"Maaf! kondisi pasien bernama Jeremy sedang mengalami koma," terang Dokter Herman, dokter yang menangani Jeremy.
Wilda, sang ibu yang mendengarkan merasa syok. Hampir saja tubuhnya limbung jika tidak ditahan oleh sang suami. Airmata seketika berderai membasahi wajah wanita paruh baya yang masih cantik itu. "Kami menemukan cedera otak pada pasien akibat benturan keras yang terjadi. Sehingga menimbulkan pergeseran dan rotasi otak didalam tengkorak," jelas Dokter Herman. "Lalu, kapan anak saya akan bangun dokter?" tanya Hasan. Dokter Herman menggeleng pelan. "Kami tidak bisa memastikan kapan pasien akan bangun. Berdoa saja. Semoga diberikan keajaiban." Hasan mengangguk mendengarkan dokter Herman. Sedangkan Wilda, hanya menangis sambil mengelus dadanya yang terasa sakit dan sesak. Wilda sangat takut bila seandainya tidak ada keajaiban dan Jeremy tidak selamat. "Saya permisi terlebih dahulu. Ada pasien lain yang menunggu saya." "Terima kasih, Dokter," ucap Hasan. Dokter Herman kemudian mengangguk dan pamit undur diri. Sepeninggal dokter Herman, tangisan Wilda yang tadinya tak bersuara, kini terdengar terisak dengan bahu yang naik turun. Hasan sang suami mengusap punggung Wilda untuk menenangkannya. "Papa!" Wilda menatap suaminya. "Sabarlah. Kita doakan semoga anak kita cepat siuman." "Ayo kita masuk, Pa!" ajak Wilda, "Mama ingin melihat anak kita." Hasan mengangguk. "Iya. Ayo!" Hasan menuntun sang istri untuk masuk ke ruangan gimana sang putra tengah dirawat. Hasan membuka gagang pintu ruangan rawat VIP tersebut. Ia dan sang istri masuk untuk melihat keadaan putra mereka yang tengah berjuang diantara hidup dan mati. "Jeremy! Hiks ... hiks ..." Tangisan Wilda semakin menjadi ketika melihat putra kesayangannya terbaring lemah dengan bantuan selang oksigen yang terpasang di mulut. Elektrokardiogram pendeteksi detak jantung berbunyi menemani Jeremy yang terbaring di ruangan itu. Hatinya hancur melihat keadaan Jeremy yang lemah tidak berdaya. Jika dibolehkan, Wilda ingin dirinya saja yang merasakan posisi seperti Jeremy sekarang. Hati ibu mana yang tidak hancur melihat anaknya dalam kondisi seperti itu. Hasan kemudian menarik kursi yang ada di dekat Brangkal tempat mengiringi berbaring. Ia kemudian menuntun sang istri untuk duduk di samping tempat tidur putra mereka. Wilda dengan tubuh lemah kemudian menjatuhkan bobot tubuhnya di kursi itu. "Jeremy! Ini Mama, Nak." Wilda meraih tangan Jeremy yang terpasang oximeter. Ia genggam dengan erat tangan lemah itu. Kemudian ia dekatkan telapak tangan putranya untuk menyentuh pipinya. "Bangunlah, Nak. Jangan terlalu lama tertidur. Mama dan Papa merindukan kamu." "Iya, Nak. Ini ada Papa di sini. Bertahanlah. Kamu pasti bisa. Anak Papa anak yang kuat." Sama seperti Wilda, Hasan juga ikut sedih dan hancur melihat keadaan sang putra. Satu tahun lebih ia tidak melihat dan bertemu Jeremy. Ia hanya mendengar kabar Jeremy melalui anak buahnya yang memantau keadaan dan aktivitas Jeremy. Dan ketika bertemu kembali, ia melihat keadaan sang putra cukup menyedihkan. Hasan mendapatkan kabar dari anak buahnya kalau Jeremy mengalami kecelakaan di jalan tol. Tidak hanya itu, kecelakaan yang terjadi ditayangkan diberita stasiun televisi swasta. Hasan yang sedang melakukan rapat bersama petinggi perusahaan membatalkan kegiatan rapatnya, dan membawa sang istri terbang ke Jakarta. Ketika keduanya sedang bersedih meratapi keadaan Jeremy, pintu ruangan VIP terbuka. Wilda dan Hasan menoleh untuk melihat siapa yang masuk. Seorang pria seusia dengan Jeremy, tercengang