“Pak, siapkan mobil!” titah Husein pada supir.“Sudah siap, Tuan!” jawab supir sembari berlari membukakan pintu mobil untuk Habiba.“Panggil Baby sitter, suruh dia ikut!” titah Husein lagi.“Siap, bos!” Supir berlari ke dalam rumah setelah membukakan pintu untuk Husein. “Kenapa Baby sitter harus ikut?” tanya Habiba.“Kita akan butuh Baby sitter saat di kantor polisi nanti. Baby sitter tidak boleh hanya tinggal diam, juga harus memberikan keterangan nanti. Orang pertama yang bertanggung jawab atas Wafa adalah baby sitter. Semalaman Wafa tidur bersama dengan dia. Kau jangan terlalu cemas, Wafa pasti akan kita temukan.” Husein meraih kepala Habiba dan mengecup kening istrinya itu, berusaha memberi ketenangan.Supir muncul bersama Baby sitter. Baby sitter duduk di jok paling belakang. Mobil melesat cepat meninggalkan halaman rumah.“Pak, sesuai perintahku ya!” ucap Husein dan diangguki oleh supir.Sepanjang jalan, Husein menangkupkan wajah Habiba ke dadanya. Berbagai macam kat
“Orang yang sedang ulang tahun memang harus mendapat hukuman bukan? Maaf, kalau hukuman ini keterlaluan,” ucap Husein sembari menatap mata Habiba lekat. Kemudian kepalanya maju dan mengecup singkat pipi Habiba, disambut dengan sorak tepuk tangan, terutama Qasam dan Qansha.“Jahat kamu, Mas Husein. Aku hampir gila!” Habiba mencubit perut Husein dan Husein mengaduh kecil merasakan cubitan kuat yang pasti akan meninggalkan bekas. Muka Husein sampai memerah menahan sakit cubitan Habiba yang begitu dahsyat.Tumben cubitan habiba menyakitkan. Biasanya Husein tidak terpengaruh atas cubitan istrinya itu.“Cukup!” Husein melepas cubitan Habiba. Kemudian ia membimbing Habiba menuju kue. “Potong kuenya!” titahnya pada Habiba sembari kembali mengambil Wafa dari gendongan Habiba.Dengan seulas senyum, Habiba memotong kue, meletakkannya ke piring kecil. Lalu menyuapi potongan kue pertama untuk Husein. Setelah Habiba mencicipi kue, semua yang ada di ruangan itu pun mengucapkan selamat ul
Malam ini, Habiba dan anak- anak tidur di rumah Husein. Sebagian besar keluarga Husein juga masih ada di sana. Menginap.Anak- anak senang sekali karena ada banyak teman main. Bahkan sudah tengah malam pun masih banyak yang berlarian berkejaran. Ada yang sudah ketiduran di kursi, ada beberapa orang anak pula yang ketiduran di lantai. Orang tua masing- masing menggendong mereka ke kamar.Wafa sudah tidur di kamar. Habiba menemani Wafa di kasur. Lampu kamar sudah dimatikan. Mata Habiba pun sudah terpejam.Tiba- tiba ada yang mengelus betisnya. Habiba terkejut dan langsung duduk. “Mas Husein?” Habiba mengangkat alis.“Dia sudah tidur?” Suara Husein mengecil supaya tidak mengganggu Wafa.“Iya.” Suara Habiba juga ikutan berbisik.Husein meraih lengan Habiba dan mengelusnya. “Hei, mau apa?” bisik Habiba menolak tangan Husein.Pria itu menarik sudut bibirnya. “Jadi kau sungguh sungguh tidak mau melayaniku gara- gara aku sudah mengerjaimu, hm?”“Resikomu itu.”Tatapan Husei
Hampir dua jam, Husein menunggu Habiba di salon, ia duduk di ruang tunggu sambil menggeser- geser layar ponsel. Habiba sedang didandani di ruang rias, berlainan dengan tempat Husein sedang menunggu. Sebentar lagi mereka akan menghadiri pesta besar- besaran, Husein ingin Habiba tampil istimewa di acara itu. Tak perduli pada Supir yang sepertinya juga sudah jamuran menunggu di luar.Untuk menghilangkan rasa penat, Husein membaca-baca pemberitaan di media sosial tentangnya. Ia tersenyum membaca komentar netizen yang malah menginginkan menjadi istri ketiga Husein, alasannya simpel, tampan dan mapan.Dasar gila! Husein geleng- geleng kepala.Setelah ini, Husein akan menunjukkan pada negeri ini bahwa Habiba adalah istri kesayangan yang selalu ada di sampingnya.Sembilan puluh persen netizen mendoakan hubungan Husein dan Habiba, memberikan komentar positif karena mempercayai klarifikasi yang sepert drama telenovela waktu itu, namun sepuluh persen lainnya memberikan komentar pedas, meng
