Jeremy pulang ke rumah dengan wajah yang berbinar cerah. Ia tidak sabar segera memberikan kejutan untuk sang istri. Sebuah hadiah yang telah ia siapkan beberapa hari lalu, kini saatnya ia persembahkan kepada wanita belahan jiwanya.
"Sayang!" seru Jeremy.
"Iya, Mas. Sudah pulang?" Alka meletakkan selang dan mematikan kran air. Istri kesayangan Jeremy itu sedang menyiram tanaman bunga dan sayurannya.
"Aku punya hadiah untuk kamu," beritahu Jeremy sambil tersenyum lebar.
"Hadiah apa, Mas?" Alka penasaran.
"Coba tutup dulu matanya!" interupsi Jeremy.
Alka mengerutkan kening. "Kenapa harus tutup mata segala, sih? Nggak usah aneh-aneh deh."
"Bukan aneh-aneh kok, Sayang."
"Benar?" tanya Alka tidak percaya.
Jeremy mencubit gemas pipi Alka. "Iya. Coba tutup mata dulu. Kalau nggak tutup mata, nggak surprise dong."
Akhirnya Alka menuruti Jeremy yang memintanya untuk menutupi mata. Alka merasa penasaran sekaligus cemas dengan kejutan yang akan diberikan oleh Jeremy. Disaat mata Alka tertutup, Jeremy meraih tangan sang istri dan meletakkan sesuatu di telapak tangan Alka.
"Ini untuk kamu, Sayang."
Jeremy meletakkan sebuah kotak persegi berwarna merah ditangan Alka. Alka segera membuka matanya ketika merasakan sesuatu berada di tangannya. Ia mengerutkan kening.
"Apa ini, Mas?" Alka melihat sebuah kotak berwarna merah ditangannya.
"Coba kamu buka!" Jeremy menyuruh sang istri membuka kotak persegi tersebut.
Alka membuka kotak persegi merah itu dan terpesona. "Masya Allah! Cantik sekali."
"Kamu suka?" tanya Jeremy.
Alka mendongak menatap Jeremy. "Aku suka sekali Mas. Makasih ya, Mas."
"Sama-sama, Sayang." Jeremy lalu memeluk Alka, "Ini hadiah untuk kamu khusus aku pesankan. Alhamdulillah berkat doa dan semangat dari kamu, usaha Mas berjalan dengan lancar."
"Alhamdulillah. Aku ikut senang." Alka merasa bersyukur.
Setelah lebih dari satu tahun usaha yang didirikan Jeremy akhirnya membuahkan hasil. Meski banyak rintangan dan cobaan yang ia hadapi, Jeremy tetap bersabar serta optimis dengan Alka di sampingnya yang selalu menyemangati. Jeremy merasa bersyukur atas nikmat Tuhan yang diberikan kepadanya.
"Sini kalungnya aku pakaikan!"
Jeremy meraih kotak persegi itu, dan mengambil kalung serta memakaikan dileher Alka. Alka mengangkat rambut panjangnya untuk memudahkan Jeremy memakaikan kalung. Setelah kalung melingkar di leher Alka, Jeremy terpesona dengan Alka yang semakin cantik dengan kalung yang ia berikan.
"Kamu semakin cantik dengan kalung ini," puji Jeremy
"Istrinya siapa dulu dong?" Alka tersenyum menggoda Jeremy.
"Istriku dong," jawab Jeremy.
Jeremy dan Alka kemudian saling berpelukan. Jeremy mengecup kening Alka. Alka tersenyum bahagia di dalam pelukan Jeremy. Ia merasa lega karena segala daya dan upaya yang dilakukan oleh sang suami, serta dirinya yang telah memberikan semangat, membuahkan hasil yang sangat manis.
"Sayang! Liburan yuk!" ajak Jeremy.
Alka melepaskan diri dari pelukan Jeremy. "Liburan kemana, Mas."
"Ke Dieng. Tempat pertama kali kita bertemu dan saling jatuh cinta."
"Tidak mengganggu pekerjaan Mas? Masa Kak Kelvin yang handle semuanya? Kerjaannya di cafe bagaimana? Nanti dia dipecat sama bosnya."
