“Kau mendengarku?” tanya Husein.“Tidak. Eh, maksudnya iya. Saya dengar.” Habiba gelagapan ditatap seintens ini oleh Husein.“Kalau begitu sekarang coba praktikkan apa yang sudah aku ajari tadi.”Habiba mengangguk ragu. Ini adalah tugas sulit baginya. Tetap saja dia tidak berhasil mengambil pasta pakai sumpit. Ujung sumpit malah berkejar- kejaran dnegan pasta, berakhir pasta jatuh ke meja.“He heee… Aku kesulitan.” Habiba tersenyum canggung.“Nanti kau harus kursus cara makan pakai sumpit, cara makan daging dan apa saja. Semuanya harus kau pelajari. Mulai dari cara duduk, cara makan, cara berjalan dan banyak lagi, kau mesti ubah.”“Bukankah saya ini Cuma istri rahasia yang tidak akan diungkap ke publik? Tidak akan ada orang yang tahu bahwa saya ini istri Tuan muda eh popo. Lalu kenapa saya harus menyesuaikan diri?”“Karena kau istriku.”“Istri rahasia kan?”“Apa pun itu, kau tetap harus ikuti aku.”Habiba terdiam. Sebenarnya dia merasa risih dengan aturan itu. Mulai dari
Langkah kaki terdengar teratur mengetuk lantai koridor. Pria tampan yang memiliki ciri khas rapi dengan stelan jas paduan dasi itu tampak tenang sambil menempelkan hp di telinga. Dia sedang berteleponan.“Aku sebentar lagi sampai,” ucap Husein menjawab telepon Alka.Dia membuka pintu ruang kerjanya, melangkah gontai memasukinya.Sudah ada Alka yang duduk di sofa dengan wajah serius.“Kau harus cari tahu dimana keberadaan Habiba. Dia akan menjadi sumber masalah bagi kita jika kau tidak secepatnya menemukannya!” tegas Alka dengan tatapan tajam.Husein menghempas duduk di sofa tanpa menanggapi. Datar saja.“Bukankah kita sudah sepakat untuk mengakhiri semuanya setelah bayi itu lahir? Tapi mereka melanggar. Sengaja menyembunyikan Habiba dari kita. Apa makud dari semua ini?” Alka terlhat muak. “Pasti adalah rencana terselubung di balik semua ini. Jika memang tidak ada rencana buruk, tentu mereka tidak akan menyembunyikan Habiba dari kita. Mereka terlihat polos tapi ternyata lici
Husein kali ini menatap serius pada Alka, lain halnya dengan Cindy yang mengernyit kaget. Sejak tadi dia diciptakan sebagai orang yang terus- terusan kaget."Papa pikir pernikahanku bisa disetel?" ucap Husein dengan tegas."Cindy, kau boleh keluar!" titah Alka."Baik." Cindy bergegas keluar ruangan.Alka mendekati putranya, menatap tajam. "Kau dan Habiba harus berakhir. Selesaikan masalahmu dengan wanita itu dan segeralah memulai hal baru. Cindy adalah wanita yang tepat. Setelah itu, kau bisa umumkan ke publik bahwa wanita yang selama ini kau nikahi adalah Cindy. Kau juga bisa rayakan pesta pernikahanmu secara besar- besaran supaya seantero penjuru mengenal istrimu.""Aku tidak akan lakukan apa pun sebelum urusanku dengan Habiba selesai," sahut Husein."Urusanmu dengan wanita itu akan dengan mudah berakhir saat kau menceraikannya. Dan urusan perceraian bukanlah hal sulit. Kau tinggal talak dia dan urus perceraianmu ke pengadilan. Selesai! Aku tunggu secepatnya kabar baik ini. Aku yaki
Begitu sampai di rumah sang ibu, Habiba langsung menghambur memasuki rumah yang pintunya dalam keadaan terbuka."Ibu!" Habiba merengkuh ibunya yang terduduk di lantai sambil menangis. Ruangan seperti kapal pecah. Barang- barang berserakan. Vas bunga pecah. Meja di posisi miring, kursi pun terbalik. Pecahan gelas berserakan."Apa yang terjadi, Bu?" Habiba merengkuh Fatona dan memeluknya.Fatona membalas pelukan Habiba, tangisnya seketika terhenti. Dia kecup pucuk kepala Habiba. "Syukurlah kamu baik- baik saja. Seharusnya kamu tidak datang kemari, Nak. Ibu takut kamu kenapa- napa. Mereka sedang mencarimu," kata Fatona."Mereka siapa?" Habiba melepas pelukan, menatap ibunya lekat."Ibu tidak kenal. Tapi ibu yakin mereka itu orang- orangnya Tuan Alka, atau suruhan Bu Amira, atau siapa pun itu yang berkaitan dengan keluarga itu." "Apa yang sudah mereka lakukan? Mereka menyakiti ibu?" Habiba cemas, ia meneliti tubuh ibunya, tapi semuanya baik- baik saja. Tidak ada luka di tubuh sang ibu.
