“Non, Habiba!” Sayup-sayup Habiba mendengar suara asing memanggil- manggil namanya. Matanya melek saat mencium aroma minyak kayu putih yang menusuk pernafasannya. Ia terkejut melihat dua wajah asing di hadapannya.“Hah? Siapa kalian?” Habiba berbalik, ingin berlari namun keningnya malah kepentok kaca jendela mobil. Ia baru sadar sedang berada di mobil.“Non, kami ini adalah suruhan Bos Husein.” Salah satunya menerangkan.Habiba menatap dua wajah pria yang duduk di jok depan. Mereka lalu memperlihatkan kartu nama, ada tanda tangan Husein di kartu nama itu.Habiba pun mempercayainya. Habiba mengingat kejadian terakhir sebelum ia pingsan. Ia pulang dari rumah sakit naik taksi, lalu taksi melesat membawanya pulang. Tapi di perjalanan, Irzan terserempet taksi, yang akhirnya oleh supir taksi pun dibawa masuk untuk diberi pertolongan.Habiba mengobati Irzan, namun kemudian dari arah belakang, ia dibekap menggunakan sapu tangan, menghirup sesuatu di sapu tangan yang membuatnya la
Husein melepas nafas panjang penuh kelegaan. Rasa cinta Husein terhadap Habiba, membuat Husein sepenuhnya mempercayai setiap kata yang terlontar dari mulut istrinya itu. Bagaimana bisa Husein tidak mempercayai Habiba sementara Habiba berbicara dengan tatapan syahdu yang didalamnya terpancar kejujuran. Husein yakin wanita yang baik itu tidak akan berdusta, sekalipun Habiba benar-benar berdusta di hadapan Husein, tetap saja Husein akan mempercayai Habiba. Begitu utuh kepercayaan Husein terhadap istrinya.“Habiba!” Husein merengkuh tubuh mungil Habiba dan membawa ke pelukannya. “Aku benar-benar cemas dengan keadaanmu. Kupikir hidupku sudah hancur karena pengakuan gila yang dikatakan oleh Irzan. Aku mencintaimu.”“Aku juga mencintaimu, Mas Husein. Hanya kamu satu-satunya orang yang kucintai. Jangan pernah berpikir ada pria lain diantara kita. Kalau pun Irzan berlaku curang, aku yakin Tuhan tidak akan membiarkan hal itu terjadi.”Pelukan Husein semakin erat.Habiba mengelus pu
Husein mengetuk pintu sebuah rumah minimalis. Tidak salah alamat. Di sanalah tempat tinggal Sinta sesuai dengan data yang ia dapatkan dari kantor. Sinta, tinggal sendirian di rumah yang baru dia beli itu. Orang tuanya ada di kampung. Begitu menurut keterangan yang Husein dapatkan dari Amir. Ayolah buka pintunya. Husein tak sabar. Pintu terbuka dan sesosok gadis menyembul keluar. Husein menatap wajah pucat yang tanpa make up. Rambutnya terurai sepanjang punggung. Ia terkejut melihat sang bos muncul di hadapannya.“Aku ingin bicara sebentar.” Husein tegas tanpa berbasa- basi.Sinta menatap gugup. Gadis itu lebih memilih menatap ke bawah dari pada harus bersitatap dengan matabosnya.“Silakan masuk!” Sinta berjalan lebih dulu ke ruang tamu dan Husein mengikuti.“Kedatanganku ke sini untuk menanyakan masalah kemarin.”Sinta duduk di sofa, jauh dari Husein.“Kau harus jujur, apa yang sudah terjadi antara kita? Tidak terjadi apa-apa waktu itu, kan?”Sinta mematung. Wajahnya
