Danish melamun saat mengingat kembali percakapannya dengan Sayna tadi malam. Aneh sekali rasanya mendengar gadis itu bicara begitu. Meminta yang tidak-tidak, seolah dia akan melakukan sesuatu. Semoga saja tidak, semoga itu hanya perasaannya.
“Gue tahu kok, kalau gue egois banget selama ini. Maaf, ya? Mulai sekarang kita main adil, lo juga bisa berlaku sama ke gue, Nish. Maaf karena gue terlalu mencekik lo selama ini.”
Berlaku adil itu, bagaimana? Danish tidak punya orang yang membuatnya bergantung seperti Gio pada Sayna. Dan dia memakai istilah mencekik, bukan lagi mengekang atau mengukung. Sayna menyadari bagaimana kerasnya hubungan dan peraturan mereka selama ini. Dia bilang, ajaib sekali Danish bisa bertahan selama itu. Dia pasti tidak tahu sebesar apa Danish menyukainya.
Lalu maksud Sayna itu apa?
Kalau Sayna mau Danish memperlakukannya sama seperti dia memperlakukan Danish selama ini, sudah pasti hubungan mereka tidak akan bertahan lama. Sayna akan membencinya. Yang dilakukan gadis itu padanya selama ini, agak semena-mena.
“Mas!”
Danish terkesiap ketika suara itu menyentak dan membuyarkan fokusnya. Dia buru-buru maju dengan troli berisi stiker kaca yang sengaja dibeli untuk menutup jendela kaca kecil di kamar mandi kos Sayna. Gadis itu bilang selalu ada cicak di sana, setiap malam, di jam yang sama, cicak yang sama, dan pemandangan itu amat mengganggunya. Satu fakta yang baru ditemukan sejak Sayna tinggal di Bandung sendirian adalah.... dia benci sekali pada cicak.
Jadi hari ini setelah mereka keluar dari hotel, Sayna berganti pakaian ke kosan lalu ke kampus sementara Danish mengurus hal-hal yang luput dari kemampuan gadis itu. Menempelkan stiker kaca bukan keahliannya, maka Danish pergi ke ACE Hardware saat kekasihnya ke kampus.
“Cash atau debit, Mas?”
“Debit aja.” Danish membuka dompet dan menemukan kartu merah terbaru milik Pramudya di sana, menyelip di antara jajaran kartu-kartu pembayaran miliknya. Penasaran sekali berapa isi kartu yang satu ini karena gadis itu punya uang yang banyak.
Lalu apa yang terjadi padanya setelah kemarin Danish turunkan di pinggir jalan, ya? Pramudya tidak mengabarinya lagi, tidak ada pesan seperti biasa, gadis itu tidak mengirimkan lokasi terakhir. Ke mana dia kira-kira? Apa dia pingsan lagi di pesawat saat pulang ke Surabaya?
“Anya...”
“Hm?” Suara orang mengantuk itu terdengar kentara. “Apa, Nish? Kangen ghue?”
Danish terkikik geli, tidak bisa dipungkiri bahwa dia rindu kembaran Pramudya itu. Anya yang jarang ke Jakarta membuat logat medoknya masih kental di telinga, Dya sudah lebih mahir dibanding kembarannya.
“Dya ada?”
“Nggak tahu,” jawab gadis itu cepat. “Ghue kan nggak di rumah toh, ini weekend, Nish! Dya paling ke Jakarta, kan? Kemarin ketemu?”
“Ketemu,” jawab Danish pelan. Tapi Dya tidak mengabarinya lagi setelah ditinggalkan. Ke mana gadis itu kira-kira? Padahal Danish ingin berterima kasih andai kemarin tidak mendapat telepon dari Sayna.
“Yowes, tak telepon lho ya, nanti ghue kabari lagi kalau udah tahu posisi Dya di mana.”
“Hm.”
Pradnya tahu kalau Danish dengan Dya tidak berkomunikasi via pesan ala manusia kebanyakan. Kalau diperhatikan, kolom percakapan mereka hanya berisi lokasi-lokasi yang disematkan dari minggu ke minggu, tidak pernah ada percakapan. Danish pun tidak pernah mengajak Pramudya bicara duluan, dia enggan.
“Oleh-oleh ghue buat Sayna udah dikasihin belum, Nish?”
Oh iya, Danish lupa. Itu masih ada di bagasi mobilnya. “Hari ini gue kasih,” ucapnya. “Thanks, Anya.”
“Beuh, kurang apa coba ghue sebagai istri pertama, Nish? Beliin baju kapel buat suami sama pacarnya.”
Danish tertawa, Anya juga sama uniknya, sering mengaku sebagai istri pertama dan memberi Danish banyak sekali hadiah atau belanjaan. Padahal dia punya pacar, dan setahu Danish pacarnya cuma satu, beda dengan Pramudya.
“Tapi itu beneran lo beliin, kan? Buat gue sama Sayna?”
“Oh, ya juelas! Buat siapa toh kalau bukan buat sampean berdua? Mosok ya buat lo sama Dya, kan nggak mungkin.”
Lagi-lagi Danish terkikik, maksudnya bukan begitu, Danish kira Anya tidak sengaja membeli dua baju yang sama karena ada embel-embel beli satu gratis satu di Eropa sana. Tapi... tidak mungkin sih, dia bukan orang yang perhitungan.
