“Teh, Ibu nikah sama Ayah pas umur 30 tahun,” kata ibunya waktu itu. “Jadi punya anaknya agak telat, apalagi Ayah sebentar lagi pensiun. Ibu bakal sendirian bertempur buat biaya kuliah Teteh. Yang prihatin ya, Nak? Ibu mau Teteh menikah selesai kuliah profesi, biar ibu tenang, perjuangan ibu sama Ayah kelihatan hasilnya.”
Tahun depan Ayah pensiun dari pekerjaannya, dan beberapa hal bisa jadi berbeda. Keluarga Sayna bukan pengusaha kaya atau keturunan konglomerat seperti Adiswara dan Ranajaya. Mereka bahkan tidak punya nama belakang yang keren, yang dipakai oleh seluruh keturunan generasi berikutnya. Keluarga Sayna hanya orang biasa, hidup berkecukupan, keduanya bekerja dan mengabdi pada negara.
Namun masa abdi itu memiliki masa aktif, dan ketika tenaga serta abdinya tidak dibutuhkan lagi, beberapa kompensasi dicabut, tidak didapatkan lagi. Sayna bisa membayangkan bagaimana sulit dan beratnya Ibunda berjuang seorang diri membayar kuliah di kedokteran yang tidak sedikit.
Jadi, karena beberapa pertimbangan itu, di sinilah dia sekarang. Berdiri mematung di depan seorang pemuda setengah telanjang sebagai konsekuensi karena meminta bantuannya. Sayna tidak punya pilihan lain, ini hari yang berat dan mendesak untuknya. Mungkin terdengar seperti sedang menceburkan diri dan basah sekalian setelah terkena cipratan air. Itu mungkin tidak benar, tapi dia bisa apa?
“Kamu pasti sering sama Danish, kan? Kakak tahu kok, Say.” Giovanni tersenyum miring, ingat sekali beberapa pertemuan dengan sepasang kekasih itu saat mereka keluar dari hotel-hotel mewah. “Kamu harusnya nggak perlu diajari lagi kalau begitu.”
Sayna berdeham dan menundukkan kepalanya. “Aku harus gimana?”
“Kenapa nggak kirimin foto aja, Say? Atau video gitu, biar kakak yang kerja.”
Gadis itu tersenyum miring. Apa Gio pikir dia bodoh? Sayna tahu itu justru lebih berisiko. Foto dan videonya akan disebar dan dijadikan ancaman terus-terusan. Nama baiknya dipertaruhkan. Kalau ibu dan ayah tahu, habislah dia.
“Ya udah kalau nggak mau.”
SRAK!
Sayna terkesiap ketika melihat orang itu—di hadapannya, menurunkan celana yang dia kenakan. Jantungnya memompa darah lebih cepat, dia berdebar hebat. Ingin lari, tapi Gio lebih pintar karena sudah mengunci seluruh aksesnya untuk kabur.
“Kamu tahu kalau berdiri kayak gitu aja nggak akan bikin kakak horny, kan?”
Gio mendekatinya, hanya satu benda yang menempel di tubuh pemuda itu. Matanya terpejam saat wajah Gio dan napasnya yang berbau mint menyengat indera penciuman. Dia memang benar-benar berniat untuk mencabulinya, Gio penuh persiapan, sempat-sempatnya menelan permen penyegar napas.
“Ja—jangan pegang,” tahan Sayna buru-buru, tangannya memegang bahu Giovanni. “Aku buka, kakak lihatin aja, seperti perjanjian kita.”
Sebelah bibir Gio tersungging naik. “Oke,” ucapnya. Dia pun tidak sudi menyentuh orang yang jelas-jelas tidak menginginkannya. Gio hanya butuh bantuan untuk berfantasi.
Satu persatu, kancing kemejanya dibuka, Sayna setengah mati menahan tangis, selain wajah kedua orangtuanya saat ini bayang-bayang Danish mulai menghantui kepala. Dia merasa berdosa setengah mati, kendati mereka sering tidur bersama. Tapi ini berbeda, Giovanni bukan siapa-siapa, bukan orang yang diinginkannya.
