Minggu berlalu dengan cepat setelah pagi-pagi sekali Danish dan Sayna harus pulang dari Lembang. Sementara kekasihnya meneruskan perjalanan hingga ke Jakarta, Sayna berada di kamar kosnya. Sejak sampai hingga malam hari dia tidur nyenyak sekali. Sudah jelas kecapaian, karena kegiatan yang dihabiskan dengan Danish bukan main. Sayna kelelahan.
Kendati yang, em.... lebih banyak bergerak adalah pemuda itu, tetap saja sebagai objek yang dituju Sayna pun merasa capek, lemas dan letih. Berat badan Danish sepertinya naik akhir-akhir ini, dia makin berat saja saat bertumpu di atasnya.
Ibunda: Teh, jangan lupa sarapan, ya. Ibu doakan apa pun yang Teteh jalani hari ini lancar.
Sayna melihat ke luar jendela kamarnya, masih gelap, dia yakin ibunda pasti baru selesai beribadah dan langsung menghubunginya di awal minggu ini. Tidak ada drama bangun kesiangan Senin pagi karena minggunya Sayna tidur nyenyak sekali. Dia menggeliat bangun, memotret dirinya sendiri lalu mengirim foto itu pada Danish.
Sayna: Selamat pagi! Tidur nyenyak malam tadi?
Dia tahu kalau Danish sudah bangun sepagi itu, tapi pemuda yang Sayna kenal 5 tahunan ini jarang berinteraksi dengan ponsel. Ada saja yang dia kerjakan sehingga media sosial pun Danish tidak punya. Menurut beberapa orang, dia tertutup dan susah didekati, padahal Danish orang yang ramah dan ceria sekali.
Danish: Pagi, Sayang (smile)
Danish: Senyumnya jangan cerah-cerah, nanti matahari kalah.
Sayna menyengir, dia menyimpan ponsel lalu bergegas ke kamar mandi, beruntung sekali sudah ada stiker di jendelanya, jadi tidak ada drama bertemu dengan si cicak gila. Dia menyalakan shower air hangat dan mulai mandi sembari bersenandung ringan. Beberapa botol produk perawatan kulit terpajang di rak, Danish yang membelinya, beberapa juga hadiah dari Dinara, bahkan Pradnya.
Ya, cukup menguntungkan memang mengenal Danish dan keluarganya walau Pradnya dan Pramudya terhitung orang baru dalam hidup pemuda itu. Karena mereka kaya raya, jadi sering sekali pergi belanja lalu membagi-bagikannya. Dan kendati hubungan Sayna dengan mereka tidak terlalu baik, ipar kembar Danish itu tidak membedakan jatah oleh-oleh untuknya. Sayna sering dapat apa saja, produk kecantikan, parfum, pakaian, sepatu dan tas mahal. Biasanya Danish yang jadi kurir antar.
Bangunan kos Sayna terdiri dari empat lantai dan dia menempati lantai kedua, pemandangan dari atas cukup bagus, terutama di pantry kamarnya karena ada jendela yang bisa dibuka. Udara dingin Bandung menyapu saat Sayna menggoreng telur untuk sarapan. Makan roti dengan telur dan saus sepertinya bagus, Sayna belum belanja apa-apa, tapi Danish tiap minggu datang untuk mengisi kulkasnya juga.
Dia benar-benar pacar yang baik. Mereka mirip suami istri sungguhan tanpa ikatan pernikahan. Danish juga mengiriminya uang bulanan yang jarang Sayna pakai, rasanya tidak enak, tapi kadang dia punya kebutuhan mendesak. Tidak apa-apa, sisa uangnya ditabung untuk tambahan modal mereka menikah di masa depan, meski Danish bilang itu untuk jajan.
“Sayna! Udah ketebak, pasti pakai merek Okamoto karena itu yang paling tipis bin ngeunah buat coli-an.”
“Hah?” Sayna terperangah.
Baru saja sampai di kelas dan Erwin sudah menyambutnya dengan kehebohan. Mereka mengumpulkan sampel sperma yang disimpan dalam klep berlapis plastik ziplock per-kelompok. Dan dalam sekali lihat, Erwin langsung mencecarnya, pemuda itu mengangkat bahan praktikum yang Sayna bawa dengan ibu jari dan telunjuknya.
“Bilangin kabogoh maneh, Say, coli sakali deui. Biar A Erwin yang modalin kondomnya.”
“Belegug!” Rafika menjitak kepala Erwin dari arah belakang, pemuda itu mengaduh tapi tidak diindahkan. “Naha lain maneh wae, Win? Nanaonan nyuruh pacarnya Sayna, kan jauh di Jakarta.”
