"Anjirrr, gue kesiangan! Gue lupa ada agenda mau ketemu Dosen Pembimbing!"
Dera kelimpungan tidak jelas. Melompat dari tempat tidur, lantas ia berlari menuju kamar mandi untuk cuci muka saja. Tidak perlu mandi, gosok gigi saja yang ia lakukan sembari mencari pakaian yang hendak digunakan. Mengambil celana jeans hitam dan kaos oblong oversize, lantas ia mengambil hoodie putih sebagai pelengkapnya. Sudah, habis itu ia pergi mencari kunci motornya setelah mengaplikasikan sunscreen di wajahnya. "Kenapa disaat genting kayak gini, gue malah lupa naruh kunci motor! Gue harus gimana sekarang!" Dera panik setengah mati. Mencari ponsel untuk menghubungi seseorang, justru ia menemukan notifikasi informasi bahwasaannya pertemuan dengan Dosen pembimbing mereka ditunda. Dera yang membacanya berulang kali, jadi lega sendiri akhirnya. "Santuyyy, rileks Dera. Nggak ada yang perlu lo cemasin sekarang, sekarang pikirin gimana cara lo mau pergi ke kampus?" Dera memilih untuk duduk sembari memikirkan kapan terakhir ia menaruh kunci motornya. Barangkali ada sekelebat bayangan memori yang menuntunnya untuk menemukan kunci motor tersebut. Namun setelah itu ia pasrah, ia memilih untuk memesan ojek online saja meskipun ia sendiri harus menunggu lama. Lima belas menit kemudian, ojek online yang Dera pesan akhirnya datang. Dengan buru-buru, ia meraih tas punggungnya dan berjalan keluar. "Maaf Mas, nungguin lama." kata Dera basa-basi, padahal ia sudah berdiri tepat ojek online itu tiba di tempatnya. "Saya yang terlambat neng, maafin. Ini ke alamat seperti yang dipesan kan?" Dera mengangguk. Dalam hatinya semoga saja para sahabatnya sudah datang ke kampus hari ini. Ia lapar, tapi tabungan yang ia punya hanya tersisa sedikit lagi. Hanya merekalah harapan Dera agar perutnya bisa kenyang dan makan enak. Perutnya tidak akan kelaparan lagi setelah ini. "Makasih Mas, maaf nggak bisa ngasih lebih. Saya kere soalnya." kata Dera setelah sampai di depan kampus, diselingi kekehan kecil. Dera berjalan masuk, membuka ponsel berharap mendapat notifikasi masuk mengenai posisi para sahabatnya. Berjalan sembari menunggu balasan, ternyata para sahabatnya sudah berkumpul di kantin dari setengah jam yang lalu dan menunggunya. Ia bergegas pergi, takut mereka menunggunya lebih lama lagi. Baru setelah ia sampai di depan pintu kantin, matanya mencari keseluruh penjuru barangkali ada orang-orang yang dikenalnya. "Woyyy Dera... Kita di sini! Cepetan, gue nungguin lo makan sarapan bareng!" Meskipun malu karena diteriaki, Dera tetap berjalan ke arah sumber suara. Posisi mereka ada di area pojok kanan kantin, merasa tersembunyi dari yang lain. Namun disitulah mereka justru leluasa mengobralkan candaannya. "Tumben kalian lagi ngumpul semua gini. Biasanya bikin geng sendiri-sendiri." ucap Dera selanjutnya. Yang dimaksud adalah sahabat laki-laki dan perempuannya sedang bergabung menjadi satu. Seolah ada hal menarik, yang sedang mereka bincangkan dibelakangnya. Dera penasaran setengah mati. "Si trio cecunguk ini katanya ada hot news, makanya kita ikutan gabung ke sini. Katanya bentar lagi lo mau nikah ya? Kata Zidan kayak gitu tadi." Buset, Dera memegangi dadanya seolah telah terhantam sesuatu yang sangat keras. Apa-apaan mereka ini, Dera saja belum mengizinkan yang lain untuk membeberkannya. Atau dia lupa mengancam sebelumnya? "zidan, lo kalau