"Mbak Leni ke sini mau ngapain? Apa cuma mau mengomentari rumahku doang?" tanya Habiba yang mulai jengah."Mau pinjam sendok, sendokku pada hilang entah kemana.""Sama. Sendokku juga pada hilang. Pinjam sama tetangga lain saja ya!" Habiba malas berurusan dengan Leni. Wanita itu kerap meminjam barang hanya untuk alasan bisa nyinyirin hidup orang lain. "Wah, payah punya tetangga pelit. Pinjam sendok saja nggak boleh. Kikir sekali. Awas kalau aku kaya nanti." Leni menggerutu kecil namun gerutuannya itu masih bisa ditangkap oleh telinga Habiba.Tidak perlu menanggapi Leni, Habiba fokus membereskan rumahnya hingga kembali rapi. “Bagaimana Tuan Husein memperlakukanmu? Ibu mencemaskan keadaanmu?” Fatona mengajak Habiba duduk.“Tuan Husein memperlakukanku dengan baik. Ibu tidak perlu mencemaskan hal itu.”“Sungguh?” Fatona mencoba meyakinkan diri dengan mengawasi wajah Habiba lekat.Habiba mengangguk, meyakinkan. “Apa dia mencintaimu?” tanya Fatona.“Tidak perlu ada cinta untuk Tuan H
Husein meletakkan hp, mulai menyantap sup seiring dengan kedatangan Alka dan Amira yang duduk semeja untuk sarapan.Menyusul Inez yang ikut duduk dan menyantap makanan.“Bagaimana perkembangan urusanmu dengan Habiba? Sudah kau ajukan perceraian ke pengadilan?” tanya Amira."Ceraikan Habiba secepatnya! Aku tidak mau kau menunda waktu lagi. Ini bukan hal sulit. Lalu apa yang membuatmu menundanya?" tanya Amira."Kalau kau tidak sanggup melakukannya, biar aku saja yang serahkan urusan ini ke pengacara. Gampang kan?" sahut Alka seolah sedang menghakimi Husein. Inez menjadi penonton, menyaksikan kakak sulungnya yang nyaris seperti terdakwa sedang dihakimi. Namun, di sini Husein tetap terlihat tenang, sedikit pun tidak terlihat resah meski kedua orang tuanya yang terkenal tak bisa dilawan itu tampak mendominasi situasi."Aku sudah bilang, biarkan aku yang urus masalahku. Mama dan papa tidak perlu turin tangan. Ini urusanku. Maka aku yang akan mengatasinya," sahut Husein dengan tenang."Ba
Sebelum pertanyaan di kepalanya terjawab, Husein menyambut uluran tangan wanita bergaun silver yang tiba- tiba menggenggam erat tangannya, minta ditarik keluar. Terpaksa Husein melingkarkan lengannya di kedua ketiak wanita itu, memeluk dan menyeret keluar dari lift. Sepanjang memeluk wanita itu, netranya menatap wajah yang sangat dekat dengannya itu.Sepersekian detik, Husein baru sadar bahwa wanita yang kini dia tarik keluar itu adalah Habiba. Wanita itu terlalu cantik dengan penampilan yang berbeda, membuat Husein nyaris tak mengenalinya. Mereka berguling sebentar di lantai, bertukar pandang sepersekian detik. Setelah itu, tiga security muncul dan langsung memberikan bantuan. Mengeluarkan orang- orang yang ada di dalam lift. Erika dan baby sitter berhasil diselamatkan.Namun naas, salah seorang tak terselamatkan. Katrol lift terlepas dan lift pun meluncur jatuh ke dasar sampai bawah tanah.Bam…Suara hentakan itu sangat keras. Semuanya menjerit.Dalam posisi panik, namun ju