Sayna harus menahan diri untuk tidak melakukan apa-apa selama orang di hadapannya mengerang dan menatap cabul pada bagian tubuhnya yang terbuka. Dia tampak sibuk, alias tidak ada tindakan lainyang bisa dilakukannya. Tidak ada alat perekam, kamera atau apa pun, Sayna sudah benar-benar memastikan.
“Ini... bakal agak su...sah...” Giovanni dan suaranya yang menjijikkan kembali terdengar. “Bantu, Say... semalam udah heboh banget pas kakak sendirian. Ngebayangin diisap sama kamu... hhh...”
Dia pasti sudah gila, terjebak dalam situasi seperti sekarang tidak pernah sama sekali terbayangkan. Sayna sudah terlalu bodoh untuk ukuran manusia manapun.
“Ayo, Sayna...” Suara Giovanni menggodanya. Presensi pemuda itu mendekat, bahu telanjangnya bersentuhan dengan bahu Sayna yang terbuka. Dan selanjutnya tidak perlu dibayangkan, dada Sayna yang terbuka merekat dengan seseorang yang bukan siapa-siapanya, bukan orang yang dicintainya. Dan erangan Giovanni di telinga semakin membabi buta.
Sayna tersudut, sejak tadi punggungnya lekat dengan dinding, dia terjebak, tidak bisa ke mana-mana. Giovanni menuntun tangannya untuk memegang—meremas sesuatu di bawah sana. Dia meracaukan nama Sayna berulang-ulang. Gadis itu sudah bersimbah air mata, namun Gio sudah tertutup kabut berahinya sendiri. Dia tidak punya akal sehat, tidak peduli. Bagaimana sikap Sayna padanya, itu urusan nanti.
Menjamah tubuh gadis itu adalah yang paling dia inginkan saat ini.
“Say, kamu udah nggak perawan, kan?” Gio menyeringai. “Pasti sering dipake sama pacar kamu.” Ucapannya bersamaan dengan remasan di salah satu dada Sayna. “Kayaknya dipake sekali sama kakak nggak akan kentara, nggak akan kerasa sama dia.”
Bajingan. Sayna mengumpat dalam hatinya.
“Kamu tahu, ini udah biasa sebenarnya. Jangankan sama kating ganteng kayak kakak, teman-teman kamu yang lain pasti udah berkali-kali diajak main sama dosen demi perbaikan nilai, Say. Dan dosen-dosen tua itu, kamu tahu kan... err... buncit, bau.” Giovanni membuat tawa yang mengerikan. “Kamu beruntung.” Dia merentangkan kedua tangan, seolah tubuh telanjangnya adalah anugerah yang harus disyukuri oleh Sayna.
“Jangan nangis, Sayang... kamu imut banget tahu, nggak?”
Sudah berapa menit yang terbuang? Sayna pening karena terus merasa gamang. Dia sudah dijamah meski tidak benar-benar dimasuki seperti yang Danish lakukan. Sudah basah, tinggal tercebur saja sekalian agar bisa langsung bersih-bersih setelahnya.
“Aku harus gimana, Kak?” tanya Sayna menahan getar di ujung tenggorokan. “Jangan sentuh...” pintanya, merujuk pada helaian kain yang masih menempel erat di sekitar kaki.
“Kamu bisa bikin puas tanpa disentuh, kan? Silakan.”
Gadis itu memejamkan mata, air di wajahnya banjir dan keluar semena-mena. Pikirannya tidak keruan. Dia turun, menumpu tubuh dengan lutut untuk melakukan sesuatu. Hal yang menjijikkan. Yang pada Danish pun... tidak pernah dia lakukan.
Sayna bekerja keras dan mengabaikan rasa sakit, ngilu, sesak di seluruh bagian kepala. Racauan itu benar-benar seperti mimpi buruk. Mungkin mirip dengan panggilan kiamat. Sayna ingin muntah saat Gio mengerang hebat.