melihat keadaan Jeremy yang menyedihkan. "Kelvin?" Wilda menaikkan jari telunjuknya, "Kamu Kelvin kan?" Kelvin menatap kedua orang tua dari Jeremy. "Benar. Saya Kelvin." "Kamu Kelvin sahabat anak saya?" tanya Hasan memastikan. Kelvin mengangguk. "Benar, Pak Hasan." Hasan mengenal sosok Kelvin menjadi sahabat Jeremy saat masih remaja. dan ketika Jeremy lulus sekolah dan kuliah keluar negeri, Hasan sudah tidak lagi melihat dan bertemu dengan Calvin. Maka dari itu, Hasan sedikit pangling dengan sahabat anaknya ini. Sebab, banyak yang berubah dari penampilan pria itu. "Setahu saya, kamu bekerja dengan Jeremy. Kemana kamu baru datang? Bukankah ke manapun anak saya pergi, kamu selalu berada di sisinya?" cecar Hasan. Hasan mengetahui bahwa Jeremy membangun usaha properti bersama Kelvin sahabatnya. setiap hari anak buah Hasan yang selalu diperintah oleh Hasan untuk mengawasi Jeremy mengabarkan aktivitas apa saja yang telah kirimin lakukan. sehingga akan mengetahui bahwa Kelvin bersama dengan Jeremy. "Saya tengah menyelesaikan pekerjaan yang ditinggal oleh Jeremy, Pak. Pekerjaan yang saya kerjakan bukan hanya usaha yang dikelola oleh Jeremy. Saya sebelumnya juga punya usaha sendiri yang harus tetap berjalan. Jadi saya membagi waktu. Dan tidak melulu bersama Jeremy," jawab Kelvin. "Apa kamu tahu anak saya pergi ke mana?" "Jeremy dan istrinya pulang dari Yogyakarta. Mereka habis liburan," jawab Kelvin. "Oh. Jadi penyebabnya karena Alka. Anak itu memang pembawa sial. Seandainya Jeremy tidak bersama anakku, anakku tidak akan mengalami kecelakaan," cetus Wilda sewot. "Ibu! Tolong jangan menyalahkan Alka. Tidak ada satu orang pun yang menginginkan kecelakaan itu terjadi," ujar Kelvin. "Kamu jangan membela Alka, ya." Wilda menatap sinis sahabat putranya itu. "Saya bukan membela Alka. Dan lagi pula siapa yang bisa meramalkan kecelakaan itu bisa terjadi." "Sudah ... sudah." Hasan menengahi, "Kita pikirkan bagaimana Jeremy. Jangan hanya memikirkan Alka." "Yang aku pikirkan itu anakku. Bukan Alka. Aku tidak sudi memikirkan dia. Mau dia mati sekalipun, Aku juga tidak peduli." "Ibu dan bapak sepertinya sangat benci sekali kepada Alka. Kenapa kalian membencinya?" Kelvin heran melihat orang tua Jeremy yang membenci Alka. "Karena dia tidak pantas bersanding dengan anakku. Itu alasannya," ucap Wilda dengan tegas. "Tidak pantas bagaimananya? Mengapa Ibu bisa menyimpulkan seperti itu? Adakah sesuatu yang tidak diketahui oleh Jeremy mengenai Alka?" "Diam!" bentak Wilda, "Kamu jangan mencoba untuk menasihati saya. Kamu itu hanya orang asing." Bukan Kelvin namanya kalau hanya diam dan mengalah. Sedari dulu pria itu sangat suka berdebat dengan siapapun. Bahkan jika ada sesuatu yang janggal dan sangat bertentangan dengan pikirannya ia selalu mengemukakannya. Jeremy pun sudah paham akan tabiat Kelvin. "Mungkin saya hanya orang asing bagi ibu dan bapak. Tetapi posisi saya juga penting untuk Jeremy. Saya sahabatnya." "Apakah selama 1 tahun ini Jeremy membangun usaha?" Hasan bertanya kepada Kelvin untuk mengalihkan topik agar istri dan sahabat anaknya tidak terus berdebat. "Iya. Saya yang membantunya. Kemudian dia juga mencari pinjaman. Tidak hanya itu, Alka memiliki tabungan juga dipinjamkan kepada suaminya untuk tambahan modal," beber Kelvin. "Cih! Punya tabungan?" desis Wilda, "Tabungan dari mana? Mungkin dia juga habis jual diri dan penghasilan itu diberikan kepada Jeremy." "Ibu! Alka itu kan petani. Dia juga bukan hanya petani. Dia bekerja sebagai pegawai minimarket dan dia bekerja itu bukan hanya sebulan