Seorang wanita berulangkali mengerjapkan mata untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke retina. Hal pertama yang ia lihat saat pertama kali membuka mata, adalah langit-langit berwarna putih. Dibersamai dengan aroma obat yang menyerbak mengusik indra penciuman, ia tahu bahwa saat ini dirinya tengah berada di rumah sakit.
Sebuah perban melingkar di kepalanya. Merasakan punggung yang terasa ngilu, ia berpikir bahwa dirinya telah lama berbaring. Ia mencoba bangun dari berbaring, namun kepalanya terasa sakit. "Jangan terlalu banyak bergerak dulu, Mbak. Mbaknya baru sadar," tegur Suster yang baru saja masuk ke ruangan rawat. Wanita itu mencoba mengingat kejadian apa yang membuat dirinya bisa berada di rumah sakit saat ini. Kemudian ia melebarkan matanya terkejut ketika mengingat ia mengalami kecelakaan tidak sendirian. "Di mana suami saya?" tanya wanita itu dengan suara lemah. Suster memandang bingung. "Suami Mbak, namanya siapa?" "Suami saya, Jeremy Xanders Arthur," jawabnya. Suster mengangguk paham. "Suami Mbak, ada di ruang VIP." "Saya mau lihat suami saya." Alka mencoba turun dari brangkar namun ditahan oleh suster. "Jangan dulu!" sergahnya, "Badan Mbak Alka masih lemas karena baru sadar. Saya panggilkan dokter untuk diperiksa dulu ya." Alka mengangguk mendengarkan ucapan suster. Suster kemudian keluar untuk memanggil dokter, dan melakukan pemeriksaan kepada Alka. Tak lama kemudian, suster kembali bersama seorang dokter. Dokter itu adalah dokter Herman. Dokter yang juga merawat Jeremy. Dokter Herman mengeluarkan stetoskop dan center kecil dari dalam saku jasnya. "Apa kamu baik-baik saja Alka?" tanya Dokter Herman dengan ramah. "Saya baik-baik saja dokter. Hanya sedikit pusing." Dokter Herman memberikan nasihat kepada Alka, agar jangan terlalu banyak bergerak terlebih dahulu. Alka mendengarkan saran dari Dokter tanpa ingin menjawab. "Saya ingin bertemu dengan suami saya untuk melihat keadaannya," ucap Alka kepada Dokter Herman. "Kamu ingin bertemu dengan suamimu? Apa suamimu pasien yang bernama Jeremy?" tanya dokter Herman memastikan. Alka mengangguk. "Benar, Dokter. Apa suami saya dirawat di sini juga?" "Kebetulan saya adalah dokter yang juga menangani suami kamu," jawab Dokter Herman. "Bagaimana keadaan suami saya dokter?" tanya Alka khawatir. "Maaf ... suamimu, mengalami koma." Duarr ... "Koma?" lirih Alka. Dokter Herman mengangguk. "Benar. Benturan keras akibat kecelakaan yang terjadi membuat cedera sebagian otaknya. Kami saat ini tengah melakukan pemantauan selama 24 jam karena kondisinya tidak stabil. Doakan agar suami kamu segera siuman." Bahu Alka seketika lemas mendengar penjabaran dari Dokter mengenai kondisi suaminya. Netra pekat yang baru saja terbuka itu terlihat mengembun. Ada rasa sesak yang dirasakan oleh Alka membayangkan kondisi suami tercinta. Setelah selesai melakukan rangkaian pemeriksaan, Dokter Herman pamit undur diri kepada Alka. Setelah kepergian dokter Herman, Alka memutuskan untuk turun dari ranjang rumah sakit. Ia ingin melihat keadaan suaminya yang berada di ruang VIP. Alka dengan perlahan melangkah keluar dari ruangan tempatnya dirawat sambil membawa tiang infus. Larangan dokter Herman dan suster yang minta ia untuk istirahat