“Beb!” Habiba memanggil baby sister.“Ya, Non!” Baby sitter tergopoh muncul memasuki kamar.“Tolong ajak Wafa.”“Baik, Non.” Baby sitter tersenyum menatap Wafa dan meraih tubuh bocah itu, sayangnya Wafa menjerit dan menolak. Tangannya berpegangan sangat kuat pada kursi. Tangan lainnya memegangi rok Habiba. Spertinya Wafa masih belum puas bermain dengan kursi ditemani oleh Habiba. Wafa bahkan merengek saat melihat muka Baby sitter. Memahami hal itu, Habiba tersenyum dan meminta Baby sitter meninggalkan kamar. Wafa sedang tidak ingin bermain dengan Baby sitter. Baiklah, Habiba mengalah. Ia melayani putrinya bermain penuh pengawasan.Sesekali Habiba menatap jam dinding, sudah pukul sepuluh malam, Husein belum pulang. Andai saja Husein ada di sisinya, pasti ia bisa menyelesaikan tugasnya dengan baik. Sebab Husein lah yang akan mengambil alih tugas menjaga Wafa. Wafa tidak pernah menolak saat diajak oleh Husein. Wafa begitu dekat dengan papanya. Bahkan begitu melihat k
"O ya, soal Irzan, aku sudah mencari tahu keberadaannya tapi belum ketemu, sepertinya dia sengaja menghindar. Begini rupanya ilmu yang dipraktikkan Irzan, suka menghilang- hilang saat dia melakukan kesalahan. Persis seperti kuntilanak.”Awas saja, Husein tidak akan melepaskan Irzan. Ia bahkan sudah memerintah Amir untuk mencari tahu keberadaan Irzan. Irzan sudah berani memfitnah Habiba, bahkan hampir melecehkannya. Dendam di dadanya terasa membara. "Kalau kamu menemukan Irzan, apa yang akan kamu lakukan?" tanya Habiba."Aku ingin mematahkan tangannya."Habiba meremang membayangkannya. Namun wajar saja Husein sangat marah, suami mana yang tidak marah saat istrinya hampir dilecehkan. "Apakah tidak lebih baik dia dibawa ke jalur hukum saja?" tanya Habiba."Tidak. Aku tidak akan puas. Aku ingin mengantarnya ke sungai yang di dalamnya ada banyak buaya supaya dia menjadi santapan buaya."Habiba makin meremang membayangkan tubuh Irzan ditarik sana sini menjadi rebutan buaya. "Tidak tidak
Husein menatap lawan tabrakannya. Gadis yang mengenakan pakaian renang itu tersenyum canggung, kemudian agak kaget melihat lawannya ternyata adalah mantan bosnya yang tampan dan penuh kharisma. “Bapak di sini?” Sinta berbasa-basi, dari pada tidak menyapa sama sekali.“Hm.”“Sendirian, Pak?” tanya Sinta. Pria di hadapannya itu benar- benar sempurna. Meskipun beristri, namun pesonanya tidak pudar. Wajahnya juga baby face. “Pak….”“Ya?” Husein yang sudah melangkah itu menoleh. Gadis itu seperti ingin mengucapkan sesuatu namun tertahan. “Ada apa?”“Mm… Ah, tidak.”“Bicara saja!“Terima kasih sudah memberi kesempatan kepada saya untuk bekerja.”“Itu saja?”Sinta mengangguk. Padahal gadis itu hanya ingin melihat wajah Husein lebih lama lagi. Kalau saja bisa, ia pasti sudah mencuri foto wajah Husein. Gantengnya bikin kesemsem. Husein melenggang menuju warung kecil di pinggir pantai.“Ada tisu?” tanya Husein pada pedagang.“Berapa, Mas?”“Satu bungkus saja.”“Ini.” Gadis itu me
“Habiba, ajak Wafa berteduh. Kasian kalau Wafa kelamaan dijemur,” ucap Husein dan diangguki oleh Habiba.Sinta menoleh, ia bangkit berdiri kemudian menyerahkan Wafa pada Habiba.“Terima kasih sudah memberi kesempatan untuk memegang Wafa. Aku senang bisa mengenalinya,” ujar Sinta.“Justru aku yang mengucapkan terima kasih kepadamu. Kamu sudah bantuin aku tadi,” sahut Habiba. “O ya Mas Husein, ini mantan sekretarismu, bukan? Dia tadi sudah cerita banyak tentangmu.”Husein mengangguk saja. “Aku dan istriku mau berteduh. Terima kasih kau sudah menemani anakku” ucap Husein dan diangguki oleh Sinta. Husein melingkarkan lengan kekarnya ke pinggang Habiba sambil berkata, “Ayo sayang!”“Iya, Mas.” Habiba menatap Sinta. “Kami duluan, ya!”Sinta tersenyum dan mengangguk.Husein mengambil alih Wafa dari gendongan Habiba. Ia lebih memilih dirinya saja yang direpotkan, jangan Habiba. Satu lengan kekarnya menggendong Wafa, lengan lainnya melingkar di pinggang Habiba.Mereka kembali dudu
