Ayahnya tidak main-main sepertinya. Apa yang ia ucapkan kemarin adalah mutlak, dan tidak bisa dibantah oleh Dera. Sedangkan Dera hanya bisa terdiam seribu bahasa saja sekarang, sepertinya dia benar-benar ditimbalkan kepada masalah mereka.
Dera menatap jalanan melewati kaca jendela mobil dengan tatapan kosong. Jejak emosi mendadak lenyap dari matanya, namun tidak dengan hatinya yang sedang menyimpan beribu-ribu emosi yang masih terpendam dan bersiap untuk diluapkan kapan saja. Kedua tangannya masih terkepal erat, siap untuk memukul siapapun yang berani mengganggunya. "Kenapa Ayah masih ngotot buat jadiin Dera pengganti dari kesialan Dela? Kemarin Dera udah bilang nggak setuju kan, kenapa masih maksa?" Dera tertawa pada akhirnya. Ia sudah menolak kan kemarin? Kenapa pria tua itu masih memaksa kehendaknya sendiri? Lagipula pria itu sudah tidak ada hak atas dirinya lagi kan? Dera selalu diacuhkan dan tidak dipedulikan oleh mereka. "Hahaha... Jangan-jangan semua ini udah direncanain samaAyah? Nyembunyiin Dela layaknya sebuah berlian, karena dia pantas mendapatkan pria yang lebih baik begitu. Lantas menumbalkan Dera sebagai pengganti, karena Dera nggak lebih layak dari sebuah sampah." Dera akhirnya terbahak juga. Kenapa tidak terlintas pemikiran seperti ini saja dari kemarin, setidaknya ia akan bersiap-siap untuk kabur pada saat itu juga. "Mana mungkin Ayah ngebiarin anak kesayangannya mendapat kesusahan. Iya kan? Dera saja yang terlalu bodoh karena terlambat sadar." ucap Dera selanjutnya. "Diammmm?!" Dera terbahak sekali lagi. Sosok iblis di depannya memang terlalu angkuh dan tak berperasaan. Hanya kepada Dela lah sosok di hadapannya ini bisa bersikap lembut, dan menjadi sosok Ayah pada umumnya. Tapi semua itu tidak pernah berlaku untuknya! "Dera akan berdoa semoga takdir Dela bakalan lebih buruk dari gue. Dia bakalan mendapat kekerasan, ketidak adilan, dan semua yang Dera rasain selama ini bakalan dirasain juga sama dia." Ayahnya membanting stir kemudi, lalu menatapnya dengan sangat berang. Dera yang tidak pernah takut dengan siapapun, malah menantang balik. Bagi Dera semuanya sama saja, sama-sama manusia maksudnya. Hidup dan mati baginya juga sama saja kan? "Ayah mau bunuh Dera? Silahkan, Dera nggak takut mati! Justru kalau Dera mati, Ayah bakalan menanggung malu dengan pihak pria itu. Dera bakalan berdoa setelah ini, usaha Ayah yang udah dibangun dengan kerja keras akan bangkrut karena ulah mereka!" Dera menghela nafas lega ketika Ayahnya tidak melakukan apapun padanya. Sebaliknya, Ayahnya kembali mengemudi, mengarah ke rumah yang selama ini sudah ia anggap sebagai neraka fana baginya. Setelah sekian lama, akhirnya mobil itu berhenti juga. Dera keluar dari mobil lebih dulu, kemudian membanting pintu itu dengan sangat keras. Bodo amat jika nanti ia akan dimutilasi, dibentak, atau dipukuli. Ia sadar mobil yang dipakai mereka mungkin harganya lebih dari ratusan juta. "Dera ngikut Ayah bukan berarti Dera langsung setuju apa yang kalian mau! Semuanya harus ada bayaran yang setimpal!" Setelah itu, Dera masuk ke dalam rumah dengan berlari cepat. Mamahnya yang berada di depan pintu dan hendak menyambutnya saja, dihempas cepat oleh Dera. "Dera, Mamah mohon jangan seperti anak kecil." ucap Mamahnya seolah tersakiti. "Kalian yang