Dan mengabaikan rasa tidak keruan yang sibuk menggeluti pikiran, dia buru-buru menarik plastik di benda yang Gio kenakan untuk langsung diamankan.
“Kamu hebat, Sayna. Sekarang kaka tahu kenapa Da—”
BUGH!
Sebuah tendangan melesat dan mendarat di bawah dagu Giovanni, berasal dari kakinya. Sayna masih mengancingkan kemeja saat kakinya melayang ke wajah pemuda itu. Dia sudah melakukan hal yang bodoh, Sayna keterlaluan, dia mengaku. Tapi dia berjanji tidak akan memberi Gio kesempatan lagi, dalam hal apa pun.
“Lo tahu apa bedanya lo sama anjing?” tanya gadis itu setelah urusannya selesai. Dia berdiri di atas Giovanni yang telanjang dan kedapatan mengerang kesakitan. Sebelah kaki Sayna ada di dadanya. “Nggak ada. Lo kan anjingnya,” geram gadis itu dengan amarah menggelegak.
“Sayna!”
BUGH!
Gadis itu kembali melakukan serangan. Kendati kakinya lemas bukan main, tapi untuk pemegang sabuk hitam taekwondo, tenaga Sayna masih sangat bisa diperhitungkan. Hal yang sejak awal ingin sekali dia lakukan, dia tahu terjebak dengan Gio tidak baik, dan ini adalah puncak dari segala hal yang dia pendam selama ini. Sayna sangat mampu menghajar Gio sejak tadi andai dia mau, tapi... buat apa diperlakukan cabul dan tidak mendapat apa-apa setelahnya?
Dia sudah basah, jadi tercebur pun tidak apa-apa.
“Fuck! Buat semua pikiran kotor yang lo imajinasikan diam-diam ke gue selama ini!” Sayna kembali melakukan pukulan bertubi.
“Sok suci.” Suara Giovanni masih berani-beraninya terdengar saat tubuhnya sudah terkapar.
“Gue memang sok suci, gue memang sering ngewe sama cowok gue, itu karena dia cowok gue. Kalau bukan sama dia, gue nggak sudi.”
Sayna menekan—meremas ujung tubuh pemuda itu, bergerak brutal di dadanya, melakukan cakaran hingga meninggalkan bekas luka. Membalas dendam atas apa yang Gio sudah lakukan—pada tubuhnya, barusan. Memberi tahunya bahwa itu sama sekali tidak menyenangkan. Itu menyakitkan. Karena Gio bukan kekasihnya, semua berbeda andai Danish yang meminta. Sayna akan melakukan segalanya.
“Silakan, teruskan. Gue cuma tinggal ke rumah sakit buat visum semua bekas kekerasan ini.” Gio menyeringai, sudut bibirnya berdarah. Dia tidak melakukan perlawanan, padahal sangat bisa melakukannya. Pasti sengaja, agar Sayna bebas melakukan serangan.
Bekas pukulannya tentu bisa dijadikan bukti untuk diadukan ke pihak kepolisian.
“Masih berani mikir gitu, ya? Lo yakin masih gue biarin hidup sebelum gue keluar dari sini?”
“ARGHHH!”
Giovanni memekik hingga ada kegaduhan di luar pintu kamarnya. Cengeng sekali dia. Sayna hanya meremas benda di selangkangannya keras-keras. Kalau bisa dia pecahkan dua telur menggantung itu sekalian.
“Burung lo kecil, Kak. Nggak ada setengahnya dari punya cowok gue.” Dia menyeringai senang, puas karena selain kesakitan, harga diri Giovanni juga terluka.
“Lo bakal nyesel, Sayna!”
“Gue nyesel karena nggak ngelakuin hal ini sejak lama.” Gadis itu memelototi pemuda yang meringkuk di bawahnya. “Lo nggak tahu gimana muaknya gue selama ini terjebak hubungan sialan bareng lo. Sekarang gue nggak peduli.”
