Tiga hari kemudian, Habiba masih tinggal di rumah Fatona.Keputusan Fatona yang dengan tegas mengatakan bahwa Habiba tetap harus tinggal di rumahnya itu membuat Habiba tidak bisa berkutik, melawan Fatona hanya akan membuatnya tersudut. Menyakiti ibunya juga hanya akan membuat Habiba menyesal seumur hidupnya. Salah satu tujuan hidup Habiba adalah membahagiakan ibunya selagi sang ibu masih ada."Cepat kamu berkemas, kamu akan ikut ibu ke pengadilan agama untuk mengajukan gugatan cerai!" titah Fatona yang melintas di pintu kamar, kemudian melenggang pergi. Fatona sudah memakai baju rapi layaknya hendak bepergian.Habiba yang sedang memakaikan baju anaknya itu pun hanya bisa terdiam. Tak lama kemudian, Fatona muncul kembali. “Biba, ayo cepat! Ibu sudah siap! Kita harus menunggu ojek di depan sana. Jangan kelamaan, kalau berangkat siang- siang, nanti panas. Kasian anakmu.”Habiba membaringkan bayinya di kasur leseh tempat biasanya dia tidur. Ia bangkit berdiri dan menjangkau tang
Habiba menghambur keluar, terkejut melihat sosok lelaki tampan berperawakan tinggi dan gagah yang sudah berdiri di halaman rumah. Husein. Mobil bertengger di belakangnya.Alamak! Tuan muda Husein?Bukannya gelisah atas kedatangan Husein, Habiba malah tersenyum. Eh, tunggu dulu. Kenapa Habiba merasa senang melihat kedatangan Husein? Bukankah ini adalah petaka? Maksudnya kedatangan Husein hanya akan membawa masalah. Orang tua mereka sama- sama tidak mendukung perjalanan rumah tangga mereka.Habiba sontak melenyapkan senyum dari wajahnya.“Tuan Muda!” Habiba menyambut Husein dengan berlari kecil mendekati pria itu. “Kenapa kemari?”“Tidak boleh?”“Bukan begitu, tapi ibu mengajak saya ke pengadilan agama untuk mengajukan gugatan cerai. Saya tidak bisa membantahnya. Ibu tidak rela saya hidup bersama dengan keluarga menakutkan, ibu mencemaskan kondisi saya,” bisik Habiba waspada. “Saya sudah janji pada Tuan Muda bahwa saya akan kembali kepada Tuan. Tapi ibu bersikeras supaya ki
Ada apa ini? Kenapa Habiba merasa senang dengan pengakuan Husein? Dia masih terus menatap wajah Husein dengan lekat meski hanya menjangkau bagian samping saja.Fatona mengangguk. “Baiklah. Bawa putriku bersamamu. Tapi saya hanya memberikan kesempatan satu kali. Karena kehidupan putri saya adalah segalanya bagi saya. Jika saja Habiba sampai harus menanggung penderitaan yang ditimbulkan dari Anda atau pun keluarga Anda, maka Anda tidak punya kesmepatan sekali lagi untuk mengambil dia dari saya, Tuan Muda.”“Tidak. Habiba tidak boleh pergi,” sahut Tomy, tidak terima adiknya diserahkan kembali pada Husein.Sejurus pandangan tertuju pada Tomy yang menatap murka kepada Husein.“Seperti kesepakatan semula, maka sudah seharusnya kau ceraikan Habiba setelah anaknya lahir. Ayo, ceraikan dia! Talak dia!” seru Tomy.“Tidak. Keputusanku sudah bulat. Adikmu juga mau pulang denganku, dimana masalahnya?” Husein tampak tenang sekali.Tomy kemudian meraih tangan ibunya sambil berkata, “Bu,
Habiba menyusul Husein sambil membenahi rambut. Eh, kenapa jadi ingin terlihat rapi begini? Habiba menaiki anak tangga, memasuki kamar dimana Husien sudah lebih dulu berada di sana. "Ini kamarmu," kata Husein."Kalau begitu saya istirahat dulu. Saya lelah sekali." Habiba menaruh tubuh kecil Sakha ke kasur."Eits, jangan di situ!" tegas Husein membuat Habiba terkejut. Apa yang salah dengan menaruh bayinya di kasur? Bukankah mereka tidur di kasur itu? Tentu si bayi juga harus tidur di sana juga. Mana mungkin bayi tidur sendiri sedangkan dia masih menyusu."Memangnya Sakha harus tidur dimana? Dia masih bayi dan masih harus selalu menyusu setiap beberapa jam sekali. Tidak mungkin saya tidur terpisah dengannya," ucap Habiba dengan sopan."Lihat di sana!" Husein menunjuk ke arah lain, membuat pandangan Habiba mengikuti telunjuk itu. Dia terkesiap melihat perlengkapan bayi yang sangat bagus dan lengkap. Mulai dari kasur berukuran satu kali satu meter berkelambu putih, mainan bayi yang te