kayak anak kecil, bukan Dera! Dera selama ini selalu diam, nggak pernah nuntut apapun, bahkan nggak pernah ikut campur urusan kalian! Tapi dengan seenak jidat, kalian ngebawa Dera buat ikut campur dan masuk ke urusan kalian! Sinting kalian hah?!" Dera itu bisa dikatakan sukar untuk mengontrol emosinya sendiri. Selain ceplas-ceplos dan blak-blakan apa adanya, Dera akan berbicara lantang jika dirasa apa yang dikatakan mengandung kebenaran. Kesabaran Dera bisa dikatakan setipis tisu. Untuk itu Dera memilih untuk masuk ke dalam kamarnya guna meredamkan emosinya, dan tidur. Masalah Dosen Pembimbing saja sudah Dera hiraukan, ia tidak peduli apapun sekarang. "Sebenernya apa yang nggak ada dalam diri gue tetapi ada diri Dela sih, kenapa hidup gue gini amat!" Dera akhirnya menangis saat itu juga. Pertahanan Dera yang selama ini ia buat dan terlihat kokoh itu, akhirnya jebol dan tak terbendung juga. Ia marah, memaki, menyalahkan dirinya sendiri kenapa tidak begitu berdaya. Namun tak lama kemudian, ia menghapus air matanya lalu terkekeh pelan. Lagi pula untuk apa ia menangisi sesuatu yang tidak perlu? Dera menatap ke sekeliling kamarnya yang nampak tak terawat itu. Agak berdebu seperti tidak pernah dibersihkan. Tapi maklum saja, Dera hanya beberapa kali pulang dalam sebulan. Ia juga tidak mengizinkan siapapun untuk datang. "Balik kos mungkin lebih baik. Gue sesek lama-lama di sini." Dera keluar dari kamarnya kemudian disodori pemandangan memuakkan. Ia sedikit syok dan tidak percaya, namun pada akhirnya ia tertawa ringan. Dela tidak kabur, Dela ada di rumah, Dela terlihat segar dan baik-baik saja. Target sebenarnya dari mereka adalah Dera, dia yang akan dijadikan umpan perkembangan perusahaan. Dera jadi merasa dibohongi. Capek-capek ia menangis tadi, tapi ternyata ia hanya dibohongi. "Wahhh, keluarga bahagia ternyata telah bersatu. Sehatkah kalian?" Dela bertepuk tangan, tawanya begitu sumbang jika didengar. Mamahnya bangkit dari duduknya, kemudian menghampiri Dera dengan senyuman manis. "Ayo gabung, kamu sudah lama tidak kembali ke rumah ini. Kita akan berkumpul bersama-sama, bercerita mengenai hari-harimu yang sudah dilalui." Dera tersenyum sinis, "Nggak sudi, kalian terlalu banyak muka!" Ayahnya bangkit menghampiri Dera dan menamparnya. Sudah cukup kesabarannya diuji dari tadi oleh anak yang tak pernah diuntung itu. Dera menatap nyalang ke arah Ayahnya. Dendam kesumatnya juga sudah sudah sampai ke ubun-ubun, kenapa harus dibumbui dengan hal ini? "Ayah emang kasar banget kalau sama Dera. Yang kemarin aja belum hilang, kenapa masih ditambahin lagi?" tanya Dera tak percaya, "Begini aja, Dela sudah di rumah kan? Target perjodohan harusnya kembali ke anak itu kan? Sekarang, Dera mau pamit pulang." Dera mengusap pipinya yang sepertinya sudah memerah akibat reaksi yang sudah ditimbulkan. Tamparan kemarin sakitnya tak seberapa, beda dengan tamparan yang sekarang Ayahnya lakukan. "ADA TIDAKNYA DELA. YANG HARUS MAJU DI PERJODOHAN INI ADALAH KAMU, DERA!" seru Papahnya setelah Dera berada pada jarak lima meter darinya. Dera tersenyum, ia sudah menduganya jauh sebelum ini. Dari dulu, Dela memang harus mendapatkan yang terbaik selagi Ayahnya mampu. Mamahnya juga selalu merawatnya dengan penuh kasih sayang, mendandaninya dengan sangat