Seketika itu, perasaan gundah dalam benak Habiba memudar. Cukup kata- kata itu saja yang keluar dari mulut Husien, sudah mempu membuat Habiba semangat. Kepalanya lalu mengangguk kecil.Mobil berbelok memasuki halaman luas rumah megah. "Kalian tunggu di sini!" titah Husein pada Erika dan si babay sitter. "Berikan Sakha pada Habiba!"Baby sitter menuruti perintah Tuan Muda. Dia serahkan bayi kecil itu kepada Habiba.Setelah itu, Habiba mengikuti Husein memasuki rumah. Tidak ada rasa takut, gelisah atau pun gentar memasuki rumah yang dia yakini para manusia pembenci itu telah menunggu di dalam.Sosok tegap di sisinya memberikan kekuatan kokoh yang datang begitu saja.Sudah ada Alka dan Amira yang menunggu mereka sempat terbengong melihat sosok wanita yang ada di sisi Husein. Pangling. Hampir tak mengenali, bahkan mengira ada orang asing. Namun mereka langsung ingat bahwa wanita itu adalah Habiba ketika mengawasi dengan cermat. Tatapan yang tadinya bingung, kini berubah menjadi wa
Husein menyentil ujung dagu Habiba. "Aku mencintaimu.""Jangan terus- terusan ucapkan kalimat itu, aku bisa terharu. Lihatlah air hidungku meleleh jadinya." Husein mengernyit. "Air mata, sayang. Kenapa jadi air hidung?""He hee...""Aku boleh menciummu?" bisik Husein."Jangan nakal. Ini di tempat umum, bukan di kamar.""Ini masih terlalu pagi, belum ada yang bangun." Husein mengecup singkat bibir Habiba."Cie cieeee....."Husein dan Habiba serentak menoleh ke sumber suara. Ada Qasam dan Qansha yang berdiri di ambang pintu. "Papa cium mama nih yeee..." Qasam terkekeh.Habiba membelalak kaget. Bukan kaget karena Qasam meledeknya, tapi kaget karena Qasam menggendong Wafa. Sedangkan Qansha memegangi kaki Wafa yang masih mengenakan piyama tidur lengkap dengan pampers tebal yang isinya sudah sangat berat dengan air kecil."Ya ampun. Qasam, jangan gendong Wafa. Nanti bisa jatuh. Kamu belum saatnya menggendong dia, Nak." Habiba menghambur dan mengambil alih tubuh Wafa dari gendongan Qasam.
Habiba tak bisa tidur. Malam itu sampai jam lima pagi, ia terjaga. Pikirannya menerawang pada kejadian yang baru saja dia saksikan. Ia berharap tidak akan terjadi apa pun pada Husein, dan tentu saja pada Amir juga. Jika sampai drama penahanan terjadi lagi pada Husein, Habiba tak tahu lagi harus berbuat apa. “Habiba!” Habiba terkejut mendengar suara yang memanggilnya. Suara Tomy.Habiba yang tengah duduk di kasur itu pun menghambur keluar kamar.“Mas Tomy!” Habiba menghampiri Timy yang berdiri di tengah- tengah ruang tamu. “Ada apa pagi buta begini Mas Tomy ke sini?”“Aku mendengar Irzan meninggal, kena tembak. Husein sedang mengurus masalah ini di kantor polisi. Maksudnya, kena tembak kenapa?” Tomy bingung.“Mas Tomy dapat kabar dari siapa?” “Dari polisi yang meneleponku dan menanyakan beberapa hal terkait Irzan, aku dianggap sebagai teman dekat yang mungkin mengetahui sesuatu tentang Irzan. Katanya, Husein yang melaporkan kematiannya. Aku ke sini karena ingin tahu hal ini. Ak
"Tidak!" Habiba menjerit keras sekali. Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Tangisnya pecah. Bruk. Tubuh yang tertembak itu terjatuh dan ambruk ke tanah. Tembakan tepat mengenai sasaran. Habiba ambruk menjatuhkan lutut ke tanah sambil sesenggukan."Mama!" Qasam berlari mendekat pada Habiba. Cepat Habiba membuka wajah dan memeluk Qasam erat. "Papamu, Nak!""Itu papa, Ma!" Qasam menunjuk Husein. “Jangan lihat!” Habiba memaksa wajah Qasam supaya menatap ke arahnya, jangan melihat Husein.