Hari itu, Husein mengajak Habiba berbelanja ke mall. Ini adalah hari bebas, hari dimana Husein melepaskan pekerjaannya dan meminta Amir supaya menghandel-nya. Husein ingin menyenangkan istrinya. Husein melingkarkan lengan kekarnya di pinggang kecil Habiba sepanjang berkeliling mall. Ia bahkan menempelkan pinggangnya di pinggang Habiba dengan posesif. Biarkan semua orang tahu kalau Habiba hanyalah miliknya, dan dunia juga tahu kalau wanita berparas cantik jelita itu hanyalah miliknya. Husein memanjakan Habiba dengan mengijinkan Habiba belanja apa saja. Bak ratu dikawal, Habiba tidak diperkenankan membawa barang perbelanjaan. Semua perbelanjaan dibawa oleh Husein. “Apa yang kau perhatikan?” Husein nyolot saat ada pria yang menatap Habiba intens seakan-akan sedang menikmati kecantikan Habiba. Entah itu hanya prasangka Husein yang sensitif atau memang begitu adanya.Pria yang digertak berlalu tanpa menjawab. Habiba menyikut perut Husein. “Sewot sekali? Kamu seperti sing
Husein keluar dari kamar mandi. Handuk melilit pinggangnya. Tangannya mengusap rambut yang masih basah setelah keramas. Ia tersenyum menatap Habiba.“Sayang, main, yuk!” Husein memeluk Habiba dan mengecup punggung Habiba yang berlapis kain. “Aku masih ingin.”“Mas Husein, lihat aku bawa Wafa.”“Kasih ke baby sitter sebentar.” Husein menempelkan tubuhnya ke tubuh Habiba. Sesuatu yang sering ia rasakan menggelitiki sisi sensitifnya. “Wafa tadi jatuh. Lihat pipinya memerah.” Habiba masih terlihat sibuk mencari obat oles. Ia mengambil obat itu setelah menemukannya.Penjelasan Habiba membuat Husein terkejut. Sontak ia langsung menatap Wafa. Dengan segera, ia meraih tubuh kecil Wafa dan menggendongnya.“Ya ampun, sayang. Pipinya lebam. Pasti sakit.” Husein memperhatikan pipi gemil puterinya yang semakin lama semakin membiru. “Bukannya tadi Wafa bersamamu?”“Aku tinggal sebentar tadi buat ngambil bola ke kamar Wafa.” Habiba mengolesi obat ke pipi Wafa. Bocah itu menggelia
Bukan salah Husein jika pria itu selalu sibuk dengan pekerjaannya. Itu sudah menjadi bagian dari kehidupan Husein yang menjalankan tugas besar sebagai suami. “Bibirmu mengatakan tidak. Tapi aku tahu hatimu kesal.” Husein maju, mendekati wajah Habiba, lalu mencium bibir merah Habiba cukup lama. “Semoga akan ada hari lain yang lebih mendukung. Bukan kau aaja yang kecewa, aku jauh lebih kecewa karena harus mengecewakanmu. Percayalah, aku akan atur waktu untuk kita bisa bersama- sama menghabiskan waktu bersama. Tapi disaat ada pekerjaan urgent begini, aku tidak bisa menolak.”Habiba mengangguk berusaha memahami dan berdamai dengan situasi meski sebenarnya ia sangat ingin mencakar- cakar dinding. “Kalau kau mau, pergilah liburan bersama anak- anak. Supir akan mengantarmu. Aku ijinkan kau pergi tanpa aku kali ini. aku tidak ingin kau dan anak- anak akan kecewa.”“Aku tidak mau.”Husein mengernyit.“Percayalah, kali ini aku ijinkan kau pergi tanpa aku.”“Aku tidak mau.” Habiba
Habiba ingin mengirim pesan pada Husein untuk memberi tahu bahwa ia hendak pulang kerja.Ah, kesannya ia malah jadi seperti anak ABG yang apa- apa mesti laporan sama pacar.Habiba pun menghapus pesan yang sudah diketik.Dan… bleb. Ponselnya mati akibat lowbatt.Ya ampun, lain kali ia harus memperhatian baterai ponsel supaya tidak mati mendadak begini.Ia lalu pulang dengan menggunakan taksi.“Pak, kok, seperti ada mobil yang ngikutin kita ya?” tanya Habiba samdil sesekali mengintip spion.“Mobil yang mana, Mbak?” tanya supir.“Warna hitam. Perasaanku jadi tidak enak ini. Tapi apa itu perasaanku saja ya? Ngebut pak, ya!” pinta Habiba.“Ya, Mbak.” Supir menambah kelajuan mobil untuk menghindari mobil di belakang.Smapai di lampu merah. Jarak taksi dengan mobil hitam yang dicurigai mengikutinya itu cukup jauh. Lalu taksi pun lepas dari mobil hitam ketika lampu hijau menyala, sedangkan mobil hitam kembali terjebak lampu merah.Sial, akibat terburu- buru, taksi menyerempet seseorang ya