atau dua bulan. sudah bertahun-tahun Alka menggeluti pekerjaan itu. Selain itu Alka juga tidak kuliah. Wajar bukan, dia memiliki tabungan?" "Berhenti membahas Alka di depan kami!" Hardik Hasan membuat Wilda dan Kelvin diam. Kelvin mendengus. "Baik. Saya tidak akan membahasnya lagi." Di dalam hati, Kelvin merasa heran sambil memandang kedua orang tua Jeremy. Ia tidak terkejut bahwa pasangan suami istri paruh baya itu membenci Alka, karena telah mendengar cerita dari sahabatnya. Namun, ia tidak menyangka bahwa kebencian mereka sedalam itu kepada Alka. Bahkan peduli keadaan Alka pun tidak. "Padahal, Alka wanita baik-baik. Bagaimana jadinya kalau Alka bukan wanita yang baik? Sungguh tidak masuk akal orang tuanya Jeremy ini. Hanya karena miskin, lalu membencinya sampai seperti itu?" batin Kelvin.Seorang wanita berulangkali mengerjapkan mata untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke retina. Hal pertama yang ia lihat saat pertama kali membuka mata, adalah langit-langit berwarna putih. Dibersamai dengan aroma obat yang menyerbak mengusik indra penciuman, ia tahu bahwa saat ini dirinya tengah berada di rumah sakit. Sebuah perban melingkar di kepalanya. Merasakan punggung yang terasa ngilu, ia berpikir bahwa dirinya telah lama berbaring. Ia mencoba bangun dari berbaring, namun kepalanya terasa sakit. "Jangan terlalu banyak bergerak dulu, Mbak. Mbaknya baru sadar," tegur Suster yang baru saja masuk ke ruangan rawat. Wanita itu mencoba mengingat kejadian apa yang membuat dirinya bisa berada di rumah sakit saat ini. Kemudian ia melebarkan matanya terkejut ketika mengingat ia mengalami kecelakaan tidak sendirian. "Di mana suami saya?" tanya wanita itu
Hujan deras dan suara petir menggelegar menandai berakhirnya musim kemarau. Di malam pertama turun hujan, aroma petrichor tercium menguap ke udara. Aroma antara tanah kering dan air hujan yang menyatu memang sangat menyenangkan. Sekaligus ucapan rasa syukur atas rahmat Tuhan karena diberikan keberkahan atas turunnya hujan setelah musim kemarau yang panjang. Di rumah Nena, tepatnya di Yogyakarta, wanita yang merupakan kakak sepupu Alka itu tersenyum bahagia. Bagaimana tidak, tanaman bunga dan sayuran yang mulai akan mati, kini setidaknya ikut tersenyum bahagia karena diguyur hujan. "Alhamdulillah! Sudah turun hujan. Kamu akan tumbuh subur lagi," ucap Nena dengan penuh rasa syukur sambil melihat tanaman-tanamannya. Nena mencoba membuka tirai di jendela rumahnya untuk memandang hujan turun. Namun, bukannya melihat aliran air yang turun dari sudut genting, Nena malah terpaku dengan seseorang yang berdiri di depan rumahnya. Nena penasaran dengan sosok i
Jeremy berulangkali menggerakkan jari-jari tangannya secara perlahan. mata yang masih tertutup itu, bergerak-gerak ke kanan dan kiri. Beberapa hari terakhir, setelah 2 bulan mengalami koma, hasil pemeriksaan dari dokter menunjukkan bahwa Jeremy semakin menunjukkan tanda-tanda akan sadar. Hal itu disambut dengan lega oleh Wilda maupun Hasan. Tak lama kemudian, Jeremy membuka matanya, dan menatap sekeliling ruangan. Langit-langit putih yang pertama kali ia tatap, dan aroma obat-obatan yang menusuk indra penciuman, menyadarkan dirinya tengah berada di rumah sakit. Jeremy merasakan pusing di kepalanya. Jeremy mencoba mengingat kejadian apa yang membuat dirinya terbaring di rumah sakit seperti sekarang ini. Sontak, Jeremy melebarkan matanya ketika mengingat sesuatu. Raut wajah yang semula lemah, seketika berubah menjadi khawatir. "Di mana istriku? Apa dia baik-baik saja?" gumamnya.