terlebih dahulu tidak ia dengarkan, karena ia ingin segera bertemu dengan sang suami. Ia merasa bersalah karena Jeremy koma. Meskipun kecelakaan itu bukanlah ia penyebabnya. Setelah melangkah cukup jauh, akhirnya ia tiba di ruang VIP di mana sang suami tengah dirawat. Sebelum masuk, Alka terlebih dahulu mengintip dari kaca yang ada di pintu ruangan tersebut. Terlihat ada kedua orang tua Jeremy di dalam sana. Tangan Alka yang akan memegang handle pintu, menggantung begitu saja. "Ternyata ada kedua mertuaku didalam sana," gumamnya. Alka mengundurkan langkah dan mengurungkan niatnya untuk masuk ke ruangan di mana sang suami dirawat. Lebih baik ia melihat keadaan sang suami ketika mereka berdua tak ada di sana. Sepertinya keputusan Alka salah keluar dari kamarnya untuk melihat sang suami. Hampir saja ia bertemu dengan mertuanya. Alka lebih baik menghindar daripada nantinya ia bertemu dan mendapatkan berbagai cacian. Sebab ia tahu betul, pasangan paruh baya itu teramat membenci Alka. Tak lama kemudian, kedua orang tua Jeremy keluar. Alka dengan cepat bersembunyi di balik pohon palem yang ada di seberang koridor. Alka memperhatikan Wilda dan Hasan yang perlahan melangkah menjauh. Saat kedua orang itu dipastikan sudah berada di kejauhan, Alka kemudian keluar dari persembunyiannya, dan segera masuk ke ruangan VIP tempat sang suami dirawat. Sebelum memasuki kamar Jeremy, Alka terlebih dahulu menengok ke kanan dan ke kiri memastikan tidak ada orang yang mengawasinya. Ia segera membuka pintu dan dengan cepat dan segera menutupnya. Setelah berada di ruangan rawat Jeremy, Alka terpaku melihat keadaan sang suami. "Mas Jeremy!" lirih Alka. Kedua netra milik wanita cantik berambut panjang itu, seketika menganak sungai. Terasa dadanya seperti dihantam sebuah batu yang besar. Alka merasa hancur melihat keadaan sang suami yang begitu menyedihkan akibat kecelakaan yang menimpa mereka. Alka dengan langkah perlahan mendekati ranjang tempat berbaringnya pria yang mencintainya itu. Wajah Alka basah dengan air mata yang bercucuran. Perlahan, Alka duduk di samping tempat tidur sang suami. Dengan lembut ia genggam tangan sang suami yang lemah. "Maafkan Alka, Mas," isaknya, "maafkan Alka tidak bisa melindungi, Mas." "Cepat bangun, Mas! Aku memiliki kabar bahagia untuk kamu. Kabar bahagia sebagai hadiah pernikahan kita yang sebentar lagi genap dua tahun. Apa Mas Jeremy nggak ingin mendengarnya, Mas?" Alka mengecup lembut tangan sang suami yang terpasang oleh oxymeter. Mendengar sendiri dari dokter Herman yang mengatakan bahwa kondisi Jeremy yang sedang koma, sudah membuat hancur hati Alka. Ditambah lagi Alka melihat sendiri keadaan sang suami yang lemah tidak berdaya. Alka teringat, sebelum ia tak sadarkan diri, Jeremy melepaskan sabuk pengaman yang digunakan oleh pria itu, dan memeluk erat tubuh Alka agar tidak terkena pecahan kaca. Jika ia tahu akan terjadi kecelakaan yang membuat sang suami seperti ini, Alka tidak mau diajak oleh Jeremy berlibur ke Yogyakarta. Siapa yang dapat memprediksikan musibah yang akan datang? Tak ada satupun orang yang bisa memprediksikan. Ia usap dengan lembut wajah sang suami yang damai dalam tidur. Berulang kali Alka bersuara Allah mengajak berbicara sang