“Tidak! Aku yang akan mengantarmu pulang! Bukan lelaki ini!” tegas Husein menunjuk Irzan dengan dagunya.“Tuan muda, saya tidak ingin ibu melihat Anda mengantar saya pulang. Biarkan ibu berbahagia dulu dengan cucunya. Saya hanya inginkan ibu fokus pada satu kebahagiaan, yaitu melihat cucunya lahir. Jika Anda bersama saya, maka semuanya tidak akan baik,” jawab Habiba.“Sekali aku bilang tidak, ya tidak!” tegas Husein.“Kau tidak bisa memaksa Habiba hanya karena kau adalah suaminya. Ada batasan suami mengatur istri. Mental istrimu jauh lebih penting dari segalanya. Jangan hanya memikirkan egomu untuk bisa menguasai Habiba sementara kau tidak pikirkan mental istrimu, apakah dia bisa tenang hidup bersamam denganmu?” ucap Irzan. “Biarkan Habiba kuantar pulang!”“Diam! Jangan bicara! Ini urusan rumah tanggaku!” balas Husein dengan tenang. “Tuan Muda, saya janji akan kembali kepada Anda. Ini hanya sementara. Saya ingin mengabarkan pada ibu bahwa cucunya sudah lahir. Saya ingi
Ah, kenapa Husein terpengaruh oleh perkataan Habiba? Memangnya apa yang membuatnya merasa seperti tertampar begini? Husein geram pada dirinya sendiri. Sekarang Husein harus menjawab apa? disaat kebingungan, untung saja dia menemukan mobil Irzan di luar, sehingga ia punya alasan untuk mengalihkan pembicaraan. “Irzan menunggumu di luar. Pergilah pindah mobil!” titah Husein.“Baik. Saya pamit dulu.” Habiba turun dari mobil.Husein menurunkan kaca mobilnya, menatap Irzan yang kaca mobilnya juga terbuka. “Aku titip Habiba,” kata Husein.Irzan diam saja. Seharusnya Habiba bukan hanya sekedar dititipkan kepadanya, melainkan dilepaskan untuknya.Habiba masuk ke mobil Irzan.Kemudian, wuuuush… mobil Husein langsung melesat pergi sebelum Irzan menjalankan mobilnya. Kencang sekali.“Suamimu pengendara handal ya?” Irzan geleng kepala.Habiba hanya melirik singkat ke arah Irzan tanpa menanggapi. Ingatannya malah melayang pada wajah Husein yang mendadak canggung saat tadi Habiba dengan beraninya
"Selamat siang, Bu." Irzan melangkah masuk. "Tomy tidak bisa menjemput Habiba di rumah sakit, jadi aku yang jemput."Fatona tampak fokus menimang Sakha, sampai dia tidak begitu respon dengan perkataan Irzan."Selamat Bu, sudah punya cucu!" imbuh Irzan dan ditanggapi dengan senyum oleh Fatona."Mau minum teh? Biar ibu buatkan," tawar Fatona."Tidak. Makasih, Bu." Irzan duduk di kursi. "Tomy memintaku supaya menjemput Habiba, dia sedang mengurus penjualan ikan- ikannya ke juragan ikan." "Jadi kalian menyembunyikan persalinan Habiba dari ibu?" Fatona menatap wajah Habiba dan Irzan silih berganti."Maaf, Bu. Aku hanya tidak ingin ibu menjadi khawatir, aku juga tidak mau membebani ibu. Tuan Husein memberikan kebutuhanku dengan sempurna. Bahkan Tian Husein juga menyembunyikan kelahiran anakku dari ibunya.""Jadi Bu Amira belum tahu kalau kamu sudah melahirkan?" tanya Fatona.Habiba mengangguk. Fatona duduk, memeluk Sakha dalam pangkuannya. "Bu Amira secepatnya harus tahu, supaya kamu bisa