ngasih info jangan setengah-setengah dong. Kasihan si Reina sama Zea, mereka jadi salah paham sama gue." kata Dera kemudian, karena Zidan sepertinya baru menceritakan sebagian cerita. Sahabat perempuan Dera ada empat. Namun yang datang hanya Reina dan Zea saja, dua orang lainnya sedang berlibur di luar negeri entah karena masalah apa. Mereka dari jurusan yang sama, itu kenapa Dera dan mereka bisa dekat. Sedangkan dengan sahabat cowoknya, Dera sudah menganal dari zaman SD. Mereka sudah tau seluk beluk hidup mereka masing-masing, susah senang dijalani bersama. "Jadi gini guys, kalian tau Dela kan?" tanya Dera pada Reina dan Zea, ia akhirnya lebih memilih untuk membuka sesi cerita. "Tau, si Mak Lampir itukan? Kenapa?" Dera menggaruk-garuk rambutnya yang tak gatal. Ia jadi bingung mau ngejelasin dari mana sekarang. "Si Dela ini mau dijodohin sama Bapaknya. Tapi karena si Dela tau kalau cowok yang mau dijodohin sama dia katanya habis kecelakaan dan lumpuh, akhirnya si Dela kabur. Dan jadilah, tumbal Bapaknya sekarang adalah gue." jelas Dera panjang lebar. "Bapaknya, Bapak lo juga kali!" sahut Zidan menyanggah. "Masalahnya gue nggak pernah nganggep dia Bapak gue, gimana dong?" Benar juga. Dera bisa dikatakan sudah mandiri sejak kecil. Ketidak adilan yang ia dapat, membuatnya hidupnya penuh perjuangan yang sangat keras. Mungkin di dunia ini tidak ada yang sekuat Dera. Begitulah pikir mereka. "Jadi kelanjutannya kayak gimana? Lo bakalan tetep gantiin si Mak Lampir itu? Lo bakalan ikhlas lahir batin begitu?" tanya Zea penasaran. "Nggak tau. Apapun yang terjadi nanti, semuanya nggak ada dalam pikiran dan tujuan hidup gue. Btw, gue udah di pesenin makan kan?" "Tenang, udah di pesenin. Masalah bayar mah udah di handle sama si Arkan." Dera menoleh ke arah Arkan, kemudian tersenyum manis. "Terimakasih, my big brother." kata Dela sembari memeluk Arkan, kebetulan Arkan duduk di paling ujung. "Nggak masalah. Lo kalau ada apa-apa tinggal bilang gue, atau Bokap Nyokap gue. Kemarin Bokap gue juga ngirim uang ke rekening lo, cek aja nanti. Katanya buat uang kuliah sama uang makan bulan ini." Dera yang seharusnya mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya, justru ia mendapatkan kasih sayang itu dari orang lain yang tak lain adalah Om dan Tantenya sendiri. Segala sesuatu termasuk biaya hidup, itu semua ada campur tangan dari orang tua Arkan. Namun Dera masih tahu diri, terkadang ia bekerja paruh waktu setelah pulang sekolah untuk menghidupi dirinya sendiri. Mungkin jika tidak ada keluarga Arkan, Dera sudah tidak ada di dunia ini karena hidup susah. Mereka lah penopang Dera untuk hidup, untuk merasakan kasih sayang, merasakan apa itu keluarga meskipun dalam sekejap. "Thanks, big bro. Nanti bilangin ke Bokap lo kalau bulan depan jangan ngasih uang lagi. Gue udah ada kerjaan lagi soalnya." ungkap Dera pada Arkan. Arkan menyipitkan matanya, "Kerja apa? Jangan ikut balap-balapan lagi Ra. Gue nggak mau terjadi apa-apa sama Adik tersayang gue." Dera memang sudah ia anggap seperti Adik Arkan sendiri. Sebagai anak tunggal, ia ingin sekali memiliki seorang Adik. Arkan dan Dera sendiri memiliki selisih umur sekitar lima bulanan, itu kenapa Arkan menganggapnya sebagai Adik. "Ya nggak janji sih, kan lo tau itu hobi gue." jawab Dera yang kemudian memakan makanannya dengan khikmat. Kemarin ia belum sempat