"Pernikahan kamu akan dipercepat satu minggu lagi. Jadi selama menunggu hari itu tiba, kamu harus kembali ke rumah saya lagi. Ini saya lakukan agar tidak ada kecurigaan dari pihak mempelai pria."
Dera hampir saja membenturkan kepalanya ketembok, ketika sang Ayah mengetahui tempat dirinya tinggal berada saat ini. Ia baru saja pulang kuliah, otaknya dihajar habis-habisan kerena bimbingan skripsi dengan Dosen tadi. Lalu apa setelah ini? Menikah? Dalam waktu dekat? Oh tidak, ia belum menyiapkan mentalnya! Dera juga tidak pernah berpikiran untuk menikah secepat ini! Tolong, katakan pada Dera bahwa ia hanya sedang bermimpi sekarang! "Saya sudah menuruti permintaan kamu mengenai saham tiga puluh lima persen, bahkan karena kamu saya jadi dimusuhi oleh Dela karena katanya terlalu memanjakan kamu. Mungkin jika bukan karena nama baik keluarga, saya segan memberikan saham saya ke kamu." Dera berdecih sinis, "Kalau tidak ikhlas, Dera bisa kembalikan itu semua. Dengan catatan, Dera bebas ngelakuin apa yang Dera mau, termasuk bebas dari pernikahan ini." "Sudahlah, cepat kemasi barang-barangmu. Saya tidak ingin berlama-lama di tempat kumuh ini. Saya masih ada pekerjaan lain." Dera mengepalkan tangannya, kesal tentu saja yang ia rasa. Laki-laki paruh baya di depannya ini tidak seperti seorang Ayahnya, atau memang dia bukan Ayahnya? Dera rasa ia adalah anak yang tertukar. Jika tau ini tempat kumuh, kenapa Ayahnya harus membelakan diri ke tempat ini. Dera tentu saja sakit hati, itu semua juga karena ketidak becusannya menjadi seorang Ayah baginya. "Ini juga bagian dari rencana kalian kan? Kalian nggak pernah peduliin Dera apapun kondisinya saat itu, kalian terlalu mementingkan Dela di atas penderitaan yang Dera rasa. Kenapa kita harus dibedakan? Jangan-jangan anda bukan Ayah Dera." tutur Dera tak terduga selanjutnya. "Jangan mengada-ada. Cepat kemasi barang-barangmu, saya tidak punya cukup waktu untuk meladeni ocehan tak jelas kamu." "Nggak jelas Ayah bilang! Kalian nggak pernah ngasih kehidupan yang layak buat Dera, berupa materi saja kalian enggan jika itu buat Dera. Lantas semuanya masih nggak jelas Ayah bilang! Ayah tau, Dera bisa hidup selama ini karena orang tua Arkan, bukan kalian!" Tentu saja Dera tersulut emosi. Apalagi beban pikirannya sedang menjadi-jadi, jelas saja amarahnya dicampur adukkan saat ini juga. "Kamu mau mempermalukan saya di sini! Cepat pulang, kita bicarakan baik-baik di rumah!" sungut Ayahnya pada akhirnya. "Kenapa Ayah harus malu? Perbuatan buruk Ayah pada salah satu anaknya harus segera ditampilkan di media. Dera senang jika di sini ada kamera." "Dera, kamu makin hari makin lancang dengan saya! Apakah ini karena pergaulan bebas kamu?!" Pergaulan bebas Ayahnya bilang? Dera bahkan tidak pernah berpacaran sedikitpun selama dua puluh satu tahun hidupnya, pertemanannya juga itu-itu saja tak ada yang berubah semenjak ia kecil. Lalu pergaulan bebas yang dimaksud Ayahnya itu seperti apa? Bahkan sekalut apapun hidupnya, ia tidak pernah menyentuh rokok ataupun minuman keras sedikitpun, meskipun ada sebersit keinginan untuk mencobanya. Dera takut, ia akan menjadi liar dan kecanduan. "Pergaulan bebas seperti apa yang Ayah maksud? Apa contohnya seperti Dela yang bolak-balik masuk klub dengan pria yang berbeda-beda. Itu