Share

Pertemuan membawa penyesalan

Bayu pov

Aku duduk dengan cemas, karena saat ini Mona tengah berjuang melahirkan anakku di dalam ruang bersalin, aku yang tengah gelisah hanya bisa duduk dengan dalam perasaan khawatir. 

Dalam kegelisahan yang mendera, tidak sengaja mata ku terpaku menatap sosok yang kemarin aku temui, dan kini mereka sedang berdua. 

"Nia!"panggilku, dalam rasa cemburu saat melihat kedekatan mereka, tapi di samping itu aku heran apa yang mereka lakukan di sini terlebih Nia tengah duduk di kursi roda sembari mengenakan pakaian khusus dan terpasang selang infus di lengan kirinya.

Ku hampiri mereka, karena setelah mendengar panggilan ku mereka berhenti. 

"Bayu, apa istrimu akan melahirkan? "tanya Anton, jujur aku malas meladeni nya, tapi aku tidak ingin terjadinya keributan hanya karena kebodohan ku. 

"Yah, kau benar, An,"jawabku asal, sembari memandangi wajah pucat kurus Nia, kini aku baru melihat dengan jelas seperti apa keadaannya dari dekat. Karena kemarin aku terlalu sibuk dengan kebencian dan kecemburuan hingga aku mengabaikan keadaannya. 

" Baiklah, sepertinya kita harus segera kembali, Nia, "ucapan Anton seketika membuyarkan pandangan ku dari keadaan Nia yang kini terlihat tidak sehat, apa yang terjadi padanya. 

Memang selama ini aku tidak peduli padanya bahkan aku tidak pernah menanyakan keadannya, yang ada di dalam diriku hanya kekesalan dan kebencian setelah Nia memutuskan pergi dari rumah. Bahkan aku tidak berniat mengurus perceraian karena memang aku ingin menggantungnya agar dia tidak bisa menikah lagi. 

Akan tetapi, melihat keadaan ini semua keegoisan dan kemunafikan diriku runtuh seketika. 

"Eeg, mas Anton. Bisakah tinggalkan aku dan mas Bayu sebentar. "Aku cukup terkejut karena aku pikir Nia akan menuruti keinginan Anton, yang notabene nya adalah kakak angkat Nia selama ini. 

" Baiklah, Bayu. Aku titip, Nia. "Pinta Anton dengan akrab, aku tidak menyangka jika Anton juga akan mengizinkan aku bersama Nia, setelah apa yang aku lakukan kemarin di rumah dan semua tuduhan yang aku lontarkan. 

Mataku semakin nanar memperhatikan keadaan Nia, yang memang bener-bener tidak sehat. Bahkan sesekali ia meringis seperti tengah menahan sakit. 

"Mas! " panggil Nia dengan serak. Aku terkesiap mendengar nya, karena suara Nia dulu tidak seperti ini. 

"Ada apa, Nia?"

"Apa aku boleh menyentuh pipimu. Sebentar saja, mas."pintanya dengan suara memohon, aku tidak mengerti apa yang terjadi pada diriku ini, dengan luruh air mata yang tidak aku sadari menetes membasahi pipi ini, saat tangan kurusnya ingin menggapai ku, karena di antara kami masih berjarak beberapa meter. 

Entah, naluri dari mana. Dengan berurai air mata aku melangkah ringan lalu berjongkok tepat di hadapannya. Ku tarik tangan Nia yang kemas lalu ku tangkupkan ke pipiku. Hati ku terasa teriris, aku tidak mengerti sakit dari mana datangnya, tapi saat tangan Nia berada di pipiku rasanya benar-benar sakit dan sesak. 

Ini untuk pertama kali ku rasakan sentuhan tangannya setelah aku kembali dari Cina. 

"Aku sangat mencintaimu, mas, " ungkapnya serak.

Aku tidak bisa menguasai diri, air mata yang telah tumpah semakin deras mengalir dari pelupuk mataku. Seakan-akan tidak pernah habis setelah mendengar ungkapannya. Dada ini bergemuruh hebat setelah ungkapan Nia karena perasaan ini begitu sama seperti pertama kami aku bertemu dengan Nia 10 tahun yang lalu. 

Dalam perasaan bersalah aku menyadari keadaan Nia memang tidak sehat, karena tangan Nia yang ada di genggaman ku terasa sangat ringan. Aku memperhatikan setiap seluk-beluk tubuhnya, benar saja dia sangat kurus, bahkan tulang-tulang kecil menyembul ke permukaan kulitnya, aku tidak melihat pipi berisi dengan kulit merona begitu manis yang dulu menjadi favoritku, karena kini digantikan dengan kulit pucat tanpa isi, hanya kulit yang menyelimutinya, mata yang dulu begitu indah kini terlihat sangat cekung dengan kantung mata yang menghitam. 

Tuhan? Batinku menjerit meratap pilu. 

"Kau kenapa, Nia? Apa yang terjadi? "tanyaku sembari memperhatikan wajah kurus pucatnya. 