cantik bak putri kerajaan. Dela sudah terlahir dengan sendok emas ditangannya. Berbeda dengan Dera, ia diacuhkan entah karena masalah apa. Ayahnya, tidak pernah melirik sedikitpun ke arahnya. Mamahnya masih ada sedikit rasa simpati kepadanya, namun tidak berani berbuat lebih. Dera dari kecil sudah menjadi upik abu dari keluarganya. "Hanya karena sebuah kecelakaan dan pemuda itu mengalami kelumpuhan, Ayah sampai berpikir menukarkan posisi Dela kepada Dera begitu?" Mungkin jika tidak ada kecelakaan, Dera sekarang mungkin tidak ada di tempat ini dan berdebat dengan kedua orang tuanya. Dera masih tidak dipedulikan, dan ia sudah menganggap dirinya sendiri anak buangan. "Dela harus mendapatkan yang terbaik dari ini, Dela harus mendapatkan kebahagiaan." cecar Ayahnya lagi. "Jadi Dera yang harus menanggung penderitaannya begitu? Dera paham kok kalau Dera itu nggak lebih adalah sebuah sampah bagi kalian." Mamahnya iba, namun tidak ada yang bisa ia lakukan selain diam. "Besok, temui pemuda itu di alamat yang nanti Ayah kirim. Kamu harus terima itu semua, jika kamu tidak ingin menanggung konsekuensinya. Paham!" Dera hanya diam, tidak ada niatan untuk mengangguk ataupun menerima. Dera tidak tau harus melakukan apa. Namun akhirnya ia tersenyum miring, semuanya harus ada bayaran dan imbalan yang setimpal. Dera tidak bodoh untuk menerima semuanya dengan sukarela. Lagipula hidupnya dari dulu sudah susah karena mereka. "Dera, aku mohon turutin kemauan Ayah aja. Ayah sudah melakukan yang terbaik buat kamu, tolongin aku Dera." itu Dela, suaranya begitu mendayu dan lembut ketika didengar. Dera akhirnya menatap Dela dengan sinis, ia tau drama apa yang sebenarnya kembarannya itu buat. Drama merasa paling tersakiti, namun sebenarnya ia yang paling menderita di sini. "Harusnya lo kan yang ada di posisi ini! Lo harusnya terima apapun kelebihan atau kekurangan calon suami lo. Bukan main kabur dan nggak setuju kayak gini. Bangsat, babi, anjing emang lo!?" "Dera! Jangan ngomong kasar?!" Dari lagi-lagi hanya bisa tertawa. Namun sebenarnya ia lebih menertawakan dirinya sendiri yang terkesan tak berdaya ini. "Oke... Dera bakalan gantiin Dela di perjodohan ini dengan catatan, saham tiga puluh lima persen perusahaan bakalan jatuh ketangan Dera," kata Dera sembari menghirup oksigen sebentar. "Mau dilanjut atau tidak, semua ada ditangan kalian sendiri sekarang. Dera nggak bodoh! Apapun harus ada timbal balik kan? " Dera akhirnya melangkah pergi dari sana dengan senyuman manis. Anggap saja saham yang ia minta adalah bentuk tanggung jawab mereka selama 21 tahun Dera hidup. "Dera! Jangan kurang ajar!" Terlambat, Dera sudah menyumpal kedua telinganya dengan earphone yang setiap hari selalu ia bawa sambil berbalik dan mengacungkan jari tengahnya. *****Syarat yang diajukan olehnya mengenai saham tiga puluh lima persen itu berhasil. Ayahnya mampu menyetujui apa yang ia ajukan, bahkan tak tanggung-tanggung ia juga mengiriminya banyak uang ke nomor rekening Dera. Perjodohan itu tak lama lagi akan terlaksana, dan sepertinya hidup bebasnya tidak akan lama lagi dimulai hari ini. Terlebih Ayahnya mengirimi alamat restoran yang akan menjadi titik temu mereka. Mungkin bisa dibilang kencan kata para sohibnya. "Lo yakin Ra mau dateng ke sana? Lo dijodohin sama orang yang mungkin memiliki keterbatasan dalam berjalan loh Ra." Zea memang sekarang sedang main di tempat Dera. "Gue nggak bisa nolak lagi Ze. Ayah udah menyetujui persyaratan gue soal saham, bahkan nggak tanggung-tanggung dia ngirimin banyak uang buat keperluan kencan dengan pria itu." Dera menghela nafas lelah. "Pikirin kebahagian lo Ra. Gue bisa bantu lo, kalau lo pengin kabur sekarang." "Selama ini kebahagiaan gue juga bisa dibilang nggak ada Ze. It's okay, kalau pemuda itu
