melukai perasaan Luna. Apa ia kelewatan?
Dengan langkah seribu, ia mengejar Luna, mensejajarkan dirinya kembali dengan gadis itu yang kini tampak engan menatapnya. Seketika perasaan bersalah menyusup masuk diantara relung hatinya.
"Maaf, gue gak bermaksud ngomong kayak gitu," tutur Opet pelan.
Gadis itu tak menggubrisnya, tetap melangkah dengan pandangan lurus ke depan. Opet berdecak, laki-laki itu mulai uring-uringan tak jelas.
"Lun, maafin gue. Gue gak bisa didiemin sama lo kayak gini."
Luna lantas menoleh setelahnya, menampilkan senyuman termanisnya. Opet bahkan masih tak menyangka Luna bisa kembali dalam mood baiknya dalam hitungan menit.
"Gue tau, gue harusnya sadar. Gue bakal lebih berusaha buat belajar dan buktiin sama lo kalo gue bisa jadi lebih baik."
Opet melotot, kali ini tak percaya dengan penuturan Luna barusan. Ah, gadis itu memang sulit ditebak. Tapi setidaknya ia bersyukur, Luna tak marah padanya. Beberapa menit yang lalu adalah hal yang membuat jantung Opet rasanya berdetak dua kali lebih cepat tanpa sebab, ia takut.
"Lo gak marah sama gue, kan?"
"Jongkok!" Suruh Luna, bukannya menjawab.
"Mau ngapain?" dahi laki-laki itu mengernyit heran.
"Gue bakal jadi orang pinter, gue bakal belajar abis ini," ungkapnya. Opet masih tak mengerti dengan perubahan mood gadis itu sebelum akhirnya menurut begitu saja, mengantisipasi agar Luna tidak bertindak anarkis.
"Terus apa hubungannya lo nyuruh gue jongkok?"
"Gue capek teriak-teriak. Ke kantin yuk, beliin gue minum, haus!" Detik berikutnya Luna sudah melompat kepunggung Opet, memeluk lehernya nyaman, setengah menyekik sepertinya. Ya, sepertinya Luna menyimpan dendam. Dan Opet hanya bisa pasrah kala Luna melempar senyuman smirk tanpa dosa.
Laki-laki itu bangkit setengah oleng dengan wajah memprihatinkan. "Lo emang udah gak ada harapan Lun," lirih Opet.
Sementara orang-orang disekitar yang menyaksikan adegan itu mengelang tak heran. Sedikit iri dengan hubungan keduanya, tapi terlepas dari itu ada hal lain yang tak pernah orang lain duga diantara Opet dan Luna kedepannya.
To Be Continue...
Drtt... drtt... drtt...Getaran yang bersumber dari saku roknya membuat Luna tersentak ditengah kantuknya yang semakin merajalela. Gadis itu menguap lebar engan menutup mulut. Melirik sekilas pada guru yang sedang menjelaskan materi didepan kelas sebelum mengecek siapa yang mengiriminya pesan.Opet💩| Abis bel pulang, gue ada kumpulan osis dulu| Lo tungguin bentar ya| Kalo kelamaan, duluan jg gppMe|Gue tungguin deh dikelasOpet💩| WokehLuna menghela nafas panjang. 1 jam lagi bel pulang berbunyi, sejak tadi yang menjadi perhatiannya adalah memastikan jarum jam terus bergerak yang entah mengapa berjalan begitu lambat."Yang dibelakang bisa perhatikan ke depan?"Luna masih tak sadar ketika guru didepan kelas berbicara padanya. Gadis itu malah menatap keluar jendela, kelewat malas untuk menyimak segala materi. Omongan Luna tadi nyatanya tak benar-benar dapat ia pegang."Lun... Pak Yogi ngomong sama kamu,"