Setelah iseng mengecek saldo dari kartu yang Dya tinggalkan—yang ada sembilan nol di belakangnya, Danish melipir ke toko perhiasan untuk melihat-lihat. Dia mungkin bisa memberi gadis itu sesuatu sebagai kompensasi karena diperlakukan seenaknya akhir-akhir ini. Ya, meskipun sejak dulu Danish juga begitu, Dya sudah mengerti. Tapi mumpung di sini, mumpung Danish ingat, dia akan membelinya.
Pilihan Danish jatuh pada sebuah gelang dengan tali yang tipis berwarna putih dan memiliki bandul inisial D sebagai pemanis. Dia asal ambil sebenarnya, karena terlalu lama di toko perhiasan membuat matanya silau, lagi pula tidak perlu yang bagus, ini bukan hadiah untuk Sayna. Kalau untuk pacarnya, Danish akan persiapkan yang terbaik, di tempat terbaik, bukan asal beli seperti sekarang.
“Udah beli stikernya?” tanya Sayna riang begitu mereka bertemu di depan gedung fakultas kedokteran. Danish mengangguk, lalu meminta pacarnya masuk. “Yang gambar apa?”
“Gambar bunga pokoknya.” Danish segera melajukan mobil meski jarak kosan Sayna dengan kampusnya tidak seberapa. “Kita pasang dulu baru habis itu jalan ke Lembang, ya? Cucian sama setrikaan udah dibawa ke laundry semua, besok diantar kayaknya.”
“Kemeja gue yang warna biru itu dibawa juga? Seragam tiap Senin itu.” Alis Sayna berkerut khawatir, kalau tidak keburu, bagaimana?
“Oh, yang itu gue uap sendiri tadi, digantung dalam lemari.”
“Uh, makasih, Danish!”
Sayna bahagia, kelihatan sekali. Dia menghadiahi kekasihnya ciuman bertubi, tak peduli mereka masih berkendara. Sebagai anak dari pemilik sekaligus yang menjalankan usaha laundry, Danish jelas mahir melakukan pekerjaan itu. Tentunya beberapa cabang Melia Laundry ada di sekitar sini, tempat Sayna bisa membersihkan pakaian tanpa harus membayarnya. Punya pacar seperti Danish benar-benar anugerah terindah.
Orang bilang, pemuda tampan akan kalah dengan yang humoris. Tapi mungkin mereka tetap akan lebih memilih Aliando dibanding Sule. Namun milik Sayna berbeda, Danish adalah semuanya, dia paket lengkap. Ganteng, humoris dan kaya. Kurang beruntung apa Sayna?
“Eh, Mbak Dinara mau ulang tahun, ya?”
Danish mengernyit bingung ketika mendapati Sayna menemukan gelang yang baru dibelinya untuk Dya. Bandul huruf itu memang sama persis dengan inisial sang kakak.
“Gue belum nyiapin kado,” sambung gadis itu sambil menyimpan kembali gelangnya, padahal Danish belum bilang apa-apa. “Bagusnya kasih apa ya, Nish? Gue suka minder sendiri mau beliin dia hadiah, secara kan Mbak Dinar istrinya sultan.”
Danish terkekeh pelan. “Nggak usah beliin hadiah yang mahal-mahal, dia kan bisa beli sendiri, kasih yang spesial aja, yang nggak kepikiran bakal dia beli.”
Sayna mengangguk setuju. Barang mahal tentu mampu dibeli oleh Dinara sendiri, jadi dia harus menyiapkan yang lain. Danish saja membeli gelang sederhana dengan harga tidak seberapa untuk kakaknya, jadi Sayna tidak perlu memberi macam-macam.
“Uh, biar tahu rasa tuh cicak ganjen!” Sayna berkacak pinggang di belakang Danish yang sibuk menempelkan stiker kaca jendela kamar mandi. “Lo tahu nggak, Nish? Cicak itu ya perawakannya gendut, gede, warna hitam, kayak cicak om-om gitu. Ih, gue geli banget pokoknya, sampai di tahap kesel deh sama cicak ini.”
Danish tertawa kecil, perutnya geli tapi saat ini dia harus konsentrasi. Awal mula Sayna benci sekali pada cicak adalah ketika dia akan sarapan pagi namun melihat hewan itu terkapar di dalam rice cooker-nya. Dia panik, mual dan geli hingga harus ganti rice cooker karena kejadian serupa sudah terjadi dua kali. Salah Sayna sih, dia lupa menutup rice cooker seusai makan malam.
Dan selanjutnya...
“Nih, ya cicak itu selalu ada di sana tiap gue kebangun malam dan pengen pipis. Cicak yang sama, Nish, lo bayangin aja! Pas gue buka pintu, dia pasti ada di situ, kayak sengaja banget nungguin gue muncul, nontonin gue pipis, dasar cicak mesum!”
Sayna masih mengoceh. Anehnya memang, cicak itu datang saat malam saja, siang bolong begini dia tidak ada. Padahal kan Danish ingin silaturahmi dengan om cicak yang kurang ajar mengintip terus di kamar mandi kekasihnya. Dia rindu baku hantam.