Dia tidak peduli reputasinya lagi. Sayna tidak peduli bahwa dirinya tidak akan dapat bantuan apa-apa lagi. Dia akan berusaha sendiri, kendati itu tidak mudah.
Sekarang dia hanya lega karena mengakhiri hubungan kotornya dengan Giovanni. Meski caranya sangat salah hingga Sayna tidak tahu bagaimana cara memaafkan dirinya sendiri. Terutama karena mengkhianati hubungannya dengan Danish selama ini. Dia melakukan hal yang sangat kotor hari ini. Sayna tidak tahu bagaimana caranya agar dia diampuni.
To be Continued.
“Keterlaluan!”Sayna langsung menggigil ketika suara itu menyentak gendang telinganya. Bukan hanya kaget, dia juga ketakutan. Baru kali ini dia merasa sangat tersudut, tidak mampu membela diri sama sekali, tidak mau.“Lo nggak tahu apa aja yang udah gue lakuin buat bertahan, Sayna.” Pemuda itu terengah dengan wajah dan mata yang memerah. “Gue bahkan... saking nggak maunya ngasih Dya celah, sering jahat sama dia.” Napasnya terengah. “Demi lo,” lanjutnya. “Cuma lo satu-satunya.”Gadis itu semakin menundukkan kepala, dia kira menggigil hanya karena ketakutan, tapi ternyata Sayna juga sangat kedinginan, padahal tidak sedang hujan. Dia tentu ingat beberapa waktu yang lalu, saat keluarga Danish panik mencari keberadaan Pramudya usai ditinggal begitu saja demi segera menemui Sayna. Danish tidak hanya asal bicara, dia membuktikan dengan tindakan bahwa kesetiaannya tidak boleh diragukan.“Maaf, Nish
Jhare sopo aku nggak iso, jhare sopo aku nggak iso? Eyeliner-ku nggak roto lho, terus opo’o?Makeup-ku jan uaneh yet my friends say, hiiiii... apike!Raimu raiku do whatever you wanna doBuenci pol body shamming jan garai cryingGendat gendut kura kuru lambemu lambemuI love my body and... you should tooSiji loro telu Hi, all i love you!Suara Pradnya diiringi hentakan musik ketika menyanyikan kembali lirik andalan dalam lagu Pretty Real menggema di seluruh ruangan. Malam ini adalah pesta ulang tahun si kembar, suasana kediaman Ranajaya begitu meriah. Tamu sudah berdatangan sejak sore, sementara si empunya acara hanya terlihat salah satunya saja. Saudari kembarnya justru baru kembali dari halaman belakang rumah, lapangan golf pribadi keluarga, mengendarai Boogy, menerobos masuk ke ruang pesta, masih mengenakan pakaian kasualnya.