Baru saja kakinya melangkah pada undakan tangga ke-3. Suara mengintrupsi dari belakang menghentikan gerakan Rega. Laki-laki itu memejamkan matanya sebentar sebelum akhirnya memutar tubuh menatap sosok pria yang masih mengenakan setelan kerjanya. Gurat wajah lelah tercetak jelas disana, meski kini pria itu menatapnya tajam.Berharap mendapat sambutan hangat? Menginjakkan kakinya dirumah ini saja Rega sudah cukup muak.Ini baru pukul 8, Rega pikir Papanya belum pulang. Biasanya pria itu sampai dirumah pukul 9 atau bahkan tengah malam."Baru pulang kamu? Kenapa sekalian aja gak usah pulang?!"Rega hanya diam kala ucapan dengan nada tinggi itu menelusup masuk gendang telinganya. Menciptakan gema yang entah mengapa mendengung cukup lama. Seolah sengaja diulang-ulang, dan rasanya menghantarkan sesak yang perlahan menjelma menjadi luka baru yang menghiasi relung hatinya."Saya sekolahin kamu bukan buat jadi berandalan. Hobinya kelayapan, disekolah bisanya
Dibalik tembok, bersama kepulan asap rokok yang mengepul. Laki-laki itu duduk dengan nyaman, tersenyum sembari mendongakkan kepalanya, menatap rembulan yang menyinarinya wajahnya yang sekilas terlihat baik-baik saja meski pada beberapa tempat tampak lebam, tapi rupanya ia tak cukup peduli. Selain karena terbiasa, ia tak tahu harus bagaimana."Aaaa... sakit! Pelan-pelan dong!"Laki-laki itu tersenyum geli mendengar keributan dari sebuah kamar. Bagaimana setiap jeritan yang melengking dari salah satu diantara mereka mampu membuatnya tertawa dalam diam. Sejenak, ia seolah lupa perihal kejadian beberapa saat lalu."Lo gak tau rasanya gimana! Aaaa... Kampret! Gue bilang pelan-pelan!" jeritnya lagi.Rega, laki-laki itu kembali menghisap benda bernikotin yang terselip diantara dua ruas jarinya. Ini sudah puntung ke-3, tapi seolah lupa diri Rega tak tahu kapan akan berhenti.Untuk malam ini saja, ia ingin semua berlalu sebagaimana mustinya. Tak ada bentakan, pe
Dikelasnya, Opet bertopang dagu menatap lurus papan tulis. Tak biasanya, kali ini ia tak dapat fokus menyimak pelajaran. Entah apa yang dipikirkannya kala itu, yang pasti ia ingin segera pulang, demikian penasaran dengan apa yang Luna lakukan dirumahnya. Walaupun ia sudah cukup tahu apa yang akan dilakukan gadis itu selain rebahan dikasur sembari memakan cemilan yang bercecer dan laptop yang menampilkan anime atau drakor kesukaannya."Ngelamun aja lo, Pet." Banyu disampingnya yang sejak tadi sibuk konser tanpa suara menyentak Opet. Membuat Laki-laki itu kelabakan lantas mengusap wajahnya dengan kedua tangan."Mikirin apa, sih lo?" Opet mengelang pelan, mendapat respon seperti itu Banyu hanya dapat mendengus pelan."Kayaknya gue perlu ke toilet dulu deh," ujar Opet."Mau boker lo?" Banyu mendelik. "Yaudah sono, jan lupa cebok.""Yeuu... si kampret!" Opet menonyor pelan kepala Banyu sebelum menegakkan tubuhnya.Begitu Opet meminta izin lantas setela
"Maksud lo apa kayak gini sama Iva?" Opet menatap tajam gadis dihadapannya yang seketika mati kutu. Melirik gadis disampingnya yang tampak berantakan, memungut kaca matanya yang sudah retak sebagian. "Lo gak apa-apa kan?" Iva mengangguk pelan sebagai jawaban sembari menerima kacamatanya kembali. Karina berdecak tak suka. Mendelik kesal pada Iva yang berusaha menyeka air matanya yang tanpa henti mengalir begitu saja. "Drama!" hardiknya dengan nada rendah. "Jadi gini kelakuan anak kepala sekolah yang terhormat itu?" Laki-laki itu kembali menatap Karina tajam, suaranya dingin namun terdengar mencekam. Kedua antek-antek Karina menunduk gentar tak berani menatap Opet. "Gue cuma-" "Cuma apa?" sela Opet cepat. Karina lagi-lagi dibuat diam. "Ternyata selama ini begini kelakuan lo. Berbuat semena-mena dan menindas orang-orang kayak Iva barusan." Karina bersedap dada, gadis itu menyelipkan anak rambut yang menghalangi wajahnya. "Udahlah, l
