Dera merasa hari ini sangat melelahkan. Tenaganya sudah terkuras habis, dan ia tidak ingin melakukan apapun selain hanya rebahan. Sepertinya, bertemu pria bernama Dafi Ezekiel Addison itu bukan perkara yang bagus untuk Dera.
Merayap menuju kamar yang selama ini menemaninya. Rasa lelahnya benar-benar membuatnya lunglai, tidak ada semangat yang berkorbar sedikit pun di dalam dirinya. Hingga ketika ia sampai di tepian kasur dan melempar tubuhnya, entah kenapa rasanya seperti dihantam sesuatu yang sangat Keras. Apakah sudah lama Dera tidak mengganti kasur tidurnya itu? "Sakit banget njirrrr, kayak ditimpuk batu. Kapan terakhir gue ganti kasur? Ehhh, soal kuliah gue, itu dosen pembimbing nyariin gue nggak ya? Gue belum nyicil bahan skripsi soalnya." Disaat seperti ini, Dera masih memikirkan masa depannya. Sebenarnya Dera bisa saja bersikap bodoamat, apalagi ketika ia diharuskan menjadi pengganti dari perjodohan saudaranya yang akhirnya membuat ia benar-benar benci dengan hidupnyaa sendiri. Menerawang jauh, Dera merasa sepertinya dunia ini terlalu mempermainkan hidupnya dengan sangat ganas. Penuh lika-liku, tidak ada jalan keluar, tidak bisa menolak apapun selain kata iya. Dera adalah satu dari sekian orang yang bernasib tidak baik. "Kapan ya gue mati? Dua puluh satu tahun hidup, kayaknya hidup gue datar aja. Monoton, nggak ada kejelasan mau hidup kayak gimana." Bangkit dari rebahannya, ia berniat untuk menghidupkan laptop dan melanjutkan karangan ilmiahnya. Namun naas, laptopnya kehabisan daya. Ia tidak membawa charger kemarin. Ting! Suara notifikasi dari ponselnya mengalihkan perhatiannya untuk yang pertama kalinya. Membukanya setelah mengetikkan kata sandi, lantas tersenyum karena ada yang mengajaknya menonton balap liar. "Gas ayolah, gue tunggu depan kos. Jangan telat ya. Kalau telat, Siap-siap gue gorok leher lo." Dera membalasnya dengan telepon, ia malas untuk mengetik pesan saat ini. Dera yang awalnya kusut seperti baju belum disetrika, mendadak cerah penuh semangat yang sangat membara. Dera memilih untuk mandi dulu, menyegarkan tubuhnya agar ia bisa bergairah menjalani hidupnya kembali, lantas berharap semoga ia mendapatkan hiburan di jalanan malam ini. Masalah menjadi pengantin pengganti, itu bisa dipikirkan nanti saja. Belum tentu manusia sultan itu mau menerimanya menjadi istri seumur hidupnya. Ia sadar, ia jauh dari kata perempuan layak. Kelakuannya tidak jauh dari kata preman bar-bar. "Tumben lo berani ngajakin nonton ginian. Biasanya kicep sama si Arkan." Dera memang sudah rapi, bahkan tidak tanggung-tanggung ia menunggu orang yang mengajaknya pergi di luar kos. "Seorang Zidan Erkano takut sama Arkan, udah nggak zamannya kali. Lagian gue tau lo lagi stress mikirin beban hidup, makanya gue ajakin keluar sekarang. Gue nggak mau ya sohib cewek satu-satunya gue kena gangguan jiwa." "Alahhhh, biasanya aja lo nggak peduli gue stress apa enggak. Lo juga nggak berani ngajakin gue ke tempat beginian, kecuali gue yang maksa sendiri. Emang ada apa nih lo mendadak jadi baik?" "Udah gue bilangin nggak kenapa-napa. Lo jadi ikut nggak nih? Kalau nggak, gue ke sana sendiri aja sekarang." "Enak aja pergi sendiri, gue udah siap-siap dari tadi. Gas ayo!" Di