“Nah, sekarang kacanya udah ditutup, Om Cicak nggak akan ngintipin lo pipis lagi deh, Say.”
“Semoga aja,” gumam Sayna penuh dendam. Jendela kecil di kamar mandinya sudah tertutup rapat oleh stiker kaca bergambar bunga. Cicak itu pasti tidak akan bisa melihat ke dalam. “Coba kita lihat nanti ya, kalau masih ada juga gue harus gimana?”
Danish tertawa. Itu hanya cicak, padahal Giovanni lebih mengganggu mereka, kenapa Sayna tidak kepikiran untuk menyingkirkannya? Cicak bahkan tidak menggigit manusia, harusnya Sayna tidak apa-apa.
“Nish, gimana?” tanya gadis itu dengan wajah khawatirnya. “Panggilin pengusir cicak, ya?”
“Iya.”
“Nish, jangan iya-iya aja!”
“Ya ampun, iya, Sayang... iya!” Pemuda itu bergerak mendekat dan mencubit hidung kekasihnya gemas. “Bawel banget kayak emak-emak.”
“Gue kayak emak-emak?” tanya Sayna tak terima.
“Iya, emak dari anak-anak gue kelak, hehe.”
“Ih, Danish!”
Sayna tertawa dengan hidung dan pipi memerah, terlihat kesal namun lebih tampak bahagia dibanding itu. Dia mengalungkan tangan di leher kekasihnya, lalu berjalan ke luar dan berakhir di tempat tidur. Mereka saling bertatap dan tersenyum, debar-debar itu jelas sekali di meski tidak terdengar di telinga. Sayna hanya... merasakannya, saat tubuh mereka merapat dan Danish mendekapnya erat.
Debar yang menyenangkan, dan tatapan Danish yang memuja sekaligus ingin menelannya hidup-hidup, bersatu padu, membaur, direfleksikan oleh lengkungan di bibir indahnya. Sayna maju dan mencuri ciuman dari pemuda itu, tidak di bibir yang tengah menyunggingkan senyum, namun di tanda coklat tepat di bawahnya. Dia sangat menyukai bagian itu, titik menggemaskan milik kekasihnya.
“I love you,” bisik gadis itu.
“I love you more, Sayna.” Danish membalas ujaran penuh cinta dari kekasihnya. “Cinta gue jauh lebih banyak, lo pasti tahu itu.”
Sayna mengangguk. Dia tahu.
Bagaimana Danish membuktikannya? Dia sudah melakukan berbagai cara. Danish mencintainya sebesar yang tidak pernah Sayna tahu, mungkin dirinya pun tidak mencintai Danish sebanyak itu. Tapi Danish berbeda, Danish bukan pemuda biasa yang hanya menyukainya, Danish mencintainya.
“Sayna, katanya kalau mau seseorang jatuh cinta, dia harus bisa bikin orang itu ketawa. Tapi gue nggak bisa, setiap kali lihat lo senyum dan ketawa, malah gue yang makin tergila-gila.”
Sayna melebarkan kedua sudut bibir, sepertinya mereka akan segera masuk ke ronde ketiga.
Eh, atau kelima?
****
Malam itu menjadi malam yang panjang dan penuh gelora karena Danish dan Sayna terjaga hingga pukul dua. Mereka menyatu, menghentak, meracaukan nama satu sama lain dan memecah hening di udara yang dingin milik Lembang. Yang paling penting adalah, kebahagiaan ada di sana, membuncah dari hati keduanya. Sayna dan Danish bahagia.
Hingga pelepasan hebat didapatkan, keduanya terpejam menahan erangan di ujung tenggorokan. Danish mendongakkan kepala, akhirnya berhasil juga setelah percobaan yang kesekian kali dihitung sejak kemarin malam. Satu klep cairan kehidupan itu berhasil didapatkan, Sayna tersenyum senang, dia mengusap wajah kekasihnya penuh dengan perasaan bangga.
Danish sudah bekerja keras, melakukannya susah payah, memaksakan diri meski kesulitan pada awalnya.
“Makasih, Sayang...” Sayna mengecup bibir menggemaskan milik kekasihnya. Memberi hadiah, padahal dia tidak begitu gemar beradu bibir dan saling membungkam. “Gue nggak tahu harus ngasih apa lagi buat imbalan kali ini.”
Sayna sudah memberi semuanya, semoga Danish percaya.
“Lo... jadi milik gue, sepenuhnya, seutuhnya...” tanpa ada Gio di dalamnya. Tapi itu hanya terucap dalam kepala. “Udah cukup, Sayna.”
“Danish...” Sayna melenguh pelan saat pemuda itu bergerilya di sekitar perpotongan lehernya, menghirup aroma di ceruk itu dengan bibir menyapu lembab kulitnya. Sayna merinding hebat. “Jagoan banget anak Mama Melia.”
“Itu barusan pujian, kan?” sahut Danish cepat.
“Pujian lah, bisa bikin anak orang lemes gini kan prestasi, Nish.”
Danish menyipit, itu sindiran untuknya. “Sayna, kalau lo segitu takutnya, ayo kita balik ke Jakarta sekarang dan daftar ke KUA. Gue nggak akan ke mana-mana.”