Dera merasa hari ini sangat melelahkan. Tenaganya sudah terkuras habis, dan ia tidak ingin melakukan apapun selain hanya rebahan. Sepertinya, bertemu pria bernama Dafi Ezekiel Addison itu bukan perkara yang bagus untuk Dera. Merayap menuju kamar yang selama ini menemaninya. Rasa lelahnya benar-benar membuatnya lunglai, tidak ada semangat yang berkorbar sedikit pun di dalam dirinya. Hingga ketika ia sampai di tepian kasur dan melempar tubuhnya, entah kenapa rasanya seperti dihantam sesuatu yang sangat Keras. Apakah sudah lama Dera tidak mengganti kasur tidurnya itu? "Sakit banget njirrrr, kayak ditimpuk batu. Kapan terakhir gue ganti kasur? Ehhh, soal kuliah gue, itu dosen pembimbing nyariin gue nggak ya? Gue belum nyicil bahan skripsi soalnya." Disaat seperti ini, Dera masih memikirkan masa depannya. Sebenarnya Dera bisa saja bersikap bodoamat, apalagi ketika ia diharuskan menjadi pengganti dari perjodohan saudaranya yang akhirnya membuat ia benar-benar benci dengan hidupnyaa sen
"Pernikahan kamu akan dipercepat satu minggu lagi. Jadi selama menunggu hari itu tiba, kamu harus kembali ke rumah saya lagi. Ini saya lakukan agar tidak ada kecurigaan dari pihak mempelai pria." Dera hampir saja membenturkan kepalanya ketembok, ketika sang Ayah mengetahui tempat dirinya tinggal berada saat ini. Ia baru saja pulang kuliah, otaknya dihajar habis-habisan kerena bimbingan skripsi dengan Dosen tadi. Lalu apa setelah ini? Menikah? Dalam waktu dekat? Oh tidak, ia belum menyiapkan mentalnya! Dera juga tidak pernah berpikiran untuk menikah secepat ini! Tolong, katakan pada Dera bahwa ia hanya sedang bermimpi sekarang! "Saya sudah menuruti permintaan kamu mengenai saham tiga puluh lima persen, bahkan karena kamu saya jadi dimusuhi oleh Dela karena katanya terlalu memanjakan kamu. Mungkin jika bukan karena nama baik keluarga, saya segan memberikan saham saya ke kamu." Dera berdecih sinis, "Kalau tidak ikhlas, Dera bisa kembalikan itu semua. Dengan catatan, Dera bebas nge
Siang berganti malam, hari berganti hari, waktu tak terasa berjalan sangat cepat bagi seorang Dera. Satu minggu telah berlalu, dan ini adalah hari penting bagi Dera. Namun sebenarnya tidak pernah ada sedikitpun di dalam rencananya. Hari pernikahan yang tak pernah Dera bayangkan sejauh ini. Rasanya begitu mustahil, namun ia sedang menapaki realitanya sekarang. Antara sedih, bahagia, dan bingung, bahkan dimata Dera tidak ada sedikitpun ekspresi yang kentara. "Der, gue nggak pernah nyangka kalau lo bakalan nikah secepat ini. Mau bahagia karena salah satu sahabat gue mau nikahpun kayaknya nggak bakalan bisa, mata lo udah menjelaskan semuanya." Zea mengutarakan pendapatnya. Para sohib Dera memang sedang berkumpul menjadi satu di kamar Dera. Tanpa terkecuali, semuanya datang meskipun mereka sebenarnya sibuk dan memiliki urusan masing-masing. Namun demi Dera, mereka mengesampingkan semuanya dan mengosongkan jadwal. Termasuk jadwal kuliah mereka sendiri. Mereka memakai pakaian formal,
