Siang berganti malam, hari berganti hari, waktu tak terasa berjalan sangat cepat bagi seorang Dera. Satu minggu telah berlalu, dan ini adalah hari penting bagi Dera. Namun sebenarnya tidak pernah ada sedikitpun di dalam rencananya.
Hari pernikahan yang tak pernah Dera bayangkan sejauh ini. Rasanya begitu mustahil, namun ia sedang menapaki realitanya sekarang. Antara sedih, bahagia, dan bingung, bahkan dimata Dera tidak ada sedikitpun ekspresi yang kentara. "Der, gue nggak pernah nyangka kalau lo bakalan nikah secepat ini. Mau bahagia karena salah satu sahabat gue mau nikahpun kayaknya nggak bakalan bisa, mata lo udah menjelaskan semuanya." Zea mengutarakan pendapatnya. Para sohib Dera memang sedang berkumpul menjadi satu di kamar Dera. Tanpa terkecuali, semuanya datang meskipun mereka sebenarnya sibuk dan memiliki urusan masing-masing. Namun demi Dera, mereka mengesampingkan semuanya dan mengosongkan jadwal. Termasuk jadwal kuliah mereka sendiri. Mereka memakai pakaian formal, bermaksud menjadi pelepas atau pengantar sahabatnya menuju Altar beberapa waktu lagi. Dera akan melepas masa lajangnya, namun mereka semua yang ada di sana tidak tau harus berekspresi semacam apa. Mereka ingat, pernikahan ini karena unsur dipaksa. "Gue juga nggak tau mau sedih apa seneng, tapi yang jelas gue sebagai Kakak lo bakalan terus ngedukung lo meskipun lo berada di jalan yang salah. Ingat selalu kata gue, gue bakalan terus ngedukung lo." kata Arkan sembari merangkul sepupunya dan berusaha menguatkannya. Tidak mendapati jawaban, Dera hanya menatap kosong seolah sedang memikirkan sesuatu yang tak biasa. Bahkan sedari tadi, Dera belum mengatakan apapun meskipun hanya satu kata. "Der, jangan diem kayak gini terus. Gue jadi bingung, antara mau ngelepasin atau ngebawa kabur lo sekarang. Lo bener-bener dipaksa sampai segitunya ya?" lanjut Zidan. "Bener nih, jangan diem terus. Mana seorang Dera yang selalu pecicilan, frontal, dan nggak tau malu itu. Kalau lo kayak gini terus, kita juga bingung antara mau mutilasi orang tua lo sekarang atau nggak. Kita siap jadi narapidana demi lo, Dera." sambung Reina. Dera tidak bergeming, pikirannya masih berkelana entah kemana. Kemarin-kemarin ia tidak seperti ini, ia masih menjalani hidupnya dengan normal seperti biasa. Namun hari ini, mendadak ia menjadi murung. Tidak ada gairah hidup, bahkan rasa putus asanya semakin menjadi-jadi. Dera tidak ada keinginan untuk mengeluarkan suaranya, hitung-hitung untuk menghemat tenaganya juga sebenarnya. Karena dirinya yakin, hari ini akan terasa sangat panjang. Rasa lelahnya mungkin akan semakin menumpuk, dan beban hidupnya jangan ditanyakan lagi keberadaannya. "Dera, gue yakin lo bisa ngelaluin semuanya. Ada kami yang selalu ada di samping lo apapun kondisinya, lagian ini juga keputusan yang lo buat kan? Kenapa lo jadi kayak gini sih?" tanya Aldo yang juga turut membuka suaranya. Dera menghela napas panjang, ia juga tidak tau kenapa menjadi seperti ini. Sudah dikatakan sebelumnya, bahwa ia bisa mengalami perubahan suasana dalam sekejap. Namun entah kenapa hari ini terasa ekstrim sekali. "Gue baik-baik aja kok, nggak usah khawatirin gue. Gue juga lagi usahain bakalan bahagia sama pernikahan gue, cuma di sini gue lagi mikir aja nasib gue