makan karena waktu sudah larut malam. Para sohibnya juga sudah pulang, tentu setelah mengunci pintu kosnya dan menyembunyikan kunci. Ia tidur dengan perut kosong sampai pagi, namun tak urung membuat tidurnya sangat nyenyak. "Ishhh, jangan gitu dong Ra. Lo tau kan hobi lo bahaya!" Reina yang tadi diam saja ikut-ikutan memperingati. "Nggak apa-apa bahaya, kalau mati kan tinggal dikubur." Mereka menggeleng secara bersamaan. Jalan pikir Dera sudah dikatakan sangat gelap, mungkin karena terlalu lama menelan rasa sakit hati. "Masih muda Ra, nggak ada salahnya mencoba hal baru. Tapi dengan cara yang nggak ngebahayain diri lo gitu, gue yakin lo pasti bisa." Aldo yang sedari tadi fokus membaca buku turut membuka suaranya. "Nggak janji. Gue udah selesai makan nih, gue duluan ya. Bye semua!" pamit Dera selanjutnya. Dera berlari, meninggalkan mereka yang dibuat bingung dengan tingkahnya. Namun sejujurnya, Dera hanya tidak ingin mendengar nasihat-nasihat yang dilayangkan kepadanya saja. Dera tidak ingin mendengar apapun. "Lo yang namanya Dera kan? Lo dicariin sama orang diluar gerbang tuh. Katanya penting dan harus cepet ke sana. Kalau lo nggak ke sana, katanya bakalan ada konsekuensinya." ada yang menepuk bahu Dera ketika sedang berjalan di Koridor kampus. "Gue? Siapa yang nyariin gue? Nggak ada kerjaan amat nyariin itik buruk rupa." "Heh, nggak boleh ngomong gitu! Gue nggak tau orangnya sih, udah lihat dulu aja sana. Barangkali beneran penting. Tapi kalau emang itu ancaman buat lo, teriak aja sekencang mungkin nanti." "Ya udah, thanks infonya." Dera berlari, barangkali informasi itu benar adanya dan memang penting. Namun akhirnya ia memberhentikan langkahnya, setelah mengenali sosok yang katanya sedang menunggunya. "Hidup damai gue kayaknya udah nggak ada lagi. Pak Tua bela-belain nyari gue ke sini tandanya gue harus mengiyakan apa yang dia mau kan?" Dera mendadak hilang arah. Jika ada dua pilihan antara hidup dan mati saat ini, pasti Dera akan memilih opsi kedua saja. Dera bukan boneka mereka kan? Dera sudah lama melepaskan diri dari jeratan mereka. *****Ayahnya tidak main-main sepertinya. Apa yang ia ucapkan kemarin adalah mutlak, dan tidak bisa dibantah oleh Dera. Sedangkan Dera hanya bisa terdiam seribu bahasa saja sekarang, sepertinya dia benar-benar ditimbalkan kepada masalah mereka. Dera menatap jalanan melewati kaca jendela mobil dengan tatapan kosong. Jejak emosi mendadak lenyap dari matanya, namun tidak dengan hatinya yang sedang menyimpan beribu-ribu emosi yang masih terpendam dan bersiap untuk diluapkan kapan saja. Kedua tangannya masih terkepal erat, siap untuk memukul siapapun yang berani mengganggunya. "Kenapa Ayah masih ngotot buat jadiin Dera pengganti dari kesialan Dela? Kemarin Dera udah bilang nggak setuju kan, kenapa masih maksa?" Dera tertawa pada akhirnya. Ia sudah menolak kan kemarin? Kenapa pria tua itu masih memaksa kehendaknya sendiri? Lagipula pria itu sudah tidak ada hak atas dirinya lagi kan? Dera selalu diacuhkan dan tidak dipedulikan oleh mereka. "Hahaha... Jangan-jangan semua ini udah direncanain
