Mansion yang terletak di pusat kota, dengan ornamen bernuansa eropa itu membuat Dera tidak bisa fokus sedari tadi. Ia mengenali bangunan ini, bahkan ia pernah berhenti sejenak dan mengagumi bangunan di depannya sembari berkhayal jauh kapan bisa memilikinya. Namun, bukan itu yang Dera pikirkan saat ini. Ia melirik ke arah Dafi yang sedang dibantu keluar dari mobil, lalu mengetuk-ngetuk dagunya sambil berpikir untuk beberapa saat. Ia mengumpulkan memori-memori otaknya dengan keras, sepertinya pertemuan pertama dengan Dafi bukan di restoran itu tetapi di tempat lain. "Ada yang nggak beres, tapi gue juga mager buat cari tau. Fakta pasti akan terkuak nggak akan lama lagi. Gue jamin!" Dera tersenyum polos, ketika pintu mobilnya dibuka perlahan oleh anak buah suaminya. Disitulah ia melihat sosok Dafi yang lagi-lagi sudah di dorong jauh meninggalkan dirinya. Mau menggurutu pun, Dera paham dengan situasinya sendiri. Dera kan hanya seorang pengantin pengganti saja, meskipun ciuman pertaman
"Saya tidak akan mengizinkan kamu pisah kamar dengan saya, terlebih dengan alasan klasik seperti itu. Apa kamu pikir sebelum menikahi kamu, saya tidak tau kelakuan kamu di luar sana?" final Dafi, suami Dera yang kini duduk santai dengan Dera yang terlihat agak linglung. Sembari menikmati secangkir teh hangat dan kudapannya, Dera akhirnya tak henti-hentinya menganggukkan kepalanya sebagai tanda mengerti. Ia tidak ingin berdebat dan berbicara lebih panjang lagi, karena sudah pasti Dera akan kalah telak. Bahkan Dera sekarang sudah tak terlalu mendengarkan, tapi pada intinya semua aktivitas yang akan dilakukan oleh Dera harus atas izin Dafi. Menyeruput teh yang mungkin sudah mulai dingin, Dera menatap lamat Dafi yang terus berbicara tanpa menunjukkan ekspresinya sama sekali. Benar-benar pria yang kaku, tapi untung saja wajahnya tidak membosankan. Jadi biarkan Dera mengagumi ciptaan Tuhan yang nampak sempurna itu. "Kamu tidak mendengarkan perkataan saya?" Dafi akhirnya menyadari, istr
Dera tertidur sangat pulas, seolah tidak memiliki beban apapun di pundaknya. Berapa jam ia tidur, intinya Dera merasa sangat segar sekarang. Seminggu yang lalu Dera mungkin kekurangan tidur, tetapi itu semua sudah terbayarkan sekarang. Kasurnya sangat nyaman, Dera menyukainya. Apalagi dengan kerapian kamar ini yang membuat Dera mendadak tersenyum penuh arti. Benar-benar pria idaman, Dera mungkin wanita yang beruntung karena bisa bertemu dengan Dafi yang memiliki banyak kelebihan di dalam hidupnya. "Udah anak tunggal kaya raya, perfeksionis, ganteng, pekerja keras. Eh, tapi perasaan terakhir kali gue lagi baca buku di sofa kan? Siapa yang gotong gue kesini?" Dera mengernyit bingung. Jadi siapa yang memindahkan dirinya ke kasur? Dafi ? Itu sangat tidak mungkin kan? Jadi siapa? Dera menggigit bawah bibirnya. Mengingat Dafi belum terlihat dalam pandangannya, sepertinya ia berada di dalam masalah sekarang. Ia bergegas turun dari kasur, kemudian pergi keluar berencana mencari Dafi sa
"Dia pergi tanpa melaksanakan sarapan, dia menolak memakai mobil dan memilih kabur menggunakan motor, dia sama sekali tidak membawa ponsel dan laptopnya. Pertanyaan saya, ada yang berhasil mengikutinya? Apakah dia baik-baik saja?" Dafi Ezekiel Addison, latar belakangnya sangat berpengaruh di kalangan bisnis. Pewaris tunggal perusahaan raksasa itu, benar-benar harus dihadapkan dengan banyak musuh yang setiap waktu mengancam nyawanya. Sosok yang dikatakan menyeramkan bagi mereka yang bekerja di bawah kendalinya. Dafi berada di kursi kebesarannya, dengan tumpukan-tumpukan dokumen yang semakin meninggi di setiap harinya. Raut tanpa ekspresinya, tidak ada satupun yang berani mendekatinya. Bahkan siapapun yang menargetkan Dafi sebagai lawan, Dafi tidak akan pernah melepaskannya hidup-hidup. Keluarga Dafi terlalu tinggi dan berkuasa dari yang lain. "Tidak ada yang berhasil mengikutinya Tuan. Nyonya mengendarai motor dengan kecepatan penuh, sedangkan mereka belum menyalakan mesin mobilny
