Dera tersentak kaget, pagi-pagi sekali dia terbangun di dalam pelukan seseorang yang seharusnya ia hindari. Perasaan terakhir kali, dia sedang memeluk guling. Kenapa sekarang dia jadi memeluk Dafi Ezzekiel Edison? Kemana guling yang terakhir kali ia gunakan? Dera dengan hati-hati melepas pelukan mereka. Namun ketika dia hendak bangkit, Dafi benar-benar menarik tubuh Dera kembali dan merapatkan tubuh mereka. Dera jadi sedikit menggeliat meminta untuk dilepaskan, tetapi langsung bungkam ketika Dafi mengeluarkan kata-kata yang tidak disangka. "Diam, atau yang dibawah sana bangun karenamu. Tidur kembali, waktu masih sangat pagi untuk membuka mata." kata Dafi yang membuat Dera membelalakkan matanya. Pagi dari mana coba? Setelah Dera mengecek jam yang dipajang di area kamar tersebut, waktu sudah menjelang pukul sembilan pagi. Jika dia tidak salah ingat, skripsinya sudah terbengkalai cukup lama. Dia ingin segera melakukan bimbingan, dia ingin mendapatkan pekerjaan impiannya dengan ce
Dafi kini berada di kursi kebesarannya dengan senyum yang kadang-kadang timbul. Kantornya yang mewah dan rapi memancarkan kesan profesionalisme, namun pikiran Dafi melayang kembali ke momen-momen bersama Dera tadi pagi. Dia merasakan kepuasan yang mendalam melihat bagaimana hubungan mereka perlahan-lahan membaik meskipun dengan sedikit paksaan. Di depannya, Andrew Matthew sang sahabat sekaligus sekretarisnya itu menatap Dafi dengan raut bingung. Ia sebenarnya sedikit agak ngeri, kejadian seperti ini tidak pernah terjadi selama mereka menjalin persahabatan. Sahabatnya tidak sedang kerasukan kan sekarang? "Hei, bro," panggil Andrew pelan, berusaha mengembalikan perhatian Dafi dari lamunan dan senyum mengembangkan, "Lo nggak sedang kerasukan kan? Gue takut lo ketempelan genderuwo diperjalanan ke kantor tadi." Andrew Matthew menatap Dafi dengan rasa ingin tahu yang semakin besar. Ia sudah mengenal Dafi sejak lama, dan senyum yang kadang-kadang muncul di wajah sahabatnya itu adalah
Dera tidak langsung pulang ke rumah suaminya. Sebaliknya dia memilih untuk pergi ke tempat kontrakannya sebelumnya, ada beberapa barang penting yang seharusnya dia bawa ke tempat tinggal barunya. Beruntung ketika Arkan mengambil barang-barangnya tempo beberapa hari yang lalu, kuncinya tidak dibawa dan diletakkan di tempat persembunyian aman. Jadi dia memilih untuk bersantai sebentar, presetan dengan waktu yang sudah hampir menjelang sore. "Ini baru Dera, kehidupan seperti ini yang sebenarnya gue mau. Aman, tenang, damai, dan yang pasti hidup sendirian." kata Dera sambil tersenyum dan memejamkan matanya.Andai Ayahnya tidak memintanya untuk menikah, andai Ayahnya tidak memintanya untuk menggantikan posisi kembarannya dalam sebuah pernikahan bisnis, mungkin Dera masih bisa hidup dengan tenang sekarang. Minusnya, Dera mungkin akan selalu hidup di bawah garis kemiskinan. "Hidup terlalu sempurna untuk kembaran gue. Sedangkan hidup gue terlalu hancur demi kebahagian kembaran gue." lanjut
Dera itu memang tipikal perempuan yang gampang patuh, namun di sisi lain dia juga tipikal yang pembangkang juga. Setelah masuk ke dalam kontrakan, dia memilih untuk memasang telinganya dalam-dalam. Ingin tahu apa yang dibicarakan oleh Ayahnya dan suaminya secara serius tentu saja! Mendekatkan telinganya ke arah pintu, berharap bisa mendengar dengan jelas percakapan antara ayahnya dan Dafi di luar sana. Ayahnya berbicara dengan nada yang jelas tegang dan marah, sementara Dafi masih dengan suara yang tenang dan datar. "Saya sudah tidak peduli dengan siapa saya berbicara sekarang. Pada intinya, anda harus membantu perusahaan saya! Sesuai perjanjian bisnis dalam pernikahan, sudah seharusnya anda membantu keruntuhan perusahaan saya!" suara Ayah Dera terdengar jelas di telinga Dera saat ini. Dera terkekeh kecil, benar-benar tidak tau malu Ayahnya itu. Padahal Ayahnya sendiri yang melanggar perjanjian dengan menggantikan Dela dengan dirinya didetik-detik terakhir lantaran berita kecelakaa