antara sohib yang lain, selain Arkan ada Zidan yang bisa dikatakan paling dekat dengan Dera. Mereka sering mencurahkan hati mereka masing-masing sehingga tidak ada rahasia diantara mereka. Zidan mau mengerti dirinya dan mengganti posisi Arkan, disaat ia membutuhkan bantuan. "Lo tadi ketemuan sama calon suami lo, udah dikasih makan belum? Muka lo kelihatan kusut amat kayak belum dikasih makan tiga hari." Zidan memang yang paling pengertian juga, jika ada sesuatu yang tidak beres. "Boro-boro dikasih makan. Dia aja masih bertanya-tanya kenapa yang dateng ke restoran itu malah si upik abu, bukan si ratu kecantikan." "Spesies kayak lo? Dikatain upik abu?" "Makna tersiratnya mah gitu." "Ya emang pantes sih lo disebut upik abu. Lo itu cakep, cuman tampilan lo aja yang amburadul. Dibandingkan jadi cewek, lo lebih cocok jadi laki. Lo adu tonjok sama preman aja, premannya pada angkat tangan ngadepin lo." Jangan katakan apa yang terjadi setelah ini, jelas saja terjadi kekerasan yang dilakukan oleh oknum bernama Dera itu. Tabokan tangan Dera tidak main-main rasanya, rasanya seperti digigit harimau. Namun yang Zidan lakukan hanyalah tertawa puas, memang membuat Dera kesal adalah salah satu hobi yang sangat menyenangkan baginya. "Gue merasa terhina sama dia, kenapa lo nambah-nambahin juga sih!" sungut Dera sebal. "Ya emang faktanya kayak gitu, emang kudu gimana lagi Der?" "Bodo amat lah, gue sakit hati sumpah!" Sebenarnya Dera itu cantik, hanya saja cara berpenampilan dia yang acak-acakan dan tidak beraturan. Dera tidak pernah peduli rambutnya kusut, tidak pernah merias diri, tidak peduli pakaiannya tidak sesuai dengan aktivitas yang sedang dilakoni, Dera terlalu tampil kalem pada situasi apapun. "Saran gue, mulai sekarang lo kudu ngikutin aktivitas-aktivitas yang dilakuin sohib cewek lo deh. Mereka kan kaum sosialita tuh, mulai belajar hal-hal kecil aja dari mereka." nasihat Zidan. "Gue ngikutin gaya hidup mereka? Muka gue mau ditaruh dimana? Lagian Norak, ribet." jawab Dera cepat. "Lo tuh cewek apa cowok sih Der? Mending lo operasi ganti kelamin aja sekarang." "Sekate-kate lo, nggak baik ngerubah ciptaan Tuhan tau. Orang takdir gue kayak begini, ya gue harus terima lah. Hidup nggak ada yang sempurna Zidan." "Ya sorry, bukan maksud gue kayak gitu kok. Jadi intinya lo mau kayak gimana ke depannya?" "Entahlah, yang jelas gue laper banget sekarang. Cepet berangkat, tenaga gue sisa lima persen ngadepin ocehan lo." Mengerucut sebal, Zidan akhirnya menjalankan motornya dengan cepat. Mungkin mereka akan mampir di angkringan dulu sebelum menonton, mereka tidak pergi ke cafe karena hitung-hitung menghemat uang juga kan? "Lo mau beli apa?" tanya Zidan. "Beli aja semuanya, lo kan orang kaya. Lo yang bayar kan? Gue kere soalnya." Zidan tidak menjawab, tetapi tidak menolak juga. Anggap saja sebagai penghibur diri sahabatnya, Zidan tidak keberatan untuk itu. "By the way nih, kalau lo akhirnya jadi nikah gantiin si mak lampir Dela, gimana nasib skripsi lo?" tanya Zidan lagi. "Bakalan tetep gue lanjutin sih, antisipasi aja. Gue yakin baru nikah satu minggu udah kena talak tiga." "Kampret, lo ngebayanginnya udah jauh banget dari konteks. Tapi nggak apa-apa sih, tinggal cari