Tubuh Dera lemas lunglai. Lambungnya sudah terasa tidak karuan, nafsu makannya sudah hilang ditelan bumi, ia tidak ingin melakukan apa pun selain memejamkan mata saja. Keluar dari bimbingan tadi, Dera tidak mengikuti kelas sama sekali. Ia memilih untuk pergi ke unit kesehatan kampus, meminta obat, lalu tiduran dan malas-malasan setelah itu. Sebelum ke tempat kesehatan ini, ia sempat mengembalikan laptop yang sempat ia pinjam dari teman kelasnya terlebih dahulu. Tentu diselingi dengan meminta temannya itu, untuk menginformasikan keadaannya kepada para sohibnya. "Der, lo baru sehari nikah loh ini. Tapi keadaan lo udah memprihatinkan gini aja kayak tengkorak hidup. Kita udah bilang kan sebelumnya kalau kita bisa bantuin lo lepas dari jeratan mereka, lo nggak perlu menanggung beban mereka sampai kayak gini!" jelas Zidan panjang lebar, tentu dengan sedikit emosi yang tertahankan. Bagi Zidan, Dera sudah seperti sahabat sehidup semati. Dalam keadaan apapun mereka selalu bersama, sali
Pagi telah berganti menjadi malam. Dafi sengaja menyisikan pekerjaan agar ia bisa pulang cepat, dan menjemput istrinya yang katanya akan berada di kampus sampai malam. Sayangnya ketika Dafi sudah sampai di kampus, istrinya itu tidak terlihat sama sekali. Bahkan ia sudah meluangkan waktu satu jam lebih cepat untuk menunggunya, namun tak ada tanda-tanda istrinya akan muncul. "Apa dia sudah pulang lebih dulu? Tapi kenapa tidak ada yang memberi tahuku?" tanya Dafi pada dirinya sendiri. Dafi memutuskan untuk pulang saja, barangkali istrinya memang sudah berada di rumah lebih cepat. Tidak sampai tiga puluh menit, Dafi sudah sampai di tempat tinggal mewahnya yang memang tidak jauh dari pusat kota. Turun dengan dibantu para bodyguard, dramanya masih berlaku sampai sekarang dan entah sampai kapan ia akan berhenti dari drama yang dibuatnya. "Nyonya kalian sudah pulang?" tanya Dafi datar dan tanpa basa-basi. Para pekerja yang memang ditugaskan untuk menjadi penjaga rumahnya itu langsu
"Ternyata lelet juga ya Der suami lo. Lo yakin masih mau ngelanjutin pernikahan tanpa cinta ini? Lo itu goblok apa gimana sih Der, kalian nggak saling kenal juga kan?" Dera yang baru sadar dari pingsannya, hanya bisa memutar bola matanya karena malas meladeninya lagi. Ini sudah kali kesepuluh Zidan mengatakan hal yang serupa, Dera bahkan sudah hafal dengan kata-kata yang dikeluarkan olehnya. Meskipun agak lemas, Dera merasa lebih baik dari sebelumnya. Mungkin lebih baik lagi jika mereka pulang saja, muak sekali Dera melihat mereka yang terus merocos tidak jelas. Kecuali sepupu tercintanya yang tetap adem ayem dengan kegiatannya tentunya. "Bacot! Lo kalau suka sama gue ngomong dong dari dulu, nggak kayak gini juga caranya Dan. Gue udah jadi istri orang, kenapa lo baru ngejar-ngejar gue sekarang?" jawab Dera yang akhirnya melayani pertanyaan Zidan dengan sarkasme. "Gue suka sama lo? Najis! Kayak nggak ada cewek lain aja! Gue nyarinya yang seksoy, bohay, cetar membahana. Bukan kay
Mungkin sudah dua hari berturut-turut. Hari ketiganya, Dera sudah tidak mau dirawat di rumah sakit lagi lantaran ia sudah dilanda rasa bosan. Lagi pula badannya sudah bugar, nafsu makannya sudah datang kembali, ia merasa sudah benar-benar sehat. Mungkin hanya kelakuan Dafi saja yang ingin menghambur-hamburkan uang. Ia merasa dianggap seperti sedang sakit parah, padahal yang dirasa hanyalah sakit lambung saja. Dera yang sudah benar-benar lelah, akhirnya berani beradu mulut dengan suaminya itu hingga satu jam lamanya. "Kamu yakin mau pulang sekarang? Saya tidak ingin mendengar keluhan-keluhan sakit lagi dari mulut kamu." Dera ingin sekali menggeplak kepala Dafi, jika ia tidak sayang nyawanya sendiri. Yang terjadi sekarang Dera hanya mengangguk saja, sudah lelah akan tindakan Dafi yang terlalu berlebihan jija dirasa olehnya. "Baiklah, jika kamu mau pulang sekarang. Jangan mendiami saya lagi setelah ini, saya nggak suka." Pada hal anya kata iya saja yang Dera ingin dengar, tetapi