Beberapa bulan telah berlalu. Kehamilan Habiba sudah semakin besar. Habiba melingkarkan satu lengannya ke lengan Husein saat keluar dari salah satu klinik besar. Mereka baru saja melakukan pemeriksaan dari salah satu ruang dokter kandungan. Habiba senang sekali bisa diantar langsung oleh Husein saat pemeriksaan kandungannya ditengah jadwal sibuk pekerjaan Husein.“Sayang, kamu harus banyak istirahat. Kamu dengar kata dokter tadi bukan? Kondisi janin di rahimmu lemah, dan kamu nggak boleh kecapekan.” Husein mengelus permukaan perut Habiba yang sudah menonjol. Habiba mengangguk.“Aku tidak mau kau dan bayiku kenapa-napa. Jadi kau harus nurut sama suami. Jangan bandel. Kemarin- kemarin kau lelah pikiran makanya bayinya bermasalah. Sekarang, aku sudah menjagamu dengan baik. Aku mendampingimu, jadi tidak ada alasan untuk ngedrop.”Habiba tersenyum seraya mencubit kecil pipi suaminya. Ia kelihatan sedikit lebih tegas bukan untuk menzalimi. Ia hanya sedang melindungi istri
Bukannya bertindak, Husein malah kebingungan sendiri. Dia berdiri kaku dan tak tahu harus berbuat apa. Lalu ia duduk di sisi Habiba. "Ini bagaimana?""Mas Husein, ini sakit!" Habiba mencengkeram lengan Husein erat sekali lalu menjambak rambut suaminya itu. Kapan lagi menjambak Husein kalau bukan di momen ini?Kepala Husein tertarik oleh tangan Habiba.Tak hanya sampai di situ, Habiba bahkan menjewer telinga Husein kuat- kuat sampai muka pria itu memerah. "Hei, hei. Kau mau membunuhku atau bagaimana ini?" Husein berusaha melepaskan diri dari hukuman itu. Dan ia berhasil lepas dari tangan Habiba. Tangannya menepuk- nepuk telinga yang rasanya sakit sekali. Bugh.Husein terkejut mendapat tendangan keras dari Habiba. Dan sialnya mah mengenai bagian vital miliknya. Ya ampun, untung saja sayang, coba saja kalau yang melakukannya adalah orang lain, pasti orang itu sudah mendapat tendangan balasan yang jauh lebih dahsyat.Bagaimana mungkin seorang pengusaha yang kesehariannya kelihatan ne
Sepanjang menemani persalinan, lalu bayi dimandikan dan kemudian bayi dikembalikan ketika Habiba sudah memasuki ruang rawat, Husein dilanda rasa haru. Namun Husein tak mau menunjukkan keharuannya itu kepada semua orang. Rasa gengsi membuatnya harus menjaga image, menjaga kewibawaan. Jangan sampai menangis apa lagi mewek- mewek dengan hidung kembang kempis. Itu memalukan. Lebih baik Husein menyimpan rasa dengan segala kekuatannya. Meski sejujurnya ia sedang sangat ingin menjingkrak dan melompat- lompat sebagai wujud kegembiraan. Husein meminta dokter langsung membawa bayinya ke kamar rawat yang steril, ia tidak mau bayinya dipisahkan dari ruang ibunya.Husein juga memerintah pelayanan terbaik di ruang VVIP itu. Semuanya serba mewah. Mulai dari makanan pasien pun terjamin, bergozi dan higienis. Pelayanan sempurna. Perlengkapan kamar pun komplit. Dijamin kelayakannya.Husein tak berani menimang bayinya. Ia biarkan saja Fatona yang menggendong bayi perempuan yang cantik itu. Bibirnya
Barusan, Fatona tadi juga menasihatinya, mengatakan bahwa Husein itu selama tinggal bersama Fatona telah menunjukkan sikap kebapakan yang bijaksana, penyayang dan perhatian.Tomy juga merasa aneh pada kejadian yang terjadi antara dirinya dna Husein, dulu Tomy lah yang menasihati ibunya saat ibunya tak terima Husein menikah lagi dengan Habiba. Dan sekarang, sebaliknya. Justru Fatona yang memahami kondisi Habiba yang tetap bertahan dengan Husein."Aku percayakan keponakanku dibesarkan olehmu," ucap Tomy kemudian beranjak pergi.Habiba menatap Husein, dan kebetulan pria itu pun menoleh ke arahnya. Ia tersenyum. "Dia sudah merestui kita lagi."Habiba balas tersenyum."Ma, Qasam boleh cium dedek bayi?" polos Qasam yang masih berdiri di antara Husein dan Habiba."Mm... Dedek bayi ini harus disentuh dengan semua yang steril. Mama tidak tahu Qasam tadi malan apa. Kalau barusan makan ikan asin dan kemudian cium adik bayi tentu kuman ikan asin di mulut Qasam akan berpindah ke adik. Tidak mau ka
