Jeremy mengemasi barang-barang beserta pakaiannya ke dalam koper. Ia marah kepada kedua orang tuanya mengenai hubungan bersama Alka tidak direstui. Kemarin, Jeremy diberikan pilihan oleh sang ayah. Tetap memilih menikah dengan Alka tapi putus hubungan antara orang tua dan anak, atau merelakan Alka tapi mendapatkan kepercayaan mengelola perusahaan keluarga. Ia memilih untuk pergi dari rumah itu demi memperjuangkan cinta Alka.
"Mau ke mana kamu Jeremy?" tanya sang ibu saat memasuki kamar.
"Aku mau pergi, Ma," jawab Jeremy.
"Pergi ke mana?" tanya Wilda panik.
"Aku ingin menemui Alka. Walaupun Mama dan Papa tidak mau merestui kami, aku akan tetap memperjuangkanmu cintaku untuk Alka."
"Nak! tolong jangan pergi ...," mohon Wilda.
"Apa jika aku tidak pergi, Mama dan Papa akan merestuiku dengan Alka? Aku rasa tidak."
Wilda menangis melihat sang putra yang akan pergi meninggalkannya. Bagaimana tidak. Seorang anak semata wayang yang ia besarkan memilih pergi hanya untuk memperjuangkan cinta kepada gadis pujaannya.
Jeremy kemudian mengangkat koper dan segera keluar dari kamarnya. Jeremy berjalan dengan cepat menuruni tangga. Di belakang Jeremy, terdapat sang ibu yang melangkah dengan cepat. Wilda berusaha mengejar putranya dan memohon agar jangan pergi meninggalkan rumah.
"Jeremy! Nak! Tolong jangan pergiii ... Mama dan Papa minta maaf karena tak merestuimu dengan gadis pujaan. Tapi Mama dan Papa ingin memberikan yang terbaik untuk kamu."
Jeremy tak menggubris ucapan sang Ibu. Di ruang tamu, terdapat Hasan sedang membaca koran dengan santai dan sama sekali tidak terganggu dengan interaksi Wilda dan Jeremy. Wilda melirik kesal kepada sang suami karena tidak peduli mengenai Jeremy yang akan pergi.
"Papa! Tolong lakukan sesuatu! Anak kita ingin pergi dari rumah karena kita tidak merestui hubungannya dengan Alka. Apa kamu ingin membiarkan anak kita pergi, Pa?" rengek Wilda.
"Untuk apa kita harus menghalanginya? Biarkan saja dia pergi. Anak tidak tahu diri."
Jeremy berhenti sejenak dan menurunkan kopernya. Ia menatap sejenak rumah yang akan ia tinggalkan. Sebelum pergi, Jeremy menatap orang tuanya secara bergantian.
"Tidak apa-apa Papa dan Mama membenci aku yang lebih memilih memperjuangkan Alka. Karena menurutku, mencintai seseorang itu tidak membutuhkan alasan apapun. Dan tidak perlu memandang latar belakangnya, asal dia bisa membawa kebahagiaan untuk kita."
Hasan melipat koran dan memandang dingin putranya. "Baiklah jika itu mau kamu. Silakan pergi dari rumah ini dan perjuangkan wanita itu. Tapi ada syaratnya sebelum kamu pergi dari rumah ini."
"Syarat apa, Pa?" tanya Jeremy.
"Semua kartu yang ada padamu, tolong tinggalkan! Karena itu adalah pemberian dari Papa. Papa tidak ingin kamu menggunakan uang itu untuk membelanjakan wanita itu."
Jeremy menghela napas. "Baiklah tidak masalah. Tanpa bergantung dengan Papa, aku bisa mencari uang sendiri."
Jeremy lalu membuka tasnya lalu mengambil dompet dan mengeluarkan semua kartu ATM serta black card pemberian sang Ayah. Tanpa ragu, ia menaruh semua kartu itu di atas meja.
"Aku pamit Pa, Ma."
Jeremy melangkah pergi dengan tenang sambil menyeret koper dan juga tasnya. Tujuannya ingin terbang ke Yogyakarta menemui gadis pujaan hatinya. Jeremy yakin, meskipun ia sekarang tidak memiliki apapun, Alka tidak mungkin mencampakkan. Alka bukanlah wanita yang materialistis dan gila uang.