Pernikahan hendak dilakukan secara kekeluargaan namun bisa dikatakan mewah untuk seukuran Dera. Tamu undangan bisa dihitung dengan jari karena hanya menyediakan beberapa kursi, dan semuanya hanya diisi oleh keluarga mereka saja. Meskipun pengumuman pernikahan telah dikonsumsi publik, namun tidak ada media yang meliput seperti yang Dera bayangkan sebelumnya. Mungkin karena posisi mempelai pria yang belum lama mengalami kecelakaan dan mengalami kelumpuhan, ditambah lagi dengan terjadinya pengantin pengganti yaitu dirinya sendiri. "Sebenarnya saya kecewa ketika kalian memilih untuk mengganti putri yang akan dinikahi putra saya. Namun di balik itu saya bersyukur, sifat-sifat buruk dari putri anda terbongkar sebelum melangkah lebih jauh. Entah dengan sifat putri anda yang satu ini." Dera yang baru saja menginjakkan kakinya di tangga terakhir, dibuat mematung di tempat diselingi rasa takut. Ia kenal pria paruh baya itu, ia sering melihatnya ditelevisi karena kesuksesan bisnis dari berb
"Saya terima nikah dan kawinnya Dera Aurora Bethany binti Bapak Nugraha dengan mas kawin tersebut dibayar tunai." Dera tergugu di tempat, dan sempat membekukan pikirannya untuk sementara waktu. Mahar yang diucapkan oleh pewaris tunggal kaya raya di sampingnya tadi pagitidak main-main, setidaknya cukup menghidupinya untuk lima tahun ke depan. Mobil, cincin berlian, uang 1 miliyar, bahkan Dera tidak perlu takut lagi jika ia mendapatkan talak tiga dalam waktu kurun dekat ini. Mahar itu untuknya kan? Atau ada pembagian harta setelah ini? Apakah orang tuanya memiliki hak atas mahar-mahar yang diberikan kepadanya itu? Ia akan menjamin bahwa harta itu untuknya semua, sebut saja Dera serakah. Ia jadi membayangkan hidup hedonisnya selepas ini. "SAH." Dera mengerjapkan matanya. Jadi sekarang ia tidak berstatus lajang lagi, ia resmi menjadi istri orang diusianya yang masih ke dua puluh satu. Hidup hedonnya sepertinya akan dimulai, tetapi ia juga tidak yakin hidupnya akan dipermudah setela
Mansion yang terletak di pusat kota, dengan ornamen bernuansa eropa itu membuat Dera tidak bisa fokus sedari tadi. Ia mengenali bangunan ini, bahkan ia pernah berhenti sejenak dan mengagumi bangunan di depannya sembari berkhayal jauh kapan bisa memilikinya. Namun, bukan itu yang Dera pikirkan saat ini. Ia melirik ke arah Dafi yang sedang dibantu keluar dari mobil, lalu mengetuk-ngetuk dagunya sambil berpikir untuk beberapa saat. Ia mengumpulkan memori-memori otaknya dengan keras, sepertinya pertemuan pertama dengan Dafi bukan di restoran itu tetapi di tempat lain. "Ada yang nggak beres, tapi gue juga mager buat cari tau. Fakta pasti akan terkuak nggak akan lama lagi. Gue jamin!" Dera tersenyum polos, ketika pintu mobilnya dibuka perlahan oleh anak buah suaminya. Disitulah ia melihat sosok Dafi yang lagi-lagi sudah di dorong jauh meninggalkan dirinya. Mau menggurutu pun, Dera paham dengan situasinya sendiri. Dera kan hanya seorang pengantin pengganti saja, meskipun ciuman pertaman
