Dera berdiri di depan pintu rumahnya, dagunya terangkat tinggi saat tatapan tajam matanya menelusuri wajah kedua orang tuanya. Tas punggungnya tergantung malas di bahu kanannya, seperti benda berat yang selalu siap ia tinggalkan. Rasa jengah melandanya, udara di sekitar rumah ini terasa begitu berat, lebih berat daripada sebelumnya. "Jadi, kalian mau aku yang gantiin Dela buat nikah sama orang itu? Karena dia kabur, dan aku, 'satu-satunya pilihan yang tersisa,' begitukah?" Suaranya terdengar sinis, tajam seperti pisau yang menguliti setiap kata dengan ketidakpedulian. Ayahnya, pria dengan raut wajah tegas namun kaku, menghela napas panjang sebelum akhirnya membuka mulut. "Dera, ini bukan tentang kamu. Ini tentang keluarga. Jangan bertindak seolah kamu tak mengerti. Lakukan ini demi nama baik kita." Dera tersenyum miring, senyum yang penuh ejekan. "Ah, nama baik? Kalian baru peduli sekarang? Aneh sekali, mengingat selama ini nama Dela yang selalu keluar dari mulut kalian. Namaku saja
Kos-kosan tempat Dera tinggal malam ini tampak seperti markas besar para remaja pemberontak. Suara gelak tawa, denting botol yang beradu, dan obrolan yang tak ada habisnya menggema dari ruang tengah. Kosan kecil yang biasanya tenang kini dipenuhi keributan. Beberapa bungkus snack berserakan di lantai, sementara kaleng minuman tergeletak asal di mana-mana, membuat tempat itu lebih mirip seperti arena pesta daripada tempat tinggal. “Tempat ternyaman untuk nongkrong,” begitulah kata mereka. Entah kenapa, meskipun tempat Dera sempit, teman-temannya selalu berkumpul di sini. Entah itu mau diskusi skripsi, menonton bola, atau hanya sekadar ngerumpi hal-hal konyol, tempat ini seperti magnet yang menarik mereka semua untuk datang. Bahkan saat kondisi kos-kosan Dera sudah hampir ambruk karena ulah mereka sendiri. Dera memandang kekacauan itu dengan mata yang menyipit penuh amarah. Tumpukan sampah semakin menumpuk di sudut ruangan, sementara Aldo dan Arkan tengah sibuk tertawa tanpa peduli. Zi
"Anjirrr, gue kesiangan! Gue lupa ada agenda mau ketemu Dosen Pembimbing!" Dera kelimpungan tidak jelas. Melompat dari tempat tidur, lantas ia berlari menuju kamar mandi untuk cuci muka saja. Tidak perlu mandi, gosok gigi saja yang ia lakukan sembari mencari pakaian yang hendak digunakan. Mengambil celana jeans hitam dan kaos oblong oversize, lantas ia mengambil hoodie putih sebagai pelengkapnya. Sudah, habis itu ia pergi mencari kunci motornya setelah mengaplikasikan sunscreen di wajahnya. "Kenapa disaat genting kayak gini, gue malah lupa naruh kunci motor! Gue harus gimana sekarang!" Dera panik setengah mati. Mencari ponsel untuk menghubungi seseorang, justru ia menemukan notifikasi informasi bahwasaannya pertemuan dengan Dosen pembimbing mereka ditunda. Dera yang membacanya berulang kali, jadi lega sendiri akhirnya. "Santuyyy, rileks Dera. Nggak ada yang perlu lo cemasin sekarang, sekarang pikirin gimana cara lo mau pergi ke kampus?" Dera memilih untuk duduk sembari memi
Ayahnya tidak main-main sepertinya. Apa yang ia ucapkan kemarin adalah mutlak, dan tidak bisa dibantah oleh Dera. Sedangkan Dera hanya bisa terdiam seribu bahasa saja sekarang, sepertinya dia benar-benar ditimbalkan kepada masalah mereka. Dera menatap jalanan melewati kaca jendela mobil dengan tatapan kosong. Jejak emosi mendadak lenyap dari matanya, namun tidak dengan hatinya yang sedang menyimpan beribu-ribu emosi yang masih terpendam dan bersiap untuk diluapkan kapan saja. Kedua tangannya masih terkepal erat, siap untuk memukul siapapun yang berani mengganggunya. "Kenapa Ayah masih ngotot buat jadiin Dera pengganti dari kesialan Dela? Kemarin Dera udah bilang nggak setuju kan, kenapa masih maksa?" Dera tertawa pada akhirnya. Ia sudah menolak kan kemarin? Kenapa pria tua itu masih memaksa kehendaknya sendiri? Lagipula pria itu sudah tidak ada hak atas dirinya lagi kan? Dera selalu diacuhkan dan tidak dipedulikan oleh mereka. "Hahaha... Jangan-jangan semua ini udah direncanain