suami. walaupun saat ini Jeremy Tengah koma, Alka yakin bahwa di bawah alam sadar, Jeremy dapat mendengarkan dan merasakan kehadiran Alka. Ketika Alka tengah asik menatap wajah damai sang suami yang tertidur, suara pintu terbuka mengejutkan dirinya. Alka lebih terkejut lagi melihat siapa yang datang. "Mama!" ucap Alka dengan suara bergetar. Wilda menatap tajam kepada Alka. "Mari kamu ikut saya!" Wilda dengan cepat meraih tangan Alka, dan menyeretnya keluar dari ruangan Jeremy. Alka terkejut dan panik dengan Wilda yang ingin mengajaknya entah ke mana. "Mama! Aku mau dibawa ke mana, Ma ...?" "Diam dan jangan banyak bicara!" bentak Wilda. Alka berusaha berontak ketika tangannya dipegang dengan erat oleh Wilda. Wanita paruh baya tersebut menyeret Alka dengan kasar hingga Alka terseok-seok. Wilda menarik tangan menantunya untuk keluar dari rumah sakit. Karena baru saja sadar, dan kondisi tubuh Alka masih lemah, Alka berulang kali hampir terjatuh saat dibawa oleh Wilda karena tidak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya. Alka berusaha sekuat tenaganya untuk melepaskan cekalan tangan Wilda. "Kenapa aku harus pergi? Aku baru saja sadar dan aku harus dirawat." "Aku ingin kamu pergi dari kehidupan anakku." "Tidak mau," tolak Alka. "Sepertinya, aku perlu menggunakan kekerasan terhadapmu." Wilda tersenyum menyeringai membuat Alka seketika ketakutan.Hujan deras dan suara petir menggelegar menandai berakhirnya musim kemarau. Di malam pertama turun hujan, aroma petrichor tercium menguap ke udara. Aroma antara tanah kering dan air hujan yang menyatu memang sangat menyenangkan. Sekaligus ucapan rasa syukur atas rahmat Tuhan karena diberikan keberkahan atas turunnya hujan setelah musim kemarau yang panjang. Di rumah Nena, tepatnya di Yogyakarta, wanita yang merupakan kakak sepupu Alka itu tersenyum bahagia. Bagaimana tidak, tanaman bunga dan sayuran yang mulai akan mati, kini setidaknya ikut tersenyum bahagia karena diguyur hujan. "Alhamdulillah! Sudah turun hujan. Kamu akan tumbuh subur lagi," ucap Nena dengan penuh rasa syukur sambil melihat tanaman-tanamannya. Nena mencoba membuka tirai di jendela rumahnya untuk memandang hujan turun. Namun, bukannya melihat aliran air yang turun dari sudut genting, Nena malah terpaku dengan seseorang yang berdiri di depan rumahnya. Nena penasaran dengan sosok i
Jeremy berulangkali menggerakkan jari-jari tangannya secara perlahan. mata yang masih tertutup itu, bergerak-gerak ke kanan dan kiri. Beberapa hari terakhir, setelah 2 bulan mengalami koma, hasil pemeriksaan dari dokter menunjukkan bahwa Jeremy semakin menunjukkan tanda-tanda akan sadar. Hal itu disambut dengan lega oleh Wilda maupun Hasan. Tak lama kemudian, Jeremy membuka matanya, dan menatap sekeliling ruangan. Langit-langit putih yang pertama kali ia tatap, dan aroma obat-obatan yang menusuk indra penciuman, menyadarkan dirinya tengah berada di rumah sakit. Jeremy merasakan pusing di kepalanya. Jeremy mencoba mengingat kejadian apa yang membuat dirinya terbaring di rumah sakit seperti sekarang ini. Sontak, Jeremy melebarkan matanya ketika mengingat sesuatu. Raut wajah yang semula lemah, seketika berubah menjadi khawatir. "Di mana istriku? Apa dia baik-baik saja?" gumamnya.