Sayna tahu, dia hanya senang menggoda kekasihnya. “Jangan udik deh. Nggak hamil juga ngapain buru-buru nikah? Gue masih pengen kuliah.”
“Gue tanggung biaya kuliahnya.” Danish berbisik di telinga Sayna. “Gue tahu konsekuensinya, Say, jadi ayo—”
Jemari gadis itu menahan kata. “Lo tahu, bukan cuma kita yang begini di luar sana. Jadi nggak usah terlalu jauh mikirnya, visioner boleh, tapi prakteknya nanti aja.” Danish memanyunkan bibir. “Yang jelas, gue nggak suka kalau Tante Melia jadi mertuanya orang lain, paham, kan?”
Danish langsung tersenyum dengan hidung berkerut menggemaskan. Tubuh polosnya berotot, menggiurkan, tapi wajahnya kekanakan, perpaduan yang mematikan. “Imut banget sih.” Sayna bergumam pelan. “Gue sering disangkain lebih tua.”
“Nggak lah, Say, yang bilang lo lebih tua itu matanya buta.” Danish tidak mengerti kenapa dirinya sering disangka lebih muda dari usia sebenarnya. “Lo tahu yang paling imut itu siapa?”
“Ponakan lo? Anaknya Mbak Dinar?”
“Bukan.” Danish menggeleng pelan, kendati Irya—keponakannya, tampan tidak berakhlak, semena-mena. “Yang paling imut itu, anak-anak kita kelak. Hehe.”
“Apaan sih gombalnya?” Suara tawa memecah heningnya udara. “Eh, Nish ada telepon.” Sayna sigap mengambil ponsel kekasihnya yang menyala dan menampilkan nama sang kakak sebagai pemanggil.
“Mbak?” tanya Danish heran. Ada apa kakaknya menelepon malam-malam?
“Kamu di mana?” tanya Dinara cepat. “Lagi di Bandung? Main sama Sayna?”
“Iya.”
“Sayna bareng kamu sekarang?”
Danish melirik gadisnya yang menutup bagian atas tubuh dengan selimut tebal. “Nggak lah, ngapain aku bareng Sayna jam segini? Ada-ada aja.” Berbohong masih cara paling aman untuk menghindari omelan kakaknya. “Ada apa?”
“Kamu lihat Dya? Dya nggak ada. Anya dari siang teleponin nomornya Dya tapi nggak ada tanggapan, terus barusan nanya ke Mas Arya, barangkali nginap di apartemen tapi di sini nggak ada. Mas Arya baru keluar nyariin Dya ke hotel. Kamu minggu ini ketemu Dya, kan?”
“Ada,” jawab Danish pelan. “Tapi nggak lama, kita pisah di jalan, aku langsung ke Bandung soalnya.”
“Jalan mana?”
Danish berdeham, dia takut mengakui bahwa dirinya menurunkan Pramudya di pinggir jalan. “Di depan kafe Anyelir, Kebayoran.” Dia berbohong, sengaja.
“Itu nggak jauh. Nggak mungkin Dya kesasar.” Suara Dinara terdengar gusar. “Kalau sampai besok nggak ketemu kita lapor polisi, Nish. Kamu yang terakhir kali interaksi sama Dya harus siap jadi saksi. Sekarang tidur, besok pulang pagi-pagi, Bu Ayudia mau ke sini, pasti bakal ada interogasi.”
Sayna bisa melihat raut wajah Danish langsung berubah. Ingat percakapannya Jumat siang di telepon bahwa pemuda itu memang akan menemui Pramudya untuk mengerjakan tugas, tapi seingatnya pun tidak lama. Danish langsung berangkat ke Bandung ketika Sayna menghubunginya lagi saat mengetahui dosen tidak hadir.
“Nish...”
“Gue turunin dia di jalan pas dapat telepon kalau dosen lo nggak datang.” Danish segera menjawab tanpa menunggu Sayna bertanya. “Tapi ini lebay banget sampai dicariin kayak nyari bocah kecil hilang. Pramudya bahkan makan kue coklat aja ke Austria, baru nggak bisa dihubungi sehari semalem aja pada heboh amat. Heran.”
Sayna mengernyit heran. “Kenapa lo turunin dia di pinggir jalan?” tanyanya. “Kalian berantem? Dya ngomong apa sampai lo kesel dan nurunin dia?”
“Nggak ngomong apa-apa kok.” Seingatnya bahkan mereka tertawa setelah membahas Danish yang pakai baju koko dan memancing berahi Sayna. Dya 100% terlihat baik-baik saja. “Gue turunin dia karena hotel Bapaknya udah deket, gue dapat telepon dari lo harus ke Bandung sekarang, tol di belakang, Say. Jadi gue turunin Dya dan puter balik aja.”
Ini terdengar jahat sebenarnya, tapi entah kenapa Sayna ingin tertawa kendati dia tahu bahwa posisi Pramudya sangat tidak bisa ditertawakan. Empatinya sebagai sesama manusia—seorang wanita, hilang entah ke mana. Tapi wajah polos Danish saat mengutarakan alasannya benar-benar mambuat Sayna berbunga-bunga.