Tiga hari kemudian, Habiba masih tinggal di rumah Fatona.Keputusan Fatona yang dengan tegas mengatakan bahwa Habiba tetap harus tinggal di rumahnya itu membuat Habiba tidak bisa berkutik, melawan Fatona hanya akan membuatnya tersudut. Menyakiti ibunya juga hanya akan membuat Habiba menyesal seumur hidupnya. Salah satu tujuan hidup Habiba adalah membahagiakan ibunya selagi sang ibu masih ada."Cepat kamu berkemas, kamu akan ikut ibu ke pengadilan agama untuk mengajukan gugatan cerai!" titah Fatona yang melintas di pintu kamar, kemudian melenggang pergi. Fatona sudah memakai baju rapi layaknya hendak bepergian.Habiba yang sedang memakaikan baju anaknya itu pun hanya bisa terdiam. Tak lama kemudian, Fatona muncul kembali. “Biba, ayo cepat! Ibu sudah siap! Kita harus menunggu ojek di depan sana. Jangan kelamaan, kalau berangkat siang- siang, nanti panas. Kasian anakmu.”Habiba membaringkan bayinya di kasur leseh tempat biasanya dia tidur. Ia bangkit berdiri dan menjangkau tang
Habiba menghambur keluar, terkejut melihat sosok lelaki tampan berperawakan tinggi dan gagah yang sudah berdiri di halaman rumah. Husein. Mobil bertengger di belakangnya.Alamak! Tuan muda Husein?Bukannya gelisah atas kedatangan Husein, Habiba malah tersenyum. Eh, tunggu dulu. Kenapa Habiba merasa senang melihat kedatangan Husein? Bukankah ini adalah petaka? Maksudnya kedatangan Husein hanya akan membawa masalah. Orang tua mereka sama- sama tidak mendukung perjalanan rumah tangga mereka.Habiba sontak melenyapkan senyum dari wajahnya.“Tuan Muda!” Habiba menyambut Husein dengan berlari kecil mendekati pria itu. “Kenapa kemari?”“Tidak boleh?”“Bukan begitu, tapi ibu mengajak saya ke pengadilan agama untuk mengajukan gugatan cerai. Saya tidak bisa membantahnya. Ibu tidak rela saya hidup bersama dengan keluarga menakutkan, ibu mencemaskan kondisi saya,” bisik Habiba waspada. “Saya sudah janji pada Tuan Muda bahwa saya akan kembali kepada Tuan. Tapi ibu bersikeras supaya ki
Ada apa ini? Kenapa Habiba merasa senang dengan pengakuan Husein? Dia masih terus menatap wajah Husein dengan lekat meski hanya menjangkau bagian samping saja.Fatona mengangguk. “Baiklah. Bawa putriku bersamamu. Tapi saya hanya memberikan kesempatan satu kali. Karena kehidupan putri saya adalah segalanya bagi saya. Jika saja Habiba sampai harus menanggung penderitaan yang ditimbulkan dari Anda atau pun keluarga Anda, maka Anda tidak punya kesmepatan sekali lagi untuk mengambil dia dari saya, Tuan Muda.”“Tidak. Habiba tidak boleh pergi,” sahut Tomy, tidak terima adiknya diserahkan kembali pada Husein.Sejurus pandangan tertuju pada Tomy yang menatap murka kepada Husein.“Seperti kesepakatan semula, maka sudah seharusnya kau ceraikan Habiba setelah anaknya lahir. Ayo, ceraikan dia! Talak dia!” seru Tomy.“Tidak. Keputusanku sudah bulat. Adikmu juga mau pulang denganku, dimana masalahnya?” Husein tampak tenang sekali.Tomy kemudian meraih tangan ibunya sambil berkata, “Bu,
Habiba menyusul Husein sambil membenahi rambut. Eh, kenapa jadi ingin terlihat rapi begini? Habiba menaiki anak tangga, memasuki kamar dimana Husien sudah lebih dulu berada di sana. "Ini kamarmu," kata Husein."Kalau begitu saya istirahat dulu. Saya lelah sekali." Habiba menaruh tubuh kecil Sakha ke kasur."Eits, jangan di situ!" tegas Husein membuat Habiba terkejut. Apa yang salah dengan menaruh bayinya di kasur? Bukankah mereka tidur di kasur itu? Tentu si bayi juga harus tidur di sana juga. Mana mungkin bayi tidur sendiri sedangkan dia masih menyusu."Memangnya Sakha harus tidur dimana? Dia masih bayi dan masih harus selalu menyusu setiap beberapa jam sekali. Tidak mungkin saya tidur terpisah dengannya," ucap Habiba dengan sopan."Lihat di sana!" Husein menunjuk ke arah lain, membuat pandangan Habiba mengikuti telunjuk itu. Dia terkesiap melihat perlengkapan bayi yang sangat bagus dan lengkap. Mulai dari kasur berukuran satu kali satu meter berkelambu putih, mainan bayi yang te
