Pagi telah berganti menjadi malam. Dafi sengaja menyisikan pekerjaan agar ia bisa pulang cepat, dan menjemput istrinya yang katanya akan berada di kampus sampai malam. Sayangnya ketika Dafi sudah sampai di kampus, istrinya itu tidak terlihat sama sekali. Bahkan ia sudah meluangkan waktu satu jam lebih cepat untuk menunggunya, namun tak ada tanda-tanda istrinya akan muncul. "Apa dia sudah pulang lebih dulu? Tapi kenapa tidak ada yang memberi tahuku?" tanya Dafi pada dirinya sendiri. Dafi memutuskan untuk pulang saja, barangkali istrinya memang sudah berada di rumah lebih cepat. Tidak sampai tiga puluh menit, Dafi sudah sampai di tempat tinggal mewahnya yang memang tidak jauh dari pusat kota. Turun dengan dibantu para bodyguard, dramanya masih berlaku sampai sekarang dan entah sampai kapan ia akan berhenti dari drama yang dibuatnya. "Nyonya kalian sudah pulang?" tanya Dafi datar dan tanpa basa-basi. Para pekerja yang memang ditugaskan untuk menjadi penjaga rumahnya itu langsu
"Ternyata lelet juga ya Der suami lo. Lo yakin masih mau ngelanjutin pernikahan tanpa cinta ini? Lo itu goblok apa gimana sih Der, kalian nggak saling kenal juga kan?" Dera yang baru sadar dari pingsannya, hanya bisa memutar bola matanya karena malas meladeninya lagi. Ini sudah kali kesepuluh Zidan mengatakan hal yang serupa, Dera bahkan sudah hafal dengan kata-kata yang dikeluarkan olehnya. Meskipun agak lemas, Dera merasa lebih baik dari sebelumnya. Mungkin lebih baik lagi jika mereka pulang saja, muak sekali Dera melihat mereka yang terus merocos tidak jelas. Kecuali sepupu tercintanya yang tetap adem ayem dengan kegiatannya tentunya. "Bacot! Lo kalau suka sama gue ngomong dong dari dulu, nggak kayak gini juga caranya Dan. Gue udah jadi istri orang, kenapa lo baru ngejar-ngejar gue sekarang?" jawab Dera yang akhirnya melayani pertanyaan Zidan dengan sarkasme. "Gue suka sama lo? Najis! Kayak nggak ada cewek lain aja! Gue nyarinya yang seksoy, bohay, cetar membahana. Bukan kay
Mungkin sudah dua hari berturut-turut. Hari ketiganya, Dera sudah tidak mau dirawat di rumah sakit lagi lantaran ia sudah dilanda rasa bosan. Lagi pula badannya sudah bugar, nafsu makannya sudah datang kembali, ia merasa sudah benar-benar sehat. Mungkin hanya kelakuan Dafi saja yang ingin menghambur-hamburkan uang. Ia merasa dianggap seperti sedang sakit parah, padahal yang dirasa hanyalah sakit lambung saja. Dera yang sudah benar-benar lelah, akhirnya berani beradu mulut dengan suaminya itu hingga satu jam lamanya. "Kamu yakin mau pulang sekarang? Saya tidak ingin mendengar keluhan-keluhan sakit lagi dari mulut kamu." Dera ingin sekali menggeplak kepala Dafi, jika ia tidak sayang nyawanya sendiri. Yang terjadi sekarang Dera hanya mengangguk saja, sudah lelah akan tindakan Dafi yang terlalu berlebihan jija dirasa olehnya. "Baiklah, jika kamu mau pulang sekarang. Jangan mendiami saya lagi setelah ini, saya nggak suka." Pada hal anya kata iya saja yang Dera ingin dengar, tetapi
Dera bimbang ingin melakukan apa. Dafi memperlakukannya seperti orang berpenyakitan, tidak membiarkan ia keluar dari kamar tanpa seizinnya. Namun ujung-ujungnya ia juga ditinggal sendiri, ada urusan pekerjaan katanya. Terlalu lebay, Dera rasa ia akan mati kebosanan jika yang ia lakukan hanya rebahan saja seperti ini. Presetan dengan reaksi Dafi nantinya, ia tipikal manusia pencinta kebebasan. "Anjirr, gue dikunci dari luar nih. Udah kayak tahanan aja hidup gue sekarang. Oke, nggak bisa dibiarin." Dera tidak habis pikir. Perasaan yang sakit itu lambungnya, tapi kenapa Dafi memperlakukannya seperti seseorang yang terkena penyakit serius saja. Terlebih lagi lambungnya sudah normal dan sehat kembali, jadi apa yang Dafi takuti sebenarnya? Dera berjalan mondar-mandir memikirkan sesuatu yang bisa ia lakukan sekarang. Sebenarnya banyak buku yang bisa ia baca, tapi Dera bukan manusia kutu buku? Baru membaca lima kata saja ia sudah frustasi karena sukar memahami. "Dibandingkan baca buk