maksudnya kah?" Ayahnya mendadak mengepalkan tangannya dengan sangat erat. Siapapun yang menjelek-jelekan putri kesayangannya, tentu saja ia akan meledakkan amarahnya. "Jaga ucapan kamu, atau kamu mau saya bunuh sekarang juga!" Dera bersedekap dada, "Tapi itu fakta kan? Ya udah lah Ayah pulang aja, Dera bisa pulang sendiri tanpa disuruh. Dera masih pengin istirahat, capek, otak Dera rasanya pengin meledak, jangan menambah-nambahi beban Dera." BraKKKKKKK... Pintu ia tutup dengan bantingan sangat keras. Bodoamat jika ia dikatai anak durhaka, atau anak tidak tahu diri. Lagian dibandingkan dia, mereka lebih durhaka kepadanya bukan? Dera tidak tau apa salahnya kenapa ia harus tidak dipedulikan, disingkirkan, bahkan tidak pernah dianggap ada oleh mereka. Sedari kecil, itu yang Dera pikirkan tanpa tau masalah apa yang sudah ia buat? Intinya mereka berubah drastis ketika ia mulai menginjakkan kakinya dibangku sekolah. "DERA, JANGAN KURANG AJAR! KELUAR SEKARANG!" Apakah Dera peduli? Tidak! Dera bahkan tak segan-segan menyumpal kedua telinganya dengan earphone bervolume tinggi. Dia tidak tau harus bagaimana, harus melakukan apa sekarang, perasaan kalutnya bercampur aduk menjadi satu. Mungkin teriakan Ayahnya mengundang keheranan tetangga-tetangga kosnya, bahkan mungkin sebentar lagi akan gempar dan menggosipinya. Namun sekarang, Dera tidak cukup tenaga. Ia hanya ingin tidur saja karena lelah. "Arghhhhhh! Apa-apaan! Nikah! Bahkan gue nggak pernah kepikiran bakalan punya suami! Gue pengin hidup, tapi dengan alur yang gue buat sendiri. Bukan karena paksaan siapapun!" Mau dibawa tidur rasa lelahnya itu pun, rasanya sudah tidak ada seleranya lagi. Ketika beban skripsi dicampur dengan beban hidup lalu ditaburi dengan beban nikah, rasanya otak Dera sudah berhenti untuk berpikir jernih. Apakah ia harus bunuh diri dan mati cepat saja sekarang? "Gue aja nggak tau masa depan gue bakalan segelap apa! Gue nggak bisa cinta sama diri sendiri! Gue nggak tau hidup gue bakalan berakhir seperti apa! Terus kenapa mereka ngenambah-nambahin beban hidup gue aja sih!" Dera teriak-teriak tidak jelas, menyalurkan rasa emosi yang selama ini ia pendam erat. Air matanya pun akhirnya luruh membanjiri pipinya, tidak ada lagi Dera yang sekuat baja. SEMUANYA HANYALAH TOPENG BELAKA! "Orang-orang kenapa sih semena-mena banget sama gue! Gue salah apa sebenarnya! Kalau emang gue nggak dianggap ada, kenapa gue harus lahir!" Karena Dera selalu dianggap tak kasat mata, akhirnya Dera mencari kebebasannya sendiri. Ia memilih hidup liar, melakukan sesuatu sesuai kehendaknya, hidup dengan semaunya sendiri. Dera memang menikmati, namun hatinya tidak. Meskipun di lubuk hati yang paling terdalam ia merasa kesepian, Dera bisa menyalurkan rasa hampa itu dengan mengisi harinya dengan hobi-hobi ekstrim. Intinya sekali gagal, taruhannya adalah nyawa. Dan itu semua ia lakukan karena sebenarnya Dera ingin mati, tapi tidak dengan cara bunuh diri! "Anjing! Bangsat! Gue capek!" Setelah itu Dera terdiam cukup lama, tatapan matanya berakhir kosong. Seolah tidak terjadi apa-apa, ia memilih untuk mandi untuk menyegarkan tubuhnya. Perubahan suasana hatinya bisa dikatakan cukup ekstrim, jika tadi ia teriak-teriak tidak jelas maka sekarang hanya ada Dera yang bersikap biasa-biasa aja