Sedangkan Wilda sang Ibu, menangis melihat karena putra kesayangannya pergi dari rumah. Anak laki-laki itu dengan tanpa ragu dan tanpa takut mengenai ancaman sang ayah yang mengambil dan mencabut semua fasilitas yang diberikan. Wilda protes kepada sang suami yang membiarkan anak mereka pergi begitu saja.
"Kenapa kamu membiarkan anak kita pergi, Pa? Aku tidak ingin kehilangan dia. Mengapa kamu tidak melakukan sesuatu untuk menahan dia agar dia tidak pergi meninggalkan kita?"
"Kamu jangan selalu memanjakan anak itu. Sesekali dia harus diberikan pelajaran. Karena dia tidak bisa diperingatkan dan tidak bisa menuruti apa nasehat dan larangan kita sebagai orang tua, maka kita harus mengambil langkah tegas. Kita lihat apakah dia bisa hidup tanpa uang? Aku yakin bahwa Alka tidak akan mungkin menerima dia yang tidak memiliki apa-apa sekarang."
**
Alka berjalan pelan menuruni lereng gunung dengan hati-hati sambil menggendong karung besar berisi sayuran. Karung besar yang ia kaitkan dengan sehelai kain panjang yang biasa disebut jarik itu, berisi kubis yang akan dia jual kepada tengkulak. Hari ini Alka tidak kuliah karena libur. Pekerjaan Alka sebagai pegawai minimarket dikerjakan saat menjalani shift malam.
"Hati-hati kepleset Alka!" ucap wanita paruh baya yang sedang memanen daun bawang.
"Iya, Bu. Makasih."
Jalan setapak yang dilewati oleh Alka terasa licin setelah pagi hari diguyur hujan. Jika tidak berhati-hati berjalan menuruni jalan itu, maka Alka akan terpeleset dan terjungkal. Tak hanya itu, sayuran yang ia gendong juga akan berceceran jika seandainya tidak diikat dengan kuat ujung dari karung itu.
Alka menyeka keringat yang membanjiri pelipisnya. Ia mempercepat langkah karena sebentar lagi sampai di rumah tengkulak. Setelah pulang dari rumah tengkulak, uang hasil menjual kubis ia masukkan ke kantong celana. Harga kubis sangat murah. Namun Alka tetap bersyukur meskipun hasilnya sedikit bisa menambah uang sakunya.
Ketika Alka melangkahkan kaki beberapa meter lagi sampai rumah, ia terpaku dengan sosok pria yang berdiri di depan rumahnya. Pria itu memandang sendu rumah Alka.
"Kamu?!" Alka terkejut melihat kedatangan Jeremy dihadapannya.
"Alka!" Jeremy menoleh ke belakang. Ia melepaskan tasnya, mendekat, dan memeluk Alka. Alka terkejut dan hampir saja terhuyung ke belakang.
"Tolong jangan peluk aku. Aku bau keringat habis panen sayuran." Alka mendorong tubuh Jeremy agar tidak memeluknya. Namun pria itu tidak peduli.
Jeremy menggeleng. "Aku tidak peduli. Aku rindu kamu."
Alka akhirnya pasrah tubuhnya dipeluk erat oleh pria itu. Namun, tatapannya teralihkan dengan koper dan tas yang dibawa oleh Jeremy. Dalam hati, ia bertanya, apakah Jeremy diusir oleh kedua orang tuanya?
"Mas bawa koper dan tas, mau pergi ke mana?" tanya Alka penasaran.
Jeremy melepaskan pelukannya."Boleh aku masuk rumah? Aku lelah setelah merasakan perjalanan jauh."
"Ya sudah. Ayo masuk!" ajak Alka.
Didalam rumah, Alka menyiapkan segelas air minum dan ia berikan kepada Jeremy. Jeremy menerima gelas berisi air dan meminumnya hingga tandas. Alka kemudian menarik kursi dan duduk berhadapan dengan Jeremy di ruang makan.
"Jadi Mas pergi meninggalkan orang tua untuk menemui aku. Mas yakin tetap ingin menikahi aku meskipun orang tua Mas tidak setuju?"