Dera bertepuk tangan ketika hasil kreativitasnya seharian ini bersama para koki telah selesai. Sebentar lagi waktu makan malam akan tiba, dan Dafi juga akan pulang ke rumah sebentar lagi. Ia jadi tidak sabar memamerkan hasil yang ia ciptakan ini. Dera tentu saja sangat puas. Merasa badannya lengket karena keringat, mungkin ia mandi terlebih dulu sembari menunggu sang Tuan rumah pulang. Karena Dera tipikal orang yang tidak terlalu menghabiskan banyak waktu di kamar mandi, sepertinya sepuluh menit cukup untuk menyegarkan badannya. "Untuk sementara, gue emang jadi Nyonya di rumah ini. Mungkin nikmati dulu kehidupan glamor yang nggak datang dua kali, sebelum didepak sama Dapi. Sayang sekali, tampilan gue tetep kayak anak itik habis kecebur got. Miris!" Dera menatap dirinya dicermin sambil menggelengkan kepalanya. Begitu sialnya Dafi sang suami, sampai-sampai mendapatkan wanita tidak tau cara berpenampilan seperti Dera. Mau memuji diri sendiri pun, sepertinya tidak ada yang menarik da
Dera bersedekap dada dengan kesal. Jika ada laki-laki paling menyebalkan di dunia ini, maka itu adalah suaminya sendiri. Tampan sih, kaya raya juga jangan ditanyakan lagi. Tapi yang paling menyebalkan di sini, kenapa laki-laki itu tega mengurungnya? "Sebenarnya apa yang dia mau dari gue? Perasaan gue bukan wanita sempurna kayak yang lain. Cantik, mungkin relatif. Tapi perasaan kelakuan gue berbeda dari yang lain. Buktinya aja gue langsung tantrum, pas tau gue dikunciin di dalam kamar." pikir Dera dengan sedikit rasa kekhawatiran yang terpancar dari dalam matanya. Dera akan menunggu Dafi Ezzekiel Edison itu datang ke kamar ini. Dia butuh penjelasan yang lebih spesifik mengapa laki-laki itu terlalu mengekangnya. Apa dia memiliki kesalahan di masa lalu kepada laki-laki itu. Jika iya, Dera akan meminta maaf sebesar-besarnya. Cklek... Pintu kamar yang diwanti-wanti Dera untuk dibuka akhirnya terwujud juga. Dia menantikan momen ini, momen dimana dia akan memaksa Dafi untuk menjela
Dera tersentak kaget, pagi-pagi sekali dia terbangun di dalam pelukan seseorang yang seharusnya ia hindari. Perasaan terakhir kali, dia sedang memeluk guling. Kenapa sekarang dia jadi memeluk Dafi Ezzekiel Edison? Kemana guling yang terakhir kali ia gunakan? Dera dengan hati-hati melepas pelukan mereka. Namun ketika dia hendak bangkit, Dafi benar-benar menarik tubuh Dera kembali dan merapatkan tubuh mereka. Dera jadi sedikit menggeliat meminta untuk dilepaskan, tetapi langsung bungkam ketika Dafi mengeluarkan kata-kata yang tidak disangka. "Diam, atau yang dibawah sana bangun karenamu. Tidur kembali, waktu masih sangat pagi untuk membuka mata." kata Dafi yang membuat Dera membelalakkan matanya. Pagi dari mana coba? Setelah Dera mengecek jam yang dipajang di area kamar tersebut, waktu sudah menjelang pukul sembilan pagi. Jika dia tidak salah ingat, skripsinya sudah terbengkalai cukup lama. Dia ingin segera melakukan bimbingan, dia ingin mendapatkan pekerjaan impiannya dengan ce
Dafi kini berada di kursi kebesarannya dengan senyum yang kadang-kadang timbul. Kantornya yang mewah dan rapi memancarkan kesan profesionalisme, namun pikiran Dafi melayang kembali ke momen-momen bersama Dera tadi pagi. Dia merasakan kepuasan yang mendalam melihat bagaimana hubungan mereka perlahan-lahan membaik meskipun dengan sedikit paksaan. Di depannya, Andrew Matthew sang sahabat sekaligus sekretarisnya itu menatap Dafi dengan raut bingung. Ia sebenarnya sedikit agak ngeri, kejadian seperti ini tidak pernah terjadi selama mereka menjalin persahabatan. Sahabatnya tidak sedang kerasukan kan sekarang? "Hei, bro," panggil Andrew pelan, berusaha mengembalikan perhatian Dafi dari lamunan dan senyum mengembangkan, "Lo nggak sedang kerasukan kan? Gue takut lo ketempelan genderuwo diperjalanan ke kantor tadi." Andrew Matthew menatap Dafi dengan rasa ingin tahu yang semakin besar. Ia sudah mengenal Dafi sejak lama, dan senyum yang kadang-kadang muncul di wajah sahabatnya itu adalah