Syarat yang diajukan olehnya mengenai saham tiga puluh lima persen itu berhasil. Ayahnya mampu menyetujui apa yang ia ajukan, bahkan tak tanggung-tanggung ia juga mengiriminya banyak uang ke nomor rekening Dera. Perjodohan itu tak lama lagi akan terlaksana, dan sepertinya hidup bebasnya tidak akan lama lagi dimulai hari ini. Terlebih Ayahnya mengirimi alamat restoran yang akan menjadi titik temu mereka. Mungkin bisa dibilang kencan kata para sohibnya. "Lo yakin Ra mau dateng ke sana? Lo dijodohin sama orang yang mungkin memiliki keterbatasan dalam berjalan loh Ra." Zea memang sekarang sedang main di tempat Dera. "Gue nggak bisa nolak lagi Ze. Ayah udah menyetujui persyaratan gue soal saham, bahkan nggak tanggung-tanggung dia ngirimin banyak uang buat keperluan kencan dengan pria itu." Dera menghela nafas lelah. "Pikirin kebahagian lo Ra. Gue bisa bantu lo, kalau lo pengin kabur sekarang." "Selama ini kebahagiaan gue juga bisa dibilang nggak ada Ze. It's okay, kalau pemuda itu
Dera merasa hari ini sangat melelahkan. Tenaganya sudah terkuras habis, dan ia tidak ingin melakukan apapun selain hanya rebahan. Sepertinya, bertemu pria bernama Dafi Ezekiel Addison itu bukan perkara yang bagus untuk Dera. Merayap menuju kamar yang selama ini menemaninya. Rasa lelahnya benar-benar membuatnya lunglai, tidak ada semangat yang berkorbar sedikit pun di dalam dirinya. Hingga ketika ia sampai di tepian kasur dan melempar tubuhnya, entah kenapa rasanya seperti dihantam sesuatu yang sangat Keras. Apakah sudah lama Dera tidak mengganti kasur tidurnya itu? "Sakit banget njirrrr, kayak ditimpuk batu. Kapan terakhir gue ganti kasur? Ehhh, soal kuliah gue, itu dosen pembimbing nyariin gue nggak ya? Gue belum nyicil bahan skripsi soalnya." Disaat seperti ini, Dera masih memikirkan masa depannya. Sebenarnya Dera bisa saja bersikap bodoamat, apalagi ketika ia diharuskan menjadi pengganti dari perjodohan saudaranya yang akhirnya membuat ia benar-benar benci dengan hidupnyaa sen
"Pernikahan kamu akan dipercepat satu minggu lagi. Jadi selama menunggu hari itu tiba, kamu harus kembali ke rumah saya lagi. Ini saya lakukan agar tidak ada kecurigaan dari pihak mempelai pria." Dera hampir saja membenturkan kepalanya ketembok, ketika sang Ayah mengetahui tempat dirinya tinggal berada saat ini. Ia baru saja pulang kuliah, otaknya dihajar habis-habisan kerena bimbingan skripsi dengan Dosen tadi. Lalu apa setelah ini? Menikah? Dalam waktu dekat? Oh tidak, ia belum menyiapkan mentalnya! Dera juga tidak pernah berpikiran untuk menikah secepat ini! Tolong, katakan pada Dera bahwa ia hanya sedang bermimpi sekarang! "Saya sudah menuruti permintaan kamu mengenai saham tiga puluh lima persen, bahkan karena kamu saya jadi dimusuhi oleh Dela karena katanya terlalu memanjakan kamu. Mungkin jika bukan karena nama baik keluarga, saya segan memberikan saham saya ke kamu." Dera berdecih sinis, "Kalau tidak ikhlas, Dera bisa kembalikan itu semua. Dengan catatan, Dera bebas nge
Siang berganti malam, hari berganti hari, waktu tak terasa berjalan sangat cepat bagi seorang Dera. Satu minggu telah berlalu, dan ini adalah hari penting bagi Dera. Namun sebenarnya tidak pernah ada sedikitpun di dalam rencananya. Hari pernikahan yang tak pernah Dera bayangkan sejauh ini. Rasanya begitu mustahil, namun ia sedang menapaki realitanya sekarang. Antara sedih, bahagia, dan bingung, bahkan dimata Dera tidak ada sedikitpun ekspresi yang kentara. "Der, gue nggak pernah nyangka kalau lo bakalan nikah secepat ini. Mau bahagia karena salah satu sahabat gue mau nikahpun kayaknya nggak bakalan bisa, mata lo udah menjelaskan semuanya." Zea mengutarakan pendapatnya. Para sohib Dera memang sedang berkumpul menjadi satu di kamar Dera. Tanpa terkecuali, semuanya datang meskipun mereka sebenarnya sibuk dan memiliki urusan masing-masing. Namun demi Dera, mereka mengesampingkan semuanya dan mengosongkan jadwal. Termasuk jadwal kuliah mereka sendiri. Mereka memakai pakaian formal,