semisal baru seminggu kena talak tiga aja gitu." hanya itu yang Dera katakan, setelahnya ia membungkam mulutnya kembali. Mereka akhirnya terbengong. Capek-capek mengkhawatirkan Dera yang dari tadi hanya diam membisu seolah tak memilih gairah hidup, ternyata pikiran Dera lah yang sudah lain dari yang lain. "Ngapain sih kamu mikirin kayak begituan, kamu cantik, malah pakai banget Dera. Sekali-kali mainlah sama kita ke salon, jangan main sama kaum batangan mulu. Otak kamu jadi konslet begini kan?" Flora, salah satu sohib Dera yang baru saja pulang dari luar negeri hanya bisa menggelengkan kepalanya tak percaya. "Iya nih, jadi lakik begini kan bawaan lo." Reina ikut mendukung. Dera menghembuskan napas kesal, "Perumpaan doang tadi. Lagian tuh si Feli juga kelakuannya nggak beda jauh dari gue. Sekali-kali ikutlah ngomentarin gaya hidup dia, jangan gue doang." Feli juga salah satu sahabatnya yang baru saja pulang dari luar negeri. Jarang berbicara kalau tidak penting, namun memiliki solidaritas yang sangat tinggi. Tidak ada yang berani mengajaknya mengobrol, Feli hanya mengatakan satu dua patah kata disaat penting-penting saja. "Nggak bakalan berani sih, dia bawaannya pengin mutilasi orang. Lihat aja tuh anak lebih milih mojok sambil mainin pisau buah yang ada di kamar lo, kan ngeri sendiri gue. Lagian nih yang lagi kita omongin itu lo, lo yang udah sold out duluan tanpa kita duga." "Sekate-kate, gue sold out aja bukan karena kehendak gue sendiri. Jujur, dalam hidup gue juga nggak ada pikiran bakalan nikah kayak gini." Cklek... Suara knop pintu yang terbuka, membuat mereka membungkam mulutnya saat itu juga. Seorang wanita paruh baya masuk ke dalam dengan senyuman manis, namun tak ada tanggapan dari mereka yang berada di dalam sana. Mereka nampak diam tak merespon apapun, termasuk Dera sang tuan rumah itu sendiri. "Dera akhirnya kamu sebentar lagi bakalan sah jadi istri orang, selamat ya nak. Nanti Mamah ya yang antar kamu ke bawah untuk ngikutin akad yang akan dilontarkan calon suami kamu." Dera tak bergeming, lagi-lagi ia tidak tau harus berekspresi dan berujar seperti apa. Semuanya semu, Dera tidak merasakan apa-apa sekarang. Lantas kenapa Mamahnya bahagia sekali di atas dirinya? Benar, semua ini karena kehendak mereka. "Dera, kamu juga cantik sekali nak. Mamah jadi pangling banget sama kamu, soalnya kamu nggak pernah dandan. Mamah yakin, calon suami kamu nanti bakalan terpesona dengan kamu. Ayo ke bawah sekarang, Mamah yang akan tuntun kamu." Dera menggeleng. Berkali-kali ia dikecewakan oleh orang yang berada dihadapannya, dan Dera tidak akan pernah melupakan kejadian itu semua sekecil apapun. Mengapa wanita itu bertindak seolah tidak memiliki rasa bersalah kepada dirinya? Dera tercengang akan hal itu semua. "Dera udah ada mereka yang siap megantarkan Dera kemanapun, jadi Mamah nggak perlu basa-basi lagi dan penuh pencitraan seperti ini lagi sama Dera. Mohon maaf, Mamah boleh pergi dari sini sekarang." jawab Dera. "Apa maksud kamu nak, Mamah tidak seperti yang kamu bayangkan." "Realitanya memang seperti itu. Mamah terlalu lemah, terlalu naif, terlalu munafik, bahkan untuk menolak permintaan Ayah yang nggak masuk akal pun Mamah nggak berani. Tau nggak, secara nggak sadar Mamah nyakitin salah