"Apa itu masih sakit? Sini saya obatin muka kamu." kata Dafi ketika Dera baru saja masuk ke dalam mobil. Kaget, tentu saja Dera merasakan hal itu. Dafi menggeser tubuhnya agar Dera bisa duduk di sampingnya. Sejak tadi dia juga sudah menyiapkan P3K, berharap Dera mau segera diobati lukanya ketika menyusulnta. Namun nyatanya Dafi harus dibuat menunggu, sambil mengamati gerak-gerik yang dilakukan istrinya sejak tadi. Bangga tentu saja, padahal Dafi sudah mencari informasi sedetail yang dia bisa. Yang dilakukan Ayahnya kepada Dera hhanyalah menorehkan ebagian luka besar menganga tak pernah diobati. Namun Dera masih terlihat berbaik hati, menunggu dengan setia hingga Ayahnya masuk ke dalam taksi. "Ini mungkin sedikit perih, tapi kamu harus bertahan ya?" Dafi tiba-tiba berkata lembut, tangannya bergerak pelan membersihkan luka tamparan di wajah Dera dengan hati-hati. Dera meringis sedikit, tapi dia tetap diam tidak berkomentar apapun. Pikirannya masih dipenuhi oleh fakta-fakta yang
"Manusia sultan mah bebas. Gue yakin si Dafi rumahnya nggak cuma ini dan yang sebelumnya doang, pasti masih banyak aset yang gue nggak tau. Mana rumahnya tetep gede semua lagi." kata Dera sambil menggelengkan kepalanya tak habis pikir. "Ehhh tunggu, ini beneran rumah yang waktu itu gue datengin karena habis nolongin orang kan? Jadi apa bener yang gue tolongin waktu itu beneran si Dafi?" Dafi sudah keluar dari dalam mobil lebih dulu, meninggalkan dirinya yang masih berada di dalam mobil karena dia sempat berpura-pura tidur tadi. Luar kota yang dimaksud Dafi ternyata hanya perbatasan kota saja. Dera kira harus membutuhkan banyak waktu untuk perjalanan ke tempat yang Dafi maksud. Dera keluar dari mobil dengan perasaan campur aduk. Dia memandangi rumah besar yang sekarang tampak begitu familiar. Ingatannya mulai berputar kembali ke kejadian beberapa hari yang lalu ketika dia menolong seorang pria yang dikeroyok. "Jadi yang gue tolongin waktu itu beneran Dafi, jangan-jangan bener gue
Pagi-pagi sekali, Dera dikejutkan dengan dering telepon yang mengharuskan dirinya pergi ke kampus. Jadi Dera yang hendak menyiapkan sarapan untuk dia dan Dafi memilih untuk berhenti, skripsi akhirnya lebih penting. Kemarin, baru saja dia mendapatkan ACC untuk bagian pembahasan. Sebentar lagi penderitaannya akan berakhir. Arkan juga sudah menyepam pesan sejak kemarin. Mungkin karena Dera belum sempat membuka ponsel, jadi baru sempat membukanya sekarang. Ada ajakan nongkrong kemarin, tapi tidak jadi karena Dera tidak ikut serta dengan mereka."Harus cepet, bentar lagi wisuda!" seru Dera penuh semangat. Dera segera bergegas, mengambil tasnya dan memasukkan laptop serta berkas-berkas penting yang sudah disiapkan sejak kemarin. Dafi, yang masih setengah terjaga, bangun dan melihat Dera yang tampak sibuk entah karena apa. "Buru-buru, mau kemana?" tanya Dafi dengan raut bingung. "Kampus, maaf ya nggak jadi masak. Bimbingan kali ini lebih awal dari hari-hari sebelumnya, ada urusan mendad
Dera berdiri di depan pintu rumahnya, dagunya terangkat tinggi saat tatapan tajam matanya menelusuri wajah kedua orang tuanya. Tas punggungnya tergantung malas di bahu kanannya, seperti benda berat yang selalu siap ia tinggalkan. Rasa jengah melandanya, udara di sekitar rumah ini terasa begitu berat, lebih berat daripada sebelumnya. "Jadi, kalian mau aku yang gantiin Dela buat nikah sama orang itu? Karena dia kabur, dan aku, 'satu-satunya pilihan yang tersisa,' begitukah?" Suaranya terdengar sinis, tajam seperti pisau yang menguliti setiap kata dengan ketidakpedulian. Ayahnya, pria dengan raut wajah tegas namun kaku, menghela napas panjang sebelum akhirnya membuka mulut. "Dera, ini bukan tentang kamu. Ini tentang keluarga. Jangan bertindak seolah kamu tak mengerti. Lakukan ini demi nama baik kita." Dera tersenyum miring, senyum yang penuh ejekan. "Ah, nama baik? Kalian baru peduli sekarang? Aneh sekali, mengingat selama ini nama Dela yang selalu keluar dari mulut kalian. Namaku saja