“Ayo kita mendekat pada papa, Ma!” rengek Qasam.Pelan, kepala Habiba menoleh ke arah Husein meski ia tak sanggup bila harus menyaksikan suaminya terkapar bersimbah darah. Loh, kok Husein masih berdiri tegap? Pria itu dalam keadaan baik- baik saja. Dan saat Habiba menoleh pada Irzan, justru ia melihat tubuh Irzan tergeletak di tanah bersimbah darah. Dari punggung pria itu mengeluarkan darah segar. Senjata api di tangannya terlepas.Habiba menutup mata Qasam dengan telapak tangannya. Qas
"Lepaskan dia!" seru Husein."Ya, tentu aku akan melepaskan anakmu ini. Asalkan kau bersedia mati di tanganku. Tak peduli setelah itu aku akan masuk penjara, yang jelas kau harus mati. Aku dendam padamu. Aku muak padamu. Biarkan semua orang mengataiku kejam, yang penting aku puas. Ha ha haaa..."Setan apa yang merasukinya. Loh itu kan lirik lagu. Kok Husein malah nyanyi? Entah kenapa lagu itu main templok saja di otaknya. Irzan yang dulu terlihat kalem, kini berubah seperti kerasukan setan hanya karena keinginannya untuk bisa hidup bersama dengan orang yang dia cintai tidak terwujud. Otaknya seperti sudah geser satu ons. Jika disebut sebagai orang baik, jelas Irzan dulu adalah orang baik. Dia selalu melakukan hal- hal baik pada semua orang. Tapi saat dia merasa patah hati, dia berubah menjadi sosok yang berbeda. yang isi di hatinya hanyalah merasa tersakiti. Harapannya dipatahkan berkali- kali."Kau sudah gila. Apa kau pikir Habiba akan bersedia menikah dan hidup bersamamu setel
"Setiap melakukan kesalahan, kau selalu bersembunyi. Begini cara seorang pengecut, hm?" Husein melangkah maju.Irzan melangkah mundur. "Setelah kau berusaha melecehkan istriku, maka aku tidak akan mengampunimu. Kau sudah menginjak- injak marwahku." Husein mencengkeram lengan Irzan, namun dengan gesit Irzan menangkisnya. Segera Irzan melayangkan tinju, namun dengan cepat Husein mengelak, matanya dengan mudah menangkap gerakan lawan hingga tendangan Irzan hanya mengenai udara.Irzan kembali melayangkan serangan tinju namun kalah cepat dengan gerakan tangan Husein yang dengan cepat menangkap lengan Irzan dan memelintirnya ke belakang. "Aku tidak bisa melupakan Habiba," ucap Irzan dengan suara terbata menahan sakit di tangan yang dipelintir."Itu karena obsesimu yang terlalu tinggi. Kau telah merusak moralmu sendiri dengan hal ini. Jika kau menjalani kehidupan lain, tanpa harus terus- terusan mengenang Habiba, tentu kau tidak akan terus kepikiran dia.""Sudah sejak lama aku mengharapkan
"Paman itu siapa, Pa?" tanya Qansha menatap Panjul dengan tatapan heran."Namanya Paman Panjul," jawab Husein."Jelek sekali namanya," ceplos Qansha sekenanya, membuat semua orang tertawa."Jelek- jelek tapi orangnya tampan," sahut Panjul berusaha menyikapi dengan manis."Iya tampan. Cocok sama tante Inez." Qasam menyahuti.Muka Inez mendadak memerah. Malu."Mm.. rasanya aku tidak nyaman di sini. Bagaimana kalau aku ajak adikmu ke meja lain?" tanya Panjul meminta ijin pada Husein."Oh, bukankah gerak- gerik kalian justru akan terpantau olehku saat kalian bersamaku? kalau kau membawa adikku pergi, apa kau menjamin bahwa kau bisa menjaganya?”“Aku jamin, aku yang membawanya, tentu aku bertanggung jawab atas dia,” jawab Panjul meyakinkan.Padahal Husein hanya berseloroh saja, namun Panjul menanggapi dengan serius. Husein tertawa kemudian mengangguk. “Baiklah, bawalah adikku bersamamu. Tapi kau akan berhadapan denganku jika kau macam- macam padanya," tegas Husein. "Ya, aku tahu siapa