Husein mengawasi wajah Habiba yang terus saja tersenyum takjub menyaksikan kemewahan itu. Ini adalah keli pertamanya bagi Habiba menghadiri pesta semewah itu.Melihat Habiba yang tampak takjub, Husein pun berkata, “Bagaimana kalau lusa aku membuat pesta besar seperti ini?”“Pesta untuk apa? Buang- buang uang saja.”“Pesta pernikahan kita dulu sama sekali tidak meninggalkan kesan apa pun. Tidak ada pesta, tidak ada prewed, tidak ada apa pun. Kita bisa mengadakan pesta besar untuk pernikahan kita. Bagaimana?”Habiba menatap Husein haru. Suaminya ini sekarang makin menggemaskan. Bisa- bisanya menawarkan pesta pernikahan di saat usia mereka tidak muda lagi. Bahkan sudah memiliki tiga anak. “Pesta megah di hari pernikahan itu tidak penting, karena yang terpenting adalah menjaga sucinya pernikahan dengan baik,” jawab Habiba. “Aku justru ingin membuat acara besar untuk Qasam.”Husein mengangkat alis. “Qasam? Sunatan?”“Bukan. Dia masih terlalu kecil. Belum harus disunat. Maksu
“Hai, sayang!” Husein mengalihkan pandangannya dari laptop ke arah Habiba.Amir pun tersenyum melihat kedatangan Habiba.Husein bangkit berdiri, memeluk Habiba sebentar dan mengecup singkat pipi wanita itu.“Astaga, pasangan yang ini memang tidak bisa menahan sedikit saja.” Amir menggerutu sambil mengusap dagunya. “Kalian menzolimi aku. “Habiba tertawa. “Zolim? Dimana letak zolimnya?”“Ah, kalian kan tahu aku masih singel, apa harus kalian romantisan di hadapanku?” Amir mengusap wajahnya menunjukkan akting frustasi.“Hahaa... Ini motivasi buatmu supaya cepet nikah. Jangan kelamaan menjomblo. Nanti menjamur.” Husein malah meledek. Ia melingkarkan lengan ke pinggang Habiba dan membimbing istrinya itu menuju sofa. Mereka duduk bersisian.“Ya sudahlah, kita lanjutkan besok saja. Aku mau pulang. Di sini jadi obat nyamuk. Kalian nikmati saja kemesraan kalian. Kamar pun ada, semua lengkap.” Amir melangkah keluar. Husein menurunkan punggungnya dan kini posisinya setengah b
“Biba, aku melihat di sosial media ada beberapa akun gossip yang seliweran lewat di beranda FB- ku ini memberitakanmu, loh.” Fara menatap layar ponselnya, menghampiri Habiba yang sedang makan malam. Anak- anak sudah duluan makan, sedangkan Husein sudah empat hari tidak pulang karena ada urusan ke luar negeri.Habiba hanya tersenyum mendengar perkataan Fara. “Aku tidak menyangka akan seviral itu.”“Ya itu, jadi viral gara- gara keluarga Tuan Alka di awal bikin acara sebar foto pernikahan Tuan Husein dengan identitas wanita yang dirahasiakan. Nah, pengumuman pernikahan Tuan Husein dengan identitas wanita yang dirahasiakan ini membuat semua orang jadi penasaran. Oleh sebab itu jadi bahan gosipan di jagat media sosial.” Fara berbicara dengan bibir meleyot ke kanan dan ke kiri. Begitulah cara bicaranya Fara yang terkadang suka bikin geram mata yang melihatnya.“Setelah itu, beberapa tahun kemudian dimunculkan pula pengumuman dari Tuan Husein bahwa istri yang dia nikahi selama ini