Danish melakukan hal sejauh itu hanya demi dirinya, memperjuangkannya. Dan Sayna bahagia.
“Nish,” panggilnya sambil mengusap wajah pemuda itu. “Lain kali jangan, ya? Jangan begitu lagi sama Dya.”
Danish menarik napas panjang lalu mengembuskannya keras-keras, dia mengangguk, tahu bahwa sikap seenaknya mulai semena-mena pada Dya. Untung ada Sayna, yang mengingatkannya. Pacar baik hatinya.
“Udah nggak cemburu ya sama Dya?”
“Cemburu, tapi tahu kok kalau kalian nggak ada apa-apa.”
“Memang. Dya itu pacarnya banyak, Sayna. Dia nggak beneran suka sama gue sebenarnya.”
“Oh, ya?” Sayna tertawa.
“Beneran. Terus anaknya pasrah-pasrah aja disiksa, nggak pernah marah, jadi keenakan nyiksanya. Gue nggak suka sama dia, Sayna. Gue cuma buat lo aja.”
Sayna menarik kedua sudut bibirnya. Mengekang Danish selama ini malah membuatnya sakit kepala, tapi melepas kungkungannya pelan-pelan justru membuat pemuda tampan itu makin bertekuk lutut dan tergila-gila. Selama ini Sayna telah salah langkah.
“Haus, nggak? Keringatan gini, minum dulu, ya. Mau minum apa?”
“Alkohol aja,” ucap Danish santai. “Biar hati dan kepala gue steril dari yang lain, cuma lo yang boleh ada di sana.”
Danish pasti tidak tahu, kalau gombalannya sendiri menyebabkan kematian.
Minggu berlalu dengan cepat setelah pagi-pagi sekali Danish dan Sayna harus pulang dari Lembang. Sementara kekasihnya meneruskan perjalanan hingga ke Jakarta, Sayna berada di kamar kosnya. Sejak sampai hingga malam hari dia tidur nyenyak sekali. Sudah jelas kecapaian, karena kegiatan yang dihabiskan dengan Danish bukan main. Sayna kelelahan.Kendati yang, em.... lebih banyak bergerak adalah pemuda itu, tetap saja sebagai objek yang dituju Sayna pun merasa capek, lemas dan letih. Berat badan Danish sepertinya naik akhir-akhir ini, dia makin berat saja saat bertumpu di atasnya.Ibunda: Teh, jangan lupa sarapan, ya. Ibu doakan apa pun yang Teteh jalani hari ini lancar.Sayna melihat ke luar jendela kamarnya, masih gelap, dia yakin ibunda pasti baru selesai beribadah dan langsung menghubunginya di awal minggu ini. Tidak ada drama bangun kesiangan Senin pagi karena minggunya Sayna tidur nyenyak sekali. Dia menggeliat bangun, memotret dirinya sendiri lalu mengirim fot
“Gue pengen pergi,” gumam pemuda itu pelan dengan kelopak mata yang terbuka perlahan. “Gue nggak suka dia ada di sini.”Danish melirik ke samping, Pramudya duduk seperti patung hidup di sebelahnya, tidak memberi reaksi apa-apa.“Tiap dia ada, gue nggak mau pulang.” Danish menambahkan, kendati Pramudya mungkin tidak mengerti apa maksudnya. “Tapi Mama suka banget sama orang itu, Dya.”Dan perasaan ibunya tidak bisa dicampuri, Danish tahu dengan pasti.“Dya...”“Ayo pergi!”“Gue nggak betah kalau dia ada di rumah.”“Jangan pulang.”Entah kenapa, meski itu terdengar tidak baik, Danish tersenyum dibuatnya. Dya memberikan hal-hal yang ingin Danish dengar. Sejujurnya, Danish tahu dia harus bagaimana, bersikap seperti apa, menerima keadaan dan membiarkan ibunya bahagia. Tapi nanti. Saat ini, dia hanya ingin dibenarkan oleh seseorang, dibela,
Hujan deras mengguyur siang menuju sore hari itu. Danish yang awalnya hanya berencana mengajak Pramudya membeli pakan Bolu terpaksa harus meneduh lebih dulu. Mereka pergi ke laundry Melia terdekat dari komplek perumahan, ada Hamam dan para pekerja di sana, mereka tidak berduaan selama menanti hujan. Danish memeriksa ponsel, tidak ada pesan dari Sayna seharian—selain tadi pagi untuk menyemangatinya.Dia rindu. Kenapa tetes hujan selalu membuat suasana menjadi sendu? Padahal baru kemarin mereka bertemu.“Bahasa Jawanya apa tuh? Kan kalau Sunda Neng, Dya maunya dipanggil apa?”Danish melirik Hamam yang suaranya sayup-sayup ditelan angin dan hujan di luar sana, deras sekali. Dia jadi membayangkan yang tidak-tidak, apa yang dilakukan ibunya bersama seorang pria di rumah? Danish jelas tahu kalau Melia rindu belaian dan sentuhan. Dia mengerti itu, usianya 20 tahun sekarang.“Dya aja.” Suara Pramudya baru terdengar kendati H
