"Jadi kalian akan menungguiku mandi sampai selesai di sini? Aturan dari mana itu?" tanya Habiba."Kami hanya menjalankan perintah," jawab Erika sopan.Habiba akhirnya melepas baju, melempar ke arah dua Erika, membuat Erika spontan menangkap baju yang melayang terbang di hadapannya itu. Berikutnya, celananya menyusul terbang, ditangkao oleh Erika. Menyusul BH, terakhir kolor. Nikmati benda- benda keramat itu! Pikir Habiba sambil mengulum senyum. Dia lalu merendam badannya di dalam bath tub yang dipenuhi busa sabun. Erika kemudian mulai menggosok punggung Habiba pelan. Dan gosokan itu enak sekali. Sepertinya Erika sudah terbiasa melakukan kegiatan itu."Apakah ini terlalu keras, Nona?" tanya Erika. "Tidak."Sedangkan pelayan satunya membersihkan kuku kaki Habiba dengan cairan aneh yang Habiba tidak ketahui, yang jelas untuk membersihkan kotoran di kuku kakinya. Dia nyaris seperti sedang berada di salon profesional. Dipijit, digosok, bahkan kuku kaki pun berasa menicure pedicure, plu
Habiba balik badan, menggendong anaknya masuk ke kamar diikuti oleh Husein. Pria itu mengawasi setiap gerakan tangan Habiba yang tengah menyiapkan peralatan bayi. Mulai dari minyak kayu putih, pampers, bedak dan lain sebagainya.Sakha tetap dalam gendongan Habiba selagi wanita itu mempersiapkan peralatan bayi, Sakha tidak mau ditaruh. Dia menangis setiap kali diletakkan.Habiba menoleh pada Husein yang berdiri di dekatnya. “Anda melihat saya kerepotan bukan?”Husein hanya mengangkat alis saja.“Bisakah Anda bantu saya?” tanya Habiba."Sakha menangis karena pampersnya sudah tebal dan belum diganti. Mungkin dia risih. Saya akan mengganti melepas pampers nya dulu," ucap Habiba sambil menempelkan badan Sakha ke badan Husein, membuat pria itu spontan langsung menangkap badan Sakha.Sebenarnya Husein ingin menolak karena dia tidak terbiasa menggendong bayi, tapi tubuh kecil sudah ditempelkan ke dadanya. Terpaksa ia mengambil tubuh itu dan menggendongnya."Biar saya lepaskan pampers nya
“Kau mendengarku?” tanya Husein.“Tidak. Eh, maksudnya iya. Saya dengar.” Habiba gelagapan ditatap seintens ini oleh Husein.“Kalau begitu sekarang coba praktikkan apa yang sudah aku ajari tadi.”Habiba mengangguk ragu. Ini adalah tugas sulit baginya. Tetap saja dia tidak berhasil mengambil pasta pakai sumpit. Ujung sumpit malah berkejar- kejaran dnegan pasta, berakhir pasta jatuh ke meja.“He heee… Aku kesulitan.” Habiba tersenyum canggung.“Nanti kau harus kursus cara makan pakai sumpit, cara makan daging dan apa saja. Semuanya harus kau pelajari. Mulai dari cara duduk, cara makan, cara berjalan dan banyak lagi, kau mesti ubah.”“Bukankah saya ini Cuma istri rahasia yang tidak akan diungkap ke publik? Tidak akan ada orang yang tahu bahwa saya ini istri Tuan muda eh popo. Lalu kenapa saya harus menyesuaikan diri?”“Karena kau istriku.”“Istri rahasia kan?”“Apa pun itu, kau tetap harus ikuti aku.”Habiba terdiam. Sebenarnya dia merasa risih dengan aturan itu. Mulai dari
Langkah kaki terdengar teratur mengetuk lantai koridor. Pria tampan yang memiliki ciri khas rapi dengan stelan jas paduan dasi itu tampak tenang sambil menempelkan hp di telinga. Dia sedang berteleponan.“Aku sebentar lagi sampai,” ucap Husein menjawab telepon Alka.Dia membuka pintu ruang kerjanya, melangkah gontai memasukinya.Sudah ada Alka yang duduk di sofa dengan wajah serius.“Kau harus cari tahu dimana keberadaan Habiba. Dia akan menjadi sumber masalah bagi kita jika kau tidak secepatnya menemukannya!” tegas Alka dengan tatapan tajam.Husein menghempas duduk di sofa tanpa menanggapi. Datar saja.“Bukankah kita sudah sepakat untuk mengakhiri semuanya setelah bayi itu lahir? Tapi mereka melanggar. Sengaja menyembunyikan Habiba dari kita. Apa makud dari semua ini?” Alka terlhat muak. “Pasti adalah rencana terselubung di balik semua ini. Jika memang tidak ada rencana buruk, tentu mereka tidak akan menyembunyikan Habiba dari kita. Mereka terlihat polos tapi ternyata lici