Setelah mandi, Habiba langsung memasak makanan spesial untuk Husein. Masakan simpel yang tidak membuat pakaiannya bau bawang. Anak- anak sudah pergi ke sekolah diantar oleh Fatona. Sedangkan Wafa diurus oleh baby sitter."Mbak Fara tau tidak Mas Husein pulang jam berapa?" tanya Habiba."Jam setengah lima," jawab Fara yang sedang mengepel lantai."Oh, pantesan jam segini masih tidur.""Saya yang buka pintu dan Tuan Husein bawa oleh- oleh banyak untuk anak istri katanya. Aku juga sudah dikasih tadi. Tuan Husein kelihatan capek sekali. Terus langsung tidur. Dia tidak mau membangunkan kamu.""Dia kan memang begitu, tidak tega bangunkan istri.""Mungkin bangunnya bakalan siang itu, kan baru tidur dua jam.""Berarti anak- anak belum tahu kalau papanya pulang ya, Mbak?" "Belum dong. Pasti mereka heboh kalau tau papanya pulang." Fara tersenyum.Habiba sudah selesai membuat makanan. Ia pun beranjak meninggalkan dapur.Pukul sebelas, anak- anak pulang. Mereka langsung diurusin oleh Fatona, ga
Husein menyentil ujung dagu Habiba. "Aku mencintaimu.""Jangan terus- terusan ucapkan kalimat itu, aku bisa terharu. Lihatlah air hidungku meleleh jadinya." Husein mengernyit. "Air mata, sayang. Kenapa jadi air hidung?""He hee...""Aku boleh menciummu?" bisik Husein."Jangan nakal. Ini di tempat umum, bukan di kamar.""Ini masih terlalu pagi, belum ada yang bangun." Husein mengecup singkat bibir Habiba."Cie cieeee....."Husein dan Habiba serentak menoleh ke sumber suara. Ada Qasam dan Qansha yang berdiri di ambang pintu. "Papa cium mama nih yeee..." Qasam terkekeh.Habiba membelalak kaget. Bukan kaget karena Qasam meledeknya, tapi kaget karena Qasam menggendong Wafa. Sedangkan Qansha memegangi kaki Wafa yang masih mengenakan piyama tidur lengkap dengan pampers tebal yang isinya sudah sangat berat dengan air kecil."Ya ampun. Qasam, jangan gendong Wafa. Nanti bisa jatuh. Kamu belum saatnya menggendong dia, Nak." Habiba menghambur dan mengambil alih tubuh Wafa dari gendongan Qasam.
Habiba tak bisa tidur. Malam itu sampai jam lima pagi, ia terjaga. Pikirannya menerawang pada kejadian yang baru saja dia saksikan. Ia berharap tidak akan terjadi apa pun pada Husein, dan tentu saja pada Amir juga. Jika sampai drama penahanan terjadi lagi pada Husein, Habiba tak tahu lagi harus berbuat apa. “Habiba!” Habiba terkejut mendengar suara yang memanggilnya. Suara Tomy.Habiba yang tengah duduk di kasur itu pun menghambur keluar kamar.“Mas Tomy!” Habiba menghampiri Timy yang berdiri di tengah- tengah ruang tamu. “Ada apa pagi buta begini Mas Tomy ke sini?”“Aku mendengar Irzan meninggal, kena tembak. Husein sedang mengurus masalah ini di kantor polisi. Maksudnya, kena tembak kenapa?” Tomy bingung.“Mas Tomy dapat kabar dari siapa?” “Dari polisi yang meneleponku dan menanyakan beberapa hal terkait Irzan, aku dianggap sebagai teman dekat yang mungkin mengetahui sesuatu tentang Irzan. Katanya, Husein yang melaporkan kematiannya. Aku ke sini karena ingin tahu hal ini. Ak