“Mas Husein, Wafa hilang!” ulang Habiba semakin histeris.Husein meraih bantal guling dan menutup telinganya dengan bantal. Berisik sekali suara di dekat telinganya itu. menyebalkan sekali. Mengganggu tidur saja! padahal sedang mimpi enak.“Ya Allah, Mas Husein. Bangun!” Habiba semakin kuat mengguncang bahu Husein, menarik bantal guling yang dipegangi Husein dan menjauhkannya dari telinga suaminya itu.“Sayang, ada apa malam-malam begini meracau tidak jelas? Aku masih mengantuk.” Husein malas bergerak.“Ini sudah pagi. Dan kamu denger aku tidak? Wafa hilang!” Habiba kesal melihat Husein yang begitu sulit dibangunkan. Bahkan sudah berkali-kali diberi tahu kalau Wafa hilang, tapi Husein tidak juga mau membuka mata.Husein mengucek mata, lalu mengerjap-ngerjapkannya dengan berat. Ia menguap. Untung saja tidak mengeluarkan aroma jengkol.“Jangan mengigau, memangnya setan bisa hilang? Tanyakan sana pada Baby sitter, tadi malem Wafa tidurnya bersama dengan Baby sitter. Atau
Husein menyentil ujung dagu Habiba. "Aku mencintaimu.""Jangan terus- terusan ucapkan kalimat itu, aku bisa terharu. Lihatlah air hidungku meleleh jadinya." Husein mengernyit. "Air mata, sayang. Kenapa jadi air hidung?""He hee...""Aku boleh menciummu?" bisik Husein."Jangan nakal. Ini di tempat umum, bukan di kamar.""Ini masih terlalu pagi, belum ada yang bangun." Husein mengecup singkat bibir Habiba."Cie cieeee....."Husein dan Habiba serentak menoleh ke sumber suara. Ada Qasam dan Qansha yang berdiri di ambang pintu. "Papa cium mama nih yeee..." Qasam terkekeh.Habiba membelalak kaget. Bukan kaget karena Qasam meledeknya, tapi kaget karena Qasam menggendong Wafa. Sedangkan Qansha memegangi kaki Wafa yang masih mengenakan piyama tidur lengkap dengan pampers tebal yang isinya sudah sangat berat dengan air kecil."Ya ampun. Qasam, jangan gendong Wafa. Nanti bisa jatuh. Kamu belum saatnya menggendong dia, Nak." Habiba menghambur dan mengambil alih tubuh Wafa dari gendongan Qasam.
Habiba tak bisa tidur. Malam itu sampai jam lima pagi, ia terjaga. Pikirannya menerawang pada kejadian yang baru saja dia saksikan. Ia berharap tidak akan terjadi apa pun pada Husein, dan tentu saja pada Amir juga. Jika sampai drama penahanan terjadi lagi pada Husein, Habiba tak tahu lagi harus berbuat apa. “Habiba!” Habiba terkejut mendengar suara yang memanggilnya. Suara Tomy.Habiba yang tengah duduk di kasur itu pun menghambur keluar kamar.“Mas Tomy!” Habiba menghampiri Timy yang berdiri di tengah- tengah ruang tamu. “Ada apa pagi buta begini Mas Tomy ke sini?”“Aku mendengar Irzan meninggal, kena tembak. Husein sedang mengurus masalah ini di kantor polisi. Maksudnya, kena tembak kenapa?” Tomy bingung.“Mas Tomy dapat kabar dari siapa?” “Dari polisi yang meneleponku dan menanyakan beberapa hal terkait Irzan, aku dianggap sebagai teman dekat yang mungkin mengetahui sesuatu tentang Irzan. Katanya, Husein yang melaporkan kematiannya. Aku ke sini karena ingin tahu hal ini. Ak