Jeremy mengangguk. "Iya, Sayang. Aku sungguh sangat mencintai kamu. Tidak ingin kehilangan kamu."
Alka menampilkan senyuman dengan perasaan yang campur aduk. Bohong jika dia tidak bahagia melihat Jeremy yang bertekad memperjuangkan dirinya. Namun disatu sisi, Alka merasa bersalah telah membuat orang tua dan anak saling menjauh.
"Kamu tahu seperti apa latar belakangku, Mas. Aku hanya anak petani dan anak orang miskin. Beda jauh dengan kamu."
"Aku tidak peduli. Aku rela kehilangan segalanya asal jangan kehilanganmu," tegas Jeremy.
Alka menghela napas. "Tolong pikirkan lagi ... Jangan keputusan Mas sekarang akan membuatmu menyesal kemudian hari."
"Apa kamu pikir, aku tidak memikirkan risiko sebelum mengambil keputusan?"
Jeremy menatap wajah Alka dengan lekat. Alka diam menunggu Jeremy yang masih ingin melanjutkan ucapannya.
"Tentu saja aku tahu keputusan apa yang harus aku pilih, dan apa risikonya. Apapun keputusan yang aku ambil, aku harus siap menerima hasilnya walaupun mengecewakanku. Aku tidak pernah menyesali apa yang terjadi. Karena itu semua adalah kehendak Yang Maha Kuasa."
Alka diam dan tidak tahu harus berbicara apa. Jeremy yang menatap Alka dengan kediamannya, membuat pria itu mengerutkan kening. Sebenarnya apa yang dipikirkan oleh Alka?
"Kenapa kamu diam, Alka? Apakah kamu keberatan dengan keputusanku ini? Apa kamu tidak ingin menghargai pengorbananku demi kamu?"
Alka terkejut dengan pertanyaan Jeremy. "Bu-bukan begitu maksudku."
Alka terkejut dengan Jeremy yang berpikiran bahwa ia tidak menghargai pengorbanan pria itu. Alka berusaha mencari kata untuk menjelaskan agar Jeremy tidak salah paham.
"Aku ingin kita segera menikah. Nanti sore kita ke KUA untuk menikah secara sah menurut hukum dan negara." Jeremy mengambil keputusan yang mengejutkan Alka.
Alka melebarkan matanya. "Menikah? Secepat ini?!"
********
"Sah!" Suara para saksi dan wali hakim serempak menjawab penghulu yang memimpin ijab qobul.
Jeremy dan Alka melaksanakan pernikahan di KUA malam itu juga. Setelah Jeremy datang menemui Alka, ia langsung meminta surat pengantar dari kepala desa tempat tinggal Alka untuk menikah. Jeremy menghadiahkan sebuah mahar cincin berlian yang ia beli jauh sebelum ia mengajak Alka ke rumah orang tuanya.
Sebelumnya, Jeremy dan Alka sedikit berdebat untuk melaksanakan pernikahan ini. Alka mengatakan kepada Jeremy untuk tidak terburu-buru menikah. Tapi pria itu salah paham dan mengira Alka mempermainkan perasaan Jeremy. Akhirnya, Alka setuju dengan ajakan Jeremy untuk melakukan prosesi pernikahan di KUA.
Setelah prosesi ijab qobul selesai, dan doa bersama di lakukan, Jeremy dan Alka berdiri di taman belakang gedung KUA.
"Alhamdulillah akhirnya kita resmi menjadi suami istri. Aku berjanji akan melakukan apapun demi membahagiakan kamu," ucap Jeremy menatap dalam netra Alka.
"Aku tidak meminta yang muluk-muluk, Mas. Cukup Mas setia dan tidak pernah menghianati aku."
"Aku tidak akan pernah menodai sumpah janji pernikahan kita. Ingatlah dan tolong kamu pegang kata-kataku ini."
Alka mengangguk. "Aku percaya, Mas."
Diantara mereka berdua, saling mengucapkan janji saling setia dan tidak akan meninggalkan satu sama lain. Bulan purnama malam itu bersinar cukup terang. Bintang-bintang berhamburan menambah keindahan pemandangan alam diwaktu malam. Dan itu semua menjadi saksi bisu Alka dan Jeremy mengucapkan janji.