seperti tidak pernah terjadi sesuatu. Hampir sejam ia di kamar mandi, dan hanya ada guyuran air saja yang sayup-sayup terdengar. Namun tak lama kemudian Dera keluar, dengan badan yang lebih segar tentunya. Dengan langkah santai, ia mulai mencari baju apa yang hendak dipakainya. "Seminggu lagi gue nikah? Hahaha, kenapa tuh anak Sultan mau-mau aja sih nikah sama gue yang katanya upik abu. Tingkah gue aja begajulan nggak jelas kayak gini." Dera mengambil laptopnya, dan menghidupkannya. Sesegara mungkin ia harus menyelesaikan skripsinya dan diwisuda. Antisipasi jadi janda muda, Dera harus sudah sarjana ketika hari itu terjadi. Saham yang ia pegang, mungkin sebentar lagi akan ia perjual belikan saja. Ia bisa mencari saham lain untuk menjadi pengganti saham yang ia punya, yang jelas lebih menjamin kehidupan masa depannya nanti. Dera akan mulai menyusu rencana dari sekarang. "Gue bakalan belajar gimana jadi istri yang baik, tetapi tetap harus sadar diri juga posisinya. Gue ngerasa nggak pantes buat jadi istri dia, jadi rencana ke depannya gue bakalan tetep ngandalin diri gue sendiri tanpa campur tangan dia." Dera tau, menikahi dirinya pasti karena dasar terpaksa. Apalagi kondisinya yang bisa dikatakan lumpuh, namun mungkin bisa sembuh jika dilakukan terapi setiap hari. Namun Dera sudah kepalang takut, ketika orang yang akan menjadi calon suaminya kelak itu bisa berjalan normal lagi, dan menghempas Dera jauh-jauh dari kehidupannya. Dera cukup tau diri jika kriteria dan standar yang ia miliki mungkin sangat jauh dari perkiraan pria itu. "Nggak apa-apa jadi janda muda. Asal gue punya pekerjaan tetap dan penghasilan bagus aja. Itu yang bakalan jadi misi gue ke depannya!" Dera menyemangati dirinya sendiri. Semoga saja Tuhan masih memiliki bekas kasih untuk secuil kebahagiaan dalam dirinya. Dera masih yakin, takdirnya tidak mungkin seburuk itu. *****Siang berganti malam, hari berganti hari, waktu tak terasa berjalan sangat cepat bagi seorang Dera. Satu minggu telah berlalu, dan ini adalah hari penting bagi Dera. Namun sebenarnya tidak pernah ada sedikitpun di dalam rencananya. Hari pernikahan yang tak pernah Dera bayangkan sejauh ini. Rasanya begitu mustahil, namun ia sedang menapaki realitanya sekarang. Antara sedih, bahagia, dan bingung, bahkan dimata Dera tidak ada sedikitpun ekspresi yang kentara. "Der, gue nggak pernah nyangka kalau lo bakalan nikah secepat ini. Mau bahagia karena salah satu sahabat gue mau nikahpun kayaknya nggak bakalan bisa, mata lo udah menjelaskan semuanya." Zea mengutarakan pendapatnya. Para sohib Dera memang sedang berkumpul menjadi satu di kamar Dera. Tanpa terkecuali, semuanya datang meskipun mereka sebenarnya sibuk dan memiliki urusan masing-masing. Namun demi Dera, mereka mengesampingkan semuanya dan mengosongkan jadwal. Termasuk jadwal kuliah mereka sendiri. Mereka memakai pakaian formal,