Tanpa banyak tanya, Vena menuruti perintah sang majikan besar. Dia memasukkan semua boneka tanpa sisa seperti yang diperintahkan ke dalam keranjang.Alka membuka lemari, menurunkan semua pakaian milik Habiba yang jumlahnya tidak banyak. Pakaian berhamburan di lantai. "Bawa sekalian sampah- sampah ini, jangan sampai ada yang tersisa!" titah Alka lagi."Baik, Tuan!" Vena mengambili baju- baju itu, memasukkannya ke dalam keranjang, lalu membawanya pergi keluar kamar."Aku tidak mau ada satu pun barang milik wanita itu tertinggal di sini," tukas Alka, lagi- lagi tanpa tanggapan dari Husein.Husein menuangkan air mineral dari teko kaca, kemudian meneguknya."Dimana wanita itu sekarang? Terakhir kali kudengar dia hidup bersama dengan orang tuanya," ucap Alka.Husein mengedikkan pundak seolah tak peduli. Bahkan kini Habiba bukan hanya menjadi istri rahasia dari semua orang, tapi juga dari kedua orang tua Husein sendiri."Apakah dia sudah melahirkan?" tanya Alka membuat Husein yang sedang
Husein menyentil ujung dagu Habiba. "Aku mencintaimu.""Jangan terus- terusan ucapkan kalimat itu, aku bisa terharu. Lihatlah air hidungku meleleh jadinya." Husein mengernyit. "Air mata, sayang. Kenapa jadi air hidung?""He hee...""Aku boleh menciummu?" bisik Husein."Jangan nakal. Ini di tempat umum, bukan di kamar.""Ini masih terlalu pagi, belum ada yang bangun." Husein mengecup singkat bibir Habiba."Cie cieeee....."Husein dan Habiba serentak menoleh ke sumber suara. Ada Qasam dan Qansha yang berdiri di ambang pintu. "Papa cium mama nih yeee..." Qasam terkekeh.Habiba membelalak kaget. Bukan kaget karena Qasam meledeknya, tapi kaget karena Qasam menggendong Wafa. Sedangkan Qansha memegangi kaki Wafa yang masih mengenakan piyama tidur lengkap dengan pampers tebal yang isinya sudah sangat berat dengan air kecil."Ya ampun. Qasam, jangan gendong Wafa. Nanti bisa jatuh. Kamu belum saatnya menggendong dia, Nak." Habiba menghambur dan mengambil alih tubuh Wafa dari gendongan Qasam.
Habiba tak bisa tidur. Malam itu sampai jam lima pagi, ia terjaga. Pikirannya menerawang pada kejadian yang baru saja dia saksikan. Ia berharap tidak akan terjadi apa pun pada Husein, dan tentu saja pada Amir juga. Jika sampai drama penahanan terjadi lagi pada Husein, Habiba tak tahu lagi harus berbuat apa. “Habiba!” Habiba terkejut mendengar suara yang memanggilnya. Suara Tomy.Habiba yang tengah duduk di kasur itu pun menghambur keluar kamar.“Mas Tomy!” Habiba menghampiri Timy yang berdiri di tengah- tengah ruang tamu. “Ada apa pagi buta begini Mas Tomy ke sini?”“Aku mendengar Irzan meninggal, kena tembak. Husein sedang mengurus masalah ini di kantor polisi. Maksudnya, kena tembak kenapa?” Tomy bingung.“Mas Tomy dapat kabar dari siapa?” “Dari polisi yang meneleponku dan menanyakan beberapa hal terkait Irzan, aku dianggap sebagai teman dekat yang mungkin mengetahui sesuatu tentang Irzan. Katanya, Husein yang melaporkan kematiannya. Aku ke sini karena ingin tahu hal ini. Ak