"Tapi ... Mas? ..." Alka menatap wajah pria yang kini telah resmi menjadi suaminya.
"Ya?" Jeremy tersenyum, "apa, Sayang?"
Alka terlihat ragu untuk berbicara. Takut ucapannya menyinggung Jeremy. Berusaha mengumpulkan keberanian, akhirnya ia bertanya ...
"Semua uang yang kamu miliki, telah diambil seluruhnya oleh orang tua kamu. Apa kamu punya uang untuk biaya hidup kita beberapa bulan ke depan ...?"
Setelah Alka dan Jeremy resmi menikah, keduanya lalu pindah ke Jakarta. Mereka menyewa sebuah kontrakan yang lumayan kecil. Sebelum mereka berangkat ke Jakarta, Alka dan Jeremy terlebih dahulu bekerja ikut panen cabai selama satu minggu. Sebelum memutuskan untuk pindah ke Jakarta, Jeremy dan Alka terlibat pertengkaran kecil terlebih dahulu. Sebabnya, Alka tidak mau diajak pindah ke Jakarta. Biaya hidup di Jakarta sangatlah mahal. Tidak seperti di Yogyakarta terutama tinggal di pedesaan.Menurut data statistik pemerintah, biaya hidup di Yogyakarta adalah yang paling termurah sekitar 2,9 juta per bulan. Biaya sebesar itu, untuk mahasiswa dan pekerja yang menyewa tempat tinggal. Jika tinggal di desa, pengeluaran keuangan akan lebih murah lagi. Keputusan untuk pindah ke Jakarta, bukanlah perkara yang mudah bagi Alka. Ia sendiri tidak tahu apakah bisa mengatur keuangan di Jakarta. Terlebih lagi Jeremy saat ini belum mendapatkan pekerjaan."Maaf ya, Sayang. Kita hanya bisa menyewa rumah s
"Lantas, jika kamu wanita pilihan kedua orang tua Jeremy, kenapa? Toh saat ini aku yang menjadi istri Jeremy." Alka berbicara santai namun menusuk hati Diana.Diana tersenyum getir dan menahan kesal. "Aku pikir kamu tidak bisa berbicara.""Kamu pikir aku patung tidak bisa bicara?""Percaya diri sekali kamu dengan statusmu sebagai istri seorang Jeremy," cibir Diana, "tanpa kamu sadari siapa dirimu.""Kenapa aku tidak boleh percaya diri? Aku menikah dengannya sah menurut hukum dan agama. Bukan menikah siri apalagi sebagai simpanan. Seperti kamu," ucap Alka dengan lantang.Alka tahu sedikit mengenai Diana Rosita, wanita pilihan kedua orang tua Jeremy yang akan dijodohkan kepada pria yang saat ini sudah menjadi suami Alka. Diana adalah anak seorang pengusaha dan pejabat, namun kerap menjadi simpanan pria beristri. Itulah sebabnya Jeremy tidak mau dijodohkan dengan Diana. Sindiran yang dilemparkan oleh Alka tadi, membuat Diana naik pitam."Berani kamu menghina aku seperti itu!" hardik Dian
Jeremy pulang ke rumah dengan wajah yang berbinar cerah. Ia tidak sabar segera memberikan kejutan untuk sang istri. Sebuah hadiah yang telah ia siapkan beberapa hari lalu, kini saatnya ia persembahkan kepada wanita belahan jiwanya."Sayang!" seru Jeremy."Iya, Mas. Sudah pulang?" Alka meletakkan selang dan mematikan kran air. Istri kesayangan Jeremy itu sedang menyiram tanaman bunga dan sayurannya."Aku punya hadiah untuk kamu," beritahu Jeremy sambil tersenyum lebar."Hadiah apa, Mas?" Alka penasaran."Coba tutup dulu matanya!" interupsi Jeremy.Alka mengerutkan kening. "Kenapa harus tutup mata segala, sih? Nggak usah aneh-aneh deh.""Bukan aneh-aneh kok, Sayang.""Benar?" tanya Alka tidak percaya.Jeremy mencubit gemas pipi Alka. "Iya. Coba tutup mata dulu. Kalau nggak tutup mata, nggak surprise dong."Akhirnya Alka menuruti Jeremy yang memintanya untuk menutupi mata. Alka merasa penasaran sekaligus cemas dengan kejutan yang akan diberikan oleh Jeremy. Disaat mata Alka tertutup, Jer