satu anak yang dilihirin oleh Mamah sendiri. Sebenarnya, Dera anak Mamah atau bukan?" Semua sahabat yang ada di sana menatap Dera iba. Mereka tidak pernah melihat perseteruan Dera dan orang tuanya secara langsung, mereka hanya mendengar cerita Dera yang terkadang hanya menceritakan setengah dari inti cerita saja. "Nak, maafin Mamah..." Dera terkekeh. Baginya orang tuanya sudah mati, mereka tidak pernah menganggapnya ada. Alasan Dera bertahan saat ini, karena masih ada yang mau menerima dan menemaninya disaat senang maupun susah. Itu semua cukup untuk membuat Dera bertahan hidup. "Andai Dera bisa milih, andai Dera bisa memutar waktu, andai Dera tau alur hidup Dera bakalan sekacau ini, Dera nggak akan mau dilahirin dari rahim Mamah. Tapi terimakasih udah ngelahirin Dera ke dunia, dan terimakasih telah menorehkan banyak luka untuk Dera." Mamahnya terdiam selanjutnya. Ia tidak bisa menyangkal atau menolak, semua yang dibeberkan adalah fakta. Dan semua ketidak berdayaannya lah yang membuat Dera besar dengan diselimuti kebencian terhadap kedua orang tuanya sendiri. "Mamah nggak perlu ngapa-ngapain di sini. Semuanya udah diambil alih oleh sahabat-sahabat Dera yang bakalan nganterin Dera ke bawah sebentar lagi. Mamah bisa kembali ke bawah dan bergabung dengan anak dan suami tercinta Mamah, Dera nggak apa-apa sendiri." Kalimat yang terlontarkan dari mulut Dera mengandung makna tersirat. Ia tidak mau menghancurkan hari sakralnya, Dera juga tidak ingin membuang-buang tenaga. Citranya juga harus baik hari ini, keluarga mempelai pria bukan sembarangan orang yang bisa Dera sepelekan begitu saja. "Dera mohon untuk sekali lagi, Dera bisa sendiri nanti. Ada mereka yang bakalan nganterin Dera ke bawah dan bertemu dengan suami masa depan Dera. Maaf dan terimakasih." *****Pernikahan hendak dilakukan secara kekeluargaan namun bisa dikatakan mewah untuk seukuran Dera. Tamu undangan bisa dihitung dengan jari karena hanya menyediakan beberapa kursi, dan semuanya hanya diisi oleh keluarga mereka saja. Meskipun pengumuman pernikahan telah dikonsumsi publik, namun tidak ada media yang meliput seperti yang Dera bayangkan sebelumnya. Mungkin karena posisi mempelai pria yang belum lama mengalami kecelakaan dan mengalami kelumpuhan, ditambah lagi dengan terjadinya pengantin pengganti yaitu dirinya sendiri. "Sebenarnya saya kecewa ketika kalian memilih untuk mengganti putri yang akan dinikahi putra saya. Namun di balik itu saya bersyukur, sifat-sifat buruk dari putri anda terbongkar sebelum melangkah lebih jauh. Entah dengan sifat putri anda yang satu ini." Dera yang baru saja menginjakkan kakinya di tangga terakhir, dibuat mematung di tempat diselingi rasa takut. Ia kenal pria paruh baya itu, ia sering melihatnya ditelevisi karena kesuksesan bisnis dari berb