Setelah itu, ustaz Adi Hifayah mendapatkan kesempatan untuk memberikan tausiah.“Sebuah kehormatan besar saya bisa berada di sini. Dan di sini saya selaku penceramah, pembimbing, dan orang tua bagi Shaka El Qasam, ingin menyampaikan sedikit hal tentang besarnya peranan anak laki- laki bagi keluarga. Dia akan bertanggung jawab merawat orang tua ketika orang tuanya sudah berumur. Menanggung nafkah orang tuanya ketika orang tua sudah berusia lanjut. Dia juga menjadi pelindung bagi istri, adik perempuan dan kakaknya.”“Laki- laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena itu Tuhan melebihkan kondisi fisik lelaki dari wanita. Dan di sini, ada banyak anak laki- laki yang akan menjadi generasi penerus bangsa, menjadi pemimpin negeri ini, demikian juga Qasa yang akan menjadi calon penerus negeri ini. jadilah sosok yang bertaqwa, beriman dan tangguh.”Ustaz Adi menelan saliva. “Baiklah, mari kita berdoa, tundukkan kepala. Semoga Nak Qasam menjadi anak yang berbakti dan bermanfaat
Tak disangka, Qasam yang dulu terlihat penakut, pendiam dan tak banyak tingkah, kini terlihat gagah berani melangkah maju tanpa rasa gentar. Di hadapan banyak orang, di hadapan para gurunya, serta di hadapan teman- temannya yang sering membuly nya sebagai anak aneh, ia tampak penuh percaya diri."Qasam, kau tahu kenapa mama dan papamu bangga terhadapmu?" tanya Irfan Sadim sambil memegang pundak Qasam yang sudah berdiri di sisinya."Karena aku anak yang pintar," jawab Qasam lantang, menggunakan mikrofon yang diberikan oleh Irfan Sadim."Benar. Dan satu lagi, kau pemberani."Qasam tersenyum bangga."Dulu, ketika Om Irfan masih seusiamu, Om punya cita- cita sebagai pemain sepak bola. Om berasal dari keluarga sederhana yang untuk makan pun sulit, bagaimana Om bisa menjadi pesepak bola?""Om bermimpi, terus bermimpi. Om mengumpulkan uang jajan yang sedikit demi sedikit. Tak Lain uang logam. Rela tidak jajan demi mengumpulkan uang untuk membeli sepatu bila. Dan akhirnya, siapa sangka uang
"Kalau begitu Qasam sudah bisa dibawa ke acara itu?" tanya Qasam penuh percaya diri."Tentu sudah bisa. Kita semua sudah siap, bukan?" jawab Husein."Kalau Qansha bagaimana, Pa? Sudah cantik?" Qansha memutar badannya. Memperlihatkan pakaian mengembang warna kuning yang dia kenakan. Rambutnya diikat satu. Make up di wajahnya minimalis. Sendal putih hak tinggi melapisi kakinya. "Beautiful. Perfect!" Husein tersenyum menatap putrinya. "Yeey!" Qansha menjingkrak. "Yang ini bagaimana? Apakah sudah kelihatan cantik?" Habiba mengayunkan Wafa di gendongannya."Seperti mamanya," sahut Husein sekenanya. Habiba pura- pura sebal melihat tingkah suaminya. Berakhir dengan hidung yang dijepit oleh Husein.Fara berdiri di pintu menatap keluarga yang sudah siap dengan pakaian serba bagus. Ia gigit jari. Kepingin ikutan."Mbak Fara, jaga rumah ya!" pesan Habiba."Iya." Fara mengangguk pasrah. Membayangkan pesta besar, isi kepalanya mendadak ambyar. "Ya sudah, kita berangkat sekarang! Let's go!" Hu