Husein kali ini menatap serius pada Alka, lain halnya dengan Cindy yang mengernyit kaget. Sejak tadi dia diciptakan sebagai orang yang terus- terusan kaget."Papa pikir pernikahanku bisa disetel?" ucap Husein dengan tegas."Cindy, kau boleh keluar!" titah Alka."Baik." Cindy bergegas keluar ruangan.Alka mendekati putranya, menatap tajam. "Kau dan Habiba harus berakhir. Selesaikan masalahmu dengan wanita itu dan segeralah memulai hal baru. Cindy adalah wanita yang tepat. Setelah itu, kau bisa umumkan ke publik bahwa wanita yang selama ini kau nikahi adalah Cindy. Kau juga bisa rayakan pesta pernikahanmu secara besar- besaran supaya seantero penjuru mengenal istrimu.""Aku tidak akan lakukan apa pun sebelum urusanku dengan Habiba selesai," sahut Husein."Urusanmu dengan wanita itu akan dengan mudah berakhir saat kau menceraikannya. Dan urusan perceraian bukanlah hal sulit. Kau tinggal talak dia dan urus perceraianmu ke pengadilan. Selesai! Aku tunggu secepatnya kabar baik ini. Aku yaki
Begitu sampai di rumah sang ibu, Habiba langsung menghambur memasuki rumah yang pintunya dalam keadaan terbuka."Ibu!" Habiba merengkuh ibunya yang terduduk di lantai sambil menangis. Ruangan seperti kapal pecah. Barang- barang berserakan. Vas bunga pecah. Meja di posisi miring, kursi pun terbalik. Pecahan gelas berserakan."Apa yang terjadi, Bu?" Habiba merengkuh Fatona dan memeluknya.Fatona membalas pelukan Habiba, tangisnya seketika terhenti. Dia kecup pucuk kepala Habiba. "Syukurlah kamu baik- baik saja. Seharusnya kamu tidak datang kemari, Nak. Ibu takut kamu kenapa- napa. Mereka sedang mencarimu," kata Fatona."Mereka siapa?" Habiba melepas pelukan, menatap ibunya lekat."Ibu tidak kenal. Tapi ibu yakin mereka itu orang- orangnya Tuan Alka, atau suruhan Bu Amira, atau siapa pun itu yang berkaitan dengan keluarga itu." "Apa yang sudah mereka lakukan? Mereka menyakiti ibu?" Habiba cemas, ia meneliti tubuh ibunya, tapi semuanya baik- baik saja. Tidak ada luka di tubuh sang ibu.
"Mbak Leni ke sini mau ngapain? Apa cuma mau mengomentari rumahku doang?" tanya Habiba yang mulai jengah."Mau pinjam sendok, sendokku pada hilang entah kemana.""Sama. Sendokku juga pada hilang. Pinjam sama tetangga lain saja ya!" Habiba malas berurusan dengan Leni. Wanita itu kerap meminjam barang hanya untuk alasan bisa nyinyirin hidup orang lain. "Wah, payah punya tetangga pelit. Pinjam sendok saja nggak boleh. Kikir sekali. Awas kalau aku kaya nanti." Leni menggerutu kecil namun gerutuannya itu masih bisa ditangkap oleh telinga Habiba.Tidak perlu menanggapi Leni, Habiba fokus membereskan rumahnya hingga kembali rapi. “Bagaimana Tuan Husein memperlakukanmu? Ibu mencemaskan keadaanmu?” Fatona mengajak Habiba duduk.“Tuan Husein memperlakukanku dengan baik. Ibu tidak perlu mencemaskan hal itu.”“Sungguh?” Fatona mencoba meyakinkan diri dengan mengawasi wajah Habiba lekat.Habiba mengangguk, meyakinkan. “Apa dia mencintaimu?” tanya Fatona.“Tidak perlu ada cinta untuk Tuan H
Husein meletakkan hp, mulai menyantap sup seiring dengan kedatangan Alka dan Amira yang duduk semeja untuk sarapan.Menyusul Inez yang ikut duduk dan menyantap makanan.“Bagaimana perkembangan urusanmu dengan Habiba? Sudah kau ajukan perceraian ke pengadilan?” tanya Amira."Ceraikan Habiba secepatnya! Aku tidak mau kau menunda waktu lagi. Ini bukan hal sulit. Lalu apa yang membuatmu menundanya?" tanya Amira."Kalau kau tidak sanggup melakukannya, biar aku saja yang serahkan urusan ini ke pengacara. Gampang kan?" sahut Alka seolah sedang menghakimi Husein. Inez menjadi penonton, menyaksikan kakak sulungnya yang nyaris seperti terdakwa sedang dihakimi. Namun, di sini Husein tetap terlihat tenang, sedikit pun tidak terlihat resah meski kedua orang tuanya yang terkenal tak bisa dilawan itu tampak mendominasi situasi."Aku sudah bilang, biarkan aku yang urus masalahku. Mama dan papa tidak perlu turin tangan. Ini urusanku. Maka aku yang akan mengatasinya," sahut Husein dengan tenang."Ba