Setelah kondisi Jeremy membaik dan dokter memperbolehkan Jeremy untuk pulang, pria itu memaksa kepada kedua orang tuanya untuk mengajak ia pergi ke makam Alka. Sejak dari beberapa hari lalu, Jeremy memaksa untuk mendatangi makam Alka. Namun Ayah dan ibunya mengatakan Jeremy harus dalam keadaan membaik dulu baru boleh mengunjungi makam istri tercinta. Di sore hari yang cerah, Jeremy berkunjung ke pusara yang bertuliskan nama sang istri dengan membawa sebuket bunga mawar merah. Bunga mawar berwarna merah, adalah bunga kesukaan Alka. Jeremy membeku ketika menatap gundukan tanah merah yang ia ketahui sebagai tempat istirahat terakhir sang istri. Tentu saja makam itu adalah makam palsu, karena Hasan telah membayar seseorang untuk membuat makam tersebut, dan diberi nisan bertuliskan nama lengkap Alka. Hasan dan Wilda telah menyiapkan itu jauh sebelum Jeremy sadar, sebagai bukti kepada Jeremy bahwa istrinya telah meninggal. Pria paruh baya yang masih se
"Tuan Hasan! Nyonya Wilda!" panggil Mirna, ART keluarga Arthur dengan panik. "Apa, Bi?" sahut Hasan. pria paruh baya itu menatap heran pembantunya yang berlari tergesa-gesa menuruni tangga. Hasan dan Wilda baru saja duduk di ruang makan, untuk memulai sesi sarapan pagi. Sebelum mereka melakukan sarapan, Wilda meminta Mirna untuk memanggil Jeremy yang masih belum keluar dari kamarnya. "Ada apa, Bi? Kok mukanya panik begitu?" tanya Wilda heran. "Itu, Tuan, nyonya, Tuan Jeremy ..." Mirna menunjuk ke arah lantai atas. "Jeremy kenapa?" desak Hasan. "Tuan Jeremy bersimbah darah di kamar mandi," jawab Art dengan gugup. Wilda terperangah dan menjatuhkan rahangnya. "Apa?!" Hasan dan Wilda segera berlari ke kamar mandi untuk melihat keadaa
Hari ini, tepat pernikahan Jeremy dan Diana akan digelar. Para tamu undangan yang merupakan kolega bisnis dari Hasan dan ayah Diana, turut hadir menyaksikan gelaran acara yang sakral tersebut. Para wartawan pun turut hadir untuk meliput berita pernikahan putra konglomerat Makassar. Diana tampil cantik dengan balutan kebaya berwarna putih. Sahabat dan teman sesama sosialita Diana pun ikut hadir. Kedua orang tua yang mendampingi Diana tersenyum bahagia melihat putrinya akan menikah. "Kamu cantik sekali hari ini, Sayang," kata Nana, ibu Diana. "Tentu saja aku cantik. Karena Mamaku cantik." "Bukan itu maksud Mama. Aura cantikmu itu terpancar dari dalam." "Ini hari bersejarah untukku. Dan aku berbahagia. Mungkin itu yang membuat aura cantikku terpancar." "Mama bersyukur karena telah diberikan umur panjang dan sehat oleh tuhan. Sehingga Mama dapat menyaksikan putri cantik Mama menikah," ucap Nana terharu. "Mama harus s
"Alka!" Nena berlari menghampiri Alka yang sedang menangis di sudut ruangan dapur sambil memeluk lututnya. "Alka yang sabar, ya." Nena memeluk erat tubuh ringkih adik sepupunya untuk memberikan kekuatan. Alka mendongakkan kepalanya menatap Nena. "Aku nggak kuat, Mbak. Hiks ... Hiks ..." Alka menepuk-nepuk dadanya. "Di sini sakit. Sakit sekali." "Kenapa nasibmu menjadi seperti ini?" Nena berurai airmata menatap Alka. Wanita yang menjadi satu-satunya kerabat Alka tersebut, merasa kasihan kepada adik sepupunya. Alka menangis dipelukan Nena dengan air mata yang mengalir deras. Dadanya terasa sangat sesak. Hatinya tercabik-cabik hingga luka dan berdarah melihat sang suami menikah dengan wanita lain. Nena yang memeluk pun ikut menangis. Sebagai sesama wanita yang telah memiliki suami dan anak, Nena bisa ikut merasakan apa yang saat ini Alka rasakan. Wanita mana pun pasti merasa hancur dan sakit melihat suami yang dicintai bersanding dengan wanita lain di pelaminan. "Kamu ini wanita b
