Syarat yang diajukan olehnya mengenai saham tiga puluh lima persen itu berhasil. Ayahnya mampu menyetujui apa yang ia ajukan, bahkan tak tanggung-tanggung ia juga mengiriminya banyak uang ke nomor rekening Dera.
Perjodohan itu tak lama lagi akan terlaksana, dan sepertinya hidup bebasnya tidak akan lama lagi dimulai hari ini. Terlebih Ayahnya mengirimi alamat restoran yang akan menjadi titik temu mereka. Mungkin bisa dibilang kencan kata para sohibnya. "Lo yakin Ra mau dateng ke sana? Lo dijodohin sama orang yang mungkin memiliki keterbatasan dalam berjalan loh Ra." Zea memang sekarang sedang main di tempat Dera. "Gue nggak bisa nolak lagi Ze. Ayah udah menyetujui persyaratan gue soal saham, bahkan nggak tanggung-tanggung dia ngirimin banyak uang buat keperluan kencan dengan pria itu." Dera menghela nafas lelah. "Pikirin kebahagian lo Ra. Gue bisa bantu lo, kalau lo pengin kabur sekarang." "Selama ini kebahagiaan gue juga bisa dibilang nggak ada Ze. It's okay, kalau pemuda itu emang ditakdirkan jadi jodoh gue." "Lo nggak boleh sepesimis ini Dera, lo masih ada kita-kita yang bisa ngebantuin lo." "Nggak apa-apa, ini udah jalan takdir gue. Btw, gue mau pergi buat ketemu calon suami gue. Lo masih mau di sini?" "Gue masih betah di sini, entar yang lain juga pada kesini." "Ya udah gue pergi dulu. Kalau kalian pulang sebelum gue dateng, jangan lupa beresin dan kunci pintu." Setelah mendapat jawaban, Dera akhirnya pergi dari sana. Penampilannya bisa dikatakan sama saja seperti kehidupan sehari-hari, ia tidak ingin merubah apapun. Merias diripun tidak, Dera hanya menggunakan basic skincare agar kulitnya tetap terjaga dengan baik. "Ke restoran bintang lima, pakaiannya masih kayak rakyat jelata, manaan yang mau gue temuin sultan kaya raya lagi." Dera tertawa renyah, ia mungkin tidak akan memberi kesan pertama dengan baik. Yang dipikiran Dera, bersikap santai dan ala kadarnya saja itu penting. Ia tidak ingin membangun image lain agar lawan bicaranya terpesona. Ia kali ini tidak memakai motor, melainkan menggunakan taksi online yang sebelum ini sudah ia pesan lebih dulu. Ia akan membeli buku untuk referensi skripsinya nanti sepulangnya dari acara kencan, lantas ia akan ke arena drifting untuk menjalankan hobinya. "Sudah sampai neng, benar tidak tempatnya?" tanya sang sopir taksi sembari membuyarkan Dera dari rencana-rencananya sepulang dari sini. "Betul Pak, bayar pakai dana bisa kan?" "Bisa banget neng, nggak masalah mah buat mamang." Setelah keluar dari taksi, nyali Dera entah kenapa langsung ciut. Seharusnya ia menggunakan uang yang dikasih oleh Ayahnya untuk mempercantik diri, namun kenyataannya ia memilih untuk menabungkan uang itu. Hemat pangkal kaya katanya. "Gue minder banget anjirr, udah kayak nyasar di tempat yang nggak seharusnya gue pijak." Dera jadi bimbang untuk masuk. Namun setelah berbagai pertimbangan, akhirnya ia masuk juga ke dalam restoran bintang lima itu. Tentu diselingi debaran jantung yang kian menjadi. "Maaf Kak, sudah reservasi tempat atau belum sama sekali?" sang pelayan restoran itu bertanya, untuk saja tidak menghakimi penampilannya yang amburadul itu. "Mmmm... Reservasi atas nama Tuan Dafi Ezekiel Addison dimana ya mbak?" Dera tidak mau basa-basi, waktu sangat berharga untuknya. "Oh, Tuan Dafi... Mari ikuti saya." Dera tak menjawab ataupun mengangguk, namun tak urung ia ikut mengikuti dari belakang. Sepertinya mereka akan memasuki ruangan khusus di restoran, sekaya