"Tidak!" Habiba menjerit keras sekali. Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Tangisnya pecah. Bruk. Tubuh yang tertembak itu terjatuh dan ambruk ke tanah. Tembakan tepat mengenai sasaran. Habiba ambruk menjatuhkan lutut ke tanah sambil sesenggukan."Mama!" Qasam berlari mendekat pada Habiba. Cepat Habiba membuka wajah dan memeluk Qasam erat. "Papamu, Nak!""Itu papa, Ma!" Qasam menunjuk Husein. “Jangan lihat!” Habiba memaksa wajah Qasam supaya menatap ke arahnya, jangan melihat Husein.“Ayo kita mendekat pada papa, Ma!” rengek Qasam.Pelan, kepala Habiba menoleh ke arah Husein meski ia tak sanggup bila harus menyaksikan suaminya terkapar bersimbah darah. Loh, kok Husein masih berdiri tegap? Pria itu dalam keadaan baik- baik saja. Dan saat Habiba menoleh pada Irzan, justru ia melihat tubuh Irzan tergeletak di tanah bersimbah darah. Dari punggung pria itu mengeluarkan darah segar. Senjata api di tangannya terlepas.Habiba menutup mata Qasam dengan telapak tangannya. Qas
"Lepaskan dia!" seru Husein."Ya, tentu aku akan melepaskan anakmu ini. Asalkan kau bersedia mati di tanganku. Tak peduli setelah itu aku akan masuk penjara, yang jelas kau harus mati. Aku dendam padamu. Aku muak padamu. Biarkan semua orang mengataiku kejam, yang penting aku puas. Ha ha haaa..."Setan apa yang merasukinya. Loh itu kan lirik lagu. Kok Husein malah nyanyi? Entah kenapa lagu itu main templok saja di otaknya. Irzan yang dulu terlihat kalem, kini berubah seperti kerasukan setan hanya karena keinginannya untuk bisa hidup bersama dengan orang yang dia cintai tidak terwujud. Otaknya seperti sudah geser satu ons. Jika disebut sebagai orang baik, jelas Irzan dulu adalah orang baik. Dia selalu melakukan hal- hal baik pada semua orang. Tapi saat dia merasa patah hati, dia berubah menjadi sosok yang berbeda. yang isi di hatinya hanyalah merasa tersakiti. Harapannya dipatahkan berkali- kali."Kau sudah gila. Apa kau pikir Habiba akan bersedia menikah dan hidup bersamamu setel
"Setiap melakukan kesalahan, kau selalu bersembunyi. Begini cara seorang pengecut, hm?" Husein melangkah maju.Irzan melangkah mundur. "Setelah kau berusaha melecehkan istriku, maka aku tidak akan mengampunimu. Kau sudah menginjak- injak marwahku." Husein mencengkeram lengan Irzan, namun dengan gesit Irzan menangkisnya. Segera Irzan melayangkan tinju, namun dengan cepat Husein mengelak, matanya dengan mudah menangkap gerakan lawan hingga tendangan Irzan hanya mengenai udara.Irzan kembali melayangkan serangan tinju namun kalah cepat dengan gerakan tangan Husein yang dengan cepat menangkap lengan Irzan dan memelintirnya ke belakang. "Aku tidak bisa melupakan Habiba," ucap Irzan dengan suara terbata menahan sakit di tangan yang dipelintir."Itu karena obsesimu yang terlalu tinggi. Kau telah merusak moralmu sendiri dengan hal ini. Jika kau menjalani kehidupan lain, tanpa harus terus- terusan mengenang Habiba, tentu kau tidak akan terus kepikiran dia.""Sudah sejak lama aku mengharapkan
"Paman itu siapa, Pa?" tanya Qansha menatap Panjul dengan tatapan heran."Namanya Paman Panjul," jawab Husein."Jelek sekali namanya," ceplos Qansha sekenanya, membuat semua orang tertawa."Jelek- jelek tapi orangnya tampan," sahut Panjul berusaha menyikapi dengan manis."Iya tampan. Cocok sama tante Inez." Qasam menyahuti.Muka Inez mendadak memerah. Malu."Mm.. rasanya aku tidak nyaman di sini. Bagaimana kalau aku ajak adikmu ke meja lain?" tanya Panjul meminta ijin pada Husein."Oh, bukankah gerak- gerik kalian justru akan terpantau olehku saat kalian bersamaku? kalau kau membawa adikku pergi, apa kau menjamin bahwa kau bisa menjaganya?”“Aku jamin, aku yang membawanya, tentu aku bertanggung jawab atas dia,” jawab Panjul meyakinkan.Padahal Husein hanya berseloroh saja, namun Panjul menanggapi dengan serius. Husein tertawa kemudian mengangguk. “Baiklah, bawalah adikku bersamamu. Tapi kau akan berhadapan denganku jika kau macam- macam padanya," tegas Husein. "Ya, aku tahu siapa