“Heh, ini teh hari apa, Ceu Pika? Ini hari Senin alias Monday, yeuh kabogoh Sayna tiap Monday to Friday mah si Kang Giopani bukan orang Jakarta lagi.”
Sayna buru-buru memisahkan keduanya. “Kenapa memang? Yang ini kenapa? Nggak bisa dipakai, ya?”
“Nggak bisa, Say.” Rafika menanggapinya segera. “Tadi udah diskusi semua, anak-anak lain mulai cari yang jualan mani, soalnya nggak akan keburu buat praktek nanti siang. Rata-rata bawa bahan pakai kondom yang ada spermisidanya, nggak akan bisa dipakai buat latihan.”
Sayna menepuk jidat. Dia dan Danish mendapatkan benda cair itu susah payah dan ini yang harus mereka dapatkan. Kelas mulai riuh karena dosen belum datang untuk mengajar pagi ini, beberapa mahasiswa didesak oleh mahasiswinya. Mereka butuh bahan praktek segera, banyak kelompok yang belum mendapatkannya.
“Nih, gampang sebenarnya mah karena seangkatan kita ada berapa mahasiswa laki-lakinya? Itu kalau disuruh masturbasi semua bahan praktek kita terpenuhi kuotanya.” Salah satu anak mengusulkan pendapat yang tentu disambut protes cepat.
“Kamu pikir gampang dapetnya?”
“Yang namanya mau masturbasi itu sama kayak ibu-ibu mau lahiran, butuh proses, nggak bisa tiba-tiba disuruh terus dapet, kecuali yang udah pro tuh!”
“Kita semua habis diperas, terus pas praktek nggak ada yang beres karena lemas.”
“Nah!”
Bayangkan saja satu kelas itu diisi 120 orang, bagaimana riuh dan gaduhnya suasana saat tidak ada pawang alias dosen di depan sana. Sayna sakit kepala, tidak tahu harus bagaimana, harus ke mana mencarinya, meski teman kelompok mendapat nomor makelar sperma tapi mereka tidak terima pesanan lagi, sudah penuh untuk hari ini, kuota mereka sangat terbatas.
Dan menyuruh anak laki-laki melakukannya amat tidak pantas, kecuali mungkin seperti Danish dan Sayna yang rela-rela saja karena mereka mendapat kompensasi demi cairan mani. Itu terbukti dari desah demi desah yang bergaung dua malam berturut-turut kemarin. Kalau Danish ada di sini, dia akan membantunya dengan senang hati. Tapi masturbasi dengan pemaksaan dan keterpaksaan amat tidak dianjurkan, kecuali orang-orang profesional yang terbiasa melakukannya.
“Say, gimana?” Rafika kembali membuat Sayna memijit pelipisnya.
Setelah kelas PBL pagi ini Sayna punya 1 jam kosong menuju kelas tutorial dan 2 jam istirahat menuju praktikum di laboratorium Patologi Klinis. Dia memutar otak, tangannya bergerak cepat, menghubungi seseorang, meminta pertolongan.
Sayna: Kak Gio, bisa ketemu sebentar kalau ada waktu senggang? Aku mau minta tolong.
****
Senin yang baik. Awal minggu yang baik karena berakhir dengan minggu yang melegakan. Hubungannya dengan Sayna kembali harmonis, gadis itu kembali jadi pacarnya yang manis, tidak ada gangguan orang ketiga seperti biasanya—Giovanni, dan... Pramudya kembali ke Jakarta setelah membuat kehebohan di mana-mana karena semua orang sibuk mencarinya.
“Nggak ada yang nyariin Dya, aku juga biasanya santai kok, Mas. Tapi waktu itu Danish nanyain jadi ya tak cariin, lha anaknya ngilang siapa yang nggak khawatir? Di Surabaya nggak ada, di Jakarta juga sama, nggak naik pesawatnya siapa-siapa, kan panik semua!”
Pradnya mengoceh di panggilan telepon saat Arya mengomelinya karena mereka terkesan berlebihan dalam melakukan pencarian terhadap Pramudya. Lucunya, Danish adalah terduga sebagai biang kerok, coba kalau dia tidak iseng menanyakan di mana keberadaan Pramudya pada Pradnya, sudah pasti semua akan aman-aman saja.
Danish jelas tidak terima disalahkan, tapi dia juga lega karena Pramudya kembali setelah ditinggalkan olehnya terakhir kali. Jadi Senin paginya, dia merasa tenang sekali, banyak hal berhasil diatasi. Sayna juga tidak berlebihan padanya lagi.
“Hai, Nish. Sudah pulang kuliah, ya?”
Namun seperti kata pepatah juga, dunia ini tidak adil apabila hidup seseorang terlalu sempurna. Masalah itu perlu untuk terus mengasah kewaspadaan.