Wilda duduk di serambi rumah Alka dan berhadapan dengan menantunya itu. Alka menatap dingin wanita paruh baya yang berstatus sebagai ibu dari pria yang ia cintai. Pria yang kini telah menikah dengan wanita lain. "Katanya ingin bicara. Kenapa masih diam?" Alka membuka pembicaraan setelah keduanya saling lama diam. Wilda mendongak menatap mata Alka. Wanita paruh baya itu dapat melihat guratan kemarahan di wajah wanita yang dicintai oleh putranya. Wilda tahu bahwa Alka marah karena telah memisahkan wanita itu dari putranya. "Bagaimana keadaan kamu?" tanya Wilda berbasa-basi. "Apa yang anda harapkan? Apakah anda mengharapkan saya menjadi gila setelah berpisah dengan suamiku?" sarkas Alka. Wilda tersenyum dan menggeleng. "Saya tidak pernah mengharapkan kamu menjadi seperti itu." "Lalu tujuan Anda apa ke sini? Apa Anda ingin melihat betapa menyedihkannya saya setelah apa yang anda lakukan ter
Jeremy baru saja selesai melakukan rapat kerja sama, dengan salah satu pengusaha di kota Batam. Pria itu merencanakan membangun hotelnya di kota industri tersebut. Tak terasa setelah 5 tahun, usaha properti yang dijalankan oleh Jeremy tumbuh dengan pesat dan maju. Kelvin, sang sahabat, selalu setia berada di sisi Jeremy, dan mendampingi pria itu. Kelvin juga menjadi saksi bagaimana hancurnya hidup Jeremy setelah kehilangan istri tercinta. Jeremy melampiaskan rasa sedih dan sakit hatinya akibat kehilangan Alka dengan memperluas bisnis dan usahanya hingga ia menjadi salah satu pengusaha tersukses di Asia. Mereka berdua berada di mobil rencana untuk kembali ke Jakarta. Ketika di perjalanan akan ke bandara, lalu lintas mengalami kemacetan. Kelvin yang menyetir, menggerutu kesal karena perjalanan mereka terhambat. "Sialan! pakai macet segala," umpat Kelvin. Berbeda dengan Kelvin yang menggeretu kesal, Jeremy diam tak berbicara, dan menatap lurus
"Jadi ... Diana mengatakan hal itu kepadamu tentang aku?" tanya Jeremy setelah mendengarkan semua penjelasan Alka. Alka menceritakan kedatangan Diana yang ingin menemui dirinya. Apa yang diucapkan oleh wanita itu, oleh Alka diungkapkan semuanya kepada Jeremy."Iya, Mas," jawab Alka."Lalu, apakah kamu percaya, dengan semua yang dikatakannya?"Jeremy menatap Alka yang berdiri di samping kaca jendela. Alka mengalihkan pandangan dari Jeremy dan menghembuskan napasnya dengan kasar. Jeremy tersenyum sekilas melihat ekspresi wanita yang ia cintai. Iya berpikir, angka yang tengah dilanda kebimbangan akan melanjutkan hubungan mereka atau tidak, pasti terpengaruh oleh ucapan Diana.Jeremy bangkit dari duduknya dan berjalan mendekati istrinya. Ia menarik pelan lengan Alka dan mengarahkannya untuk duduk di kursi kerjanya."Kamu duduk sini! Aku tunjukkan sesuatu," kata Jeremy.Alka tidak menolak permintaan pria itu. Sebaliknya, ia terlihat bingung dengan Jeremy. Apa yang hendak suaminya tunjukka
Jeremy mengepalkan kedua tangan dengan erat, ketika melihat adegan demi adegan pada rekaman CCTV yang ditunjukkan oleh Kelvin. Netranya memancarkan sorot amarah yang besar. Dadanya kembang kempis naik turun seolah emosi yang ada dalam jiwanya akan meledak sebentar lagi. Rahang Jeremy mengeras saat mengetahui ada sosok yang ingin membunuh anaknya secara diam-diam.Kelvin memperhatikan raut wajah Jeremy sambil bergidik ngeri. Khawatir ia akan menjadi bahan pelampiasan amarah pria itu. Jeremy sangat menakutkan jika sedang marah."Kurang ajar!" umpat Jeremy, "berani sekali dia membunuh anakku!"Kelvin meneguk salivanya. "Dia melakukan itu, pasti bukan tanpa rencana. Entah siapa yang menyuruhnya, yang pasti dia dijanjikan sejumlah uang yang sangat besar."Jeremy mengalihkan pandangannya kepada Kelvin. Kelvin dengan gugup menunduk takut, dan tak berani menatap Jeremy. Jeremy berpikir, yang diucapkan oleh Kelvin sama dengan apa yang sempat ia duga. Namun Jeremy tak menyangka bahwa dugaannya