Jeremy tersenyum mengacak rambut Alka. "Cafe yang kita datangi itu, adalah milik Kelvin pribadi. Jadi Kelvin bosnya."
"Oh ... begitu." Alka baru tahu jika kafe itu milik Kelvin.
Biasanya, ketika Jeremy ada urusan mendadak, Kelvin yang menghandle pekerjaan Jeremy. Kafe milik Kelvin tetap berjalan dengan lancar meskipun ia sibuk bekerja dengan Jeremy.
"Mas! Sebelum nanti kita pulang ke Jakarta, Boleh nggak aku jenguk sepupuku?"
"Sepupumu? Siapa namanya?"
"Mbak Nena," jawab Alka.
"Boleh, Sayang."
***
Alka dan Jeremy berangkat ke Yogyakarta. Jeremy mengajak Alka terlebih dahulu untuk menemui sepupunya sebelum liburan. Karena Jeremy tahu bahwa istrinya sudah merindukan sepupu yang bernama Mbak Nena itu.
"Makasih ya, Dek. Mau jenguk Mbak," ucap Nena ketika Alka pamit pulang dari rumahnya.
"Ya, Mbak. Sama-sama."
Nena kemudian menatap Jeremy. "Kamu jagain adikku ya. Dia sudah tidak punya orang tua. Tolong jangan kamu sakiti atau sia-siakan dia. Kalau kamu sudah tidak mencintai dia lagi, tolong berpisahlah secara baik-baik. Jangan menyiksa dia."
Jeremy mengangguk. "Iya, Mbak. Aku nggak akan mungkin menghianati atau menyakiti istriku. Aku jamin itu."
Nena menitikkan air matanya. "Sekarang saudaraku jauh semua. Tadinya cuma Alka yang dekat. Sekarang Alka juga jauh."
"Jangan nangis, Mbak. Aku jadi ikut sedih." Alka lalu memeluk erat saudaranya itu.
Nena adalah satu-satunya saudara yang dimiliki oleh Alka. Sebelumnya, saudara Alka dan Nena banyak. Tetapi kini yang lain telah pindah ke daerah yang jauh mengikuti suami masing-masing.
"Nanti, kalau Jeremy mencampakan kamu, pulanglah ke sini. Aku bersedia menerima kamu. Karena aku satu-satunya kakakmu sekarang," bisik Nena.
Alka mengangguk. "Iya, Mbak. Makasih. Doakan agar kami selalu bahagia."
Setelah cukup lama berpelukan, Alka dan Jeremy pamit kepada Nena. Sebelum mobil Jeremy dipacu meninggalkan halaman rumah Nena, Jeremy mengangguk hormat kepada Nena. Jeremy sangat menghormati sepupu istrinya itu. Karena dialah orang yang ikut sibuk membantu mereka berdua ketika mereka akan menikah.
Alka dan Jeremy menikmati liburan mereka di pegunungan Dieng. Pasangan itu berkeliling berbagai tempat dan saling melemparkan canda tawa. Tak lupa, Jeremy dan Alka mengambil beberapa foto untuk dokumentasi mereka.
Daerah yang memiliki hawa dingin itu, menjadi saksi tempat bertemunya Alka dan Jeremy. Saat ini mereka tengah berada di taman. Alka sedang asyik mengirimkan foto-foto mereka berdua dari ponsel Jeremy ke ponselnya.
"Kemarin aku dengar, Silvi menawarkan pekerjaan untuk kamu." Jeremy membuka pembicaraan.
Alka terdiam sejenak. "Aku belum kepikiran untuk mencari pekerjaan, Mas. Karena aku lihat, dari banyaknya teman-teman yang di Jakarta, mereka mencari pekerjaan sangat sulit. Walaupun mereka sudah memiliki dokumen, dan itu sesuai dengan persyaratan, banyak yang tidak lolos wawancara. Aku masih ingin mengembangkan kebun milik orang tua yang ada di Jogja. Sambil aku juga mau mengambil kuliah."
"Kamu mau mengambil kuliah, Sayang?" tanya Jeremy.