Tak lama, Husein kembali meraih ponselnya lalu menelepon anak buahnya. “Apakah kalian sudah temukan Habiba?”“Belum, Tuan.”“Bod*h! cepat temukan dia! Kalian benar- benar tidak berguna!” kesal Husein kemudian memutus sambungan telepon.Husein menghela napas. Habiba mematikan ponsel dan dia bersama dengan Irzan. Kemudian video itu…Ah, dada Husein panas sekali mengenangnya. Itu benar- benanr Habiba. Lalu kenapa bisa tidur seranjang dengan Irzan?Apakah benar mereka ada main selama ini? Tapi itu rasanya mustahil. Habiba bukan wanita seperti itu. Ini pasti kerjaan Irzan sialan itu!Husein akan menjadi pria paling menyedihkan saat dia tahu istrinya dijamah oleh lelaki lain. Ia sama sekali tidak bisa terima kenyataan itu. habiba hanyalah miliknya dan tak akan dia ijinkan lelaki mana pun menyentuhnya.Husein menuju ke lemari bagian bawah yang ada di sudut ruangan. Mencari sesuatu, lalu meneguk minuman di dalam botol kemasan.Ia pernah bermasalah dengan Agatha dan meneguk minum
“Non, Habiba!” Sayup-sayup Habiba mendengar suara asing memanggil- manggil namanya. Matanya melek saat mencium aroma minyak kayu putih yang menusuk pernafasannya. Ia terkejut melihat dua wajah asing di hadapannya.“Hah? Siapa kalian?” Habiba berbalik, ingin berlari namun keningnya malah kepentok kaca jendela mobil. Ia baru sadar sedang berada di mobil.“Non, kami ini adalah suruhan Bos Husein.” Salah satunya menerangkan.Habiba menatap dua wajah pria yang duduk di jok depan. Mereka lalu memperlihatkan kartu nama, ada tanda tangan Husein di kartu nama itu.Habiba pun mempercayainya. Habiba mengingat kejadian terakhir sebelum ia pingsan. Ia pulang dari rumah sakit naik taksi, lalu taksi melesat membawanya pulang. Tapi di perjalanan, Irzan terserempet taksi, yang akhirnya oleh supir taksi pun dibawa masuk untuk diberi pertolongan.Habiba mengobati Irzan, namun kemudian dari arah belakang, ia dibekap menggunakan sapu tangan, menghirup sesuatu di sapu tangan yang membuatnya la
Husein melepas nafas panjang penuh kelegaan. Rasa cinta Husein terhadap Habiba, membuat Husein sepenuhnya mempercayai setiap kata yang terlontar dari mulut istrinya itu. Bagaimana bisa Husein tidak mempercayai Habiba sementara Habiba berbicara dengan tatapan syahdu yang didalamnya terpancar kejujuran. Husein yakin wanita yang baik itu tidak akan berdusta, sekalipun Habiba benar-benar berdusta di hadapan Husein, tetap saja Husein akan mempercayai Habiba. Begitu utuh kepercayaan Husein terhadap istrinya.“Habiba!” Husein merengkuh tubuh mungil Habiba dan membawa ke pelukannya. “Aku benar-benar cemas dengan keadaanmu. Kupikir hidupku sudah hancur karena pengakuan gila yang dikatakan oleh Irzan. Aku mencintaimu.”“Aku juga mencintaimu, Mas Husein. Hanya kamu satu-satunya orang yang kucintai. Jangan pernah berpikir ada pria lain diantara kita. Kalau pun Irzan berlaku curang, aku yakin Tuhan tidak akan membiarkan hal itu terjadi.”Pelukan Husein semakin erat.Habiba mengelus pu
Husein mengetuk pintu sebuah rumah minimalis. Tidak salah alamat. Di sanalah tempat tinggal Sinta sesuai dengan data yang ia dapatkan dari kantor. Sinta, tinggal sendirian di rumah yang baru dia beli itu. Orang tuanya ada di kampung. Begitu menurut keterangan yang Husein dapatkan dari Amir. Ayolah buka pintunya. Husein tak sabar. Pintu terbuka dan sesosok gadis menyembul keluar. Husein menatap wajah pucat yang tanpa make up. Rambutnya terurai sepanjang punggung. Ia terkejut melihat sang bos muncul di hadapannya.“Aku ingin bicara sebentar.” Husein tegas tanpa berbasa- basi.Sinta menatap gugup. Gadis itu lebih memilih menatap ke bawah dari pada harus bersitatap dengan matabosnya.“Silakan masuk!” Sinta berjalan lebih dulu ke ruang tamu dan Husein mengikuti.“Kedatanganku ke sini untuk menanyakan masalah kemarin.”Sinta duduk di sofa, jauh dari Husein.“Kau harus jujur, apa yang sudah terjadi antara kita? Tidak terjadi apa-apa waktu itu, kan?”Sinta mematung. Wajahnya