"Tidak!" Habiba menjerit keras sekali. Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Tangisnya pecah. Bruk. Tubuh yang tertembak itu terjatuh dan ambruk ke tanah. Tembakan tepat mengenai sasaran. Habiba ambruk menjatuhkan lutut ke tanah sambil sesenggukan."Mama!" Qasam berlari mendekat pada Habiba. Cepat Habiba membuka wajah dan memeluk Qasam erat. "Papamu, Nak!""Itu papa, Ma!" Qasam menunjuk Husein. “Jangan lihat!” Habiba memaksa wajah Qasam supaya menatap ke arahnya, jangan melihat Husein.“Ayo kita mendekat pada papa, Ma!” rengek Qasam.Pelan, kepala Habiba menoleh ke arah Husein meski ia tak sanggup bila harus menyaksikan suaminya terkapar bersimbah darah. Loh, kok Husein masih berdiri tegap? Pria itu dalam keadaan baik- baik saja. Dan saat Habiba menoleh pada Irzan, justru ia melihat tubuh Irzan tergeletak di tanah bersimbah darah. Dari punggung pria itu mengeluarkan darah segar. Senjata api di tangannya terlepas.Habiba menutup mata Qasam dengan telapak tangannya. Qas
"Lepaskan dia!" seru Husein."Ya, tentu aku akan melepaskan anakmu ini. Asalkan kau bersedia mati di tanganku. Tak peduli setelah itu aku akan masuk penjara, yang jelas kau harus mati. Aku dendam padamu. Aku muak padamu. Biarkan semua orang mengataiku kejam, yang penting aku puas. Ha ha haaa..."Setan apa yang merasukinya. Loh itu kan lirik lagu. Kok Husein malah nyanyi? Entah kenapa lagu itu main templok saja di otaknya. Irzan yang dulu terlihat kalem, kini berubah seperti kerasukan setan hanya karena keinginannya untuk bisa hidup bersama dengan orang yang dia cintai tidak terwujud. Otaknya seperti sudah geser satu ons. Jika disebut sebagai orang baik, jelas Irzan dulu adalah orang baik. Dia selalu melakukan hal- hal baik pada semua orang. Tapi saat dia merasa patah hati, dia berubah menjadi sosok yang berbeda. yang isi di hatinya hanyalah merasa tersakiti. Harapannya dipatahkan berkali- kali."Kau sudah gila. Apa kau pikir Habiba akan bersedia menikah dan hidup bersamamu setel
"Setiap melakukan kesalahan, kau selalu bersembunyi. Begini cara seorang pengecut, hm?" Husein melangkah maju.Irzan melangkah mundur. "Setelah kau berusaha melecehkan istriku, maka aku tidak akan mengampunimu. Kau sudah menginjak- injak marwahku." Husein mencengkeram lengan Irzan, namun dengan gesit Irzan menangkisnya. Segera Irzan melayangkan tinju, namun dengan cepat Husein mengelak, matanya dengan mudah menangkap gerakan lawan hingga tendangan Irzan hanya mengenai udara.Irzan kembali melayangkan serangan tinju namun kalah cepat dengan gerakan tangan Husein yang dengan cepat menangkap lengan Irzan dan memelintirnya ke belakang. "Aku tidak bisa melupakan Habiba," ucap Irzan dengan suara terbata menahan sakit di tangan yang dipelintir."Itu karena obsesimu yang terlalu tinggi. Kau telah merusak moralmu sendiri dengan hal ini. Jika kau menjalani kehidupan lain, tanpa harus terus- terusan mengenang Habiba, tentu kau tidak akan terus kepikiran dia.""Sudah sejak lama aku mengharapkan
"Paman itu siapa, Pa?" tanya Qansha menatap Panjul dengan tatapan heran."Namanya Paman Panjul," jawab Husein."Jelek sekali namanya," ceplos Qansha sekenanya, membuat semua orang tertawa."Jelek- jelek tapi orangnya tampan," sahut Panjul berusaha menyikapi dengan manis."Iya tampan. Cocok sama tante Inez." Qasam menyahuti.Muka Inez mendadak memerah. Malu."Mm.. rasanya aku tidak nyaman di sini. Bagaimana kalau aku ajak adikmu ke meja lain?" tanya Panjul meminta ijin pada Husein."Oh, bukankah gerak- gerik kalian justru akan terpantau olehku saat kalian bersamaku? kalau kau membawa adikku pergi, apa kau menjamin bahwa kau bisa menjaganya?”“Aku jamin, aku yang membawanya, tentu aku bertanggung jawab atas dia,” jawab Panjul meyakinkan.Padahal Husein hanya berseloroh saja, namun Panjul menanggapi dengan serius. Husein tertawa kemudian mengangguk. “Baiklah, bawalah adikku bersamamu. Tapi kau akan berhadapan denganku jika kau macam- macam padanya," tegas Husein. "Ya, aku tahu siapa