Pernikahan hendak dilakukan secara kekeluargaan namun bisa dikatakan mewah untuk seukuran Dera. Tamu undangan bisa dihitung dengan jari karena hanya menyediakan beberapa kursi, dan semuanya hanya diisi oleh keluarga mereka saja. Meskipun pengumuman pernikahan telah dikonsumsi publik, namun tidak ada media yang meliput seperti yang Dera bayangkan sebelumnya. Mungkin karena posisi mempelai pria yang belum lama mengalami kecelakaan dan mengalami kelumpuhan, ditambah lagi dengan terjadinya pengantin pengganti yaitu dirinya sendiri. "Sebenarnya saya kecewa ketika kalian memilih untuk mengganti putri yang akan dinikahi putra saya. Namun di balik itu saya bersyukur, sifat-sifat buruk dari putri anda terbongkar sebelum melangkah lebih jauh. Entah dengan sifat putri anda yang satu ini." Dera yang baru saja menginjakkan kakinya di tangga terakhir, dibuat mematung di tempat diselingi rasa takut. Ia kenal pria paruh baya itu, ia sering melihatnya ditelevisi karena kesuksesan bisnis dari berb
"Saya terima nikah dan kawinnya Dera Aurora Bethany binti Bapak Nugraha dengan mas kawin tersebut dibayar tunai." Dera tergugu di tempat, dan sempat membekukan pikirannya untuk sementara waktu. Mahar yang diucapkan oleh pewaris tunggal kaya raya di sampingnya tadi pagitidak main-main, setidaknya cukup menghidupinya untuk lima tahun ke depan. Mobil, cincin berlian, uang 1 miliyar, bahkan Dera tidak perlu takut lagi jika ia mendapatkan talak tiga dalam waktu kurun dekat ini. Mahar itu untuknya kan? Atau ada pembagian harta setelah ini? Apakah orang tuanya memiliki hak atas mahar-mahar yang diberikan kepadanya itu? Ia akan menjamin bahwa harta itu untuknya semua, sebut saja Dera serakah. Ia jadi membayangkan hidup hedonisnya selepas ini. "SAH." Dera mengerjapkan matanya. Jadi sekarang ia tidak berstatus lajang lagi, ia resmi menjadi istri orang diusianya yang masih ke dua puluh satu. Hidup hedonnya sepertinya akan dimulai, tetapi ia juga tidak yakin hidupnya akan dipermudah setela
Mansion yang terletak di pusat kota, dengan ornamen bernuansa eropa itu membuat Dera tidak bisa fokus sedari tadi. Ia mengenali bangunan ini, bahkan ia pernah berhenti sejenak dan mengagumi bangunan di depannya sembari berkhayal jauh kapan bisa memilikinya. Namun, bukan itu yang Dera pikirkan saat ini. Ia melirik ke arah Dafi yang sedang dibantu keluar dari mobil, lalu mengetuk-ngetuk dagunya sambil berpikir untuk beberapa saat. Ia mengumpulkan memori-memori otaknya dengan keras, sepertinya pertemuan pertama dengan Dafi bukan di restoran itu tetapi di tempat lain. "Ada yang nggak beres, tapi gue juga mager buat cari tau. Fakta pasti akan terkuak nggak akan lama lagi. Gue jamin!" Dera tersenyum polos, ketika pintu mobilnya dibuka perlahan oleh anak buah suaminya. Disitulah ia melihat sosok Dafi yang lagi-lagi sudah di dorong jauh meninggalkan dirinya. Mau menggurutu pun, Dera paham dengan situasinya sendiri. Dera kan hanya seorang pengantin pengganti saja, meskipun ciuman pertaman
"Saya tidak akan mengizinkan kamu pisah kamar dengan saya, terlebih dengan alasan klasik seperti itu. Apa kamu pikir sebelum menikahi kamu, saya tidak tau kelakuan kamu di luar sana?" final Dafi, suami Dera yang kini duduk santai dengan Dera yang terlihat agak linglung. Sembari menikmati secangkir teh hangat dan kudapannya, Dera akhirnya tak henti-hentinya menganggukkan kepalanya sebagai tanda mengerti. Ia tidak ingin berdebat dan berbicara lebih panjang lagi, karena sudah pasti Dera akan kalah telak. Bahkan Dera sekarang sudah tak terlalu mendengarkan, tapi pada intinya semua aktivitas yang akan dilakukan oleh Dera harus atas izin Dafi. Menyeruput teh yang mungkin sudah mulai dingin, Dera menatap lamat Dafi yang terus berbicara tanpa menunjukkan ekspresinya sama sekali. Benar-benar pria yang kaku, tapi untung saja wajahnya tidak membosankan. Jadi biarkan Dera mengagumi ciptaan Tuhan yang nampak sempurna itu. "Kamu tidak mendengarkan perkataan saya?" Dafi akhirnya menyadari, istr