"Saya tidak akan mengizinkan kamu pisah kamar dengan saya, terlebih dengan alasan klasik seperti itu. Apa kamu pikir sebelum menikahi kamu, saya tidak tau kelakuan kamu di luar sana?" final Dafi, suami Dera yang kini duduk santai dengan Dera yang terlihat agak linglung. Sembari menikmati secangkir teh hangat dan kudapannya, Dera akhirnya tak henti-hentinya menganggukkan kepalanya sebagai tanda mengerti. Ia tidak ingin berdebat dan berbicara lebih panjang lagi, karena sudah pasti Dera akan kalah telak. Bahkan Dera sekarang sudah tak terlalu mendengarkan, tapi pada intinya semua aktivitas yang akan dilakukan oleh Dera harus atas izin Dafi. Menyeruput teh yang mungkin sudah mulai dingin, Dera menatap lamat Dafi yang terus berbicara tanpa menunjukkan ekspresinya sama sekali. Benar-benar pria yang kaku, tapi untung saja wajahnya tidak membosankan. Jadi biarkan Dera mengagumi ciptaan Tuhan yang nampak sempurna itu. "Kamu tidak mendengarkan perkataan saya?" Dafi akhirnya menyadari, istr
Pagi-pagi sekali, Dera dikejutkan dengan dering telepon yang mengharuskan dirinya pergi ke kampus. Jadi Dera yang hendak menyiapkan sarapan untuk dia dan Dafi memilih untuk berhenti, skripsi akhirnya lebih penting. Kemarin, baru saja dia mendapatkan ACC untuk bagian pembahasan. Sebentar lagi penderitaannya akan berakhir. Arkan juga sudah menyepam pesan sejak kemarin. Mungkin karena Dera belum sempat membuka ponsel, jadi baru sempat membukanya sekarang. Ada ajakan nongkrong kemarin, tapi tidak jadi karena Dera tidak ikut serta dengan mereka."Harus cepet, bentar lagi wisuda!" seru Dera penuh semangat. Dera segera bergegas, mengambil tasnya dan memasukkan laptop serta berkas-berkas penting yang sudah disiapkan sejak kemarin. Dafi, yang masih setengah terjaga, bangun dan melihat Dera yang tampak sibuk entah karena apa. "Buru-buru, mau kemana?" tanya Dafi dengan raut bingung. "Kampus, maaf ya nggak jadi masak. Bimbingan kali ini lebih awal dari hari-hari sebelumnya, ada urusan mendad
"Manusia sultan mah bebas. Gue yakin si Dafi rumahnya nggak cuma ini dan yang sebelumnya doang, pasti masih banyak aset yang gue nggak tau. Mana rumahnya tetep gede semua lagi." kata Dera sambil menggelengkan kepalanya tak habis pikir. "Ehhh tunggu, ini beneran rumah yang waktu itu gue datengin karena habis nolongin orang kan? Jadi apa bener yang gue tolongin waktu itu beneran si Dafi?" Dafi sudah keluar dari dalam mobil lebih dulu, meninggalkan dirinya yang masih berada di dalam mobil karena dia sempat berpura-pura tidur tadi. Luar kota yang dimaksud Dafi ternyata hanya perbatasan kota saja. Dera kira harus membutuhkan banyak waktu untuk perjalanan ke tempat yang Dafi maksud. Dera keluar dari mobil dengan perasaan campur aduk. Dia memandangi rumah besar yang sekarang tampak begitu familiar. Ingatannya mulai berputar kembali ke kejadian beberapa hari yang lalu ketika dia menolong seorang pria yang dikeroyok. "Jadi yang gue tolongin waktu itu beneran Dafi, jangan-jangan bener gue