Hamam telah mengubah subjek dari “Berkat Doa Ibu” menjadi “HBD RAFID” Rafid: Selamat ulang tahun buat gue...Arvin: Ikan hiu makan tomat, hahaha tua amat!Hamam: AJG!Herdian: Heh, dateng-dateng langsung ngomong kasar lo. Jempol tuh dididik dulu ngapa?Hamam: AJG (Astagfirullah Jangan Gitu)Danish: Baru tahu gue *laughHamam: Ngumpul kuy, biar bos gue yang traktir.Danish: TAI!Hamam: TAI (Tak apa, Aku Ikhlas)Herdian: Ngarang banget lo, setan *laughArvin: Kuy, kapan kumpul? Pada ke Bandung aja, gue siapin villa. Kalian berangkat bareng Danish.Rafid: Gue sih lagi pengen dinner dulu sama cewek gue minggu ini, tapi masalahnya gue nggak ada duit. Sue banget ul
Gadis itu memeriksa bagian bawah tubuhnya yang lengket dan lembab. Lagi-lagi tidak dapat menahan lelehan air mata yang menyeruak. Sebuah pengkhianatan sungguhan telah dia lakukan pada kekasihnya. Dan bagaimanapun Sayna mencoba menyangkal, bukti seperti ini tidak bisa diabaikan. Tubuhnya merespons kegiatan sialan itu dengan benar, menolak kerja sama dengan otak dan akal sehat yang terus merasa jijik saat itu dilakukan.Sayna merasai berahinya sendiri karena merasa jahat dan ingin tubuhnya mendapat lebih saat bersama Giovanni. Bagaimana itu bisa terjadi? Kenapa harus begini? Kenapa tubuhnya harus ingin? Sementara otak dan akal sehatnya tidak menginginkan apa-apa.Apakah ini lumrah terjadi? Apa orang-orang yang diperkosa juga mengalami hal yang sama?“Kakak Sayna!”Suara itu mengejutkannya, membuat Sayna seperti ditarik dari keadaan setengah sadar dan segera membuka matanya lebar-lebar. Dia menolehkan kepala dan melihat seorang gadis muda berambu
“Hati-hati, ya. Titip salam buat Imo, kamu jangan bandel, jangan pacaran terus, pacarnya nggak boleh banyak-banyak, denger nggak?”“Iya.”Inara menyengir dengan rambut cokelatnya yang sengaja Sayna selipkan di belakang telinga. Dia semakin menggemaskan ketika kupingnya terlihat dengan ukuran daun telinga yang lebih lebar dibanding seharusnya.“Naik bus yang mana?” Danish menimbrung obrolan. Pagi itu mereka telah sampai di terminal Cibiru untuk mengantar Inara pulang ke Sumedang. Banyak bis antar kota dan minibus elf berjejer di sana. Rata-rata jurusan Bandung – Cirebon – Majalengka, entah yang mana satu milik Inara.“Aku mau naik Buhe!” Gadis Sunda berwajah bule itu menunjuk salah satu nama armada dengan mayoritas minibus berwarna merah tua keunguan, Buhe Jaya. “Biar kayak terbang dari Bandung ke Sumedang.”“Ih, jangan!” Sayna segera melarangnya. “Naik b
Kemesraan ini, janganlah cepat berlalu...Kemesraan ini ingin kukenang selalu...Hatiku damai, jiwaku tenteram di sampingmu...Hatiku damai... jiwaku tenteram bersamamu...“Aduh, suaranya ngajakin berumah tangga ya, Teh.”Sayna terkikik mendengar komentar ibunda saat mereka menonton Danish dan Chandraka tengah berkaraoke ria. Suara mereka menggema, memenuhi ruang keluarga.Keduanya sampai di Jakarta siang menjelang sore, Danish langsung dicegat, tidak boleh pulang cepat, makan bersama dengan keluarga Sayna dan melakukan hal menyenangkan dengan mereka. Ikrar juga ada di sana, duduk di karpet lantai sambil memegangi senter dan menggoyangkannya ke kiri dan kanan bergantian, bertingkah seolah tengah menonton live music penyanyi papan atas.“Tapi ibu tadi cuma bercanda,” ralat Linda segera, melihat putrinya tidak memberi reaksi apa-apa. “Ibu sangat berharap Teteh jadi sama Ninish, tapi nanti, ya? Selesai c