Setelah itu, ustaz Adi Hifayah mendapatkan kesempatan untuk memberikan tausiah.“Sebuah kehormatan besar saya bisa berada di sini. Dan di sini saya selaku penceramah, pembimbing, dan orang tua bagi Shaka El Qasam, ingin menyampaikan sedikit hal tentang besarnya peranan anak laki- laki bagi keluarga. Dia akan bertanggung jawab merawat orang tua ketika orang tuanya sudah berumur. Menanggung nafkah orang tuanya ketika orang tua sudah berusia lanjut. Dia juga menjadi pelindung bagi istri, adik perempuan dan kakaknya.”“Laki- laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena itu Tuhan melebihkan kondisi fisik lelaki dari wanita. Dan di sini, ada banyak anak laki- laki yang akan menjadi generasi penerus bangsa, menjadi pemimpin negeri ini, demikian juga Qasa yang akan menjadi calon penerus negeri ini. jadilah sosok yang bertaqwa, beriman dan tangguh.”Ustaz Adi menelan saliva. “Baiklah, mari kita berdoa, tundukkan kepala. Semoga Nak Qasam menjadi anak yang berbakti dan bermanfaat
Tak disangka, Qasam yang dulu terlihat penakut, pendiam dan tak banyak tingkah, kini terlihat gagah berani melangkah maju tanpa rasa gentar. Di hadapan banyak orang, di hadapan para gurunya, serta di hadapan teman- temannya yang sering membuly nya sebagai anak aneh, ia tampak penuh percaya diri."Qasam, kau tahu kenapa mama dan papamu bangga terhadapmu?" tanya Irfan Sadim sambil memegang pundak Qasam yang sudah berdiri di sisinya."Karena aku anak yang pintar," jawab Qasam lantang, menggunakan mikrofon yang diberikan oleh Irfan Sadim."Benar. Dan satu lagi, kau pemberani."Qasam tersenyum bangga."Dulu, ketika Om Irfan masih seusiamu, Om punya cita- cita sebagai pemain sepak bola. Om berasal dari keluarga sederhana yang untuk makan pun sulit, bagaimana Om bisa menjadi pesepak bola?""Om bermimpi, terus bermimpi. Om mengumpulkan uang jajan yang sedikit demi sedikit. Tak Lain uang logam. Rela tidak jajan demi mengumpulkan uang untuk membeli sepatu bila. Dan akhirnya, siapa sangka uang
"Kalau begitu Qasam sudah bisa dibawa ke acara itu?" tanya Qasam penuh percaya diri."Tentu sudah bisa. Kita semua sudah siap, bukan?" jawab Husein."Kalau Qansha bagaimana, Pa? Sudah cantik?" Qansha memutar badannya. Memperlihatkan pakaian mengembang warna kuning yang dia kenakan. Rambutnya diikat satu. Make up di wajahnya minimalis. Sendal putih hak tinggi melapisi kakinya. "Beautiful. Perfect!" Husein tersenyum menatap putrinya. "Yeey!" Qansha menjingkrak. "Yang ini bagaimana? Apakah sudah kelihatan cantik?" Habiba mengayunkan Wafa di gendongannya."Seperti mamanya," sahut Husein sekenanya. Habiba pura- pura sebal melihat tingkah suaminya. Berakhir dengan hidung yang dijepit oleh Husein.Fara berdiri di pintu menatap keluarga yang sudah siap dengan pakaian serba bagus. Ia gigit jari. Kepingin ikutan."Mbak Fara, jaga rumah ya!" pesan Habiba."Iya." Fara mengangguk pasrah. Membayangkan pesta besar, isi kepalanya mendadak ambyar. "Ya sudah, kita berangkat sekarang! Let's go!" Hu