Tanpa banyak tanya, Vena menuruti perintah sang majikan besar. Dia memasukkan semua boneka tanpa sisa seperti yang diperintahkan ke dalam keranjang.Alka membuka lemari, menurunkan semua pakaian milik Habiba yang jumlahnya tidak banyak. Pakaian berhamburan di lantai. "Bawa sekalian sampah- sampah ini, jangan sampai ada yang tersisa!" titah Alka lagi."Baik, Tuan!" Vena mengambili baju- baju itu, memasukkannya ke dalam keranjang, lalu membawanya pergi keluar kamar."Aku tidak mau ada satu pun barang milik wanita itu tertinggal di sini," tukas Alka, lagi- lagi tanpa tanggapan dari Husein.Husein menuangkan air mineral dari teko kaca, kemudian meneguknya."Dimana wanita itu sekarang? Terakhir kali kudengar dia hidup bersama dengan orang tuanya," ucap Alka.Husein mengedikkan pundak seolah tak peduli. Bahkan kini Habiba bukan hanya menjadi istri rahasia dari semua orang, tapi juga dari kedua orang tua Husein sendiri."Apakah dia sudah melahirkan?" tanya Alka membuat Husein yang sedang
“Kau mencurigai orang tuaku?” tanya Husein, menatap intens ke mata Amir.“Ah, tidak. Aku jadi takut jika menatapku begini.” Amir memalingkan pandangan. “Dalam penyelidikan ini, aku tidak membutuhkan rasa sungkanmu. Aku butuh kebenaran. Jadi kau mencurigai kedua orang taku?” ulang Husein.“Dari sekian banyaknya bukti, memang mengarah kepada Tuan Alka. Tapi ini masih kemungkinan, belum bisa dipastikan karena belum ada bukti sama sekali.”“Ada nama lain selain papaku?”Amir mengernyit, berpikir. “Aku terpaut pada film ‘The Blood’. Dimana si lelaki tergila- gila pada si wanita yang ternyata memilih lelaki lain. Dia memilih untuk menyingkirkan wanitanya dari pada melihat si wanita dimiliki oleh lelaki lain. Apakah mungkin ada orang yang mencintai Habiba segila ini?”Husein teringat dengan Irzan. Tapi ia menggeleng. “Kalaupun ada psikopat yang tergila- gila seperti bayanganmu itu, tapi dia tidak mungkin bisa memfasilitasi para pelaku. Karena dia berasal dari kalangan biasa, maksu
"Jadi kalian akan menungguiku mandi sampai selesai di sini? Aturan dari mana itu?" tanya Habiba."Kami hanya menjalankan perintah," jawab Erika sopan.Habiba akhirnya melepas baju, melempar ke arah dua Erika, membuat Erika spontan menangkap baju yang melayang terbang di hadapannya itu. Berikutnya, celananya menyusul terbang, ditangkao oleh Erika. Menyusul BH, terakhir kolor. Nikmati benda- benda keramat itu! Pikir Habiba sambil mengulum senyum. Dia lalu merendam badannya di dalam bath tub yang dipenuhi busa sabun. Erika kemudian mulai menggosok punggung Habiba pelan. Dan gosokan itu enak sekali. Sepertinya Erika sudah terbiasa melakukan kegiatan itu."Apakah ini terlalu keras, Nona?" tanya Erika. "Tidak."Sedangkan pelayan satunya membersihkan kuku kaki Habiba dengan cairan aneh yang Habiba tidak ketahui, yang jelas untuk membersihkan kotoran di kuku kakinya. Dia nyaris seperti sedang berada di salon profesional. Dipijit, digosok, bahkan kuku kaki pun berasa menicure pedicure, plu
Habiba balik badan, menggendong anaknya masuk ke kamar diikuti oleh Husein. Pria itu mengawasi setiap gerakan tangan Habiba yang tengah menyiapkan peralatan bayi. Mulai dari minyak kayu putih, pampers, bedak dan lain sebagainya.Sakha tetap dalam gendongan Habiba selagi wanita itu mempersiapkan peralatan bayi, Sakha tidak mau ditaruh. Dia menangis setiap kali diletakkan.Habiba menoleh pada Husein yang berdiri di dekatnya. “Anda melihat saya kerepotan bukan?”Husein hanya mengangkat alis saja.“Bisakah Anda bantu saya?” tanya Habiba."Sakha menangis karena pampersnya sudah tebal dan belum diganti. Mungkin dia risih. Saya akan mengganti melepas pampers nya dulu," ucap Habiba sambil menempelkan badan Sakha ke badan Husein, membuat pria itu spontan langsung menangkap badan Sakha.Sebenarnya Husein ingin menolak karena dia tidak terbiasa menggendong bayi, tapi tubuh kecil sudah ditempelkan ke dadanya. Terpaksa ia mengambil tubuh itu dan menggendongnya."Biar saya lepaskan pampers nya