Setiap pagi, Habiba lebih suka meluangkan waktu dengan Wafa dari pada harus bersantai ria. Habiba tersenyum menatap wajah si gemil lalu menciumi wajah kecil menggemaskan itu. Wafa termasuk bocah tahan banting, dia jarang menangis, gampang tertidur, tidak seperti bayi lain yang terkadang mau tidur pun harus ditimang-timang terlebih dahulu, atau menangis dan merengek, atau juga diayun-ayun. Tapi Wafa bisa langsung tertidur tanpa harus diperlakukan seperti itu.Habiba membawa Wafa ke kamar bayi, tepat bersebelahan dengan kamarnya. Ia memandikan Wafa di bak lalu membawa Wafa turun setelah si kecil menjadi wangi dan mengenakan baju hangat.Habiba meletakkan Wafa di roda, membiarkan bocah imut itu memutar-mutar mainan di roda dan berbicara sendiri dengan riang.Habiba senang sekali melihat putrinya begitu aktif.“Mau minum apa, Biba? Susu, sereal atau jus?” tanya Fara menghampiri Habiba yang sudah duduk di salah satu kursi meja makan. Semenjak menyusui, Habiba memang rajin meneguk m
Hari itu, Husein mengajak Habiba berbelanja ke mall. Ini adalah hari bebas, hari dimana Husein melepaskan pekerjaannya dan meminta Amir supaya menghandel-nya. Husein ingin menyenangkan istrinya. Husein melingkarkan lengan kekarnya di pinggang kecil Habiba sepanjang berkeliling mall. Ia bahkan menempelkan pinggangnya di pinggang Habiba dengan posesif. Biarkan semua orang tahu kalau Habiba hanyalah miliknya, dan dunia juga tahu kalau wanita berparas cantik jelita itu hanyalah miliknya. Husein memanjakan Habiba dengan mengijinkan Habiba belanja apa saja. Bak ratu dikawal, Habiba tidak diperkenankan membawa barang perbelanjaan. Semua perbelanjaan dibawa oleh Husein. “Apa yang kau perhatikan?” Husein nyolot saat ada pria yang menatap Habiba intens seakan-akan sedang menikmati kecantikan Habiba. Entah itu hanya prasangka Husein yang sensitif atau memang begitu adanya.Pria yang digertak berlalu tanpa menjawab. Habiba menyikut perut Husein. “Sewot sekali? Kamu seperti sing
Husein keluar dari kamar mandi. Handuk melilit pinggangnya. Tangannya mengusap rambut yang masih basah setelah keramas. Ia tersenyum menatap Habiba.“Sayang, main, yuk!” Husein memeluk Habiba dan mengecup punggung Habiba yang berlapis kain. “Aku masih ingin.”“Mas Husein, lihat aku bawa Wafa.”“Kasih ke baby sitter sebentar.” Husein menempelkan tubuhnya ke tubuh Habiba. Sesuatu yang sering ia rasakan menggelitiki sisi sensitifnya. “Wafa tadi jatuh. Lihat pipinya memerah.” Habiba masih terlihat sibuk mencari obat oles. Ia mengambil obat itu setelah menemukannya.Penjelasan Habiba membuat Husein terkejut. Sontak ia langsung menatap Wafa. Dengan segera, ia meraih tubuh kecil Wafa dan menggendongnya.“Ya ampun, sayang. Pipinya lebam. Pasti sakit.” Husein memperhatikan pipi gemil puterinya yang semakin lama semakin membiru. “Bukannya tadi Wafa bersamamu?”“Aku tinggal sebentar tadi buat ngambil bola ke kamar Wafa.” Habiba mengolesi obat ke pipi Wafa. Bocah itu menggelia
Bukan salah Husein jika pria itu selalu sibuk dengan pekerjaannya. Itu sudah menjadi bagian dari kehidupan Husein yang menjalankan tugas besar sebagai suami. “Bibirmu mengatakan tidak. Tapi aku tahu hatimu kesal.” Husein maju, mendekati wajah Habiba, lalu mencium bibir merah Habiba cukup lama. “Semoga akan ada hari lain yang lebih mendukung. Bukan kau aaja yang kecewa, aku jauh lebih kecewa karena harus mengecewakanmu. Percayalah, aku akan atur waktu untuk kita bisa bersama- sama menghabiskan waktu bersama. Tapi disaat ada pekerjaan urgent begini, aku tidak bisa menolak.”Habiba mengangguk berusaha memahami dan berdamai dengan situasi meski sebenarnya ia sangat ingin mencakar- cakar dinding. “Kalau kau mau, pergilah liburan bersama anak- anak. Supir akan mengantarmu. Aku ijinkan kau pergi tanpa aku kali ini. aku tidak ingin kau dan anak- anak akan kecewa.”“Aku tidak mau.”Husein mengernyit.“Percayalah, kali ini aku ijinkan kau pergi tanpa aku.”“Aku tidak mau.” Habiba