"Saya terima nikah dan kawinnya Dera Aurora Bethany binti Bapak Nugraha dengan mas kawin tersebut dibayar tunai." Dera tergugu di tempat, dan sempat membekukan pikirannya untuk sementara waktu. Mahar yang diucapkan oleh pewaris tunggal kaya raya di sampingnya tadi pagitidak main-main, setidaknya cukup menghidupinya untuk lima tahun ke depan. Mobil, cincin berlian, uang 1 miliyar, bahkan Dera tidak perlu takut lagi jika ia mendapatkan talak tiga dalam waktu kurun dekat ini. Mahar itu untuknya kan? Atau ada pembagian harta setelah ini? Apakah orang tuanya memiliki hak atas mahar-mahar yang diberikan kepadanya itu? Ia akan menjamin bahwa harta itu untuknya semua, sebut saja Dera serakah. Ia jadi membayangkan hidup hedonisnya selepas ini. "SAH." Dera mengerjapkan matanya. Jadi sekarang ia tidak berstatus lajang lagi, ia resmi menjadi istri orang diusianya yang masih ke dua puluh satu. Hidup hedonnya sepertinya akan dimulai, tetapi ia juga tidak yakin hidupnya akan dipermudah setela
Mansion yang terletak di pusat kota, dengan ornamen bernuansa eropa itu membuat Dera tidak bisa fokus sedari tadi. Ia mengenali bangunan ini, bahkan ia pernah berhenti sejenak dan mengagumi bangunan di depannya sembari berkhayal jauh kapan bisa memilikinya. Namun, bukan itu yang Dera pikirkan saat ini. Ia melirik ke arah Dafi yang sedang dibantu keluar dari mobil, lalu mengetuk-ngetuk dagunya sambil berpikir untuk beberapa saat. Ia mengumpulkan memori-memori otaknya dengan keras, sepertinya pertemuan pertama dengan Dafi bukan di restoran itu tetapi di tempat lain. "Ada yang nggak beres, tapi gue juga mager buat cari tau. Fakta pasti akan terkuak nggak akan lama lagi. Gue jamin!" Dera tersenyum polos, ketika pintu mobilnya dibuka perlahan oleh anak buah suaminya. Disitulah ia melihat sosok Dafi yang lagi-lagi sudah di dorong jauh meninggalkan dirinya. Mau menggurutu pun, Dera paham dengan situasinya sendiri. Dera kan hanya seorang pengantin pengganti saja, meskipun ciuman pertaman
"Saya tidak akan mengizinkan kamu pisah kamar dengan saya, terlebih dengan alasan klasik seperti itu. Apa kamu pikir sebelum menikahi kamu, saya tidak tau kelakuan kamu di luar sana?" final Dafi, suami Dera yang kini duduk santai dengan Dera yang terlihat agak linglung. Sembari menikmati secangkir teh hangat dan kudapannya, Dera akhirnya tak henti-hentinya menganggukkan kepalanya sebagai tanda mengerti. Ia tidak ingin berdebat dan berbicara lebih panjang lagi, karena sudah pasti Dera akan kalah telak. Bahkan Dera sekarang sudah tak terlalu mendengarkan, tapi pada intinya semua aktivitas yang akan dilakukan oleh Dera harus atas izin Dafi. Menyeruput teh yang mungkin sudah mulai dingin, Dera menatap lamat Dafi yang terus berbicara tanpa menunjukkan ekspresinya sama sekali. Benar-benar pria yang kaku, tapi untung saja wajahnya tidak membosankan. Jadi biarkan Dera mengagumi ciptaan Tuhan yang nampak sempurna itu. "Kamu tidak mendengarkan perkataan saya?" Dafi akhirnya menyadari, istr
Dera tertidur sangat pulas, seolah tidak memiliki beban apapun di pundaknya. Berapa jam ia tidur, intinya Dera merasa sangat segar sekarang. Seminggu yang lalu Dera mungkin kekurangan tidur, tetapi itu semua sudah terbayarkan sekarang. Kasurnya sangat nyaman, Dera menyukainya. Apalagi dengan kerapian kamar ini yang membuat Dera mendadak tersenyum penuh arti. Benar-benar pria idaman, Dera mungkin wanita yang beruntung karena bisa bertemu dengan Dafi yang memiliki banyak kelebihan di dalam hidupnya. "Udah anak tunggal kaya raya, perfeksionis, ganteng, pekerja keras. Eh, tapi perasaan terakhir kali gue lagi baca buku di sofa kan? Siapa yang gotong gue kesini?" Dera mengernyit bingung. Jadi siapa yang memindahkan dirinya ke kasur? Dafi ? Itu sangat tidak mungkin kan? Jadi siapa? Dera menggigit bawah bibirnya. Mengingat Dafi belum terlihat dalam pandangannya, sepertinya ia berada di dalam masalah sekarang. Ia bergegas turun dari kasur, kemudian pergi keluar berencana mencari Dafi sa