"Maaf! kondisi pasien bernama Jeremy sedang mengalami koma," terang Dokter Herman, dokter yang menangani Jeremy. Wilda, sang ibu yang mendengarkan merasa syok. Hampir saja tubuhnya limbung jika tidak ditahan oleh sang suami. Airmata seketika berderai membasahi wajah wanita paruh baya yang masih cantik itu. "Kami menemukan cedera otak pada pasien akibat benturan keras yang terjadi. Sehingga menimbulkan pergeseran dan rotasi otak didalam tengkorak," jelas Dokter Herman. "Lalu, kapan anak saya akan bangun dokter?" tanya Hasan. Dokter Herman menggeleng pelan. "Kami tidak bisa memastikan kapan pasien akan bangun. Berdoa saja. Semoga diberikan keajaiban." Hasan mengangguk mendengarkan dokter Herman. Sedangkan Wilda, hanya menangis sambil mengelus dadanya yang terasa sakit dan sesak. Wilda sangat takut bila seandainya tidak ada keajaiban dan Jeremy tidak selamat. "Saya permisi terlebih dahulu. Ada pasien lain yang menunggu saya." "Terima kasih, Do
Seorang wanita berulangkali mengerjapkan mata untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke retina. Hal pertama yang ia lihat saat pertama kali membuka mata, adalah langit-langit berwarna putih. Dibersamai dengan aroma obat yang menyerbak mengusik indra penciuman, ia tahu bahwa saat ini dirinya tengah berada di rumah sakit. Sebuah perban melingkar di kepalanya. Merasakan punggung yang terasa ngilu, ia berpikir bahwa dirinya telah lama berbaring. Ia mencoba bangun dari berbaring, namun kepalanya terasa sakit. "Jangan terlalu banyak bergerak dulu, Mbak. Mbaknya baru sadar," tegur Suster yang baru saja masuk ke ruangan rawat. Wanita itu mencoba mengingat kejadian apa yang membuat dirinya bisa berada di rumah sakit saat ini. Kemudian ia melebarkan matanya terkejut ketika mengingat ia mengalami kecelakaan tidak sendirian. "Di mana suami saya?" tanya wanita itu
Hujan deras dan suara petir menggelegar menandai berakhirnya musim kemarau. Di malam pertama turun hujan, aroma petrichor tercium menguap ke udara. Aroma antara tanah kering dan air hujan yang menyatu memang sangat menyenangkan. Sekaligus ucapan rasa syukur atas rahmat Tuhan karena diberikan keberkahan atas turunnya hujan setelah musim kemarau yang panjang. Di rumah Nena, tepatnya di Yogyakarta, wanita yang merupakan kakak sepupu Alka itu tersenyum bahagia. Bagaimana tidak, tanaman bunga dan sayuran yang mulai akan mati, kini setidaknya ikut tersenyum bahagia karena diguyur hujan. "Alhamdulillah! Sudah turun hujan. Kamu akan tumbuh subur lagi," ucap Nena dengan penuh rasa syukur sambil melihat tanaman-tanamannya. Nena mencoba membuka tirai di jendela rumahnya untuk memandang hujan turun. Namun, bukannya melihat aliran air yang turun dari sudut genting, Nena malah terpaku dengan seseorang yang berdiri di depan rumahnya. Nena penasaran dengan sosok i
Jeremy berulangkali menggerakkan jari-jari tangannya secara perlahan. mata yang masih tertutup itu, bergerak-gerak ke kanan dan kiri. Beberapa hari terakhir, setelah 2 bulan mengalami koma, hasil pemeriksaan dari dokter menunjukkan bahwa Jeremy semakin menunjukkan tanda-tanda akan sadar. Hal itu disambut dengan lega oleh Wilda maupun Hasan. Tak lama kemudian, Jeremy membuka matanya, dan menatap sekeliling ruangan. Langit-langit putih yang pertama kali ia tatap, dan aroma obat-obatan yang menusuk indra penciuman, menyadarkan dirinya tengah berada di rumah sakit. Jeremy merasakan pusing di kepalanya. Jeremy mencoba mengingat kejadian apa yang membuat dirinya terbaring di rumah sakit seperti sekarang ini. Sontak, Jeremy melebarkan matanya ketika mengingat sesuatu. Raut wajah yang semula lemah, seketika berubah menjadi khawatir. "Di mana istriku? Apa dia baik-baik saja?" gumamnya.