“Kelihatannya, Om?” jawab Danish seraya menyunggingkan bibir. Baru saja turun dari mobil dia sudah disambut oleh seorang pria yang... tidak disukainya. “Masuk, Om, tapi kayaknya Mama belum pulang.”
Tiodore mengulas senyum berwibawa, sudah jelas itu pengusiran serta sindiran halus untuknya. “Kalau Melia belum pulang, berarti kamu yang nemenin Om ngobrol, ya?”
Danish agak meringis tapi tidak langsung menolak atau menerima tawarannya. Dia hanya mendorong pintu utama dan Danish terkejut karena mendapati seorang gadis tengah menduduki kursi ruang tamunya.
“Dya?” panggil Danish pada tamu tak diundang itu. “Mama mana?” tanyanya. Sudah pasti Pramudya hanya bersedia datang jika ibunya yang meminta.
“Di dapur,” jawab gadis itu sambil berdiri dari tempatnya duduk. Dia melirik heran pada orang di sebelah Danish, Dya tidak mengenalnya.
“Kok mobilnya nggak ada? Kirain Mama belum pulang,” ujar Danish tak enak hati, merujuk pada caranya mengusir Tio barusan. “Duduk, Om, nanti Mama aku panggilin aja. Aku nggak bisa nemenin ngobrol, maaf ya. Ini ada temanku datang.”
“Nggak apa-apa, Nish.”
“Kami pamit dulu, Pak.”
Pramudya memberi sapaan sekaligus berpamitan sebagai ajang basa-basi, sementara dia pikir Danish akan memanggil ibunya lebih dulu dan memberi tahu bahwa ada tamu, tapi Dya salah besar. Danish menariknya langsung ke lantai dua, bukan ke dapur.
“Lo dari mana aja?” tanya Danish pada gadis itu setelah merasa cukup jauh dari ruang tamu. Biar saja Melia tidak tahu kalau pacarnya datang, Danish sengaja melakukannya. “Lo habis ketemu hari Jumat sama gue terus ke mana, Dya?”
Pramudya tidak menjawab, dia berjalan mendului Danish untuk duduk di kursi santai dekat jendela kamar. Eh, sejak kapan mereka masuk ke kamar?
“Ck, Dya jawab!” Danish mencak-mencak. Manusia sebiji ini kebiasaan sekali malas menjawab pertanyaan orang.
“Ke Singapur,” ujar gadis itu sambil duduk bersandar. “Weekend di sana.”
“Sama siapa?” Danish penasaran. “Jangan bilang sama cowok lo yang kebagian jatah kencan hari Sabtu!” cecarnya.
Pramudya melipat tangan di atas perut, menaikkan sebelah alis, maksudnya apa sih?
“Dya, lo udah gila? Berduaan sama cowok ke luar negeri? Lo tidur berdua?”
“Apa sih, Danish?” Pramudya merasa jengkel diinterogasi pemuda itu. Cerewet, mirip Mas Arya. “Mau ikut minggu depan?”
“Nggak, ya!” tolak Danish cepat. Padahal seharian ini sudah tenang, tapi berkat bertemu dengan pacar ibunya dan kelakuan Pramudya sekarang, Danish jadi meradang. “Lo tahu nggak gimana paniknya orang-orang? Gimana rasanya jadi gue yang lagi pacaran sama Sayna disuruh bubaran pulang buat nyariin lo doang? Gue nyetir dari Lembang ke Jakarta subuh-subuh, Dya!”
Pramudya mengorek kupingnya dengan jari kelingking, lama-lama bisa pengang mendengar ocehan Danish yang tidak ada habisnya. Sebenarnya kenapa sih dia?
“Lebay,” desis gadis itu pelan, tanpa memperdulikan reaksi Danish setelahnya.
“Bagus lo, ya! Berani lo ngomong gitu di depan Bu Ayudia?!” Ibu angkat Pramudya yang bahkan bisa pingsan hanya karena mendengar anaknya tergores kaca. “Mbak Dinar mau lapor polisi tahu, nggak?!”
Duh, Danish kenapa sih? Dia pasti banyak masalah makanya melampiaskan itu semua pada Dya, kan? Saat dia pulang kemarin, tidak ada yang memarahinya—sama sekali. Dan kenapa orang ini dengan semangat berapi mengorek informasi sekaligus membentak-bentaknya begini?
“Dya!”
“Apa?”
“Lo dari mana? Sama siapa? Ngapain aja?”
Pramudya membeliak tak percaya, pertanyaan Danish tidak perlu dijawab olehnya. Kenapa juga dia harus menjawabnya, kan? Memang apa urusannya?