Alka tersenyum mendengar pertanyaan Jeremy. Ia tahu suaminya itu khawatir. Pasti Jeremy takut jika Alka kuliah nanti, itu akan membuat Alka lupa tanggung jawabnya sebagai seorang istri.
"Mas jangan khawatir. Semisal kita memiliki anak, aku tidak akan meninggalkan tugasku sebagai seorang ibu dan juga istri. Tapi aku tetap ingin mengejar cita-citaku. Karena, menjadi ibu dan menjadi istri juga harus pintar dan juga berpendidikan tinggi. Selain menambah ilmu pengetahuan untuk membimbing anak-anak kita di masa depan, kita juga tidak diinjak-injak oleh orang."
Jeremy mengangguk. "Kamu itu sangat ambisius ya. Tidak apa-apa. Aku juga akan tetap mendukung kamu."
Setelah Alka lulus sekolah, Alka sempat kuliah sebentar. Namun Alka harus berhenti di tengah jalan karena tak memiliki biaya. Meskipun kuliahnya mendapat beasiswa, Alka memilih untuk tidak melanjutkan pendidikannya.
"Apa karena ucapan menyakitkan dari kedua orang tuaku yang menghina kamu ketika kamu ke sana? Sehingga kamu termotivasi untuk melanjutkan pendidikanmu?"
Alka tersenyum. "Salah satunya karena itu juga."
"Lakukanlah apa yang membuat kamu bahagia. Aku sebagai suamimu akan mendukungmu sepenuh hati. Raihlah kesuksesanmu."
"Makasih, Mas."
Jeremy tersenyum menatap sang istri. "Bukankah seharusnya memang kita saling mendukung?"
"Aku bahagia memiliki suami yang pengertian seperti Mas," tutur Alka.
"Aku juga bahagia memiliki istri seperti kamu. Kamu mau menerima aku apa adanya. Dan kamu tidak pernah menuntut apapun dari aku selama hampir dua tahun pernikahan kita ini."
"Hampir dua tahun pernikahan itu sebentar, Mas. Nanti sampai tahun-tahun ke depan, kita bisa seperti ini terus tidak? Banyak orang yang tidak sabar dengan cobaan rumah tangganya."
Alka memiliki kekhawatiran yang ia pendam, jika suatu hari Jeremy akan berubah tidak mencintainya lagi. Itu sebabnya ia ingin tetap meneruskan kuliahnya dan mencari pekerjaan yang bagus. Berjaga-jaga jika nanti ia dicampakkan oleh Jeremy. Karena tidak ada yang tahu jika nanti suatu ketika Jeremy berubah tidak mencintai Alka lagi.
"Aku akan selalu berada di sisi kamu sampai kapanpun. Aku pun berharap kamu juga seperti itu." Jeremy meraih tangan Alka, dan menggenggamnya dengan lembut.
"Aku tidak akan meninggalkan Mas di dalam kemiskinan. Nyatanya, Mas datang kepadaku tanpa membawa apa-apa, aku terima. Tapi tidak dengan penghianatan. Mas harus ingat itu!" tegas Alka.
"Jika kamu takut aku mengkhianati kamu, ingatlah pengorbananku. Aku rela meninggalkan orang tuaku demi kamu. Tidak mungkin aku akan berkhianat."
Jeremy meraih bahu sang istri dan menatap dalam netra pekat itu. Alka balas menatap sang suami dan dapat melihat ketulusan dari dua pasang mata Jeremy. Alka percaya, Jeremy tidak akan mungkin menghianatinya setelah melihat perjuangan dan pengorbanan yang telah dilakukan oleh Jeremy.
Setelah sesi liburan di Yogyakarta selesai, sepasang suami istri itu segera pulang ke Jakarta. Jeremy ingin segera kembali ke Jakarta untuk menyelesaikan pekerjaan yang tertinggal. Jeremy mengendarai mobil dan melewati tol untuk segera tiba di Jakarta.
Awalnya, perjalanan mereka mulus tanpa hambatan. Meskipun Jeremy mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi, namun Jeremy sangat berhati-hati. Naas, dari arah belakang sebuah mobil box melaju cukup kencang dan menabrak mobil yang dikendarai Jeremy, hingga Alka dan Jeremy terbentur dasbor.