Pramudya mengerjap pelan saat merasakan cahaya yang masuk lebih daripada satu jam lalu. Sekarang sudah lebih terang, tirai kamarnya terbuka lebar, pasti salah satu dari dayang-dayang Dinara yang melakukannya. Dia tidak suka. Tapi apa boleh buat, ini bukan rumahnya, dia harus ikut peraturan yang ada di sana.“Lho, ada kamu toh?” Sapaan pertama dia dengar dari Pradnya ketika membuka pintu kamar.“Kamu ngapain? Bukannya jalan sama pacarmu?”“Besok aku ke Solo,” jawab Pradnya acuh tak acuh. “Kamu kok tumben nginep? Bukannya Sabtu jadwal sama Mas Gum?”Dya menyeringai, dia bahkan lupa kalau urutan kencannya di hari keenam adalah Gumelar, tapi Anya punya ingatan yang lebih bagus, dia sering tak sengaja mengingatkan itu.“Aku habis dari Puncak, tapi Danish ngadu ke Mas Arya dan aku disuruh pulang malam-malam. Baru sampai sini jam 2 pagi.”Anya terkikik, wajah saudarinya saat mengisahkan it
“Ngapa lo garuk-garuk helm, Mam?”“Pala gue gatel.”“Pala lo gatel terus kenapa helm-nya yang digaruk? Coba dibuka dulu biar afdol garuk-garuknya.”“Heh, emang kalau pantat lo gatel lo harus banget garuk-garuk sampe buka celana? Enggak, kan?”Danish memutuskan untuk tidak bertanya lagi. Hamam jelas marah karena insiden pulangnya Pramudya tempo hari. Mereka baru sampai di Puncak tapi Dya buru-buru kembali ke Jakarta lagi setelah Danish mengadukannya pada Arya. Hamam yang merasa bertanggung jawab karena mengajaknya jelas ikut pulang, tidak jadi ikut pesta dengan teman-teman.Dan sekarang Hamam marah padanya, itu ulah Danish memang, tapi dia juga tidak tahu kalau Arya sampai meminta adiknya pulang malam itu juga.“Dya?” sapa Hamam dengan mata berbinar begitu dia masuk ke laundry dan menemukan gadis itu di lobi. “Kok ada di sini?”“Dia minta ketemu sama lo sebel
Sayna sekarang tahu bahwa Arunika merupakan putri sulung sekaligus putri satu-satunya dari Mark Tuan, seorang pria yang lahir dari wanita asli Sunda dan ayahnya berdarah Tionghoa. Pantas saja dia punya perawakan yang berbeda dengan para pribumi, meski dipanggil Gege oleh adiknya, tapi keluarga mereka sangat meninggikan kebudayaan dan adat Sunda. Mungkin karena ibu kandungnya memiliki latar belakang yang kental dengan budaya, kabarnya mereka adalah keluarga pengelola museum adat Sunda di Subang.Mark dan keluarganya menetap di Lembang, daerah Bandung yang juga dekat ke arah Subang. Dia bekerja sebagai direktur operasional perusahaan farmasi keluarga yang dikepalai oleh kakak kandungnya sebagai lulusan apoteker handal. PT Sagara Purnama adalah perusahaan yang bergerak di bidang industri kosmetik dan kontrak manufaktur pertama di Subang. Itu sekilas yang Sayna tahu dari hasil pencariannya di internet mengenai latar belakang pria itu.“Sebenarnya saya ke rumah sakit
“Sayna, Adek koas favorit Bunda, sini-sini.” Sayna menyengir pasrah ketika salah satu perawat senior memanggil namanya sambil melambai-lambaikan tangan. Sudah pasti dia akan dapat tugas tambahan. Mereka bilang, anak-anak koas adalah keset kaki karena acapkali diperlakukan semena-mena selama menjadi sukarelawan di rumah sakit. Tak jarang yang memperlakukan mereka tidak manusiawi adalah rekan-rekan seniornya sendiri. Di stase ini tentu Sayna tidak terlepas dari orang-orang dengan profesi dokter, perawat, hingga bidan dan lain-lainnya. Namun nasib anak-anak magang dari angkatan perawat dan kebidanan jauh lebih mengenaskan. Tak jarang Sayna yang harus membimbing mereka saat ada waktu senggang. “Kamu ke perina, ya. Banyak yang mau aterm hari ini.” “Baik, Bu.” Sayna menurut dengan mudah saat kepala perawat favoritnya meminta bantuan untuk membuat dia berjaga di ruang perina dan menunggu ibu-ibu yang akan melahirkan bayi. Ruang itu terhubung