Alka tercengang mendengar bahwa Diana marah kepada Jeremy hingga membakar rumah yang ia berada saat ini. Wanita berambut panjang sepinggang itu berpikir, bahwa ada masalah yang sangat kompleks di antara Jeremy dan Diana. Mereka berdua bertengkar hingga Diana murka."Setahu saya, dia itu melakukan keributan untuk mencari perhatian kepada Pak Jeremy. Diana dan pak Jeremy terus-menerus didesak oleh mertua Anda, agar mereka mau memiliki anak. Sedangkan Diana adalah wanita penganut child free, beritahu Mira. "Diana sebagai wanita karir yang sukses, menganggap bahwa anak hanya menyita kesibukannya dan membatasi ruang geraknya untuk berkarya. Wanita itu merasa lelah terus-terusan didesak oleh ibu Wilda," lanjut Mira."Hingga akhirnya, entah apa yang membuat Diana merasa kesal, ia ingin Pak Jeremy mau mencintai dirinya. Hingga ia tahu bahwa keberadaan rumah ini, dan dengan banyaknya kenangan-kenangan Anda yang disimpan oleh Pak Jeremy di sini. Membuat wanita itu murka. Maka dari itu ia memba
"Diana?"Diana tersenyum simpul menatap Alka. "Aku pikir kamu lupa dengan aku.""Apa kamu datang ke sini ingin menemui Mas Jeremy? Mas Jeremy baru saja pergi ke bandara. Dia hendak bertolak ke Makassar," beritahu Alka."Kedatanganku ke sini, bukan semata hanya karena ingin bertemu dengan Jeremy. Tapi aku juga perlu bertemu dengan kamu," sahut Diana memainkan kukunya yang berwarna pink.Alka mengerutkan keningnya heran. Apa yang hendak dibahas oleh Diana kepadanya hingga wanita itu perlu merasa berbicara berdua. Alka memutuskan untuk duduk di sofa samping Diana."Apakah kita memiliki urusan?" tanya Alka."Sebenarnya tidak." Diana menggeleng. "Tapi, karena aku mendengar kabar duka bahwa anakmu meninggal, tidak salah 'kan, kalau aku turut bersimpati untuk mengucapkan duka cita?""Terima kasih." Alka memperhatikan tubuh Diana. Wanita itu memakai pakaian longgar berwarna putih. Meskipun menggunakan dress longgar, Alka tahu bahwa wanita itu tengah mengandung. Terlihat sedikit menonjol di b
Alka tengah berdiam diri di dalam kamar yang menjadi tempat tidur putranya. Kamar yang disiapkan oleh Jeremy dirumah yang berada di jakarta. Sekaligus rumah yang menjadi saksi perjuangan Jeremy merintis usaha dan ditemani oleh Alka.Alka berdiam di sana, untuk mengenang putranya. Ia ingin merasakan keberadaan putranya dengan berada di sana walaupun hanya lewat halusinasi yang ia miliki. Alka membuka lemari pakaian, dan mengambil sehelai baju milik Naufal. Baju itu terdapat sobekan di bagian bahu."Ibu merindukan kamu, Sayang."Alka memeluk erat pakaian terakhir yang digunakan oleh putranya sebelum terjadinya peristiwa ambruknya Panti Asuhan itu. Sudah satu minggu berlalu, semenjak kepergian Naufal kepangkuan sang maha kuasa. Putranya yang kini telah berada di surga, dan tak bisa ia peluk lagi. Alka masih terus merasakan kekosongan yang dalam setelah kepergian Naufal. Ia sering kali terdiam dalam kesedihan, membiarkan air mata mengalir tanpa henti. Meskipun ia tahu bahwa Naufal kini