Mobil box kemudian menabrak kendaraan lain dan terjadi kecelakaan beruntun di tol Jagorawi. Mobil yang dikendarai oleh Jeremy, terbalik dengan posisi roda menjadi di atas. Alka dan Jeremy tidak sadarkan diri di dalam mobil yang ringsek tersebut.
Tak ada yang menyadari, bahwa setelah kecelakaan itu, ada salah satu dari mereka berdua yang akan merasakan kehilangan. Dan kehilangan itu, mampu menjadi titik terendah dalam hidup. Siapa yang akan merasakan kehilangan? Alka, atau Jeremy?
"Maaf! kondisi pasien bernama Jeremy sedang mengalami koma," terang Dokter Herman, dokter yang menangani Jeremy. Wilda, sang ibu yang mendengarkan merasa syok. Hampir saja tubuhnya limbung jika tidak ditahan oleh sang suami. Airmata seketika berderai membasahi wajah wanita paruh baya yang masih cantik itu. "Kami menemukan cedera otak pada pasien akibat benturan keras yang terjadi. Sehingga menimbulkan pergeseran dan rotasi otak didalam tengkorak," jelas Dokter Herman. "Lalu, kapan anak saya akan bangun dokter?" tanya Hasan. Dokter Herman menggeleng pelan. "Kami tidak bisa memastikan kapan pasien akan bangun. Berdoa saja. Semoga diberikan keajaiban." Hasan mengangguk mendengarkan dokter Herman. Sedangkan Wilda, hanya menangis sambil mengelus dadanya yang terasa sakit dan sesak. Wilda sangat takut bila seandainya tidak ada keajaiban dan Jeremy tidak selamat. "Saya permisi terlebih dahulu. Ada pasien lain yang menunggu saya." "Terima kasih, Do
Seorang wanita berulangkali mengerjapkan mata untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke retina. Hal pertama yang ia lihat saat pertama kali membuka mata, adalah langit-langit berwarna putih. Dibersamai dengan aroma obat yang menyerbak mengusik indra penciuman, ia tahu bahwa saat ini dirinya tengah berada di rumah sakit. Sebuah perban melingkar di kepalanya. Merasakan punggung yang terasa ngilu, ia berpikir bahwa dirinya telah lama berbaring. Ia mencoba bangun dari berbaring, namun kepalanya terasa sakit. "Jangan terlalu banyak bergerak dulu, Mbak. Mbaknya baru sadar," tegur Suster yang baru saja masuk ke ruangan rawat. Wanita itu mencoba mengingat kejadian apa yang membuat dirinya bisa berada di rumah sakit saat ini. Kemudian ia melebarkan matanya terkejut ketika mengingat ia mengalami kecelakaan tidak sendirian. "Di mana suami saya?" tanya wanita itu
Hujan deras dan suara petir menggelegar menandai berakhirnya musim kemarau. Di malam pertama turun hujan, aroma petrichor tercium menguap ke udara. Aroma antara tanah kering dan air hujan yang menyatu memang sangat menyenangkan. Sekaligus ucapan rasa syukur atas rahmat Tuhan karena diberikan keberkahan atas turunnya hujan setelah musim kemarau yang panjang. Di rumah Nena, tepatnya di Yogyakarta, wanita yang merupakan kakak sepupu Alka itu tersenyum bahagia. Bagaimana tidak, tanaman bunga dan sayuran yang mulai akan mati, kini setidaknya ikut tersenyum bahagia karena diguyur hujan. "Alhamdulillah! Sudah turun hujan. Kamu akan tumbuh subur lagi," ucap Nena dengan penuh rasa syukur sambil melihat tanaman-tanamannya. Nena mencoba membuka tirai di jendela rumahnya untuk memandang hujan turun. Namun, bukannya melihat aliran air yang turun dari sudut genting, Nena malah terpaku dengan seseorang yang berdiri di depan rumahnya. Nena penasaran dengan sosok i
Jeremy berulangkali menggerakkan jari-jari tangannya secara perlahan. mata yang masih tertutup itu, bergerak-gerak ke kanan dan kiri. Beberapa hari terakhir, setelah 2 bulan mengalami koma, hasil pemeriksaan dari dokter menunjukkan bahwa Jeremy semakin menunjukkan tanda-tanda akan sadar. Hal itu disambut dengan lega oleh Wilda maupun Hasan. Tak lama kemudian, Jeremy membuka matanya, dan menatap sekeliling ruangan. Langit-langit putih yang pertama kali ia tatap, dan aroma obat-obatan yang menusuk indra penciuman, menyadarkan dirinya tengah berada di rumah sakit. Jeremy merasakan pusing di kepalanya. Jeremy mencoba mengingat kejadian apa yang membuat dirinya terbaring di rumah sakit seperti sekarang ini. Sontak, Jeremy melebarkan matanya ketika mengingat sesuatu. Raut wajah yang semula lemah, seketika berubah menjadi khawatir. "Di mana istriku? Apa dia baik-baik saja?" gumamnya.
