"Habiba, sebegitu yakinnya kau akan kembali bersama dengan lelaki itu?" ucap Irzan dengan suara lembut dan tatapan teduh. "Tomy sudah menceritakan semua yang telah terjadi padamu. Dan aku mencemaskanmu, Biba. Hidup bersama dengan keluarga yang tidak menerimamu itu sama sekali tidak baik. Apa lagi suamimu juga tidak memberikan dukungan sepenuhnya kepadamu. Lalu apa yang akan kau pertahankan dari hubunganmu ini?""Aku paham dengan kecemasanmu, pasti sama seperti yang dirasakan Mas Tomy. Tapi aku sudah besar, aku bisa tentukan pilihanku.""Justru kau akan selalu merasa terancam, tidak tenang dan hidup dalam perundungan mereka. Kesehatan mental dan pikiranmu jauh lebih penting dari segalanya." Irzan tampak khawatir. "Siapa yang tidak akan mencemaskan kondisimu yang sendirian menghadapi manusia- manusia seperti mereka?""Percayalah, aku akan baik- baik saja.""Aku percaya padamu, tapi aku tidak percaya pada mereka semua yang ada di lingkunganmu.""Tuan Muda Husein tidak akan membawaku pulan
“Tidak! Aku yang akan mengantarmu pulang! Bukan lelaki ini!” tegas Husein menunjuk Irzan dengan dagunya.“Tuan muda, saya tidak ingin ibu melihat Anda mengantar saya pulang. Biarkan ibu berbahagia dulu dengan cucunya. Saya hanya inginkan ibu fokus pada satu kebahagiaan, yaitu melihat cucunya lahir. Jika Anda bersama saya, maka semuanya tidak akan baik,” jawab Habiba.“Sekali aku bilang tidak, ya tidak!” tegas Husein.“Kau tidak bisa memaksa Habiba hanya karena kau adalah suaminya. Ada batasan suami mengatur istri. Mental istrimu jauh lebih penting dari segalanya. Jangan hanya memikirkan egomu untuk bisa menguasai Habiba sementara kau tidak pikirkan mental istrimu, apakah dia bisa tenang hidup bersamam denganmu?” ucap Irzan. “Biarkan Habiba kuantar pulang!”“Diam! Jangan bicara! Ini urusan rumah tanggaku!” balas Husein dengan tenang. “Tuan Muda, saya janji akan kembali kepada Anda. Ini hanya sementara. Saya ingin mengabarkan pada ibu bahwa cucunya sudah lahir. Saya ingi
Ah, kenapa Husein terpengaruh oleh perkataan Habiba? Memangnya apa yang membuatnya merasa seperti tertampar begini? Husein geram pada dirinya sendiri. Sekarang Husein harus menjawab apa? disaat kebingungan, untung saja dia menemukan mobil Irzan di luar, sehingga ia punya alasan untuk mengalihkan pembicaraan. “Irzan menunggumu di luar. Pergilah pindah mobil!” titah Husein.“Baik. Saya pamit dulu.” Habiba turun dari mobil.Husein menurunkan kaca mobilnya, menatap Irzan yang kaca mobilnya juga terbuka. “Aku titip Habiba,” kata Husein.Irzan diam saja. Seharusnya Habiba bukan hanya sekedar dititipkan kepadanya, melainkan dilepaskan untuknya.Habiba masuk ke mobil Irzan.Kemudian, wuuuush… mobil Husein langsung melesat pergi sebelum Irzan menjalankan mobilnya. Kencang sekali.“Suamimu pengendara handal ya?” Irzan geleng kepala.Habiba hanya melirik singkat ke arah Irzan tanpa menanggapi. Ingatannya malah melayang pada wajah Husein yang mendadak canggung saat tadi Habiba dengan beraninya
"Selamat siang, Bu." Irzan melangkah masuk. "Tomy tidak bisa menjemput Habiba di rumah sakit, jadi aku yang jemput."Fatona tampak fokus menimang Sakha, sampai dia tidak begitu respon dengan perkataan Irzan."Selamat Bu, sudah punya cucu!" imbuh Irzan dan ditanggapi dengan senyum oleh Fatona."Mau minum teh? Biar ibu buatkan," tawar Fatona."Tidak. Makasih, Bu." Irzan duduk di kursi. "Tomy memintaku supaya menjemput Habiba, dia sedang mengurus penjualan ikan- ikannya ke juragan ikan." "Jadi kalian menyembunyikan persalinan Habiba dari ibu?" Fatona menatap wajah Habiba dan Irzan silih berganti."Maaf, Bu. Aku hanya tidak ingin ibu menjadi khawatir, aku juga tidak mau membebani ibu. Tuan Husein memberikan kebutuhanku dengan sempurna. Bahkan Tian Husein juga menyembunyikan kelahiran anakku dari ibunya.""Jadi Bu Amira belum tahu kalau kamu sudah melahirkan?" tanya Fatona.Habiba mengangguk. Fatona duduk, memeluk Sakha dalam pangkuannya. "Bu Amira secepatnya harus tahu, supaya kamu bisa