apa sih Tuan Dafi-dafi itu? Dera jadi bertanya-tanya. "Nahh, mbaknya tinggal masuk saja. Tuan Dafi sudah ada di dalam dari tadi." Dera tiba-tiba terserang rasa panik, ia tidak terlambat kan? Jam yang diberitahu oleh Ayahnya juga masih lima menit lagi. Kenapa pria itu datang cepat sekali? Apa yang harus Dera lakukan? Hoodie hitam, celana joger kebesaran, orang akan menertawakannya ketika mereka tau yang ditemui olehnya sekarang adalah seseorang yang berpengaruh di negara ini. Dera saja merutuki dirinya sendiri, hanya saja menghemat itu lebih penting dari apapun. Dera melambatkan langkahnya, ketika ia melihat siluet seseorang yang sepertinya sedang ia cari saat ini. Antara urung ingin menanyakan atau tidak, namun Dera yakin itulah orangnya. Semua yang dipakai serba bermerk, hanya saja ia duduk di kursi roda. Benar-benar sesuai perkiraannya. "Atas nama Dafi Ezekiel Addison atau bukan?" percayalah detak jantung Dera berdebar sangat kencang saat ini. Ketika pria itu menoleh, Dera seperti dikuliti hidup-hidup. Tatapan matanya setajam silet, penuh selidik. Penampilannya juga terus dinilai dari atas sampai bawah Dera. Jika begini, Dera merasa sangat-sangat salah kostum. "Gue kayak kenal lo, tapi gue lupa di mana. Kita pernah bertemu sebelum ini kah?" Dera merasa tidak asing, tapi entahlah. Dera sepertinya sedang berhalusinasi. "Tidak." Dera menggaruk rambutnya yang tak gatal. Jujur, ia benar-benar canggung memulai percakapan. Pria di hadapannya terlalu, baku dan dingin. "Mungkin halusinasi gue doang kali ya. Btw, lo tau gue siapa?" "Tidak." Dera menghembuskan napas kesal. Jika terus begini, dia bisa mati muda. Akan tetapi ia tidak akan rela jika harus meninggalkan dunia diusianya yang sekarang. Hey, skripsinya belum kelar, baru disetujui dibagian judul saja. "Kamu tidak tau tata cara berpenampilan yang benar, bahkan tata kramamu bisa dikatakan minus. Apa wanita seperti ini yang akan dijodohkan dengan saya?" Dera meneguk ludahnya secara kasar. Entah kenapa ia merasa benar-benar menjadi upik abu sekarang. Bisa dibilang Dera dan pria di depannya itu bagaikan langit dan bumi, sangat berbanding terbalik. Dera yang tidak pernah mengutamakan penampilan, entah kenapa harus disandingkan dengan pria yang mungkin semuanya harus dilakukan dengan sempurna. Komentar mengenai penampilannya, juga membuat Dera benar-benar minde sekarang. Apalagi jika nanti mereka harus terikat dalam sebuah pernikahan? sepertinya otak Dera bisa meledak saat itu juga. Anggap saja pikiran Dera kemarin mungkin bisa dikatakan dangkal, bisakah ia mundur sekarang. "Kenapa foto yang dikirimkan dengan realitanya berbeda?" tanya pria itu yang kemudian membuyarkan lamunan Dera. Dera membisu. Ya sudah jelas berbeda, mereka kan bukan orang yang sama. Dela dengan penampilan feminim bak kaum sosialita muda itu, mungkin sudah menarik minat pria itu. Sedangkan Dera? Gadis tomboy sepertinya mana mungkin bisa merias diri sedemikian rupa, berpenampilan menarik selayaknya kaumnya sendiri. Dera memakai rok saja, semua sohibnya menertawakannya hingga setengah mampus. "Kalau gue bilang itu bukan diri gue, lo mau bereaksi kayak gimana?" kata Dera balik bertanya. "Maksudnya?" "Sebelum itu, kenalin gue Dera Aurora Bethani. Sekarang lo sadar kan dengan siapa lo berbicara saat ini?" Pria itu hanya menaikkan alisnya ingin menggali informasi lebih lanjut. "Yang difoto itu kembaran gue, Dela Aurelia Belvina. Dia sempat kabur karena nggak mau