duda kaya raya kan bisa ya Der? Misalnya nih, Bapak gue contohnya." "Anjing lo, nggak sudi gue jadi mak tiri lo!" "Semisal aja gitu Der." Dera makan dengan lahap, persis seperti orang belum dikasih makan tiga hari. Ia tidak ingin membayangkan kekacauan hidupnya lagi, Dera terlalu takut untuk berharap lebih. Jalanin saja sesuai kemampuannya, ia tidak mau berakhir dengan kata menyerah apapun itu. "Lo semisal kalau mau kabur, kita siap bantu lo kok. Lo nggak perlu ngorbanin diri buat orang-orang yang nggak pernah mengganggap lo ada di dunia ini, lo nggak sendirian Dera." Dera tersenyum, "Lo orang yang kesekian kalinya yang nyaranin gue hal itu. Gue baik-baik aja Dan, lagian gue mau gantiin tuh anak manja juga nggak gratis, ada upah yang harus dibayar. Aggap aja sih setimpal karena mereka ngasingin gue selama ini." "Tapi masa depan lo bakalan hancur, bakalan kehambat. Lo juga harus mikir buat kebahagiaan diri lo." Dera menerawang jauh, "Emang apa yang harus gue bahagiain sih? Gue aja nggak tau gimana caranya cinta sama diri sendiri, tujuan hidup gue juga nggak tau apa." Mereka jadi terdiam untuk waktu yang cukup lama. Benar, Dera menjalani hidupnya tanpa arah yang jelas. Itu semua bisa terlihat, dengan cara bertahan hidup yang Dera lakukan selama ini. Ia selalu melakukan sesuatu tanpa mempertimbangkan nyawanya. "Gue mau ikut balap motor juga, entar daftarin yah kayak biasa. Gue bakalan sangat berterimakasih, kalau lo mau ngabulin permintaan gue yang kali ini." "Nggak! Lo mau gue digorok sama Arkan. Gue bisa ngajak lo ke tempat itu, juga atas izin dia." Dera mengerucutkan bibirnya sebal. Jika seperti ini, untuk apa ia ikut ke arena balap? *****"Pernikahan kamu akan dipercepat satu minggu lagi. Jadi selama menunggu hari itu tiba, kamu harus kembali ke rumah saya lagi. Ini saya lakukan agar tidak ada kecurigaan dari pihak mempelai pria." Dera hampir saja membenturkan kepalanya ketembok, ketika sang Ayah mengetahui tempat dirinya tinggal berada saat ini. Ia baru saja pulang kuliah, otaknya dihajar habis-habisan kerena bimbingan skripsi dengan Dosen tadi. Lalu apa setelah ini? Menikah? Dalam waktu dekat? Oh tidak, ia belum menyiapkan mentalnya! Dera juga tidak pernah berpikiran untuk menikah secepat ini! Tolong, katakan pada Dera bahwa ia hanya sedang bermimpi sekarang! "Saya sudah menuruti permintaan kamu mengenai saham tiga puluh lima persen, bahkan karena kamu saya jadi dimusuhi oleh Dela karena katanya terlalu memanjakan kamu. Mungkin jika bukan karena nama baik keluarga, saya segan memberikan saham saya ke kamu." Dera berdecih sinis, "Kalau tidak ikhlas, Dera bisa kembalikan itu semua. Dengan catatan, Dera bebas nge
Siang berganti malam, hari berganti hari, waktu tak terasa berjalan sangat cepat bagi seorang Dera. Satu minggu telah berlalu, dan ini adalah hari penting bagi Dera. Namun sebenarnya tidak pernah ada sedikitpun di dalam rencananya. Hari pernikahan yang tak pernah Dera bayangkan sejauh ini. Rasanya begitu mustahil, namun ia sedang menapaki realitanya sekarang. Antara sedih, bahagia, dan bingung, bahkan dimata Dera tidak ada sedikitpun ekspresi yang kentara. "Der, gue nggak pernah nyangka kalau lo bakalan nikah secepat ini. Mau bahagia karena salah satu sahabat gue mau nikahpun kayaknya nggak bakalan bisa, mata lo udah menjelaskan semuanya." Zea mengutarakan pendapatnya. Para sohib Dera memang sedang berkumpul menjadi satu di kamar Dera. Tanpa terkecuali, semuanya datang meskipun mereka sebenarnya sibuk dan memiliki urusan masing-masing. Namun demi Dera, mereka mengesampingkan semuanya dan mengosongkan jadwal. Termasuk jadwal kuliah mereka sendiri. Mereka memakai pakaian formal,