“Heh, gue lempar lo ke luar jendela. Jawab buruan!” ancamnya sambil benar-benar menggeser kaca di depan mereka. Dya sudah pernah benar-benar dilempar oleh pemuda itu, meski tidak ke luar jendela. Jadi sekarang rasanya agak ngeri juga.
“Gue sama karyawannya Mas Arya.”
“Hah?” Danish menganga tak percaya.
“Kak Henny bilang dia kangen temennya yang di Singapura, terus Tante Dian pengen jalan-jalan sore di Orchard, beli tas sama sepatu, jadi kami ke sana.”
“Sama cowok lo juga?”
“Iya.”
“Kok lo pergi nggak bilang-bilang, sih?”
“Biasanya juga nggak bilang.”
Bagus sekali. Ternyata orang yang dikhawatirkan seluruh umat di sini malah sedang senang-senang di Singapura bersama teman dan pacarnya. Sia-sia sekali rasa syukur dan lega yang Danish rasakan seharian ini padanya, saat ini yang ada Danish murka pada Pramudya.
“Mas sama Mbak nggak akan panik nyariin gue kalau bukan karena lo telepon Anya,” ucap gadis itu padanya.
“Oh, jadi lo nyalahin gue sekarang?”
“Aduh... ini kenapa ribut-ribut begini anak dua? Ada apa?”
Melia datang sebagai penyelamat, ada jus pomegrante di gelas tinggi yang dia bawa, minuman kesukaan Pramudya. Maka gadis itu bangkit dari kursi dan mengambilnya, mengabaikan Danish yang masih—entah kenapa—marah-marah saja.
“Tuh, si Dya, Ma. Nyebelin!” Danish tidak bilang alasannya apa, langsung melabelinya, untung saja Melia bukan orang yang gampang terhasut.
“Marah-marah mulu anak bujang, padahal baru kemarin ketemu sama Sayna, kan? Kayak lagi PMS deh, Nish.”
“Iya, aku ketemu Sayna bentaran aja gara-gara disuruh pulang sama Mbak Dinar buat nyariin Dya.”
“Kamu nginap dua malam lho di sana, itu nggak sebentar.” Melia berujar, dan Pramudya memeletkan lidah padanya. Danish kalah telak. “Kangen banget lihat kalian ngumpul bertiga. Anya nggak di Jakarta, ya?”
“Nggak, Bu. Anya lagi main di Jogja sampai hari Rabu. Aku mau ngasihin undangan pesta juga, ulang tahunku bareng sama Anya.”
“Ya iya bareng, kan anak kembar,” dumel Danish sebal.
Dya tidak sama sekali menggubrisnya. “Bu Melia datang, ya? Nanti akomodasi diatur bareng semua kok. Udah izin ke Mas Arya.”
“Gue nggak diundang, nih?” Danish menyerobot di tengah. “Tapi gue nggak mau datang kalau Sayna nggak ada.”
“Hush, Nish!” Melia menegur putranya yang nakal itu dengan sedikit pelototan. “Ibu boleh datang bawa teman, kan? Ulang tahun ke berapa, Nduk? Duh, undangannya bagus banget, Cah Ayu...”
Danish tidak lagi mendengarkan dua perempuan itu berbincang sejak mendengar ibunya berkata untuk membawa teman ke pesta ulang tahun Pramudya dan Pradnya. Sudah pasti pria di bawah sana adalah orang yang akan diajaknya. Danish yakin sekali. Dan dia tidak suka.
“Nih...” Pramudya duduk di sebelahnya, sementara Danish terlentang di tempat tidur. “Kasihin ke Sayna.”
Sebuah undangan berwarna putih kebiruan itu diserahkan. Danish sedang tidak ingin bicara, dia hanya membuka lembaran itu untuk melihat-lihat isi tanpa minat. Ada dress code segala, tanpa topeng untungnya, itu norak kalau benar ada. Anehnya, tidak ada foto Pramudya di sana, hanya Pradnya yang menghias tiap lembar di bingkai undangannya. Kenapa?
Namun Danish tidak ingin bertanya, jadi dia hanya menutup undangan itu dan diam dengan mata terpejam.
Ibunya tidak butuh wali untuk menikah lagi, beda dengan Dinara yang sangat membutuhkannya kala menikah dengan Arya. Kali ini, Danish harus apa? Dia ingin menentang, Danish tidak suka pada pria itu. Pria manapun yang membersamai ibunya, bahkan mungkin ayah kandungnya. Sebab Danish kecil tumbuh tanpa sosok ayah, jadi kehadiran mereka hanya mengusik dan membuatnya tidak tenang saja.