Syarat yang diajukan olehnya mengenai saham tiga puluh lima persen itu berhasil. Ayahnya mampu menyetujui apa yang ia ajukan, bahkan tak tanggung-tanggung ia juga mengiriminya banyak uang ke nomor rekening Dera. Perjodohan itu tak lama lagi akan terlaksana, dan sepertinya hidup bebasnya tidak akan lama lagi dimulai hari ini. Terlebih Ayahnya mengirimi alamat restoran yang akan menjadi titik temu mereka. Mungkin bisa dibilang kencan kata para sohibnya. "Lo yakin Ra mau dateng ke sana? Lo dijodohin sama orang yang mungkin memiliki keterbatasan dalam berjalan loh Ra." Zea memang sekarang sedang main di tempat Dera. "Gue nggak bisa nolak lagi Ze. Ayah udah menyetujui persyaratan gue soal saham, bahkan nggak tanggung-tanggung dia ngirimin banyak uang buat keperluan kencan dengan pria itu." Dera menghela nafas lelah. "Pikirin kebahagian lo Ra. Gue bisa bantu lo, kalau lo pengin kabur sekarang." "Selama ini kebahagiaan gue juga bisa dibilang nggak ada Ze. It's okay, kalau pemuda itu
Dera merasa hari ini sangat melelahkan. Tenaganya sudah terkuras habis, dan ia tidak ingin melakukan apapun selain hanya rebahan. Sepertinya, bertemu pria bernama Dafi Ezekiel Addison itu bukan perkara yang bagus untuk Dera. Merayap menuju kamar yang selama ini menemaninya. Rasa lelahnya benar-benar membuatnya lunglai, tidak ada semangat yang berkorbar sedikit pun di dalam dirinya. Hingga ketika ia sampai di tepian kasur dan melempar tubuhnya, entah kenapa rasanya seperti dihantam sesuatu yang sangat Keras. Apakah sudah lama Dera tidak mengganti kasur tidurnya itu? "Sakit banget njirrrr, kayak ditimpuk batu. Kapan terakhir gue ganti kasur? Ehhh, soal kuliah gue, itu dosen pembimbing nyariin gue nggak ya? Gue belum nyicil bahan skripsi soalnya." Disaat seperti ini, Dera masih memikirkan masa depannya. Sebenarnya Dera bisa saja bersikap bodoamat, apalagi ketika ia diharuskan menjadi pengganti dari perjodohan saudaranya yang akhirnya membuat ia benar-benar benci dengan hidupnyaa sen
"Pernikahan kamu akan dipercepat satu minggu lagi. Jadi selama menunggu hari itu tiba, kamu harus kembali ke rumah saya lagi. Ini saya lakukan agar tidak ada kecurigaan dari pihak mempelai pria." Dera hampir saja membenturkan kepalanya ketembok, ketika sang Ayah mengetahui tempat dirinya tinggal berada saat ini. Ia baru saja pulang kuliah, otaknya dihajar habis-habisan kerena bimbingan skripsi dengan Dosen tadi. Lalu apa setelah ini? Menikah? Dalam waktu dekat? Oh tidak, ia belum menyiapkan mentalnya! Dera juga tidak pernah berpikiran untuk menikah secepat ini! Tolong, katakan pada Dera bahwa ia hanya sedang bermimpi sekarang! "Saya sudah menuruti permintaan kamu mengenai saham tiga puluh lima persen, bahkan karena kamu saya jadi dimusuhi oleh Dela karena katanya terlalu memanjakan kamu. Mungkin jika bukan karena nama baik keluarga, saya segan memberikan saham saya ke kamu." Dera berdecih sinis, "Kalau tidak ikhlas, Dera bisa kembalikan itu semua. Dengan catatan, Dera bebas nge
Siang berganti malam, hari berganti hari, waktu tak terasa berjalan sangat cepat bagi seorang Dera. Satu minggu telah berlalu, dan ini adalah hari penting bagi Dera. Namun sebenarnya tidak pernah ada sedikitpun di dalam rencananya. Hari pernikahan yang tak pernah Dera bayangkan sejauh ini. Rasanya begitu mustahil, namun ia sedang menapaki realitanya sekarang. Antara sedih, bahagia, dan bingung, bahkan dimata Dera tidak ada sedikitpun ekspresi yang kentara. "Der, gue nggak pernah nyangka kalau lo bakalan nikah secepat ini. Mau bahagia karena salah satu sahabat gue mau nikahpun kayaknya nggak bakalan bisa, mata lo udah menjelaskan semuanya." Zea mengutarakan pendapatnya. Para sohib Dera memang sedang berkumpul menjadi satu di kamar Dera. Tanpa terkecuali, semuanya datang meskipun mereka sebenarnya sibuk dan memiliki urusan masing-masing. Namun demi Dera, mereka mengesampingkan semuanya dan mengosongkan jadwal. Termasuk jadwal kuliah mereka sendiri. Mereka memakai pakaian formal,