Setelah kondisi Jeremy membaik dan dokter memperbolehkan Jeremy untuk pulang, pria itu memaksa kepada kedua orang tuanya untuk mengajak ia pergi ke makam Alka. Sejak dari beberapa hari lalu, Jeremy memaksa untuk mendatangi makam Alka. Namun Ayah dan ibunya mengatakan Jeremy harus dalam keadaan membaik dulu baru boleh mengunjungi makam istri tercinta. Di sore hari yang cerah, Jeremy berkunjung ke pusara yang bertuliskan nama sang istri dengan membawa sebuket bunga mawar merah. Bunga mawar berwarna merah, adalah bunga kesukaan Alka. Jeremy membeku ketika menatap gundukan tanah merah yang ia ketahui sebagai tempat istirahat terakhir sang istri. Tentu saja makam itu adalah makam palsu, karena Hasan telah membayar seseorang untuk membuat makam tersebut, dan diberi nisan bertuliskan nama lengkap Alka. Hasan dan Wilda telah menyiapkan itu jauh sebelum Jeremy sadar, sebagai bukti kepada Jeremy bahwa istrinya telah meninggal. Pria paruh baya yang masih se
"Tuan Hasan! Nyonya Wilda!" panggil Mirna, ART keluarga Arthur dengan panik. "Apa, Bi?" sahut Hasan. pria paruh baya itu menatap heran pembantunya yang berlari tergesa-gesa menuruni tangga. Hasan dan Wilda baru saja duduk di ruang makan, untuk memulai sesi sarapan pagi. Sebelum mereka melakukan sarapan, Wilda meminta Mirna untuk memanggil Jeremy yang masih belum keluar dari kamarnya. "Ada apa, Bi? Kok mukanya panik begitu?" tanya Wilda heran. "Itu, Tuan, nyonya, Tuan Jeremy ..." Mirna menunjuk ke arah lantai atas. "Jeremy kenapa?" desak Hasan. "Tuan Jeremy bersimbah darah di kamar mandi," jawab Art dengan gugup. Wilda terperangah dan menjatuhkan rahangnya. "Apa?!" Hasan dan Wilda segera berlari ke kamar mandi untuk melihat keadaa
Hari ini, tepat pernikahan Jeremy dan Diana akan digelar. Para tamu undangan yang merupakan kolega bisnis dari Hasan dan ayah Diana, turut hadir menyaksikan gelaran acara yang sakral tersebut. Para wartawan pun turut hadir untuk meliput berita pernikahan putra konglomerat Makassar. Diana tampil cantik dengan balutan kebaya berwarna putih. Sahabat dan teman sesama sosialita Diana pun ikut hadir. Kedua orang tua yang mendampingi Diana tersenyum bahagia melihat putrinya akan menikah. "Kamu cantik sekali hari ini, Sayang," kata Nana, ibu Diana. "Tentu saja aku cantik. Karena Mamaku cantik." "Bukan itu maksud Mama. Aura cantikmu itu terpancar dari dalam." "Ini hari bersejarah untukku. Dan aku berbahagia. Mungkin itu yang membuat aura cantikku terpancar." "Mama bersyukur karena telah diberikan umur panjang dan sehat oleh tuhan. Sehingga Mama dapat menyaksikan putri cantik Mama menikah," ucap Nana terharu. "Mama harus s
"Alka!" Nena berlari menghampiri Alka yang sedang menangis di sudut ruangan dapur sambil memeluk lututnya. "Alka yang sabar, ya." Nena memeluk erat tubuh ringkih adik sepupunya untuk memberikan kekuatan. Alka mendongakkan kepalanya menatap Nena. "Aku nggak kuat, Mbak. Hiks ... Hiks ..." Alka menepuk-nepuk dadanya. "Di sini sakit. Sakit sekali." "Kenapa nasibmu menjadi seperti ini?" Nena berurai airmata menatap Alka. Wanita yang menjadi satu-satunya kerabat Alka tersebut, merasa kasihan kepada adik sepupunya. Alka menangis dipelukan Nena dengan air mata yang mengalir deras. Dadanya terasa sangat sesak. Hatinya tercabik-cabik hingga luka dan berdarah melihat sang suami menikah dengan wanita lain. Nena yang memeluk pun ikut menangis. Sebagai sesama wanita yang telah memiliki suami dan anak, Nena bisa ikut merasakan apa yang saat ini Alka rasakan. Wanita mana pun pasti merasa hancur dan sakit melihat suami yang dicintai bersanding dengan wanita lain di pelaminan. "Kamu ini wanita b