dijodohin sama lo. Sampai sini paham kan?" Dera duduk tanpa diperintah, pasalnya ia lelah jika harus berdiri terus. Sedangkan pria itu masih mencerna kata-katanya, mungkin merasa sakit hati setelah ia mengatakan yang sejujurnya. Tapi, Dera tidak pernah berkata bohong. Ia selalu mengutamakan kejujuran, meski harus menyakiti lawan bicaranya. "Meskipun gue disuruh berbohong soal identitas, gue nggak mau kita terikat tanpa sebuah kejujuran. Gue dan orang yang sebelumnya dijodohin sama lo itu jelas memiliki perbedaan yang kentara, bahkan dari segi kualitas kita beda." Pria itu mengangguk, "Saya tau kenapa dia tidak mau melanjutkan perjodohan ini, itu karena saya cacat kan?" Meskipun Dera ingin mengiyakan apa yang dikatakan pria itu, Dera tidak melakukannya. Pria dingin dan angkuh itu, pasti masih memiliki hati nurani dan perasaan yang bisa terluka setiap saat. "Semua orang di dunia ini pasti memiliki kecacatannya masing-masing. Mungkin bukan dari segi fisik, tapi dari segi yang lain. Percaya deh, pasti ada yang nerima lo apa adanya kok." ucap Dera menyemangati. "Apa kamu termasuk orang yang menerima saya apa adanya?" lanjut pria itu bertanya. Dera hanya diam dan menunduk, ia tidak tau harus bereaksi seperti apa. Karena di sini dia adalah pihak yang dipaksa untuk menjadi pengganti, bukan perasaan yang berasal dari hatinya sendiri. "Semua wanita memang sama saja." tutur pria itu sambil tersenyum miring. Pria itu mengotak-atik ponselnya seperti tengah menghubungi seseorang. Dan tidak sampai satu menit, ada orang yang masuk dan membungkuk kepada pria itu lebih dulu. "Antarkan saya pulang, sekarang." kata pria itu tegas. Dera mengangkat kepalanya, dan menoleh kepada pria itu yang sepertinya hendak pergi dengan suruhannya. Meskipun Dera tidak melarang atau mencegah, kata-kata terakhirnya membuat pria itu memberhentikan laju kursi rodanya. "Gue mencintai diri sendiri aja nggak becus, apalagi mencintai orang lain. Lo tau kenapa gue diem aja nggak bisa jawab?" kata Dera, "Gue bisa nerima segala kekurangan apapun yang sudah masuk ke dalam hidup gue, tapi gue takut terluka. Karena luka yang berulang kali hadir itu, udah ngebuat gue nggak percaya lagi sama orang lain." Pria itu masih diam dan berada di tempatnya, sedangkan Dera memilih untuk mendahului pria itu tanpa rasa malu. Biarlah pria itu saja yang menilai dirinya ala kadarnya. *****Dera merasa hari ini sangat melelahkan. Tenaganya sudah terkuras habis, dan ia tidak ingin melakukan apapun selain hanya rebahan. Sepertinya, bertemu pria bernama Dafi Ezekiel Addison itu bukan perkara yang bagus untuk Dera. Merayap menuju kamar yang selama ini menemaninya. Rasa lelahnya benar-benar membuatnya lunglai, tidak ada semangat yang berkorbar sedikit pun di dalam dirinya. Hingga ketika ia sampai di tepian kasur dan melempar tubuhnya, entah kenapa rasanya seperti dihantam sesuatu yang sangat Keras. Apakah sudah lama Dera tidak mengganti kasur tidurnya itu? "Sakit banget njirrrr, kayak ditimpuk batu. Kapan terakhir gue ganti kasur? Ehhh, soal kuliah gue, itu dosen pembimbing nyariin gue nggak ya? Gue belum nyicil bahan skripsi soalnya." Disaat seperti ini, Dera masih memikirkan masa depannya. Sebenarnya Dera bisa saja bersikap bodoamat, apalagi ketika ia diharuskan menjadi pengganti dari perjodohan saudaranya yang akhirnya membuat ia benar-benar benci dengan hidupnyaa sen