“Teh, Ibu nikah sama Ayah pas umur 30 tahun,” kata ibunya waktu itu. “Jadi punya anaknya agak telat, apalagi Ayah sebentar lagi pensiun. Ibu bakal sendirian bertempur buat biaya kuliah Teteh. Yang prihatin ya, Nak? Ibu mau Teteh menikah selesai kuliah profesi, biar ibu tenang, perjuangan ibu sama Ayah kelihatan hasilnya.”Tahun depan Ayah pensiun dari pekerjaannya, dan beberapa hal bisa jadi berbeda. Keluarga Sayna bukan pengusaha kaya atau keturunan konglomerat seperti Adiswara dan Ranajaya. Mereka bahkan tidak punya nama belakang yang keren, yang dipakai oleh seluruh keturunan generasi berikutnya. Keluarga Sayna hanya orang biasa, hidup berkecukupan, keduanya bekerja dan mengabdi pada negara.Namun masa abdi itu memiliki masa aktif, dan ketika tenaga serta abdinya tidak dibutuhkan lagi, beberapa kompensasi dicabut, tidak didapatkan lagi. Sayna bisa membayangkan bagaimana sulit dan beratnya Ibunda berjuang seorang diri membayar kuliah di kedokt
“Keterlaluan!”Sayna langsung menggigil ketika suara itu menyentak gendang telinganya. Bukan hanya kaget, dia juga ketakutan. Baru kali ini dia merasa sangat tersudut, tidak mampu membela diri sama sekali, tidak mau.“Lo nggak tahu apa aja yang udah gue lakuin buat bertahan, Sayna.” Pemuda itu terengah dengan wajah dan mata yang memerah. “Gue bahkan... saking nggak maunya ngasih Dya celah, sering jahat sama dia.” Napasnya terengah. “Demi lo,” lanjutnya. “Cuma lo satu-satunya.”Gadis itu semakin menundukkan kepala, dia kira menggigil hanya karena ketakutan, tapi ternyata Sayna juga sangat kedinginan, padahal tidak sedang hujan. Dia tentu ingat beberapa waktu yang lalu, saat keluarga Danish panik mencari keberadaan Pramudya usai ditinggal begitu saja demi segera menemui Sayna. Danish tidak hanya asal bicara, dia membuktikan dengan tindakan bahwa kesetiaannya tidak boleh diragukan.“Maaf, Nish
Jhare sopo aku nggak iso, jhare sopo aku nggak iso? Eyeliner-ku nggak roto lho, terus opo’o?Makeup-ku jan uaneh yet my friends say, hiiiii... apike!Raimu raiku do whatever you wanna doBuenci pol body shamming jan garai cryingGendat gendut kura kuru lambemu lambemuI love my body and... you should tooSiji loro telu Hi, all i love you!Suara Pradnya diiringi hentakan musik ketika menyanyikan kembali lirik andalan dalam lagu Pretty Real menggema di seluruh ruangan. Malam ini adalah pesta ulang tahun si kembar, suasana kediaman Ranajaya begitu meriah. Tamu sudah berdatangan sejak sore, sementara si empunya acara hanya terlihat salah satunya saja. Saudari kembarnya justru baru kembali dari halaman belakang rumah, lapangan golf pribadi keluarga, mengendarai Boogy, menerobos masuk ke ruang pesta, masih mengenakan pakaian kasualnya.
Hamam telah mengubah subjek dari “Berkat Doa Ibu” menjadi “HBD RAFID” Rafid: Selamat ulang tahun buat gue...Arvin: Ikan hiu makan tomat, hahaha tua amat!Hamam: AJG!Herdian: Heh, dateng-dateng langsung ngomong kasar lo. Jempol tuh dididik dulu ngapa?Hamam: AJG (Astagfirullah Jangan Gitu)Danish: Baru tahu gue *laughHamam: Ngumpul kuy, biar bos gue yang traktir.Danish: TAI!Hamam: TAI (Tak apa, Aku Ikhlas)Herdian: Ngarang banget lo, setan *laughArvin: Kuy, kapan kumpul? Pada ke Bandung aja, gue siapin villa. Kalian berangkat bareng Danish.Rafid: Gue sih lagi pengen dinner dulu sama cewek gue minggu ini, tapi masalahnya gue nggak ada duit. Sue banget ul
Gadis itu memeriksa bagian bawah tubuhnya yang lengket dan lembab. Lagi-lagi tidak dapat menahan lelehan air mata yang menyeruak. Sebuah pengkhianatan sungguhan telah dia lakukan pada kekasihnya. Dan bagaimanapun Sayna mencoba menyangkal, bukti seperti ini tidak bisa diabaikan. Tubuhnya merespons kegiatan sialan itu dengan benar, menolak kerja sama dengan otak dan akal sehat yang terus merasa jijik saat itu dilakukan.Sayna merasai berahinya sendiri karena merasa jahat dan ingin tubuhnya mendapat lebih saat bersama Giovanni. Bagaimana itu bisa terjadi? Kenapa harus begini? Kenapa tubuhnya harus ingin? Sementara otak dan akal sehatnya tidak menginginkan apa-apa.Apakah ini lumrah terjadi? Apa orang-orang yang diperkosa juga mengalami hal yang sama?“Kakak Sayna!”Suara itu mengejutkannya, membuat Sayna seperti ditarik dari keadaan setengah sadar dan segera membuka matanya lebar-lebar. Dia menolehkan kepala dan melihat seorang gadis muda berambu