"Dia pergi tanpa melaksanakan sarapan, dia menolak memakai mobil dan memilih kabur menggunakan motor, dia sama sekali tidak membawa ponsel dan laptopnya. Pertanyaan saya, ada yang berhasil mengikutinya? Apakah dia baik-baik saja?" Dafi Ezekiel Addison, latar belakangnya sangat berpengaruh di kalangan bisnis. Pewaris tunggal perusahaan raksasa itu, benar-benar harus dihadapkan dengan banyak musuh yang setiap waktu mengancam nyawanya. Sosok yang dikatakan menyeramkan bagi mereka yang bekerja di bawah kendalinya. Dafi berada di kursi kebesarannya, dengan tumpukan-tumpukan dokumen yang semakin meninggi di setiap harinya. Raut tanpa ekspresinya, tidak ada satupun yang berani mendekatinya. Bahkan siapapun yang menargetkan Dafi sebagai lawan, Dafi tidak akan pernah melepaskannya hidup-hidup. Keluarga Dafi terlalu tinggi dan berkuasa dari yang lain. "Tidak ada yang berhasil mengikutinya Tuan. Nyonya mengendarai motor dengan kecepatan penuh, sedangkan mereka belum menyalakan mesin mobilny
Tubuh Dera lemas lunglai. Lambungnya sudah terasa tidak karuan, nafsu makannya sudah hilang ditelan bumi, ia tidak ingin melakukan apa pun selain memejamkan mata saja. Keluar dari bimbingan tadi, Dera tidak mengikuti kelas sama sekali. Ia memilih untuk pergi ke unit kesehatan kampus, meminta obat, lalu tiduran dan malas-malasan setelah itu. Sebelum ke tempat kesehatan ini, ia sempat mengembalikan laptop yang sempat ia pinjam dari teman kelasnya terlebih dahulu. Tentu diselingi dengan meminta temannya itu, untuk menginformasikan keadaannya kepada para sohibnya. "Der, lo baru sehari nikah loh ini. Tapi keadaan lo udah memprihatinkan gini aja kayak tengkorak hidup. Kita udah bilang kan sebelumnya kalau kita bisa bantuin lo lepas dari jeratan mereka, lo nggak perlu menanggung beban mereka sampai kayak gini!" jelas Zidan panjang lebar, tentu dengan sedikit emosi yang tertahankan. Bagi Zidan, Dera sudah seperti sahabat sehidup semati. Dalam keadaan apapun mereka selalu bersama, sali
Pagi telah berganti menjadi malam. Dafi sengaja menyisikan pekerjaan agar ia bisa pulang cepat, dan menjemput istrinya yang katanya akan berada di kampus sampai malam. Sayangnya ketika Dafi sudah sampai di kampus, istrinya itu tidak terlihat sama sekali. Bahkan ia sudah meluangkan waktu satu jam lebih cepat untuk menunggunya, namun tak ada tanda-tanda istrinya akan muncul. "Apa dia sudah pulang lebih dulu? Tapi kenapa tidak ada yang memberi tahuku?" tanya Dafi pada dirinya sendiri. Dafi memutuskan untuk pulang saja, barangkali istrinya memang sudah berada di rumah lebih cepat. Tidak sampai tiga puluh menit, Dafi sudah sampai di tempat tinggal mewahnya yang memang tidak jauh dari pusat kota. Turun dengan dibantu para bodyguard, dramanya masih berlaku sampai sekarang dan entah sampai kapan ia akan berhenti dari drama yang dibuatnya. "Nyonya kalian sudah pulang?" tanya Dafi datar dan tanpa basa-basi. Para pekerja yang memang ditugaskan untuk menjadi penjaga rumahnya itu langsu