"Apa itu masih sakit? Sini saya obatin muka kamu." kata Dafi ketika Dera baru saja masuk ke dalam mobil. Kaget, tentu saja Dera merasakan hal itu. Dafi menggeser tubuhnya agar Dera bisa duduk di sampingnya. Sejak tadi dia juga sudah menyiapkan P3K, berharap Dera mau segera diobati lukanya ketika menyusulnta. Namun nyatanya Dafi harus dibuat menunggu, sambil mengamati gerak-gerik yang dilakukan istrinya sejak tadi. Bangga tentu saja, padahal Dafi sudah mencari informasi sedetail yang dia bisa. Yang dilakukan Ayahnya kepada Dera hhanyalah menorehkan ebagian luka besar menganga tak pernah diobati. Namun Dera masih terlihat berbaik hati, menunggu dengan setia hingga Ayahnya masuk ke dalam taksi. "Ini mungkin sedikit perih, tapi kamu harus bertahan ya?" Dafi tiba-tiba berkata lembut, tangannya bergerak pelan membersihkan luka tamparan di wajah Dera dengan hati-hati. Dera meringis sedikit, tapi dia tetap diam tidak berkomentar apapun. Pikirannya masih dipenuhi oleh fakta-fakta yang
Dera itu memang tipikal perempuan yang gampang patuh, namun di sisi lain dia juga tipikal yang pembangkang juga. Setelah masuk ke dalam kontrakan, dia memilih untuk memasang telinganya dalam-dalam. Ingin tahu apa yang dibicarakan oleh Ayahnya dan suaminya secara serius tentu saja! Mendekatkan telinganya ke arah pintu, berharap bisa mendengar dengan jelas percakapan antara ayahnya dan Dafi di luar sana. Ayahnya berbicara dengan nada yang jelas tegang dan marah, sementara Dafi masih dengan suara yang tenang dan datar. "Saya sudah tidak peduli dengan siapa saya berbicara sekarang. Pada intinya, anda harus membantu perusahaan saya! Sesuai perjanjian bisnis dalam pernikahan, sudah seharusnya anda membantu keruntuhan perusahaan saya!" suara Ayah Dera terdengar jelas di telinga Dera saat ini. Dera terkekeh kecil, benar-benar tidak tau malu Ayahnya itu. Padahal Ayahnya sendiri yang melanggar perjanjian dengan menggantikan Dela dengan dirinya didetik-detik terakhir lantaran berita kecelakaa
Dera tidak langsung pulang ke rumah suaminya. Sebaliknya dia memilih untuk pergi ke tempat kontrakannya sebelumnya, ada beberapa barang penting yang seharusnya dia bawa ke tempat tinggal barunya. Beruntung ketika Arkan mengambil barang-barangnya tempo beberapa hari yang lalu, kuncinya tidak dibawa dan diletakkan di tempat persembunyian aman. Jadi dia memilih untuk bersantai sebentar, presetan dengan waktu yang sudah hampir menjelang sore. "Ini baru Dera, kehidupan seperti ini yang sebenarnya gue mau. Aman, tenang, damai, dan yang pasti hidup sendirian." kata Dera sambil tersenyum dan memejamkan matanya.Andai Ayahnya tidak memintanya untuk menikah, andai Ayahnya tidak memintanya untuk menggantikan posisi kembarannya dalam sebuah pernikahan bisnis, mungkin Dera masih bisa hidup dengan tenang sekarang. Minusnya, Dera mungkin akan selalu hidup di bawah garis kemiskinan. "Hidup terlalu sempurna untuk kembaran gue. Sedangkan hidup gue terlalu hancur demi kebahagian kembaran gue." lanjut
Dafi kini berada di kursi kebesarannya dengan senyum yang kadang-kadang timbul. Kantornya yang mewah dan rapi memancarkan kesan profesionalisme, namun pikiran Dafi melayang kembali ke momen-momen bersama Dera tadi pagi. Dia merasakan kepuasan yang mendalam melihat bagaimana hubungan mereka perlahan-lahan membaik meskipun dengan sedikit paksaan. Di depannya, Andrew Matthew sang sahabat sekaligus sekretarisnya itu menatap Dafi dengan raut bingung. Ia sebenarnya sedikit agak ngeri, kejadian seperti ini tidak pernah terjadi selama mereka menjalin persahabatan. Sahabatnya tidak sedang kerasukan kan sekarang? "Hei, bro," panggil Andrew pelan, berusaha mengembalikan perhatian Dafi dari lamunan dan senyum mengembangkan, "Lo nggak sedang kerasukan kan? Gue takut lo ketempelan genderuwo diperjalanan ke kantor tadi." Andrew Matthew menatap Dafi dengan rasa ingin tahu yang semakin besar. Ia sudah mengenal Dafi sejak lama, dan senyum yang kadang-kadang muncul di wajah sahabatnya itu adalah