"Pernikahan kamu akan dipercepat satu minggu lagi. Jadi selama menunggu hari itu tiba, kamu harus kembali ke rumah saya lagi. Ini saya lakukan agar tidak ada kecurigaan dari pihak mempelai pria." Dera hampir saja membenturkan kepalanya ketembok, ketika sang Ayah mengetahui tempat dirinya tinggal berada saat ini. Ia baru saja pulang kuliah, otaknya dihajar habis-habisan kerena bimbingan skripsi dengan Dosen tadi. Lalu apa setelah ini? Menikah? Dalam waktu dekat? Oh tidak, ia belum menyiapkan mentalnya! Dera juga tidak pernah berpikiran untuk menikah secepat ini! Tolong, katakan pada Dera bahwa ia hanya sedang bermimpi sekarang! "Saya sudah menuruti permintaan kamu mengenai saham tiga puluh lima persen, bahkan karena kamu saya jadi dimusuhi oleh Dela karena katanya terlalu memanjakan kamu. Mungkin jika bukan karena nama baik keluarga, saya segan memberikan saham saya ke kamu." Dera berdecih sinis, "Kalau tidak ikhlas, Dera bisa kembalikan itu semua. Dengan catatan, Dera bebas nge
Siang berganti malam, hari berganti hari, waktu tak terasa berjalan sangat cepat bagi seorang Dera. Satu minggu telah berlalu, dan ini adalah hari penting bagi Dera. Namun sebenarnya tidak pernah ada sedikitpun di dalam rencananya. Hari pernikahan yang tak pernah Dera bayangkan sejauh ini. Rasanya begitu mustahil, namun ia sedang menapaki realitanya sekarang. Antara sedih, bahagia, dan bingung, bahkan dimata Dera tidak ada sedikitpun ekspresi yang kentara. "Der, gue nggak pernah nyangka kalau lo bakalan nikah secepat ini. Mau bahagia karena salah satu sahabat gue mau nikahpun kayaknya nggak bakalan bisa, mata lo udah menjelaskan semuanya." Zea mengutarakan pendapatnya. Para sohib Dera memang sedang berkumpul menjadi satu di kamar Dera. Tanpa terkecuali, semuanya datang meskipun mereka sebenarnya sibuk dan memiliki urusan masing-masing. Namun demi Dera, mereka mengesampingkan semuanya dan mengosongkan jadwal. Termasuk jadwal kuliah mereka sendiri. Mereka memakai pakaian formal,
Pernikahan hendak dilakukan secara kekeluargaan namun bisa dikatakan mewah untuk seukuran Dera. Tamu undangan bisa dihitung dengan jari karena hanya menyediakan beberapa kursi, dan semuanya hanya diisi oleh keluarga mereka saja. Meskipun pengumuman pernikahan telah dikonsumsi publik, namun tidak ada media yang meliput seperti yang Dera bayangkan sebelumnya. Mungkin karena posisi mempelai pria yang belum lama mengalami kecelakaan dan mengalami kelumpuhan, ditambah lagi dengan terjadinya pengantin pengganti yaitu dirinya sendiri. "Sebenarnya saya kecewa ketika kalian memilih untuk mengganti putri yang akan dinikahi putra saya. Namun di balik itu saya bersyukur, sifat-sifat buruk dari putri anda terbongkar sebelum melangkah lebih jauh. Entah dengan sifat putri anda yang satu ini." Dera yang baru saja menginjakkan kakinya di tangga terakhir, dibuat mematung di tempat diselingi rasa takut. Ia kenal pria paruh baya itu, ia sering melihatnya ditelevisi karena kesuksesan bisnis dari berb
"Saya terima nikah dan kawinnya Dera Aurora Bethany binti Bapak Nugraha dengan mas kawin tersebut dibayar tunai." Dera tergugu di tempat, dan sempat membekukan pikirannya untuk sementara waktu. Mahar yang diucapkan oleh pewaris tunggal kaya raya di sampingnya tadi pagitidak main-main, setidaknya cukup menghidupinya untuk lima tahun ke depan. Mobil, cincin berlian, uang 1 miliyar, bahkan Dera tidak perlu takut lagi jika ia mendapatkan talak tiga dalam waktu kurun dekat ini. Mahar itu untuknya kan? Atau ada pembagian harta setelah ini? Apakah orang tuanya memiliki hak atas mahar-mahar yang diberikan kepadanya itu? Ia akan menjamin bahwa harta itu untuknya semua, sebut saja Dera serakah. Ia jadi membayangkan hidup hedonisnya selepas ini. "SAH." Dera mengerjapkan matanya. Jadi sekarang ia tidak berstatus lajang lagi, ia resmi menjadi istri orang diusianya yang masih ke dua puluh satu. Hidup hedonnya sepertinya akan dimulai, tetapi ia juga tidak yakin hidupnya akan dipermudah setela