Pernikahan hendak dilakukan secara kekeluargaan namun bisa dikatakan mewah untuk seukuran Dera. Tamu undangan bisa dihitung dengan jari karena hanya menyediakan beberapa kursi, dan semuanya hanya diisi oleh keluarga mereka saja. Meskipun pengumuman pernikahan telah dikonsumsi publik, namun tidak ada media yang meliput seperti yang Dera bayangkan sebelumnya. Mungkin karena posisi mempelai pria yang belum lama mengalami kecelakaan dan mengalami kelumpuhan, ditambah lagi dengan terjadinya pengantin pengganti yaitu dirinya sendiri. "Sebenarnya saya kecewa ketika kalian memilih untuk mengganti putri yang akan dinikahi putra saya. Namun di balik itu saya bersyukur, sifat-sifat buruk dari putri anda terbongkar sebelum melangkah lebih jauh. Entah dengan sifat putri anda yang satu ini." Dera yang baru saja menginjakkan kakinya di tangga terakhir, dibuat mematung di tempat diselingi rasa takut. Ia kenal pria paruh baya itu, ia sering melihatnya ditelevisi karena kesuksesan bisnis dari berb
"Saya terima nikah dan kawinnya Dera Aurora Bethany binti Bapak Nugraha dengan mas kawin tersebut dibayar tunai." Dera tergugu di tempat, dan sempat membekukan pikirannya untuk sementara waktu. Mahar yang diucapkan oleh pewaris tunggal kaya raya di sampingnya tadi pagitidak main-main, setidaknya cukup menghidupinya untuk lima tahun ke depan. Mobil, cincin berlian, uang 1 miliyar, bahkan Dera tidak perlu takut lagi jika ia mendapatkan talak tiga dalam waktu kurun dekat ini. Mahar itu untuknya kan? Atau ada pembagian harta setelah ini? Apakah orang tuanya memiliki hak atas mahar-mahar yang diberikan kepadanya itu? Ia akan menjamin bahwa harta itu untuknya semua, sebut saja Dera serakah. Ia jadi membayangkan hidup hedonisnya selepas ini. "SAH." Dera mengerjapkan matanya. Jadi sekarang ia tidak berstatus lajang lagi, ia resmi menjadi istri orang diusianya yang masih ke dua puluh satu. Hidup hedonnya sepertinya akan dimulai, tetapi ia juga tidak yakin hidupnya akan dipermudah setela
Mansion yang terletak di pusat kota, dengan ornamen bernuansa eropa itu membuat Dera tidak bisa fokus sedari tadi. Ia mengenali bangunan ini, bahkan ia pernah berhenti sejenak dan mengagumi bangunan di depannya sembari berkhayal jauh kapan bisa memilikinya. Namun, bukan itu yang Dera pikirkan saat ini. Ia melirik ke arah Dafi yang sedang dibantu keluar dari mobil, lalu mengetuk-ngetuk dagunya sambil berpikir untuk beberapa saat. Ia mengumpulkan memori-memori otaknya dengan keras, sepertinya pertemuan pertama dengan Dafi bukan di restoran itu tetapi di tempat lain. "Ada yang nggak beres, tapi gue juga mager buat cari tau. Fakta pasti akan terkuak nggak akan lama lagi. Gue jamin!" Dera tersenyum polos, ketika pintu mobilnya dibuka perlahan oleh anak buah suaminya. Disitulah ia melihat sosok Dafi yang lagi-lagi sudah di dorong jauh meninggalkan dirinya. Mau menggurutu pun, Dera paham dengan situasinya sendiri. Dera kan hanya seorang pengantin pengganti saja, meskipun ciuman pertaman