“Dede enakan? Boleh Ayah minta sun?” “Boleh.” Gadis kecil berusia dua tahun lebih itu mendongak untuk mengecup wajah sang ayah. “Napa?” “Nggak papa, ayah cuma mau minta sun aja. Kangen sama Dede.” “Hai, Nika...” sapa Sayna ramah, meski pada kenyataannya Arunika yang ini lebih suka pada Rafika saat mereka berkunjung untuk memeriksa keadaannya. “Udah minum susu belum, Sayang?” “Nggak mau.” Dia menggeleng lemah. Gadis kecil itu merengut, merapatkan tubuhnya pada sang ayah. “Sus, ini bisa nggak dititip sebentar? Nanny lagi makan siang di kantin, saya ada keperluan yang harus dibeli ke luar.” Sayna tersenyum dan mengangguk. “Silakan, Pak. Biar Arunika saya yang jaga.” “Wah, ini Tante susternya hafal nama Dede.” Pria itu bersorak senang. “Tunggu sebentar, ya? Ayah mau beli sesuatu, nanti Dede beli mainan baru deh, mau?” “Nggak mau.” Arunika menggelengkan kepala tanda tak setuju. “Nika mau minum susu sama tante?” tawar
Setelah bulan lalu mengakhiri masa abdinya di stase bedah, yang mana membuat Sayna merasakan pengalaman luar biasa selama berada di sana, mulai minggu ini dia mendapat giliran berjaga di stase anak. Meskipun mengingat perjuangan serta pelajaran yang dia dapat dari stase bedah sangat berharga dan beragam, Sayna lega karena bebas dari sana. Stase bedah memiliki pasien yang banyak, nyaris membludak untuk di-follow up setiap hari. Tapi di sana juga keterampilan Sayna sangat diuji. Kemampuannya menjahit luka semasa kuliah pra-klinik selama 3,5 tahun benar-benar direalisasikan. Sayna bahkan belajar menyunat di stase ini. Dan yang paling berkesan adalah melakukan operasi transplantasi kulit pada pasien luka bakar yang mana kulitnya diambil dari bagian paha dan ditanam ke punggung. Luar biasa, Sayna merasa jadi mahasiswi kedokteran betulan saat itu. Dan semuanya sudah berlalu, Sayna tidak yakin lulus di stase itu karena mahasiswa sepintar Gio saja dulu tidak mampu m
Anya merasa lebih tenang sekarang, karena meski saudarinya akan merantau ke negeri orang, dia mengantongi izin untuk berkunjung ke tempat Dya belajar sesering yang dia ingin. Setelah melakukan pentas drama di depan ayah dan ibunya, Anya dikonfirmasi akan segera memiliki privat jet miliknya sendiri untuk keperluan pulang pergi melongok Dya di New York. Dan berhubung keduanya anak kembar, tidak adil rasanya jika Ranajaya hanya membelikan untuk salah satu dari mereka saja. Alhasil, Dya yang tidak berminat sama sekali pada benda bisa terbang itu pun harus ikut menerima pemberian orangtuanya. Mau tidak mau.“Aku nanti minta jadwal kamu pokoknya, biar pas kamu free aku ke sana.”Dya mengangguk mendengar permintaan saudarinya itu, sedikit lega karena Anya tampak lebih bersemangat dibanding beberapa hari yang lalu. “Kamu baik-baik, ya.”“Aku yang harusnya bilang gitu.” Anya berguling dari posisinya saat ini dan telungkup untu