Setelah kondisi Jeremy membaik dan dokter memperbolehkan Jeremy untuk pulang, pria itu memaksa kepada kedua orang tuanya untuk mengajak ia pergi ke makam Alka. Sejak dari beberapa hari lalu, Jeremy memaksa untuk mendatangi makam Alka. Namun Ayah dan ibunya mengatakan Jeremy harus dalam keadaan membaik dulu baru boleh mengunjungi makam istri tercinta. Di sore hari yang cerah, Jeremy berkunjung ke pusara yang bertuliskan nama sang istri dengan membawa sebuket bunga mawar merah. Bunga mawar berwarna merah, adalah bunga kesukaan Alka. Jeremy membeku ketika menatap gundukan tanah merah yang ia ketahui sebagai tempat istirahat terakhir sang istri. Tentu saja makam itu adalah makam palsu, karena Hasan telah membayar seseorang untuk membuat makam tersebut, dan diberi nisan bertuliskan nama lengkap Alka. Hasan dan Wilda telah menyiapkan itu jauh sebelum Jeremy sadar, sebagai bukti kepada Jeremy bahwa istrinya telah meninggal. Pria paruh baya yang masih se
"Tuan Hasan! Nyonya Wilda!" panggil Mirna, ART keluarga Arthur dengan panik. "Apa, Bi?" sahut Hasan. pria paruh baya itu menatap heran pembantunya yang berlari tergesa-gesa menuruni tangga. Hasan dan Wilda baru saja duduk di ruang makan, untuk memulai sesi sarapan pagi. Sebelum mereka melakukan sarapan, Wilda meminta Mirna untuk memanggil Jeremy yang masih belum keluar dari kamarnya. "Ada apa, Bi? Kok mukanya panik begitu?" tanya Wilda heran. "Itu, Tuan, nyonya, Tuan Jeremy ..." Mirna menunjuk ke arah lantai atas. "Jeremy kenapa?" desak Hasan. "Tuan Jeremy bersimbah darah di kamar mandi," jawab Art dengan gugup. Wilda terperangah dan menjatuhkan rahangnya. "Apa?!" Hasan dan Wilda segera berlari ke kamar mandi untuk melihat keadaa
Hari ini, tepat pernikahan Jeremy dan Diana akan digelar. Para tamu undangan yang merupakan kolega bisnis dari Hasan dan ayah Diana, turut hadir menyaksikan gelaran acara yang sakral tersebut. Para wartawan pun turut hadir untuk meliput berita pernikahan putra konglomerat Makassar. Diana tampil cantik dengan balutan kebaya berwarna putih. Sahabat dan teman sesama sosialita Diana pun ikut hadir. Kedua orang tua yang mendampingi Diana tersenyum bahagia melihat putrinya akan menikah. "Kamu cantik sekali hari ini, Sayang," kata Nana, ibu Diana. "Tentu saja aku cantik. Karena Mamaku cantik." "Bukan itu maksud Mama. Aura cantikmu itu terpancar dari dalam." "Ini hari bersejarah untukku. Dan aku berbahagia. Mungkin itu yang membuat aura cantikku terpancar." "Mama bersyukur karena telah diberikan umur panjang dan sehat oleh tuhan. Sehingga Mama dapat menyaksikan putri cantik Mama menikah," ucap Nana terharu. "Mama harus s