Setelah kondisi Jeremy membaik dan dokter memperbolehkan Jeremy untuk pulang, pria itu memaksa kepada kedua orang tuanya untuk mengajak ia pergi ke makam Alka. Sejak dari beberapa hari lalu, Jeremy memaksa untuk mendatangi makam Alka. Namun Ayah dan ibunya mengatakan Jeremy harus dalam keadaan membaik dulu baru boleh mengunjungi makam istri tercinta. Di sore hari yang cerah, Jeremy berkunjung ke pusara yang bertuliskan nama sang istri dengan membawa sebuket bunga mawar merah. Bunga mawar berwarna merah, adalah bunga kesukaan Alka. Jeremy membeku ketika menatap gundukan tanah merah yang ia ketahui sebagai tempat istirahat terakhir sang istri. Tentu saja makam itu adalah makam palsu, karena Hasan telah membayar seseorang untuk membuat makam tersebut, dan diberi nisan bertuliskan nama lengkap Alka. Hasan dan Wilda telah menyiapkan itu jauh sebelum Jeremy sadar, sebagai bukti kepada Jeremy bahwa istrinya telah meninggal. Pria paruh baya yang masih se
"Jadi ... Diana mengatakan hal itu kepadamu tentang aku?" tanya Jeremy setelah mendengarkan semua penjelasan Alka. Alka menceritakan kedatangan Diana yang ingin menemui dirinya. Apa yang diucapkan oleh wanita itu, oleh Alka diungkapkan semuanya kepada Jeremy."Iya, Mas," jawab Alka."Lalu, apakah kamu percaya, dengan semua yang dikatakannya?"Jeremy menatap Alka yang berdiri di samping kaca jendela. Alka mengalihkan pandangan dari Jeremy dan menghembuskan napasnya dengan kasar. Jeremy tersenyum sekilas melihat ekspresi wanita yang ia cintai. Iya berpikir, angka yang tengah dilanda kebimbangan akan melanjutkan hubungan mereka atau tidak, pasti terpengaruh oleh ucapan Diana.Jeremy bangkit dari duduknya dan berjalan mendekati istrinya. Ia menarik pelan lengan Alka dan mengarahkannya untuk duduk di kursi kerjanya."Kamu duduk sini! Aku tunjukkan sesuatu," kata Jeremy.Alka tidak menolak permintaan pria itu. Sebaliknya, ia terlihat bingung dengan Jeremy. Apa yang hendak suaminya tunjukka
Jeremy mengepalkan kedua tangan dengan erat, ketika melihat adegan demi adegan pada rekaman CCTV yang ditunjukkan oleh Kelvin. Netranya memancarkan sorot amarah yang besar. Dadanya kembang kempis naik turun seolah emosi yang ada dalam jiwanya akan meledak sebentar lagi. Rahang Jeremy mengeras saat mengetahui ada sosok yang ingin membunuh anaknya secara diam-diam.Kelvin memperhatikan raut wajah Jeremy sambil bergidik ngeri. Khawatir ia akan menjadi bahan pelampiasan amarah pria itu. Jeremy sangat menakutkan jika sedang marah."Kurang ajar!" umpat Jeremy, "berani sekali dia membunuh anakku!"Kelvin meneguk salivanya. "Dia melakukan itu, pasti bukan tanpa rencana. Entah siapa yang menyuruhnya, yang pasti dia dijanjikan sejumlah uang yang sangat besar."Jeremy mengalihkan pandangannya kepada Kelvin. Kelvin dengan gugup menunduk takut, dan tak berani menatap Jeremy. Jeremy berpikir, yang diucapkan oleh Kelvin sama dengan apa yang sempat ia duga. Namun Jeremy tak menyangka bahwa dugaannya