“Gue pengen pergi,” gumam pemuda itu pelan dengan kelopak mata yang terbuka perlahan. “Gue nggak suka dia ada di sini.”Danish melirik ke samping, Pramudya duduk seperti patung hidup di sebelahnya, tidak memberi reaksi apa-apa.“Tiap dia ada, gue nggak mau pulang.” Danish menambahkan, kendati Pramudya mungkin tidak mengerti apa maksudnya. “Tapi Mama suka banget sama orang itu, Dya.”Dan perasaan ibunya tidak bisa dicampuri, Danish tahu dengan pasti.“Dya...”“Ayo pergi!”“Gue nggak betah kalau dia ada di rumah.”“Jangan pulang.”Entah kenapa, meski itu terdengar tidak baik, Danish tersenyum dibuatnya. Dya memberikan hal-hal yang ingin Danish dengar. Sejujurnya, Danish tahu dia harus bagaimana, bersikap seperti apa, menerima keadaan dan membiarkan ibunya bahagia. Tapi nanti. Saat ini, dia hanya ingin dibenarkan oleh seseorang, dibela,
Hujan deras mengguyur siang menuju sore hari itu. Danish yang awalnya hanya berencana mengajak Pramudya membeli pakan Bolu terpaksa harus meneduh lebih dulu. Mereka pergi ke laundry Melia terdekat dari komplek perumahan, ada Hamam dan para pekerja di sana, mereka tidak berduaan selama menanti hujan. Danish memeriksa ponsel, tidak ada pesan dari Sayna seharian—selain tadi pagi untuk menyemangatinya.Dia rindu. Kenapa tetes hujan selalu membuat suasana menjadi sendu? Padahal baru kemarin mereka bertemu.“Bahasa Jawanya apa tuh? Kan kalau Sunda Neng, Dya maunya dipanggil apa?”Danish melirik Hamam yang suaranya sayup-sayup ditelan angin dan hujan di luar sana, deras sekali. Dia jadi membayangkan yang tidak-tidak, apa yang dilakukan ibunya bersama seorang pria di rumah? Danish jelas tahu kalau Melia rindu belaian dan sentuhan. Dia mengerti itu, usianya 20 tahun sekarang.“Dya aja.” Suara Pramudya baru terdengar kendati H
“Teh, Ibu nikah sama Ayah pas umur 30 tahun,” kata ibunya waktu itu. “Jadi punya anaknya agak telat, apalagi Ayah sebentar lagi pensiun. Ibu bakal sendirian bertempur buat biaya kuliah Teteh. Yang prihatin ya, Nak? Ibu mau Teteh menikah selesai kuliah profesi, biar ibu tenang, perjuangan ibu sama Ayah kelihatan hasilnya.”Tahun depan Ayah pensiun dari pekerjaannya, dan beberapa hal bisa jadi berbeda. Keluarga Sayna bukan pengusaha kaya atau keturunan konglomerat seperti Adiswara dan Ranajaya. Mereka bahkan tidak punya nama belakang yang keren, yang dipakai oleh seluruh keturunan generasi berikutnya. Keluarga Sayna hanya orang biasa, hidup berkecukupan, keduanya bekerja dan mengabdi pada negara.Namun masa abdi itu memiliki masa aktif, dan ketika tenaga serta abdinya tidak dibutuhkan lagi, beberapa kompensasi dicabut, tidak didapatkan lagi. Sayna bisa membayangkan bagaimana sulit dan beratnya Ibunda berjuang seorang diri membayar kuliah di kedokt
“Keterlaluan!”Sayna langsung menggigil ketika suara itu menyentak gendang telinganya. Bukan hanya kaget, dia juga ketakutan. Baru kali ini dia merasa sangat tersudut, tidak mampu membela diri sama sekali, tidak mau.“Lo nggak tahu apa aja yang udah gue lakuin buat bertahan, Sayna.” Pemuda itu terengah dengan wajah dan mata yang memerah. “Gue bahkan... saking nggak maunya ngasih Dya celah, sering jahat sama dia.” Napasnya terengah. “Demi lo,” lanjutnya. “Cuma lo satu-satunya.”Gadis itu semakin menundukkan kepala, dia kira menggigil hanya karena ketakutan, tapi ternyata Sayna juga sangat kedinginan, padahal tidak sedang hujan. Dia tentu ingat beberapa waktu yang lalu, saat keluarga Danish panik mencari keberadaan Pramudya usai ditinggal begitu saja demi segera menemui Sayna. Danish tidak hanya asal bicara, dia membuktikan dengan tindakan bahwa kesetiaannya tidak boleh diragukan.“Maaf, Nish
Jhare sopo aku nggak iso, jhare sopo aku nggak iso? Eyeliner-ku nggak roto lho, terus opo’o?Makeup-ku jan uaneh yet my friends say, hiiiii... apike!Raimu raiku do whatever you wanna doBuenci pol body shamming jan garai cryingGendat gendut kura kuru lambemu lambemuI love my body and... you should tooSiji loro telu Hi, all i love you!Suara Pradnya diiringi hentakan musik ketika menyanyikan kembali lirik andalan dalam lagu Pretty Real menggema di seluruh ruangan. Malam ini adalah pesta ulang tahun si kembar, suasana kediaman Ranajaya begitu meriah. Tamu sudah berdatangan sejak sore, sementara si empunya acara hanya terlihat salah satunya saja. Saudari kembarnya justru baru kembali dari halaman belakang rumah, lapangan golf pribadi keluarga, mengendarai Boogy, menerobos masuk ke ruang pesta, masih mengenakan pakaian kasualnya.