"Alka!" Nena berlari menghampiri Alka yang sedang menangis di sudut ruangan dapur sambil memeluk lututnya. "Alka yang sabar, ya." Nena memeluk erat tubuh ringkih adik sepupunya untuk memberikan kekuatan. Alka mendongakkan kepalanya menatap Nena. "Aku nggak kuat, Mbak. Hiks ... Hiks ..." Alka menepuk-nepuk dadanya. "Di sini sakit. Sakit sekali." "Kenapa nasibmu menjadi seperti ini?" Nena berurai airmata menatap Alka. Wanita yang menjadi satu-satunya kerabat Alka tersebut, merasa kasihan kepada adik sepupunya. Alka menangis dipelukan Nena dengan air mata yang mengalir deras. Dadanya terasa sangat sesak. Hatinya tercabik-cabik hingga luka dan berdarah melihat sang suami menikah dengan wanita lain. Nena yang memeluk pun ikut menangis. Sebagai sesama wanita yang telah memiliki suami dan anak, Nena bisa ikut merasakan apa yang saat ini Alka rasakan. Wanita mana pun pasti merasa hancur dan sakit melihat suami yang dicintai bersanding dengan wanita lain di pelaminan. "Kamu ini wanita b
"Jadi, korupsi mu bersama Iqbal soal pembangunan smelter, sudah tercium oleh jaksa yang merupakan teman Jeremy?" tanya Wilda kepada suaminya dengan dada yang bergejolak. Hasan menautkan kedua tangannya dan ia tumpukan pada meja. "Sekarang aku bingung harus melakukan apa."Wilda mendengus samar. "Biasanya, Papa selalu menghadapi masalah dengan santai dan tenang. Kenapa sekarang bingung? Apa karena akan melawan anakmu?" Beberapa hari terakhir ini, Hasan merasakan pikiran yang kalut. Korupsi pembangunan smelter, dan kasus robohnya panti asuhan, telah dilimpahkan semua berkasnya ke pihak kejaksaan. dan Hasan, turut menjadi tersangka dalam kedua kasus itu. Jeremy ikut andil dalam terseret nya nama Hasan Arthur. Padahal, Hasan sudah serapi mungkin menutupi jejak dirinya ikut terlibat. Dengan membayar seseorang untuk mau dijadikan kambing hitam. Hasan tak tahu bagaimana cara Jeremy bisa mengetahui dirinya mengkambing hitamkan seseorang. Entah karena Jeremy marah kepadanya, atau karena pr
Alka membuka matanya secara perlahan. Aroma obat-obatan menusuk indra penciumannya. Ia mengerutkan kening ketika terbangun menatap langit-langit yang bukan kamarnya."Kenapa aku ada di rumah sakit?" gumamnya lirih. Alka mencoba mengingat kejadian apa yang membuat nya berada di sini. Tak lama, ingat bahwa beberapa saat lalu tak sadarkan diri di hadapan Jeremy. Apakah Jeremy yang membawanya kemari? Alka menggigit bibirnya. Ada sebuah keresahan dari dalam hatinya. Sesuatu yang ia rahasiakan dari Jeremy selama ini."Apa jangan-jangan, Mas Jeremy sudah tahu?" jantung Alka berdebar dan merasa takut. Ditengah pikiran yang berkelana, tiba-tiba pintu ruangan terbuka. Jeremy masuk, dan mendekati istrinya dengan wajah yang terlihat sendu. Alka yang merasa gugup melihat ekspresi suaminya. Jeremy sepertinya sudah mengetahui rahasia yang ia simpan."Mas!" Alka bangkit dari tidurnya."Kenapa aku dibawa ke rumah sakit?" lanjutnya bertanya. Jeremy duduk di kursi, dan menjawab, "kamu pingsan tadi."