Wilda duduk di serambi rumah Alka dan berhadapan dengan menantunya itu. Alka menatap dingin wanita paruh baya yang berstatus sebagai ibu dari pria yang ia cintai. Pria yang kini telah menikah dengan wanita lain. "Katanya ingin bicara. Kenapa masih diam?" Alka membuka pembicaraan setelah keduanya saling lama diam. Wilda mendongak menatap mata Alka. Wanita paruh baya itu dapat melihat guratan kemarahan di wajah wanita yang dicintai oleh putranya. Wilda tahu bahwa Alka marah karena telah memisahkan wanita itu dari putranya. "Bagaimana keadaan kamu?" tanya Wilda berbasa-basi. "Apa yang anda harapkan? Apakah anda mengharapkan saya menjadi gila setelah berpisah dengan suamiku?" sarkas Alka. Wilda tersenyum dan menggeleng. "Saya tidak pernah mengharapkan kamu menjadi seperti itu." "Lalu tujuan Anda apa ke sini? Apa Anda ingin melihat betapa menyedihkannya saya setelah apa yang anda lakukan ter
"Jadi ... Diana mengatakan hal itu kepadamu tentang aku?" tanya Jeremy setelah mendengarkan semua penjelasan Alka. Alka menceritakan kedatangan Diana yang ingin menemui dirinya. Apa yang diucapkan oleh wanita itu, oleh Alka diungkapkan semuanya kepada Jeremy."Iya, Mas," jawab Alka."Lalu, apakah kamu percaya, dengan semua yang dikatakannya?"Jeremy menatap Alka yang berdiri di samping kaca jendela. Alka mengalihkan pandangan dari Jeremy dan menghembuskan napasnya dengan kasar. Jeremy tersenyum sekilas melihat ekspresi wanita yang ia cintai. Iya berpikir, angka yang tengah dilanda kebimbangan akan melanjutkan hubungan mereka atau tidak, pasti terpengaruh oleh ucapan Diana.Jeremy bangkit dari duduknya dan berjalan mendekati istrinya. Ia menarik pelan lengan Alka dan mengarahkannya untuk duduk di kursi kerjanya."Kamu duduk sini! Aku tunjukkan sesuatu," kata Jeremy.Alka tidak menolak permintaan pria itu. Sebaliknya, ia terlihat bingung dengan Jeremy. Apa yang hendak suaminya tunjukka
Jeremy mengepalkan kedua tangan dengan erat, ketika melihat adegan demi adegan pada rekaman CCTV yang ditunjukkan oleh Kelvin. Netranya memancarkan sorot amarah yang besar. Dadanya kembang kempis naik turun seolah emosi yang ada dalam jiwanya akan meledak sebentar lagi. Rahang Jeremy mengeras saat mengetahui ada sosok yang ingin membunuh anaknya secara diam-diam.Kelvin memperhatikan raut wajah Jeremy sambil bergidik ngeri. Khawatir ia akan menjadi bahan pelampiasan amarah pria itu. Jeremy sangat menakutkan jika sedang marah."Kurang ajar!" umpat Jeremy, "berani sekali dia membunuh anakku!"Kelvin meneguk salivanya. "Dia melakukan itu, pasti bukan tanpa rencana. Entah siapa yang menyuruhnya, yang pasti dia dijanjikan sejumlah uang yang sangat besar."Jeremy mengalihkan pandangannya kepada Kelvin. Kelvin dengan gugup menunduk takut, dan tak berani menatap Jeremy. Jeremy berpikir, yang diucapkan oleh Kelvin sama dengan apa yang sempat ia duga. Namun Jeremy tak menyangka bahwa dugaannya