"Saya tidak akan mengizinkan kamu pisah kamar dengan saya, terlebih dengan alasan klasik seperti itu. Apa kamu pikir sebelum menikahi kamu, saya tidak tau kelakuan kamu di luar sana?" final Dafi, suami Dera yang kini duduk santai dengan Dera yang terlihat agak linglung. Sembari menikmati secangkir teh hangat dan kudapannya, Dera akhirnya tak henti-hentinya menganggukkan kepalanya sebagai tanda mengerti. Ia tidak ingin berdebat dan berbicara lebih panjang lagi, karena sudah pasti Dera akan kalah telak. Bahkan Dera sekarang sudah tak terlalu mendengarkan, tapi pada intinya semua aktivitas yang akan dilakukan oleh Dera harus atas izin Dafi. Menyeruput teh yang mungkin sudah mulai dingin, Dera menatap lamat Dafi yang terus berbicara tanpa menunjukkan ekspresinya sama sekali. Benar-benar pria yang kaku, tapi untung saja wajahnya tidak membosankan. Jadi biarkan Dera mengagumi ciptaan Tuhan yang nampak sempurna itu. "Kamu tidak mendengarkan perkataan saya?" Dafi akhirnya menyadari, istr
Dera tertidur sangat pulas, seolah tidak memiliki beban apapun di pundaknya. Berapa jam ia tidur, intinya Dera merasa sangat segar sekarang. Seminggu yang lalu Dera mungkin kekurangan tidur, tetapi itu semua sudah terbayarkan sekarang. Kasurnya sangat nyaman, Dera menyukainya. Apalagi dengan kerapian kamar ini yang membuat Dera mendadak tersenyum penuh arti. Benar-benar pria idaman, Dera mungkin wanita yang beruntung karena bisa bertemu dengan Dafi yang memiliki banyak kelebihan di dalam hidupnya. "Udah anak tunggal kaya raya, perfeksionis, ganteng, pekerja keras. Eh, tapi perasaan terakhir kali gue lagi baca buku di sofa kan? Siapa yang gotong gue kesini?" Dera mengernyit bingung. Jadi siapa yang memindahkan dirinya ke kasur? Dafi ? Itu sangat tidak mungkin kan? Jadi siapa? Dera menggigit bawah bibirnya. Mengingat Dafi belum terlihat dalam pandangannya, sepertinya ia berada di dalam masalah sekarang. Ia bergegas turun dari kasur, kemudian pergi keluar berencana mencari Dafi sa
"Dia pergi tanpa melaksanakan sarapan, dia menolak memakai mobil dan memilih kabur menggunakan motor, dia sama sekali tidak membawa ponsel dan laptopnya. Pertanyaan saya, ada yang berhasil mengikutinya? Apakah dia baik-baik saja?" Dafi Ezekiel Addison, latar belakangnya sangat berpengaruh di kalangan bisnis. Pewaris tunggal perusahaan raksasa itu, benar-benar harus dihadapkan dengan banyak musuh yang setiap waktu mengancam nyawanya. Sosok yang dikatakan menyeramkan bagi mereka yang bekerja di bawah kendalinya. Dafi berada di kursi kebesarannya, dengan tumpukan-tumpukan dokumen yang semakin meninggi di setiap harinya. Raut tanpa ekspresinya, tidak ada satupun yang berani mendekatinya. Bahkan siapapun yang menargetkan Dafi sebagai lawan, Dafi tidak akan pernah melepaskannya hidup-hidup. Keluarga Dafi terlalu tinggi dan berkuasa dari yang lain. "Tidak ada yang berhasil mengikutinya Tuan. Nyonya mengendarai motor dengan kecepatan penuh, sedangkan mereka belum menyalakan mesin mobilny