"Bagus." Suara tepuk tangan dari seorang wanita berambut pendek, duduk di hadapan Alda. Wanita itu adalah seseorang yang telah menyuruh dan membayar Alda untuk mencelakai putra Jeremy dan Alka hingga meninggal."Saya senang dengan konsisten kamu hingga ketuk palu. Kamu tetap merahasiakan nama saya di depan semua orang. Sesuai dengan apa yang saya janjikan kepadamu sebelumnya, saya akan tanggung hidup keluargamu," ucapnya dengan senyuman yang mengembang."Saya berterima kasih karena Anda yang mau menanggung hidup keluarga saya," sahut Alda.Alda kemudian menghela napas. "Yang Anda janjikan kepada saya, akan bebas dari jeratan hukum. Kenapa saya di penjara 7 tahun?""7 tahun bukanlah waktu yang lama," jawabnya dengan cuek."Anda kira 7 tahun itu sama dengan satu minggu?" geram Alda.Alda tak habis pikir dengan pemikiran wanita yang ada di hadapannya. Seperti yang dikatakan barusan oleh wanita itu, 7 tahun bukanlah waktu yang lama. Mudah sekali berujar seperti itu.Wanita itu menatap Al
"Apa?! Hanya dihukum selama 7 tahun penjara?" murka Jeremy dengan wajah yang merah padam.Hari ini, pengadilan menjatuhkan vonis hukuman kepada Alda, suster gadungan yang membunuh Naufal. Hakim menjatuhkan hukuman 7 tahun kepada Alda. Menurut pendapat hakim, Alda dinilai hanya melakukan kejahatan yang ringan. Jeremy dan Alka sebagai orang tua korban, tentunya tidak terima dengan pernyataan hakim tersebut. "Apa yang ada di pikiran kalian?" Jeremy berdiri dan menunjuk ke hakim. "Wanita itu telah merencanakan pembunuhan kepada anak saya.""Ya, Tuhan! kenapa jadi begini?" Alka menggumam pelan."Wanita itu bahkan menuduh Ibu saya bersekongkol dengannya. Padahal dia tidak memiliki bukti tersebut," tambah Jeremy."Apa-apa an ini?" Hasan menatap geram ke arah hakim yang tengah membereskan berkas.Ronie Darmawan yang disewa oleh Jeremy untuk menjadi pengacaranya, bahkan menggelengkan kepala. Jaksa penuntut umum memberikan tuntutan selama 25 tahun penjara atau seumur hidup. Namun, hakim dengan
Alka turun dari mobil, dan dituntun oleh Jeremy. Seperti yang dijanjikan oleh Jeremy kemarin, mereka berdua akan menghadiri peresmian hotel baru. Dibantu oleh Mira, Alka berdandan secantik mungkin agar bisa menyesuaikan sang suami. Bagian basement hotel telah dipenuhi oleh banyak orang dan juga para jurnalis di sana. Langkah Alka terhenti membuat Jeremy yang menggenggam tangan sang istri, merasa tertarik. Jeremy menatap bingung istrinya. "Kenapa, Sayang?" tanyanya dengan lembut. "Mas! Aku malu," cicit Alka. Jeremy tersenyum. "Tidak perlu malu. Apa yang membuat kamu jadi percaya diri?" "Jangan dengarkan bila ada orang yang berbicara negatif denganmu. Ya?" saran Jeremy, dan Alka mengangguk. Alka mencoba menetralkan degup jantungnya, dengan mengambil nafas sedalam-dalamnya. Ia berusaha untuk bersikap biasa saja. Dengan menampilkan senyum percaya diri, di hadapan banyak orang pasti akan menutupi kagugapannya. Kelvin dari kejauhan, mendatangi keduanya. Senyum manis terbit dari bibi
Alka turun dari mobil, dan dituntun oleh Jeremy. Seperti yang dijanjikan oleh Jeremy kemarin, mereka berdua akan menghadiri peresmian hotel baru. Dibantu oleh Mira, Alka berdandan secantik mungkin agar bisa menyesuaikan sang suami. Bagian basement hotel telah dipenuhi oleh banyak orang dan juga para jurnalis di sana. Langkah Alka terhenti membuat Jeremy yang menggenggam tangan sang istri, merasa tertarik. Jeremy menatap bingung istrinya."Kenapa, Sayang?" tanyanya dengan lembut."Mas! Aku malu," cicit Alka.Jeremy tersenyum. "Tidak perlu malu. Apa yang membuat kamu jadi percaya diri?""Jangan dengarkan bila ada orang yang berbicara negatif denganmu. Ya?" saran Jeremy, dan Alka mengangguk.Alka mencoba menetralkan degup jantungnya, dengan mengambil nafas sedalam-dalamnya. Ia berusaha untuk bersikap biasa saja. Dengan menampilkan senyum percaya diri, di hadapan banyak orang pasti akan menutupi kagugapannya.Kelvin dari kejauhan, mendatangi keduanya. Senyum manis terbit dari bibir pria