Tiga hari kemudian, Habiba masih tinggal di rumah Fatona.Keputusan Fatona yang dengan tegas mengatakan bahwa Habiba tetap harus tinggal di rumahnya itu membuat Habiba tidak bisa berkutik, melawan Fatona hanya akan membuatnya tersudut. Menyakiti ibunya juga hanya akan membuat Habiba menyesal seumur hidupnya. Salah satu tujuan hidup Habiba adalah membahagiakan ibunya selagi sang ibu masih ada."Cepat kamu berkemas, kamu akan ikut ibu ke pengadilan agama untuk mengajukan gugatan cerai!" titah Fatona yang melintas di pintu kamar, kemudian melenggang pergi. Fatona sudah memakai baju rapi layaknya hendak bepergian.Habiba yang sedang memakaikan baju anaknya itu pun hanya bisa terdiam. Tak lama kemudian, Fatona muncul kembali. “Biba, ayo cepat! Ibu sudah siap! Kita harus menunggu ojek di depan sana. Jangan kelamaan, kalau berangkat siang- siang, nanti panas. Kasian anakmu.”Habiba membaringkan bayinya di kasur leseh tempat biasanya dia tidur. Ia bangkit berdiri dan menjangkau tang
Habiba menghambur keluar, terkejut melihat sosok lelaki tampan berperawakan tinggi dan gagah yang sudah berdiri di halaman rumah. Husein. Mobil bertengger di belakangnya.Alamak! Tuan muda Husein?Bukannya gelisah atas kedatangan Husein, Habiba malah tersenyum. Eh, tunggu dulu. Kenapa Habiba merasa senang melihat kedatangan Husein? Bukankah ini adalah petaka? Maksudnya kedatangan Husein hanya akan membawa masalah. Orang tua mereka sama- sama tidak mendukung perjalanan rumah tangga mereka.Habiba sontak melenyapkan senyum dari wajahnya.“Tuan Muda!” Habiba menyambut Husein dengan berlari kecil mendekati pria itu. “Kenapa kemari?”“Tidak boleh?”“Bukan begitu, tapi ibu mengajak saya ke pengadilan agama untuk mengajukan gugatan cerai. Saya tidak bisa membantahnya. Ibu tidak rela saya hidup bersama dengan keluarga menakutkan, ibu mencemaskan kondisi saya,” bisik Habiba waspada. “Saya sudah janji pada Tuan Muda bahwa saya akan kembali kepada Tuan. Tapi ibu bersikeras supaya ki
Ada apa ini? Kenapa Habiba merasa senang dengan pengakuan Husein? Dia masih terus menatap wajah Husein dengan lekat meski hanya menjangkau bagian samping saja.Fatona mengangguk. “Baiklah. Bawa putriku bersamamu. Tapi saya hanya memberikan kesempatan satu kali. Karena kehidupan putri saya adalah segalanya bagi saya. Jika saja Habiba sampai harus menanggung penderitaan yang ditimbulkan dari Anda atau pun keluarga Anda, maka Anda tidak punya kesmepatan sekali lagi untuk mengambil dia dari saya, Tuan Muda.”“Tidak. Habiba tidak boleh pergi,” sahut Tomy, tidak terima adiknya diserahkan kembali pada Husein.Sejurus pandangan tertuju pada Tomy yang menatap murka kepada Husein.“Seperti kesepakatan semula, maka sudah seharusnya kau ceraikan Habiba setelah anaknya lahir. Ayo, ceraikan dia! Talak dia!” seru Tomy.“Tidak. Keputusanku sudah bulat. Adikmu juga mau pulang denganku, dimana masalahnya?” Husein tampak tenang sekali.Tomy kemudian meraih tangan ibunya sambil berkata, “Bu,
Habiba menyusul Husein sambil membenahi rambut. Eh, kenapa jadi ingin terlihat rapi begini? Habiba menaiki anak tangga, memasuki kamar dimana Husien sudah lebih dulu berada di sana. "Ini kamarmu," kata Husein."Kalau begitu saya istirahat dulu. Saya lelah sekali." Habiba menaruh tubuh kecil Sakha ke kasur."Eits, jangan di situ!" tegas Husein membuat Habiba terkejut. Apa yang salah dengan menaruh bayinya di kasur? Bukankah mereka tidur di kasur itu? Tentu si bayi juga harus tidur di sana juga. Mana mungkin bayi tidur sendiri sedangkan dia masih menyusu."Memangnya Sakha harus tidur dimana? Dia masih bayi dan masih harus selalu menyusu setiap beberapa jam sekali. Tidak mungkin saya tidur terpisah dengannya," ucap Habiba dengan sopan."Lihat di sana!" Husein menunjuk ke arah lain, membuat pandangan Habiba mengikuti telunjuk itu. Dia terkesiap melihat perlengkapan bayi yang sangat bagus dan lengkap. Mulai dari kasur berukuran satu kali satu meter berkelambu putih, mainan bayi yang te