"Mengapa bukan ibu kamu yang merasakannya Jeremy?" tanya Hermin dengan nada yang dingin dan datar. Wilda menatap nyalang wanita yang merupakan mantan istri Hasan sebelum dirinya. Ia mengetatkan rahangnya mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Hermin. Wilda merasa bahwa, kalimat Hermin merendahkan dirinya.Jeremy tersenyum menanggapi pertanyaan bernada tak suka dari ibu tirinya itu. Ia cukup tahu bagaimana perasaan Hermin. Wanita itu pasti pernah mengharapkan agar ia mati. Supaya Wilda dapat merasakan hal yang sama dengan Hermin."Karmanya tidak berlaku untuk ibuku. Tetapi berlaku padaku," jawab Jeremy.Hermin tertawa miris sekaligus menatap sinis pada Wilda. "Tetapi menurutku, ini tidak adil. Karena ada seorang wanita berhati tulus yang tak bersalah harus menanggung ini semua.""Apa maksud ucapanmu?" sambar Wilda , "Berhenti bicara omong kosong! Tidak ada karma apapun yang harus ditanggung anakku. Sebaliknya, istri Jeremy lah yang tidak becus mengurus anaknya.""Kamu sebenci itu
Hari ini pemakaman Naufal digelar. Suasana duka menyelimuti areal pemakaman. Jeremy ikut turun ke liang lahat untuk menurunkan tubuh Sang putra ke bumi. Jeremy juga mengajani putranya. Sedangkan Alka tak henti-hentinya menangisi kepergian sang buah hati. Ia dirangkul oleh kedua sahabatnya bersama dengan kakak sepupunya, Nena. Nena baru saja tiba kemarin sore dari Yogyakarta setelah dikabari oleh Jeremy."Sudah ... jangan menangis. ikhlaskan dia. Kalau kamu seperti ini, dia tidak akan bisa tenang di sana.Wilda, ibu Jeremy, pun turut hadir di prosesi pemakaman cucunya. Ia sengaja datang dari Makassar setelah menelpon putranya. Jika seandainya Jeremy tidak ia tanya mengapa tidak pernah mengabarinya, mungkin ia tidak akan tahu bahwa cucunya meninggal. Wilda tahu bahwa Jeremy marah sikapnya beberapa waktu lalu saat mengancam Alka menggunakan Naufal.Wilda berdiri tak jauh dari Alka. Wanita paruh baya itu melirik sinis kepada Alka. Lirikan itu dapat ditangkap oleh Nena. Nena mendengus ke
"Keracunan makanan?" tanya Jeremy mengulang penuturan sang dokter."Benar. Di lambungnya terdapat sebuah racun sianida," jelas dokter.Jeremy merasakan kepalanya pening. Hampir saja tubuhnya limbung jika tidak ditahan oleh Kelvin yang berdiri di belakangnya. Jeremy mencoba menguatkan hati dan dirinya. Karena jika ia terus seperti ini, tak akan ada yang menguatkan Alka."Memangnya Naufal makan apa?" tanya Kelvin."Semalam ia menyantap hidangan yang dibuat oleh dapur rumah sakit ini untuk makan malam. Ibunya yang menyuapi," jawab Jeremy dengan lesu. "Apakah makanan yang disantap anakmu masih ada sisa? Jika ada, bisa diperiksa itu mengandung racun atau tidak," usul Kelvin."Kami akan meminta tim kami untuk melakukan pemeriksaan pada sisa makanan yang terdapat di dapur rumah sakit. Jika ada sisa, kemungkinan itu masih ada di kotak sampah," sahut dokter."Segera lakukan dokter!" perintah Kelvin, "saya juga akan memeriksa CCTV rumah sakit ini. Siapa tahu kami bisa menemukan seseorang yang
"Naufal, Mas. Bagaimana ini, Mas?" tangis Alka seketika pecah setelah lama coba ia tahan. Jeremy berusaha untuk tenang dan menekan tombol di samping ranjang putranya untuk memanggil dokter. Alka tak henti-hentinya memanggil nama Naufal dan mengguncang tubuh putranya yang tak bergerak sedikitpun. Disaat yang tegang, Kelvin, datang untuk menjenguk Naufal, sekaligus mengantarkan berkas untuk Jeremy tandatangani. "Ada apa kalian berdua jadi panik begitu?" tanya Kelvin dengan raut wajah bingung. "Naufal tidak bernapas. Denyut nadinya pun tak ada," jawab Jeremy dengan wajah frustasi. Kelvin membelalakkan matanya. "Serius?" Suara pintu terbuka dan menampilkan kedatangan dokter untuk memeriksa Naufal. Alka yang melihat kedatangan dokter, langsung melangkah mendekati. "Dokter! Tolong periksa anak saya! Kenapa dia tidak bergerak? Dia juga tidak bernafas," ujar Alka sambil menangis. Dokter yang terkejut mendengar penuturan Alka, kemudian dengan cepat mengambil stetoskop yang ada di kanton