Pernikahan hendak dilakukan secara kekeluargaan namun bisa dikatakan mewah untuk seukuran Dera. Tamu undangan bisa dihitung dengan jari karena hanya menyediakan beberapa kursi, dan semuanya hanya diisi oleh keluarga mereka saja. Meskipun pengumuman pernikahan telah dikonsumsi publik, namun tidak ada media yang meliput seperti yang Dera bayangkan sebelumnya. Mungkin karena posisi mempelai pria yang belum lama mengalami kecelakaan dan mengalami kelumpuhan, ditambah lagi dengan terjadinya pengantin pengganti yaitu dirinya sendiri. "Sebenarnya saya kecewa ketika kalian memilih untuk mengganti putri yang akan dinikahi putra saya. Namun di balik itu saya bersyukur, sifat-sifat buruk dari putri anda terbongkar sebelum melangkah lebih jauh. Entah dengan sifat putri anda yang satu ini." Dera yang baru saja menginjakkan kakinya di tangga terakhir, dibuat mematung di tempat diselingi rasa takut. Ia kenal pria paruh baya itu, ia sering melihatnya ditelevisi karena kesuksesan bisnis dari berb
"Saya terima nikah dan kawinnya Dera Aurora Bethany binti Bapak Nugraha dengan mas kawin tersebut dibayar tunai." Dera tergugu di tempat, dan sempat membekukan pikirannya untuk sementara waktu. Mahar yang diucapkan oleh pewaris tunggal kaya raya di sampingnya tadi pagitidak main-main, setidaknya cukup menghidupinya untuk lima tahun ke depan. Mobil, cincin berlian, uang 1 miliyar, bahkan Dera tidak perlu takut lagi jika ia mendapatkan talak tiga dalam waktu kurun dekat ini. Mahar itu untuknya kan? Atau ada pembagian harta setelah ini? Apakah orang tuanya memiliki hak atas mahar-mahar yang diberikan kepadanya itu? Ia akan menjamin bahwa harta itu untuknya semua, sebut saja Dera serakah. Ia jadi membayangkan hidup hedonisnya selepas ini. "SAH." Dera mengerjapkan matanya. Jadi sekarang ia tidak berstatus lajang lagi, ia resmi menjadi istri orang diusianya yang masih ke dua puluh satu. Hidup hedonnya sepertinya akan dimulai, tetapi ia juga tidak yakin hidupnya akan dipermudah setela
Mansion yang terletak di pusat kota, dengan ornamen bernuansa eropa itu membuat Dera tidak bisa fokus sedari tadi. Ia mengenali bangunan ini, bahkan ia pernah berhenti sejenak dan mengagumi bangunan di depannya sembari berkhayal jauh kapan bisa memilikinya. Namun, bukan itu yang Dera pikirkan saat ini. Ia melirik ke arah Dafi yang sedang dibantu keluar dari mobil, lalu mengetuk-ngetuk dagunya sambil berpikir untuk beberapa saat. Ia mengumpulkan memori-memori otaknya dengan keras, sepertinya pertemuan pertama dengan Dafi bukan di restoran itu tetapi di tempat lain. "Ada yang nggak beres, tapi gue juga mager buat cari tau. Fakta pasti akan terkuak nggak akan lama lagi. Gue jamin!" Dera tersenyum polos, ketika pintu mobilnya dibuka perlahan oleh anak buah suaminya. Disitulah ia melihat sosok Dafi yang lagi-lagi sudah di dorong jauh meninggalkan dirinya. Mau menggurutu pun, Dera paham dengan situasinya sendiri. Dera kan hanya seorang pengantin pengganti saja, meskipun ciuman pertaman