Dera tersentak kaget, pagi-pagi sekali dia terbangun di dalam pelukan seseorang yang seharusnya ia hindari. Perasaan terakhir kali, dia sedang memeluk guling. Kenapa sekarang dia jadi memeluk Dafi Ezzekiel Edison? Kemana guling yang terakhir kali ia gunakan? Dera dengan hati-hati melepas pelukan mereka. Namun ketika dia hendak bangkit, Dafi benar-benar menarik tubuh Dera kembali dan merapatkan tubuh mereka. Dera jadi sedikit menggeliat meminta untuk dilepaskan, tetapi langsung bungkam ketika Dafi mengeluarkan kata-kata yang tidak disangka. "Diam, atau yang dibawah sana bangun karenamu. Tidur kembali, waktu masih sangat pagi untuk membuka mata." kata Dafi yang membuat Dera membelalakkan matanya. Pagi dari mana coba? Setelah Dera mengecek jam yang dipajang di area kamar tersebut, waktu sudah menjelang pukul sembilan pagi. Jika dia tidak salah ingat, skripsinya sudah terbengkalai cukup lama. Dia ingin segera melakukan bimbingan, dia ingin mendapatkan pekerjaan impiannya dengan ce
Dera bersedekap dada dengan kesal. Jika ada laki-laki paling menyebalkan di dunia ini, maka itu adalah suaminya sendiri. Tampan sih, kaya raya juga jangan ditanyakan lagi. Tapi yang paling menyebalkan di sini, kenapa laki-laki itu tega mengurungnya? "Sebenarnya apa yang dia mau dari gue? Perasaan gue bukan wanita sempurna kayak yang lain. Cantik, mungkin relatif. Tapi perasaan kelakuan gue berbeda dari yang lain. Buktinya aja gue langsung tantrum, pas tau gue dikunciin di dalam kamar." pikir Dera dengan sedikit rasa kekhawatiran yang terpancar dari dalam matanya. Dera akan menunggu Dafi Ezzekiel Edison itu datang ke kamar ini. Dia butuh penjelasan yang lebih spesifik mengapa laki-laki itu terlalu mengekangnya. Apa dia memiliki kesalahan di masa lalu kepada laki-laki itu. Jika iya, Dera akan meminta maaf sebesar-besarnya. Cklek... Pintu kamar yang diwanti-wanti Dera untuk dibuka akhirnya terwujud juga. Dia menantikan momen ini, momen dimana dia akan memaksa Dafi untuk menjela
Dera bertepuk tangan ketika hasil kreativitasnya seharian ini bersama para koki telah selesai. Sebentar lagi waktu makan malam akan tiba, dan Dafi juga akan pulang ke rumah sebentar lagi. Ia jadi tidak sabar memamerkan hasil yang ia ciptakan ini. Dera tentu saja sangat puas. Merasa badannya lengket karena keringat, mungkin ia mandi terlebih dulu sembari menunggu sang Tuan rumah pulang. Karena Dera tipikal orang yang tidak terlalu menghabiskan banyak waktu di kamar mandi, sepertinya sepuluh menit cukup untuk menyegarkan badannya. "Untuk sementara, gue emang jadi Nyonya di rumah ini. Mungkin nikmati dulu kehidupan glamor yang nggak datang dua kali, sebelum didepak sama Dapi. Sayang sekali, tampilan gue tetep kayak anak itik habis kecebur got. Miris!" Dera menatap dirinya dicermin sambil menggelengkan kepalanya. Begitu sialnya Dafi sang suami, sampai-sampai mendapatkan wanita tidak tau cara berpenampilan seperti Dera. Mau memuji diri sendiri pun, sepertinya tidak ada yang menarik da