Hamam telah mengubah subjek dari “Berkat Doa Ibu” menjadi “HBD RAFID” Rafid: Selamat ulang tahun buat gue...Arvin: Ikan hiu makan tomat, hahaha tua amat!Hamam: AJG!Herdian: Heh, dateng-dateng langsung ngomong kasar lo. Jempol tuh dididik dulu ngapa?Hamam: AJG (Astagfirullah Jangan Gitu)Danish: Baru tahu gue *laughHamam: Ngumpul kuy, biar bos gue yang traktir.Danish: TAI!Hamam: TAI (Tak apa, Aku Ikhlas)Herdian: Ngarang banget lo, setan *laughArvin: Kuy, kapan kumpul? Pada ke Bandung aja, gue siapin villa. Kalian berangkat bareng Danish.Rafid: Gue sih lagi pengen dinner dulu sama cewek gue minggu ini, tapi masalahnya gue nggak ada duit. Sue banget ul
Gadis itu memeriksa bagian bawah tubuhnya yang lengket dan lembab. Lagi-lagi tidak dapat menahan lelehan air mata yang menyeruak. Sebuah pengkhianatan sungguhan telah dia lakukan pada kekasihnya. Dan bagaimanapun Sayna mencoba menyangkal, bukti seperti ini tidak bisa diabaikan. Tubuhnya merespons kegiatan sialan itu dengan benar, menolak kerja sama dengan otak dan akal sehat yang terus merasa jijik saat itu dilakukan.Sayna merasai berahinya sendiri karena merasa jahat dan ingin tubuhnya mendapat lebih saat bersama Giovanni. Bagaimana itu bisa terjadi? Kenapa harus begini? Kenapa tubuhnya harus ingin? Sementara otak dan akal sehatnya tidak menginginkan apa-apa.Apakah ini lumrah terjadi? Apa orang-orang yang diperkosa juga mengalami hal yang sama?“Kakak Sayna!”Suara itu mengejutkannya, membuat Sayna seperti ditarik dari keadaan setengah sadar dan segera membuka matanya lebar-lebar. Dia menolehkan kepala dan melihat seorang gadis muda berambu
“Hati-hati, ya. Titip salam buat Imo, kamu jangan bandel, jangan pacaran terus, pacarnya nggak boleh banyak-banyak, denger nggak?”“Iya.”Inara menyengir dengan rambut cokelatnya yang sengaja Sayna selipkan di belakang telinga. Dia semakin menggemaskan ketika kupingnya terlihat dengan ukuran daun telinga yang lebih lebar dibanding seharusnya.“Naik bus yang mana?” Danish menimbrung obrolan. Pagi itu mereka telah sampai di terminal Cibiru untuk mengantar Inara pulang ke Sumedang. Banyak bis antar kota dan minibus elf berjejer di sana. Rata-rata jurusan Bandung – Cirebon – Majalengka, entah yang mana satu milik Inara.“Aku mau naik Buhe!” Gadis Sunda berwajah bule itu menunjuk salah satu nama armada dengan mayoritas minibus berwarna merah tua keunguan, Buhe Jaya. “Biar kayak terbang dari Bandung ke Sumedang.”“Ih, jangan!” Sayna segera melarangnya. “Naik b
Sayna sekarang tahu bahwa Arunika merupakan putri sulung sekaligus putri satu-satunya dari Mark Tuan, seorang pria yang lahir dari wanita asli Sunda dan ayahnya berdarah Tionghoa. Pantas saja dia punya perawakan yang berbeda dengan para pribumi, meski dipanggil Gege oleh adiknya, tapi keluarga mereka sangat meninggikan kebudayaan dan adat Sunda. Mungkin karena ibu kandungnya memiliki latar belakang yang kental dengan budaya, kabarnya mereka adalah keluarga pengelola museum adat Sunda di Subang.Mark dan keluarganya menetap di Lembang, daerah Bandung yang juga dekat ke arah Subang. Dia bekerja sebagai direktur operasional perusahaan farmasi keluarga yang dikepalai oleh kakak kandungnya sebagai lulusan apoteker handal. PT Sagara Purnama adalah perusahaan yang bergerak di bidang industri kosmetik dan kontrak manufaktur pertama di Subang. Itu sekilas yang Sayna tahu dari hasil pencariannya di internet mengenai latar belakang pria itu.“Sebenarnya saya ke rumah sakit