Alka tercengang mendengar bahwa Diana marah kepada Jeremy hingga membakar rumah yang ia berada saat ini. Wanita berambut panjang sepinggang itu berpikir, bahwa ada masalah yang sangat kompleks di antara Jeremy dan Diana. Mereka berdua bertengkar hingga Diana murka."Setahu saya, dia itu melakukan keributan untuk mencari perhatian kepada Pak Jeremy. Diana dan pak Jeremy terus-menerus didesak oleh mertua Anda, agar mereka mau memiliki anak. Sedangkan Diana adalah wanita penganut child free, beritahu Mira. "Diana sebagai wanita karir yang sukses, menganggap bahwa anak hanya menyita kesibukannya dan membatasi ruang geraknya untuk berkarya. Wanita itu merasa lelah terus-terusan didesak oleh ibu Wilda," lanjut Mira."Hingga akhirnya, entah apa yang membuat Diana merasa kesal, ia ingin Pak Jeremy mau mencintai dirinya. Hingga ia tahu bahwa keberadaan rumah ini, dan dengan banyaknya kenangan-kenangan Anda yang disimpan oleh Pak Jeremy di sini. Membuat wanita itu murka. Maka dari itu ia memba
"Diana?"Diana tersenyum simpul menatap Alka. "Aku pikir kamu lupa dengan aku.""Apa kamu datang ke sini ingin menemui Mas Jeremy? Mas Jeremy baru saja pergi ke bandara. Dia hendak bertolak ke Makassar," beritahu Alka."Kedatanganku ke sini, bukan semata hanya karena ingin bertemu dengan Jeremy. Tapi aku juga perlu bertemu dengan kamu," sahut Diana memainkan kukunya yang berwarna pink.Alka mengerutkan keningnya heran. Apa yang hendak dibahas oleh Diana kepadanya hingga wanita itu perlu merasa berbicara berdua. Alka memutuskan untuk duduk di sofa samping Diana."Apakah kita memiliki urusan?" tanya Alka."Sebenarnya tidak." Diana menggeleng. "Tapi, karena aku mendengar kabar duka bahwa anakmu meninggal, tidak salah 'kan, kalau aku turut bersimpati untuk mengucapkan duka cita?""Terima kasih." Alka memperhatikan tubuh Diana. Wanita itu memakai pakaian longgar berwarna putih. Meskipun menggunakan dress longgar, Alka tahu bahwa wanita itu tengah mengandung. Terlihat sedikit menonjol di b
Alka tengah berdiam diri di dalam kamar yang menjadi tempat tidur putranya. Kamar yang disiapkan oleh Jeremy dirumah yang berada di jakarta. Sekaligus rumah yang menjadi saksi perjuangan Jeremy merintis usaha dan ditemani oleh Alka.Alka berdiam di sana, untuk mengenang putranya. Ia ingin merasakan keberadaan putranya dengan berada di sana walaupun hanya lewat halusinasi yang ia miliki. Alka membuka lemari pakaian, dan mengambil sehelai baju milik Naufal. Baju itu terdapat sobekan di bagian bahu."Ibu merindukan kamu, Sayang."Alka memeluk erat pakaian terakhir yang digunakan oleh putranya sebelum terjadinya peristiwa ambruknya Panti Asuhan itu. Sudah satu minggu berlalu, semenjak kepergian Naufal kepangkuan sang maha kuasa. Putranya yang kini telah berada di surga, dan tak bisa ia peluk lagi. Alka masih terus merasakan kekosongan yang dalam setelah kepergian Naufal. Ia sering kali terdiam dalam kesedihan, membiarkan air mata mengalir tanpa henti. Meskipun ia tahu bahwa Naufal kini
"Mengapa bukan ibu kamu yang merasakannya Jeremy?" tanya Hermin dengan nada yang dingin dan datar. Wilda menatap nyalang wanita yang merupakan mantan istri Hasan sebelum dirinya. Ia mengetatkan rahangnya mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Hermin. Wilda merasa bahwa, kalimat Hermin merendahkan dirinya.Jeremy tersenyum menanggapi pertanyaan bernada tak suka dari ibu tirinya itu. Ia cukup tahu bagaimana perasaan Hermin. Wanita itu pasti pernah mengharapkan agar ia mati. Supaya Wilda dapat merasakan hal yang sama dengan Hermin."Karmanya tidak berlaku untuk ibuku. Tetapi berlaku padaku," jawab Jeremy.Hermin tertawa miris sekaligus menatap sinis pada Wilda. "Tetapi menurutku, ini tidak adil. Karena ada seorang wanita berhati tulus yang tak bersalah harus menanggung ini semua.""Apa maksud ucapanmu?" sambar Wilda , "Berhenti bicara omong kosong! Tidak ada karma apapun yang harus ditanggung anakku. Sebaliknya, istri Jeremy lah yang tidak becus mengurus anaknya.""Kamu sebenci itu