Tapi jawaban yang aku tunggu hanya dia jawab dengan gelengan kecil disertai dengan senyumannya. 

 " Nia, katakan. Kau kenapa? "Ulangku penasaran sembari melepaskan tangannya dari pipiku, tangan kurus ini ku genggaman dengan erat saat senyumnya semakin terukir. 

Aku tidak mengerti, senyum yang Nia berikan seperti belati yang berulang-ulang menikam dadaku hingga terasa sesak. 

"Aku baik-baik saja, mas. Bahkan saat ini aku merasa sangat sehat. Kamu tidak perlu khawatir, " jawabnya tetap dengan senyum yang menghiasi bibir pucatnya. 

Tuhan, sakit apa dia? Kenapa keadaannya seperti ini. Batiku beratnya-tanya.

Nia terlihat mengusap perut besarnya sembari sesekali merintis, aku semakin khawatir melihat keadannya. 

"Katakan sayang ada apa?Apa yang terjadi? Jangan berbohong padaku?"isaku akhirnya pecah, bahkan panggilan manis seperti dulu lolos begitu saja dari bibir ini, saat beberapa alat medis ku lihat menempel di dada Nia. 

"Tidak ada, mas. " 

Aku menggeleng, karena jawaban Nia begitu jauh dengan apa yang kini aku liat darinya, ia tidak sedang baik-baik saja. 

"Kau tidak pandai berbohong sayang. Aku tahu kau tengah berbohong."

Nia tersenyum kecil sembari mengulurkan tangannya kembali ke pipiku lalu mengusapnya dengan lembut hingga sedikit air mataku terkikis.

"Aku tidak pernah bohong padamu, mas. "

Dada ku sesak, aku tidak mengerti kenapa kini aku sangat ketakut kehilangannya, hingga tangis ku kian pecah. Kembali teringat dengan semua tuduhan dan prasangka yang pernah aku lontarkan padanya, aku sadar selama ini akulah yang curang hanya saja ego ini selalu mengalahkannya. 

Tuhan, aku menyesal. Batiku menjerit. 

"Aku tahu sayang, kau tidak pernah berbohong padaku. "Sesalku menyadari semuanya, karena dari wajah istriku tidak terlihat air mata, bahkan wajahnya terlihat tanpa beban. 

Kembali teringat kejadian dulu, di saat aku menyakitinya, dia hanya bisa menagis. Tapi kini keadaannya berbeda, tidak ada Nia cengeng seperti dulu. Kini aku kembali sadar jika aku masih mencintainya. 

 Tuhan, kenapa aku begitu bodoh. Runtuku dalam hati pada diriku sendiri. 

"Kumohon, katakan kau kenapa."Bujukku cemas, tanganku yang awalnya menggenggam tangan Nia, kini beralih mengusap perut besarnya dengan lembut. 

Tuhan, Tuhan, Tuhan. Betapa bodohnya aku, kenapa aku melakukan semua ini padanya. 

Kembali ku perhatikan wajahnya yang pucat, yang tersirat di sana hanya kebahagiaan yang tidak aku mengerti datang dari mana. 

"Aku baik, sangat baik. Percayalah."Aku sadar, saat ini Nia tengah menutupi sesuatu dariku. 

Apa karena perbuatan ku hingga dia menutupi semuanya. Cecar ku bertanya dalam batin.

Tatapku beralih memperhatikan pakaian yang ia kenakan, karena pakaian ini tidak semua pasien bisa mengenakannya. 

"Maafkan Papa nak. Papa memang salah,Papa sangat bersalah. Papa menyayangimu sayang, "ucapku gemetar dalam sesal sembari mengecup perut besar Nia dengan perlahan. 

"Nyonya, Nia novita! " Seru seorang perawat berjalan terburu-buru menghampiri mereka di sana. Aku yang melihat kembali bertanya-tanya. 

"semuanya sudah siap nyonya, sekarang sudah waktunya, " ujar perawat tersebut, Anton yang awalnya memberikan waktu untukku dan Nia kini kembali menyambangi kami. 

Rasa penasaran semakin menyelimuti hatiku, apa sebernarnya yang di maksudkan suster itu. 

"Tentu Sus, saya juga sudah siap," jawab Nia dengan senyum, lalu beralih menatapku."selamat tinggal, mas. Semoga kau selalu berbahagia. "Aku yang mendengar semakin tersiak gusar, apa yang ia maksudkan dengan kata selamat tinggal. Kenapa dia seakan-akan ingin pergi meninggalkan aku. 

"Hiks … apa yang kau katakan, sayang. Jangan katakan itu." Racauku lalu bangkit saat kursi roda yang Nia duduki di dorong oleh suster tadi. 

"Maaf tuan, nyonya Nia harus menjalani operasi."

Aku kehilangan kekuatan setelah mendengar penjelasan sabar dari suster tersebut, bahkan aku tidak lagi bisa menahannya hingga genggaman tangan di antara kami terlepas begitu saja, saat kursi roda Nia di dorang pergi menuju ruang operasi. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status