Alka tercengang mendengar bahwa Diana marah kepada Jeremy hingga membakar rumah yang ia berada saat ini. Wanita berambut panjang sepinggang itu berpikir, bahwa ada masalah yang sangat kompleks di antara Jeremy dan Diana. Mereka berdua bertengkar hingga Diana murka."Setahu saya, dia itu melakukan keributan untuk mencari perhatian kepada Pak Jeremy. Diana dan pak Jeremy terus-menerus didesak oleh mertua Anda, agar mereka mau memiliki anak. Sedangkan Diana adalah wanita penganut child free, beritahu Mira. "Diana sebagai wanita karir yang sukses, menganggap bahwa anak hanya menyita kesibukannya dan membatasi ruang geraknya untuk berkarya. Wanita itu merasa lelah terus-terusan didesak oleh ibu Wilda," lanjut Mira."Hingga akhirnya, entah apa yang membuat Diana merasa kesal, ia ingin Pak Jeremy mau mencintai dirinya. Hingga ia tahu bahwa keberadaan rumah ini, dan dengan banyaknya kenangan-kenangan Anda yang disimpan oleh Pak Jeremy di sini. Membuat wanita itu murka. Maka dari itu ia memba
"Diana?"Diana tersenyum simpul menatap Alka. "Aku pikir kamu lupa dengan aku.""Apa kamu datang ke sini ingin menemui Mas Jeremy? Mas Jeremy baru saja pergi ke bandara. Dia hendak bertolak ke Makassar," beritahu Alka."Kedatanganku ke sini, bukan semata hanya karena ingin bertemu dengan Jeremy. Tapi aku juga perlu bertemu dengan kamu," sahut Diana memainkan kukunya yang berwarna pink.Alka mengerutkan keningnya heran. Apa yang hendak dibahas oleh Diana kepadanya hingga wanita itu perlu merasa berbicara berdua. Alka memutuskan untuk duduk di sofa samping Diana."Apakah kita memiliki urusan?" tanya Alka."Sebenarnya tidak." Diana menggeleng. "Tapi, karena aku mendengar kabar duka bahwa anakmu meninggal, tidak salah 'kan, kalau aku turut bersimpati untuk mengucapkan duka cita?""Terima kasih." Alka memperhatikan tubuh Diana. Wanita itu memakai pakaian longgar berwarna putih. Meskipun menggunakan dress longgar, Alka tahu bahwa wanita itu tengah mengandung. Terlihat sedikit menonjol di b
Alka tengah berdiam diri di dalam kamar yang menjadi tempat tidur putranya. Kamar yang disiapkan oleh Jeremy dirumah yang berada di jakarta. Sekaligus rumah yang menjadi saksi perjuangan Jeremy merintis usaha dan ditemani oleh Alka.Alka berdiam di sana, untuk mengenang putranya. Ia ingin merasakan keberadaan putranya dengan berada di sana walaupun hanya lewat halusinasi yang ia miliki. Alka membuka lemari pakaian, dan mengambil sehelai baju milik Naufal. Baju itu terdapat sobekan di bagian bahu."Ibu merindukan kamu, Sayang."Alka memeluk erat pakaian terakhir yang digunakan oleh putranya sebelum terjadinya peristiwa ambruknya Panti Asuhan itu. Sudah satu minggu berlalu, semenjak kepergian Naufal kepangkuan sang maha kuasa. Putranya yang kini telah berada di surga, dan tak bisa ia peluk lagi. Alka masih terus merasakan kekosongan yang dalam setelah kepergian Naufal. Ia sering kali terdiam dalam kesedihan, membiarkan air mata mengalir tanpa henti. Meskipun ia tahu bahwa Naufal kini
"Mengapa bukan ibu kamu yang merasakannya Jeremy?" tanya Hermin dengan nada yang dingin dan datar. Wilda menatap nyalang wanita yang merupakan mantan istri Hasan sebelum dirinya. Ia mengetatkan rahangnya mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Hermin. Wilda merasa bahwa, kalimat Hermin merendahkan dirinya.Jeremy tersenyum menanggapi pertanyaan bernada tak suka dari ibu tirinya itu. Ia cukup tahu bagaimana perasaan Hermin. Wanita itu pasti pernah mengharapkan agar ia mati. Supaya Wilda dapat merasakan hal yang sama dengan Hermin."Karmanya tidak berlaku untuk ibuku. Tetapi berlaku padaku," jawab Jeremy.Hermin tertawa miris sekaligus menatap sinis pada Wilda. "Tetapi menurutku, ini tidak adil. Karena ada seorang wanita berhati tulus yang tak bersalah harus menanggung ini semua.""Apa maksud ucapanmu?" sambar Wilda , "Berhenti bicara omong kosong! Tidak ada karma apapun yang harus ditanggung anakku. Sebaliknya, istri Jeremy lah yang tidak becus mengurus anaknya.""Kamu sebenci itu