“Sayna, Adek koas favorit Bunda, sini-sini.” Sayna menyengir pasrah ketika salah satu perawat senior memanggil namanya sambil melambai-lambaikan tangan. Sudah pasti dia akan dapat tugas tambahan. Mereka bilang, anak-anak koas adalah keset kaki karena acapkali diperlakukan semena-mena selama menjadi sukarelawan di rumah sakit. Tak jarang yang memperlakukan mereka tidak manusiawi adalah rekan-rekan seniornya sendiri. Di stase ini tentu Sayna tidak terlepas dari orang-orang dengan profesi dokter, perawat, hingga bidan dan lain-lainnya. Namun nasib anak-anak magang dari angkatan perawat dan kebidanan jauh lebih mengenaskan. Tak jarang Sayna yang harus membimbing mereka saat ada waktu senggang. “Kamu ke perina, ya. Banyak yang mau aterm hari ini.” “Baik, Bu.” Sayna menurut dengan mudah saat kepala perawat favoritnya meminta bantuan untuk membuat dia berjaga di ruang perina dan menunggu ibu-ibu yang akan melahirkan bayi. Ruang itu terhubung
“Dede enakan? Boleh Ayah minta sun?” “Boleh.” Gadis kecil berusia dua tahun lebih itu mendongak untuk mengecup wajah sang ayah. “Napa?” “Nggak papa, ayah cuma mau minta sun aja. Kangen sama Dede.” “Hai, Nika...” sapa Sayna ramah, meski pada kenyataannya Arunika yang ini lebih suka pada Rafika saat mereka berkunjung untuk memeriksa keadaannya. “Udah minum susu belum, Sayang?” “Nggak mau.” Dia menggeleng lemah. Gadis kecil itu merengut, merapatkan tubuhnya pada sang ayah. “Sus, ini bisa nggak dititip sebentar? Nanny lagi makan siang di kantin, saya ada keperluan yang harus dibeli ke luar.” Sayna tersenyum dan mengangguk. “Silakan, Pak. Biar Arunika saya yang jaga.” “Wah, ini Tante susternya hafal nama Dede.” Pria itu bersorak senang. “Tunggu sebentar, ya? Ayah mau beli sesuatu, nanti Dede beli mainan baru deh, mau?” “Nggak mau.” Arunika menggelengkan kepala tanda tak setuju. “Nika mau minum susu sama tante?” tawar
Setelah bulan lalu mengakhiri masa abdinya di stase bedah, yang mana membuat Sayna merasakan pengalaman luar biasa selama berada di sana, mulai minggu ini dia mendapat giliran berjaga di stase anak. Meskipun mengingat perjuangan serta pelajaran yang dia dapat dari stase bedah sangat berharga dan beragam, Sayna lega karena bebas dari sana. Stase bedah memiliki pasien yang banyak, nyaris membludak untuk di-follow up setiap hari. Tapi di sana juga keterampilan Sayna sangat diuji. Kemampuannya menjahit luka semasa kuliah pra-klinik selama 3,5 tahun benar-benar direalisasikan. Sayna bahkan belajar menyunat di stase ini. Dan yang paling berkesan adalah melakukan operasi transplantasi kulit pada pasien luka bakar yang mana kulitnya diambil dari bagian paha dan ditanam ke punggung. Luar biasa, Sayna merasa jadi mahasiswi kedokteran betulan saat itu. Dan semuanya sudah berlalu, Sayna tidak yakin lulus di stase itu karena mahasiswa sepintar Gio saja dulu tidak mampu m
Anya merasa lebih tenang sekarang, karena meski saudarinya akan merantau ke negeri orang, dia mengantongi izin untuk berkunjung ke tempat Dya belajar sesering yang dia ingin. Setelah melakukan pentas drama di depan ayah dan ibunya, Anya dikonfirmasi akan segera memiliki privat jet miliknya sendiri untuk keperluan pulang pergi melongok Dya di New York. Dan berhubung keduanya anak kembar, tidak adil rasanya jika Ranajaya hanya membelikan untuk salah satu dari mereka saja. Alhasil, Dya yang tidak berminat sama sekali pada benda bisa terbang itu pun harus ikut menerima pemberian orangtuanya. Mau tidak mau.“Aku nanti minta jadwal kamu pokoknya, biar pas kamu free aku ke sana.”Dya mengangguk mendengar permintaan saudarinya itu, sedikit lega karena Anya tampak lebih bersemangat dibanding beberapa hari yang lalu. “Kamu baik-baik, ya.”“Aku yang harusnya bilang gitu.” Anya berguling dari posisinya saat ini dan telungkup untu