"Arghhh... lo gendong gue yang bener dong. Segitu gak terimanya menderita bentar!" Luna mendorong Rega geram begitu laki-laki itu menurunkan tubuhnya tanpa aba-aba, padahal jarak menuju rumahnya masih cukup jauh. "Kalo aja lo gak teriak-teriak dikuping, gue gak masalah!" omel laki-laki itu sembari mengusap-usap telinganya yang memerah. "Ck, dasarnya tukang onar tuh ya gini," geram Luna. "Gak tau diri!" Rega menepis lengan Luna yang memegangi bahunya guna menyesuaikan keseimbangan. Gadis itu mendesis lantas berjalan tergopoh setengah terpincang mendahuluinya menghampiri Opet dan Iva. Dua orang itu terheran menatap kedatangan Luna dari arah belakang yang terengah-engah. "Kalian habis dari mana?" tanya Opet pada Luna. Disisi lain Luna menghela napas lega saat gadis yang dibonceng Opet ternyata Iva yang mana sudah berjanji akan kerumahnya kala itu. Entah mengapa ia sedikit tidak rela jika seandainya itu orang lain. Ehm... mungkin lebih tepatnya ji
Hening, dua orang yang berjalan beriringan itu hanya bungkam, tenggelam dengan pikiran mereka masing-masing. Rega melirik Iva sekilas, cewek kaku itu hanya menunduk.Rencananya ia akan mengantarkan Iva pulang, namun sebelumnya ia harus pergi ke rumah Adit untuk mengambil motornya yang tinggalkannya disana semalam. Selain itu ia juga harus berpamitan dan berterima kasih pada Adit telah bersedia menampungnya untuk semalam. Walau laki-laki itu selalu mengatakan Rega bebas ingin menginap berapa lama pun tak masalah."Padahal lo bisa nunggu dirumah Luna," gumam Rega memecah sunyi.Cowok yang kini berhiaskan plaster dipelipisnya itu mendongak. Memandang semburat orange yang mulai menghiasi angkasa, tanpa awan yang beberapa waktu lalu membuatnya tampak abu-abu.Iva tak menjawab, bingung harus mengatakan apa. Ia gugup saat mata elang Rega kini menatapnya intens. Jika diingat-ingat lagi, mungkin ini pertama kalinya Rega berbicara padanya wa
Rega luar biasa terkejut saat mendapati laki-laki yang tetiba saja berdiri mencegat laju motornya, memaksanya mengerem secara mendadak. Seandainya tidak tepat waktu, Rega pastikan ban motornya akan melukai kaki laki-laki itu. Menghela nafas lega, Rega melirik wajah si biang kerok yang tampak temaram disinari cahaya bulan. "Cari mati lo?" tanyanya dengan intonasi dalam meredam kesal. Apalagi mendapati wajah laki-laki itu yang tetap kelem, seolah hal barusan bukanlah masalah besar. "Lo yang cari mati, mau kemana lagi habis ini?" laki-laki pemilik wajah datar itu menatap Rega mengintimadasi, terlebih plaster dipelipis yang menarik perhatiannya. Apa itu salah satu ulah Prahardi? begitu pikirnya. "Loncat dari atas jembatan. Ngapain nanya? Sok perhatian amat." Rega melengos tak ramah. Ralat, selalunya seperti itu jika berhadapan dengan Bara. "Bokap lo gak ada dirumah," kata Bara sesaat sebelum melangkahkan kakinya melewati Rega yang tercenung mencerna