Sayna sekarang tahu bahwa Arunika merupakan putri sulung sekaligus putri satu-satunya dari Mark Tuan, seorang pria yang lahir dari wanita asli Sunda dan ayahnya berdarah Tionghoa. Pantas saja dia punya perawakan yang berbeda dengan para pribumi, meski dipanggil Gege oleh adiknya, tapi keluarga mereka sangat meninggikan kebudayaan dan adat Sunda. Mungkin karena ibu kandungnya memiliki latar belakang yang kental dengan budaya, kabarnya mereka adalah keluarga pengelola museum adat Sunda di Subang.Mark dan keluarganya menetap di Lembang, daerah Bandung yang juga dekat ke arah Subang. Dia bekerja sebagai direktur operasional perusahaan farmasi keluarga yang dikepalai oleh kakak kandungnya sebagai lulusan apoteker handal. PT Sagara Purnama adalah perusahaan yang bergerak di bidang industri kosmetik dan kontrak manufaktur pertama di Subang. Itu sekilas yang Sayna tahu dari hasil pencariannya di internet mengenai latar belakang pria itu.“Sebenarnya saya ke rumah sakit
“Sayna, Adek koas favorit Bunda, sini-sini.” Sayna menyengir pasrah ketika salah satu perawat senior memanggil namanya sambil melambai-lambaikan tangan. Sudah pasti dia akan dapat tugas tambahan. Mereka bilang, anak-anak koas adalah keset kaki karena acapkali diperlakukan semena-mena selama menjadi sukarelawan di rumah sakit. Tak jarang yang memperlakukan mereka tidak manusiawi adalah rekan-rekan seniornya sendiri. Di stase ini tentu Sayna tidak terlepas dari orang-orang dengan profesi dokter, perawat, hingga bidan dan lain-lainnya. Namun nasib anak-anak magang dari angkatan perawat dan kebidanan jauh lebih mengenaskan. Tak jarang Sayna yang harus membimbing mereka saat ada waktu senggang. “Kamu ke perina, ya. Banyak yang mau aterm hari ini.” “Baik, Bu.” Sayna menurut dengan mudah saat kepala perawat favoritnya meminta bantuan untuk membuat dia berjaga di ruang perina dan menunggu ibu-ibu yang akan melahirkan bayi. Ruang itu terhubung
“Dede enakan? Boleh Ayah minta sun?” “Boleh.” Gadis kecil berusia dua tahun lebih itu mendongak untuk mengecup wajah sang ayah. “Napa?” “Nggak papa, ayah cuma mau minta sun aja. Kangen sama Dede.” “Hai, Nika...” sapa Sayna ramah, meski pada kenyataannya Arunika yang ini lebih suka pada Rafika saat mereka berkunjung untuk memeriksa keadaannya. “Udah minum susu belum, Sayang?” “Nggak mau.” Dia menggeleng lemah. Gadis kecil itu merengut, merapatkan tubuhnya pada sang ayah. “Sus, ini bisa nggak dititip sebentar? Nanny lagi makan siang di kantin, saya ada keperluan yang harus dibeli ke luar.” Sayna tersenyum dan mengangguk. “Silakan, Pak. Biar Arunika saya yang jaga.” “Wah, ini Tante susternya hafal nama Dede.” Pria itu bersorak senang. “Tunggu sebentar, ya? Ayah mau beli sesuatu, nanti Dede beli mainan baru deh, mau?” “Nggak mau.” Arunika menggelengkan kepala tanda tak setuju. “Nika mau minum susu sama tante?” tawar
Setelah bulan lalu mengakhiri masa abdinya di stase bedah, yang mana membuat Sayna merasakan pengalaman luar biasa selama berada di sana, mulai minggu ini dia mendapat giliran berjaga di stase anak. Meskipun mengingat perjuangan serta pelajaran yang dia dapat dari stase bedah sangat berharga dan beragam, Sayna lega karena bebas dari sana. Stase bedah memiliki pasien yang banyak, nyaris membludak untuk di-follow up setiap hari. Tapi di sana juga keterampilan Sayna sangat diuji. Kemampuannya menjahit luka semasa kuliah pra-klinik selama 3,5 tahun benar-benar direalisasikan. Sayna bahkan belajar menyunat di stase ini. Dan yang paling berkesan adalah melakukan operasi transplantasi kulit pada pasien luka bakar yang mana kulitnya diambil dari bagian paha dan ditanam ke punggung. Luar biasa, Sayna merasa jadi mahasiswi kedokteran betulan saat itu. Dan semuanya sudah berlalu, Sayna tidak yakin lulus di stase itu karena mahasiswa sepintar Gio saja dulu tidak mampu m