Dera tertidur sangat pulas, seolah tidak memiliki beban apapun di pundaknya. Berapa jam ia tidur, intinya Dera merasa sangat segar sekarang. Seminggu yang lalu Dera mungkin kekurangan tidur, tetapi itu semua sudah terbayarkan sekarang. Kasurnya sangat nyaman, Dera menyukainya. Apalagi dengan kerapian kamar ini yang membuat Dera mendadak tersenyum penuh arti. Benar-benar pria idaman, Dera mungkin wanita yang beruntung karena bisa bertemu dengan Dafi yang memiliki banyak kelebihan di dalam hidupnya. "Udah anak tunggal kaya raya, perfeksionis, ganteng, pekerja keras. Eh, tapi perasaan terakhir kali gue lagi baca buku di sofa kan? Siapa yang gotong gue kesini?" Dera mengernyit bingung. Jadi siapa yang memindahkan dirinya ke kasur? Dafi ? Itu sangat tidak mungkin kan? Jadi siapa? Dera menggigit bawah bibirnya. Mengingat Dafi belum terlihat dalam pandangannya, sepertinya ia berada di dalam masalah sekarang. Ia bergegas turun dari kasur, kemudian pergi keluar berencana mencari Dafi sa
"Dia pergi tanpa melaksanakan sarapan, dia menolak memakai mobil dan memilih kabur menggunakan motor, dia sama sekali tidak membawa ponsel dan laptopnya. Pertanyaan saya, ada yang berhasil mengikutinya? Apakah dia baik-baik saja?" Dafi Ezekiel Addison, latar belakangnya sangat berpengaruh di kalangan bisnis. Pewaris tunggal perusahaan raksasa itu, benar-benar harus dihadapkan dengan banyak musuh yang setiap waktu mengancam nyawanya. Sosok yang dikatakan menyeramkan bagi mereka yang bekerja di bawah kendalinya. Dafi berada di kursi kebesarannya, dengan tumpukan-tumpukan dokumen yang semakin meninggi di setiap harinya. Raut tanpa ekspresinya, tidak ada satupun yang berani mendekatinya. Bahkan siapapun yang menargetkan Dafi sebagai lawan, Dafi tidak akan pernah melepaskannya hidup-hidup. Keluarga Dafi terlalu tinggi dan berkuasa dari yang lain. "Tidak ada yang berhasil mengikutinya Tuan. Nyonya mengendarai motor dengan kecepatan penuh, sedangkan mereka belum menyalakan mesin mobilny
Tubuh Dera lemas lunglai. Lambungnya sudah terasa tidak karuan, nafsu makannya sudah hilang ditelan bumi, ia tidak ingin melakukan apa pun selain memejamkan mata saja. Keluar dari bimbingan tadi, Dera tidak mengikuti kelas sama sekali. Ia memilih untuk pergi ke unit kesehatan kampus, meminta obat, lalu tiduran dan malas-malasan setelah itu. Sebelum ke tempat kesehatan ini, ia sempat mengembalikan laptop yang sempat ia pinjam dari teman kelasnya terlebih dahulu. Tentu diselingi dengan meminta temannya itu, untuk menginformasikan keadaannya kepada para sohibnya. "Der, lo baru sehari nikah loh ini. Tapi keadaan lo udah memprihatinkan gini aja kayak tengkorak hidup. Kita udah bilang kan sebelumnya kalau kita bisa bantuin lo lepas dari jeratan mereka, lo nggak perlu menanggung beban mereka sampai kayak gini!" jelas Zidan panjang lebar, tentu dengan sedikit emosi yang tertahankan. Bagi Zidan, Dera sudah seperti sahabat sehidup semati. Dalam keadaan apapun mereka selalu bersama, sali