Mansion yang terletak di pusat kota, dengan ornamen bernuansa eropa itu membuat Dera tidak bisa fokus sedari tadi. Ia mengenali bangunan ini, bahkan ia pernah berhenti sejenak dan mengagumi bangunan di depannya sembari berkhayal jauh kapan bisa memilikinya. Namun, bukan itu yang Dera pikirkan saat ini. Ia melirik ke arah Dafi yang sedang dibantu keluar dari mobil, lalu mengetuk-ngetuk dagunya sambil berpikir untuk beberapa saat. Ia mengumpulkan memori-memori otaknya dengan keras, sepertinya pertemuan pertama dengan Dafi bukan di restoran itu tetapi di tempat lain. "Ada yang nggak beres, tapi gue juga mager buat cari tau. Fakta pasti akan terkuak nggak akan lama lagi. Gue jamin!" Dera tersenyum polos, ketika pintu mobilnya dibuka perlahan oleh anak buah suaminya. Disitulah ia melihat sosok Dafi yang lagi-lagi sudah di dorong jauh meninggalkan dirinya. Mau menggurutu pun, Dera paham dengan situasinya sendiri. Dera kan hanya seorang pengantin pengganti saja, meskipun ciuman pertaman
"Saya tidak akan mengizinkan kamu pisah kamar dengan saya, terlebih dengan alasan klasik seperti itu. Apa kamu pikir sebelum menikahi kamu, saya tidak tau kelakuan kamu di luar sana?" final Dafi, suami Dera yang kini duduk santai dengan Dera yang terlihat agak linglung. Sembari menikmati secangkir teh hangat dan kudapannya, Dera akhirnya tak henti-hentinya menganggukkan kepalanya sebagai tanda mengerti. Ia tidak ingin berdebat dan berbicara lebih panjang lagi, karena sudah pasti Dera akan kalah telak. Bahkan Dera sekarang sudah tak terlalu mendengarkan, tapi pada intinya semua aktivitas yang akan dilakukan oleh Dera harus atas izin Dafi. Menyeruput teh yang mungkin sudah mulai dingin, Dera menatap lamat Dafi yang terus berbicara tanpa menunjukkan ekspresinya sama sekali. Benar-benar pria yang kaku, tapi untung saja wajahnya tidak membosankan. Jadi biarkan Dera mengagumi ciptaan Tuhan yang nampak sempurna itu. "Kamu tidak mendengarkan perkataan saya?" Dafi akhirnya menyadari, istr
Dera tertidur sangat pulas, seolah tidak memiliki beban apapun di pundaknya. Berapa jam ia tidur, intinya Dera merasa sangat segar sekarang. Seminggu yang lalu Dera mungkin kekurangan tidur, tetapi itu semua sudah terbayarkan sekarang. Kasurnya sangat nyaman, Dera menyukainya. Apalagi dengan kerapian kamar ini yang membuat Dera mendadak tersenyum penuh arti. Benar-benar pria idaman, Dera mungkin wanita yang beruntung karena bisa bertemu dengan Dafi yang memiliki banyak kelebihan di dalam hidupnya. "Udah anak tunggal kaya raya, perfeksionis, ganteng, pekerja keras. Eh, tapi perasaan terakhir kali gue lagi baca buku di sofa kan? Siapa yang gotong gue kesini?" Dera mengernyit bingung. Jadi siapa yang memindahkan dirinya ke kasur? Dafi ? Itu sangat tidak mungkin kan? Jadi siapa? Dera menggigit bawah bibirnya. Mengingat Dafi belum terlihat dalam pandangannya, sepertinya ia berada di dalam masalah sekarang. Ia bergegas turun dari kasur, kemudian pergi keluar berencana mencari Dafi sa