"Dari mana kamu?" tanya Jeremy saat melihat sang istri pulang ke rumah. Alka yang tengah menutup pintu, terlonjak mendengarkan suara suaminya. Ia membalikan badan, dan melihat Jeremy yang menatapnya dengan tajam membuat Alka merinding. Jeremy berdiri sambil meletakkan kedua tangannya di dalam saku celana. Jas pria itu, sudah ditanggalkan, dan diletakkan di kursi ruang tamu."Mas Jeremy sudah pulang? Kok tumben jam segini pulang?" tanya Alka heran. Jeremy biasa pulang sekitar pukul 07.00 malam. Ini masih pukul 04.30 sore. Alka bertanya dalam hati, apakah yang membuat pria itu pulang begitu cepat?"Saya tanya kamu dari mana?" Jeremy mengulang pertanyaannya kepada sang istri. Ia merasa kesal karena Alka tidak menjawab pertanyaannya dan malah membahas soal lain. "Aku habis dari luar. Beli sabun muka," jawab Alka.Alka tidak berbohong kepada Jeremy. Memang tadi, ia keluar ke toko untuk membeli sabun muka. Dan itu ia lakukan sebelum pergi ke rumah sakit."Lalu kamu ketemu sama siapa di
"Jadi, berapa lama saya akan hidup?" tanya Alka kepada dokter Indri yang memegang kertas berisi laporan pemeriksaan kesehatannya.Dokter Indri menghela napas. "Kami tidak bisa menjamin. Karena kami bukan Tuhan.""Menurut prediksi Anda, bagaimana?""Kalau menurut pengamatan dari kami, usia anda tidak sampai 1 tahun lagi," sahutnya."Jika anda tidak menghentikan pengobatannya, dan rutin melakukan kemoterapi, dan tanpa berhenti dalam jeda waktu yang lama, mungkin tidak separah sekarang," lanjut dokter Indri menerangkan.Alka menundukan wajahnya mendengar penjelasan dari dokter. Tanpa memberitahu sang suami, Alka pergi ke rumah sakit untuk menemui dokter spesialis tumor otak. Akhir-akhir ini Alka merasakan sakit kepala yang menyiksa. Bahkan rasa sakitnya, membuat pandangannya terasa kabur. Karena kesedihan yang ia alami setelah kehilangan putranya, Alka melupakan bahwa ia sedang sakit. Saat sedang di Polandia, ia rutin melakukan pengobatan. Namun setelah ia pulang ke Indonesia, merawat a
Jeremy menatap ayahnya yang sedikit tak suka dengan sikapnya, dengan ekspresi wajah yang datar. Keinginan ayahnya, Jeremy tidak ingin mengabulkan. Apalagi tentang istrinya."Tidak salah sebenarnya. Tapi aku melarang istriku. Meskipun, istriku menginginkannya," tegas Jeremy.Jeremy meraih tangan sang istri, dan menggenggamnya. Alka menggelengkan kepala memberikan isyarat melalui tatapan mata kepada sang suami. Jeremy tahu bahwa sang istri tidak setuju dengan sikapnya menolak secara terang-terangan ajakan Hasan."Kalau Papa mengajak bicara hal penting, bicara saja denganku. Tidak perlu mengajak istriku juga. Kalian membenci istriku, lalu untuk apa mengajaknya untuk makan malam bersama kalian? Apakah kalian berencana untuk menghinanya lagi?" sindir Jeremy."Aku melarang keras kepada kalian berdua untuk berbicara dengan istriku. Bukan istriku yang menginginkan ini. Aku yang melarangnya."Jeremy kemudian berlalu dari hadapan sang ayah, dan tak lupa menarik tangan sang istri. Alka hampir sa