“Lo masih mau di sini?” Suara Danish menyadarkannya kembali. “Kalau mau sama Hamam nggak papa sih.”“Eh, nggak, Nish, nggak! Gue nggak enak juga kalau harus ke kamar Dya.” Hamam salah tingkah dan mengusap tengkuknya gelisah. “Dya sama Danish aja, ya? Biar Mas Hamam di sini jagain Anya, oke?”“Oke.”Pada akhirnya Dya pasrah saat Danish membantunya mengalungkan tangan dan berjalan tertatih menuju villa tempat mereka menginap. Sementara Hamam, Anya, Arvin, Rafid dan Herdian tinggal untuk menikmati berbagai permainan yang disuguhkan. Namun setelah dua orang itu menjauh, lima anak muda itu justru tidak meneruskan niat mereka semula.“Gila, ya. Untung lo masih ada otaknya, Mam. Kalau lo ngotot bawa Dya tadi kebayang gimana patah hatinya Danish.” Herdian membuka obrolan.“Iya, kasihan gue kalau dia harus patah hati dua kali dalam waktu dekat.” Pendapat Rafid menimpali duga
“Sial, banyak banget debu jalanan. Tutup mata, Anya!”“WAAAA....”Danish langsung mengerem sepeda motor yang dia kendarai mendengar jeritan Hamam di sebelahnya, temannya itu nyaris oleng sebelum berbelok ke kiri jalan dan berhenti.“Kenapa sih?” tanya Danish keki. Merasakan pegangan tangan Anya di pinggangnya melonggar perlahan. Mereka sedang berwisata dan menaklukan medan jalan yang berdebu dan terjal untuk sampai ke tujuan.“Gue kaget, Nish. Pas lo teriak nyuruh nutup mata itu gue refleks nutup mata juga, padahal kan gue lagi nyetir, mana bonceng Dya di belakang. Kalau Dya cedera nyawa gue bisa melayang.”Dya dan Anya tertawa, mereka kira apa. Dya yang duduk di belakang Hamam bahkan bingung sendiri saat pemuda itu mulai tidak stabil membawa kendaraannya lalu berhenti tiba-tiba.“Maaf ya, Dya.” Hamam merasa sangat berdosa. Ini harusnya jadi liburan yang paling berkesan karena Dya a
Menghabiskan dua malam di Jakarta bersama Giovanni yang diizinkan menginap oleh orangtuanya, Sayna melakukan perjalanan kembali ke perantauan. Bukan Bandung, kali ini dia harus ke Majalengka karena sedang sibuk KKN di sana. Agak sedih karena Sayna tidak bertemu dengan adiknya sama sekali berhubung anak itu sedang sibuk pendidikan, dia juga tidak tahu kapan bisa pulang ke rumah lagi, bisa dipastikan Sayna akan lebih sibuk dalam beberapa bulan kedepan.“Semangat dong!” Gio tersenyum menggoda, paham kalau gadis cantik yang duduk di sebelahnya itu tengah diserang homesick musiman yang biasa menyerang para mahasiswa KKN. “Gimana aja program kalian?”“Programnya banyak,” keluh Sayna pelan. “Ada satu anak yang ngeselin dari teknik sipil, aku sering banget nahan bogem kalau dia mulai ngoceh terus, Kak.”Giovanni mengacak rambut pendek Sayna dengan sebelah tangan. “Namanya dinamika kelompok, hadapi aja, ya. I
“Om... tolong!”Irya sedang bermain sandiwara dengan pamannya.“Om! Aku syakit!”Danish tidak menggubris.“Om, tolong aku!”“Aduh, berisik banget!” Danish menggerutu lalu berjalan mendekati bayi yang usianya entah berapa itu. Irya terlalu pintar untuk anak seusianya. Sibuk berakting demi mencari perhatian. Lihat saja, dia membuka lemari penyimpanan di kamar Danish lalu memasukkan sebelah tangan ke dalamnya dan menutup pintu lemari itu kemudian menjerit seolah sangat kesakitan.“Apa-apaan sih, Den?” tanya Danish keki. Kelakuan Irya kadang sebelas dua belas dengan ayahnya. Ada-ada saja.“Hehe, makasih Om!” seru Irya tanpa merasa berdosa atau apa.Danish menggendong anak itu dan menatapnya sambil menyipitkan mata. Tidak ingin dan tidak bisa menebak hal aneh lain yang akan dilakukan oleh Irya. Dia seperti tidak kehabisan ide untuk membuat keributan dan ingin se