Setelah itu, ustaz Adi Hifayah mendapatkan kesempatan untuk memberikan tausiah.“Sebuah kehormatan besar saya bisa berada di sini. Dan di sini saya selaku penceramah, pembimbing, dan orang tua bagi Shaka El Qasam, ingin menyampaikan sedikit hal tentang besarnya peranan anak laki- laki bagi keluarga. Dia akan bertanggung jawab merawat orang tua ketika orang tuanya sudah berumur. Menanggung nafkah orang tuanya ketika orang tua sudah berusia lanjut. Dia juga menjadi pelindung bagi istri, adik perempuan dan kakaknya.”“Laki- laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena itu Tuhan melebihkan kondisi fisik lelaki dari wanita. Dan di sini, ada banyak anak laki- laki yang akan menjadi generasi penerus bangsa, menjadi pemimpin negeri ini, demikian juga Qasa yang akan menjadi calon penerus negeri ini. jadilah sosok yang bertaqwa, beriman dan tangguh.”Ustaz Adi menelan saliva. “Baiklah, mari kita berdoa, tundukkan kepala. Semoga Nak Qasam menjadi anak yang berbakti dan bermanfaat
Tak disangka, Qasam yang dulu terlihat penakut, pendiam dan tak banyak tingkah, kini terlihat gagah berani melangkah maju tanpa rasa gentar. Di hadapan banyak orang, di hadapan para gurunya, serta di hadapan teman- temannya yang sering membuly nya sebagai anak aneh, ia tampak penuh percaya diri."Qasam, kau tahu kenapa mama dan papamu bangga terhadapmu?" tanya Irfan Sadim sambil memegang pundak Qasam yang sudah berdiri di sisinya."Karena aku anak yang pintar," jawab Qasam lantang, menggunakan mikrofon yang diberikan oleh Irfan Sadim."Benar. Dan satu lagi, kau pemberani."Qasam tersenyum bangga."Dulu, ketika Om Irfan masih seusiamu, Om punya cita- cita sebagai pemain sepak bola. Om berasal dari keluarga sederhana yang untuk makan pun sulit, bagaimana Om bisa menjadi pesepak bola?""Om bermimpi, terus bermimpi. Om mengumpulkan uang jajan yang sedikit demi sedikit. Tak Lain uang logam. Rela tidak jajan demi mengumpulkan uang untuk membeli sepatu bila. Dan akhirnya, siapa sangka uang
"Kalau begitu Qasam sudah bisa dibawa ke acara itu?" tanya Qasam penuh percaya diri."Tentu sudah bisa. Kita semua sudah siap, bukan?" jawab Husein."Kalau Qansha bagaimana, Pa? Sudah cantik?" Qansha memutar badannya. Memperlihatkan pakaian mengembang warna kuning yang dia kenakan. Rambutnya diikat satu. Make up di wajahnya minimalis. Sendal putih hak tinggi melapisi kakinya. "Beautiful. Perfect!" Husein tersenyum menatap putrinya. "Yeey!" Qansha menjingkrak. "Yang ini bagaimana? Apakah sudah kelihatan cantik?" Habiba mengayunkan Wafa di gendongannya."Seperti mamanya," sahut Husein sekenanya. Habiba pura- pura sebal melihat tingkah suaminya. Berakhir dengan hidung yang dijepit oleh Husein.Fara berdiri di pintu menatap keluarga yang sudah siap dengan pakaian serba bagus. Ia gigit jari. Kepingin ikutan."Mbak Fara, jaga rumah ya!" pesan Habiba."Iya." Fara mengangguk pasrah. Membayangkan pesta besar, isi kepalanya mendadak ambyar. "Ya sudah, kita berangkat sekarang! Let's go!" Hu