“Lo masih mau di sini?” Suara Danish menyadarkannya kembali. “Kalau mau sama Hamam nggak papa sih.”“Eh, nggak, Nish, nggak! Gue nggak enak juga kalau harus ke kamar Dya.” Hamam salah tingkah dan mengusap tengkuknya gelisah. “Dya sama Danish aja, ya? Biar Mas Hamam di sini jagain Anya, oke?”“Oke.”Pada akhirnya Dya pasrah saat Danish membantunya mengalungkan tangan dan berjalan tertatih menuju villa tempat mereka menginap. Sementara Hamam, Anya, Arvin, Rafid dan Herdian tinggal untuk menikmati berbagai permainan yang disuguhkan. Namun setelah dua orang itu menjauh, lima anak muda itu justru tidak meneruskan niat mereka semula.“Gila, ya. Untung lo masih ada otaknya, Mam. Kalau lo ngotot bawa Dya tadi kebayang gimana patah hatinya Danish.” Herdian membuka obrolan.“Iya, kasihan gue kalau dia harus patah hati dua kali dalam waktu dekat.” Pendapat Rafid menimpali duga
“Sial, banyak banget debu jalanan. Tutup mata, Anya!”“WAAAA....”Danish langsung mengerem sepeda motor yang dia kendarai mendengar jeritan Hamam di sebelahnya, temannya itu nyaris oleng sebelum berbelok ke kiri jalan dan berhenti.“Kenapa sih?” tanya Danish keki. Merasakan pegangan tangan Anya di pinggangnya melonggar perlahan. Mereka sedang berwisata dan menaklukan medan jalan yang berdebu dan terjal untuk sampai ke tujuan.“Gue kaget, Nish. Pas lo teriak nyuruh nutup mata itu gue refleks nutup mata juga, padahal kan gue lagi nyetir, mana bonceng Dya di belakang. Kalau Dya cedera nyawa gue bisa melayang.”Dya dan Anya tertawa, mereka kira apa. Dya yang duduk di belakang Hamam bahkan bingung sendiri saat pemuda itu mulai tidak stabil membawa kendaraannya lalu berhenti tiba-tiba.“Maaf ya, Dya.” Hamam merasa sangat berdosa. Ini harusnya jadi liburan yang paling berkesan karena Dya a
Menghabiskan dua malam di Jakarta bersama Giovanni yang diizinkan menginap oleh orangtuanya, Sayna melakukan perjalanan kembali ke perantauan. Bukan Bandung, kali ini dia harus ke Majalengka karena sedang sibuk KKN di sana. Agak sedih karena Sayna tidak bertemu dengan adiknya sama sekali berhubung anak itu sedang sibuk pendidikan, dia juga tidak tahu kapan bisa pulang ke rumah lagi, bisa dipastikan Sayna akan lebih sibuk dalam beberapa bulan kedepan.“Semangat dong!” Gio tersenyum menggoda, paham kalau gadis cantik yang duduk di sebelahnya itu tengah diserang homesick musiman yang biasa menyerang para mahasiswa KKN. “Gimana aja program kalian?”“Programnya banyak,” keluh Sayna pelan. “Ada satu anak yang ngeselin dari teknik sipil, aku sering banget nahan bogem kalau dia mulai ngoceh terus, Kak.”Giovanni mengacak rambut pendek Sayna dengan sebelah tangan. “Namanya dinamika kelompok, hadapi aja, ya. I
“Om... tolong!”Irya sedang bermain sandiwara dengan pamannya.“Om! Aku syakit!”Danish tidak menggubris.“Om, tolong aku!”“Aduh, berisik banget!” Danish menggerutu lalu berjalan mendekati bayi yang usianya entah berapa itu. Irya terlalu pintar untuk anak seusianya. Sibuk berakting demi mencari perhatian. Lihat saja, dia membuka lemari penyimpanan di kamar Danish lalu memasukkan sebelah tangan ke dalamnya dan menutup pintu lemari itu kemudian menjerit seolah sangat kesakitan.“Apa-apaan sih, Den?” tanya Danish keki. Kelakuan Irya kadang sebelas dua belas dengan ayahnya. Ada-ada saja.“Hehe, makasih Om!” seru Irya tanpa merasa berdosa atau apa.Danish menggendong anak itu dan menatapnya sambil menyipitkan mata. Tidak ingin dan tidak bisa menebak hal aneh lain yang akan dilakukan oleh Irya. Dia seperti tidak kehabisan ide untuk membuat keributan dan ingin se