Hari ini pemakaman Naufal digelar. Suasana duka menyelimuti areal pemakaman. Jeremy ikut turun ke liang lahat untuk menurunkan tubuh Sang putra ke bumi. Jeremy juga mengajani putranya. Sedangkan Alka tak henti-hentinya menangisi kepergian sang buah hati. Ia dirangkul oleh kedua sahabatnya bersama dengan kakak sepupunya, Nena. Nena baru saja tiba kemarin sore dari Yogyakarta setelah dikabari oleh Jeremy."Sudah ... jangan menangis. ikhlaskan dia. Kalau kamu seperti ini, dia tidak akan bisa tenang di sana.Wilda, ibu Jeremy, pun turut hadir di prosesi pemakaman cucunya. Ia sengaja datang dari Makassar setelah menelpon putranya. Jika seandainya Jeremy tidak ia tanya mengapa tidak pernah mengabarinya, mungkin ia tidak akan tahu bahwa cucunya meninggal. Wilda tahu bahwa Jeremy marah sikapnya beberapa waktu lalu saat mengancam Alka menggunakan Naufal.Wilda berdiri tak jauh dari Alka. Wanita paruh baya itu melirik sinis kepada Alka. Lirikan itu dapat ditangkap oleh Nena. Nena mendengus ke
"Keracunan makanan?" tanya Jeremy mengulang penuturan sang dokter."Benar. Di lambungnya terdapat sebuah racun sianida," jelas dokter.Jeremy merasakan kepalanya pening. Hampir saja tubuhnya limbung jika tidak ditahan oleh Kelvin yang berdiri di belakangnya. Jeremy mencoba menguatkan hati dan dirinya. Karena jika ia terus seperti ini, tak akan ada yang menguatkan Alka."Memangnya Naufal makan apa?" tanya Kelvin."Semalam ia menyantap hidangan yang dibuat oleh dapur rumah sakit ini untuk makan malam. Ibunya yang menyuapi," jawab Jeremy dengan lesu. "Apakah makanan yang disantap anakmu masih ada sisa? Jika ada, bisa diperiksa itu mengandung racun atau tidak," usul Kelvin."Kami akan meminta tim kami untuk melakukan pemeriksaan pada sisa makanan yang terdapat di dapur rumah sakit. Jika ada sisa, kemungkinan itu masih ada di kotak sampah," sahut dokter."Segera lakukan dokter!" perintah Kelvin, "saya juga akan memeriksa CCTV rumah sakit ini. Siapa tahu kami bisa menemukan seseorang yang
"Naufal, Mas. Bagaimana ini, Mas?" tangis Alka seketika pecah setelah lama coba ia tahan. Jeremy berusaha untuk tenang dan menekan tombol di samping ranjang putranya untuk memanggil dokter. Alka tak henti-hentinya memanggil nama Naufal dan mengguncang tubuh putranya yang tak bergerak sedikitpun. Disaat yang tegang, Kelvin, datang untuk menjenguk Naufal, sekaligus mengantarkan berkas untuk Jeremy tandatangani. "Ada apa kalian berdua jadi panik begitu?" tanya Kelvin dengan raut wajah bingung. "Naufal tidak bernapas. Denyut nadinya pun tak ada," jawab Jeremy dengan wajah frustasi. Kelvin membelalakkan matanya. "Serius?" Suara pintu terbuka dan menampilkan kedatangan dokter untuk memeriksa Naufal. Alka yang melihat kedatangan dokter, langsung melangkah mendekati. "Dokter! Tolong periksa anak saya! Kenapa dia tidak bergerak? Dia juga tidak bernafas," ujar Alka sambil menangis. Dokter yang terkejut mendengar penuturan Alka, kemudian dengan cepat mengambil stetoskop yang ada di kanton