Anya merasa lebih tenang sekarang, karena meski saudarinya akan merantau ke negeri orang, dia mengantongi izin untuk berkunjung ke tempat Dya belajar sesering yang dia ingin. Setelah melakukan pentas drama di depan ayah dan ibunya, Anya dikonfirmasi akan segera memiliki privat jet miliknya sendiri untuk keperluan pulang pergi melongok Dya di New York. Dan berhubung keduanya anak kembar, tidak adil rasanya jika Ranajaya hanya membelikan untuk salah satu dari mereka saja. Alhasil, Dya yang tidak berminat sama sekali pada benda bisa terbang itu pun harus ikut menerima pemberian orangtuanya. Mau tidak mau.“Aku nanti minta jadwal kamu pokoknya, biar pas kamu free aku ke sana.”Dya mengangguk mendengar permintaan saudarinya itu, sedikit lega karena Anya tampak lebih bersemangat dibanding beberapa hari yang lalu. “Kamu baik-baik, ya.”“Aku yang harusnya bilang gitu.” Anya berguling dari posisinya saat ini dan telungkup untu
“Lo masih mau di sini?” Suara Danish menyadarkannya kembali. “Kalau mau sama Hamam nggak papa sih.”“Eh, nggak, Nish, nggak! Gue nggak enak juga kalau harus ke kamar Dya.” Hamam salah tingkah dan mengusap tengkuknya gelisah. “Dya sama Danish aja, ya? Biar Mas Hamam di sini jagain Anya, oke?”“Oke.”Pada akhirnya Dya pasrah saat Danish membantunya mengalungkan tangan dan berjalan tertatih menuju villa tempat mereka menginap. Sementara Hamam, Anya, Arvin, Rafid dan Herdian tinggal untuk menikmati berbagai permainan yang disuguhkan. Namun setelah dua orang itu menjauh, lima anak muda itu justru tidak meneruskan niat mereka semula.“Gila, ya. Untung lo masih ada otaknya, Mam. Kalau lo ngotot bawa Dya tadi kebayang gimana patah hatinya Danish.” Herdian membuka obrolan.“Iya, kasihan gue kalau dia harus patah hati dua kali dalam waktu dekat.” Pendapat Rafid menimpali duga
“Sial, banyak banget debu jalanan. Tutup mata, Anya!”“WAAAA....”Danish langsung mengerem sepeda motor yang dia kendarai mendengar jeritan Hamam di sebelahnya, temannya itu nyaris oleng sebelum berbelok ke kiri jalan dan berhenti.“Kenapa sih?” tanya Danish keki. Merasakan pegangan tangan Anya di pinggangnya melonggar perlahan. Mereka sedang berwisata dan menaklukan medan jalan yang berdebu dan terjal untuk sampai ke tujuan.“Gue kaget, Nish. Pas lo teriak nyuruh nutup mata itu gue refleks nutup mata juga, padahal kan gue lagi nyetir, mana bonceng Dya di belakang. Kalau Dya cedera nyawa gue bisa melayang.”Dya dan Anya tertawa, mereka kira apa. Dya yang duduk di belakang Hamam bahkan bingung sendiri saat pemuda itu mulai tidak stabil membawa kendaraannya lalu berhenti tiba-tiba.“Maaf ya, Dya.” Hamam merasa sangat berdosa. Ini harusnya jadi liburan yang paling berkesan karena Dya a
Menghabiskan dua malam di Jakarta bersama Giovanni yang diizinkan menginap oleh orangtuanya, Sayna melakukan perjalanan kembali ke perantauan. Bukan Bandung, kali ini dia harus ke Majalengka karena sedang sibuk KKN di sana. Agak sedih karena Sayna tidak bertemu dengan adiknya sama sekali berhubung anak itu sedang sibuk pendidikan, dia juga tidak tahu kapan bisa pulang ke rumah lagi, bisa dipastikan Sayna akan lebih sibuk dalam beberapa bulan kedepan.“Semangat dong!” Gio tersenyum menggoda, paham kalau gadis cantik yang duduk di sebelahnya itu tengah diserang homesick musiman yang biasa menyerang para mahasiswa KKN. “Gimana aja program kalian?”“Programnya banyak,” keluh Sayna pelan. “Ada satu anak yang ngeselin dari teknik sipil, aku sering banget nahan bogem kalau dia mulai ngoceh terus, Kak.”Giovanni mengacak rambut pendek Sayna dengan sebelah tangan. “Namanya dinamika kelompok, hadapi aja, ya. I
“Om... tolong!”Irya sedang bermain sandiwara dengan pamannya.“Om! Aku syakit!”Danish tidak menggubris.“Om, tolong aku!”“Aduh, berisik banget!” Danish menggerutu lalu berjalan mendekati bayi yang usianya entah berapa itu. Irya terlalu pintar untuk anak seusianya. Sibuk berakting demi mencari perhatian. Lihat saja, dia membuka lemari penyimpanan di kamar Danish lalu memasukkan sebelah tangan ke dalamnya dan menutup pintu lemari itu kemudian menjerit seolah sangat kesakitan.“Apa-apaan sih, Den?” tanya Danish keki. Kelakuan Irya kadang sebelas dua belas dengan ayahnya. Ada-ada saja.“Hehe, makasih Om!” seru Irya tanpa merasa berdosa atau apa.Danish menggendong anak itu dan menatapnya sambil menyipitkan mata. Tidak ingin dan tidak bisa menebak hal aneh lain yang akan dilakukan oleh Irya. Dia seperti tidak kehabisan ide untuk membuat keributan dan ingin se