Hari ini pemakaman Naufal digelar. Suasana duka menyelimuti areal pemakaman. Jeremy ikut turun ke liang lahat untuk menurunkan tubuh Sang putra ke bumi. Jeremy juga mengajani putranya. Sedangkan Alka tak henti-hentinya menangisi kepergian sang buah hati. Ia dirangkul oleh kedua sahabatnya bersama dengan kakak sepupunya, Nena. Nena baru saja tiba kemarin sore dari Yogyakarta setelah dikabari oleh Jeremy."Sudah ... jangan menangis. ikhlaskan dia. Kalau kamu seperti ini, dia tidak akan bisa tenang di sana.Wilda, ibu Jeremy, pun turut hadir di prosesi pemakaman cucunya. Ia sengaja datang dari Makassar setelah menelpon putranya. Jika seandainya Jeremy tidak ia tanya mengapa tidak pernah mengabarinya, mungkin ia tidak akan tahu bahwa cucunya meninggal. Wilda tahu bahwa Jeremy marah sikapnya beberapa waktu lalu saat mengancam Alka menggunakan Naufal.Wilda berdiri tak jauh dari Alka. Wanita paruh baya itu melirik sinis kepada Alka. Lirikan itu dapat ditangkap oleh Nena. Nena mendengus ke
"Keracunan makanan?" tanya Jeremy mengulang penuturan sang dokter."Benar. Di lambungnya terdapat sebuah racun sianida," jelas dokter.Jeremy merasakan kepalanya pening. Hampir saja tubuhnya limbung jika tidak ditahan oleh Kelvin yang berdiri di belakangnya. Jeremy mencoba menguatkan hati dan dirinya. Karena jika ia terus seperti ini, tak akan ada yang menguatkan Alka."Memangnya Naufal makan apa?" tanya Kelvin."Semalam ia menyantap hidangan yang dibuat oleh dapur rumah sakit ini untuk makan malam. Ibunya yang menyuapi," jawab Jeremy dengan lesu. "Apakah makanan yang disantap anakmu masih ada sisa? Jika ada, bisa diperiksa itu mengandung racun atau tidak," usul Kelvin."Kami akan meminta tim kami untuk melakukan pemeriksaan pada sisa makanan yang terdapat di dapur rumah sakit. Jika ada sisa, kemungkinan itu masih ada di kotak sampah," sahut dokter."Segera lakukan dokter!" perintah Kelvin, "saya juga akan memeriksa CCTV rumah sakit ini. Siapa tahu kami bisa menemukan seseorang yang
"Naufal, Mas. Bagaimana ini, Mas?" tangis Alka seketika pecah setelah lama coba ia tahan. Jeremy berusaha untuk tenang dan menekan tombol di samping ranjang putranya untuk memanggil dokter. Alka tak henti-hentinya memanggil nama Naufal dan mengguncang tubuh putranya yang tak bergerak sedikitpun. Disaat yang tegang, Kelvin, datang untuk menjenguk Naufal, sekaligus mengantarkan berkas untuk Jeremy tandatangani. "Ada apa kalian berdua jadi panik begitu?" tanya Kelvin dengan raut wajah bingung. "Naufal tidak bernapas. Denyut nadinya pun tak ada," jawab Jeremy dengan wajah frustasi. Kelvin membelalakkan matanya. "Serius?" Suara pintu terbuka dan menampilkan kedatangan dokter untuk memeriksa Naufal. Alka yang melihat kedatangan dokter, langsung melangkah mendekati. "Dokter! Tolong periksa anak saya! Kenapa dia tidak bergerak? Dia juga tidak bernafas," ujar Alka sambil menangis. Dokter yang terkejut mendengar penuturan Alka, kemudian dengan cepat mengambil stetoskop yang ada di kanton