"Tidak!" Habiba menjerit keras sekali. Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Tangisnya pecah. Bruk. Tubuh yang tertembak itu terjatuh dan ambruk ke tanah. Tembakan tepat mengenai sasaran. Habiba ambruk menjatuhkan lutut ke tanah sambil sesenggukan."Mama!" Qasam berlari mendekat pada Habiba. Cepat Habiba membuka wajah dan memeluk Qasam erat. "Papamu, Nak!""Itu papa, Ma!" Qasam menunjuk Husein. “Jangan lihat!” Habiba memaksa wajah Qasam supaya menatap ke arahnya, jangan melihat Husein.“Ayo kita mendekat pada papa, Ma!” rengek Qasam.Pelan, kepala Habiba menoleh ke arah Husein meski ia tak sanggup bila harus menyaksikan suaminya terkapar bersimbah darah. Loh, kok Husein masih berdiri tegap? Pria itu dalam keadaan baik- baik saja. Dan saat Habiba menoleh pada Irzan, justru ia melihat tubuh Irzan tergeletak di tanah bersimbah darah. Dari punggung pria itu mengeluarkan darah segar. Senjata api di tangannya terlepas.Habiba menutup mata Qasam dengan telapak tangannya. Qas
"Lepaskan dia!" seru Husein."Ya, tentu aku akan melepaskan anakmu ini. Asalkan kau bersedia mati di tanganku. Tak peduli setelah itu aku akan masuk penjara, yang jelas kau harus mati. Aku dendam padamu. Aku muak padamu. Biarkan semua orang mengataiku kejam, yang penting aku puas. Ha ha haaa..."Setan apa yang merasukinya. Loh itu kan lirik lagu. Kok Husein malah nyanyi? Entah kenapa lagu itu main templok saja di otaknya. Irzan yang dulu terlihat kalem, kini berubah seperti kerasukan setan hanya karena keinginannya untuk bisa hidup bersama dengan orang yang dia cintai tidak terwujud. Otaknya seperti sudah geser satu ons. Jika disebut sebagai orang baik, jelas Irzan dulu adalah orang baik. Dia selalu melakukan hal- hal baik pada semua orang. Tapi saat dia merasa patah hati, dia berubah menjadi sosok yang berbeda. yang isi di hatinya hanyalah merasa tersakiti. Harapannya dipatahkan berkali- kali."Kau sudah gila. Apa kau pikir Habiba akan bersedia menikah dan hidup bersamamu setel
"Setiap melakukan kesalahan, kau selalu bersembunyi. Begini cara seorang pengecut, hm?" Husein melangkah maju.Irzan melangkah mundur. "Setelah kau berusaha melecehkan istriku, maka aku tidak akan mengampunimu. Kau sudah menginjak- injak marwahku." Husein mencengkeram lengan Irzan, namun dengan gesit Irzan menangkisnya. Segera Irzan melayangkan tinju, namun dengan cepat Husein mengelak, matanya dengan mudah menangkap gerakan lawan hingga tendangan Irzan hanya mengenai udara.Irzan kembali melayangkan serangan tinju namun kalah cepat dengan gerakan tangan Husein yang dengan cepat menangkap lengan Irzan dan memelintirnya ke belakang. "Aku tidak bisa melupakan Habiba," ucap Irzan dengan suara terbata menahan sakit di tangan yang dipelintir."Itu karena obsesimu yang terlalu tinggi. Kau telah merusak moralmu sendiri dengan hal ini. Jika kau menjalani kehidupan lain, tanpa harus terus- terusan mengenang Habiba, tentu kau tidak akan terus kepikiran dia.""Sudah sejak lama aku mengharapkan
"Paman itu siapa, Pa?" tanya Qansha menatap Panjul dengan tatapan heran."Namanya Paman Panjul," jawab Husein."Jelek sekali namanya," ceplos Qansha sekenanya, membuat semua orang tertawa."Jelek- jelek tapi orangnya tampan," sahut Panjul berusaha menyikapi dengan manis."Iya tampan. Cocok sama tante Inez." Qasam menyahuti.Muka Inez mendadak memerah. Malu."Mm.. rasanya aku tidak nyaman di sini. Bagaimana kalau aku ajak adikmu ke meja lain?" tanya Panjul meminta ijin pada Husein."Oh, bukankah gerak- gerik kalian justru akan terpantau olehku saat kalian bersamaku? kalau kau membawa adikku pergi, apa kau menjamin bahwa kau bisa menjaganya?”“Aku jamin, aku yang membawanya, tentu aku bertanggung jawab atas dia,” jawab Panjul meyakinkan.Padahal Husein hanya berseloroh saja, namun Panjul menanggapi dengan serius. Husein tertawa kemudian mengangguk. “Baiklah, bawalah adikku bersamamu. Tapi kau akan berhadapan denganku jika kau macam- macam padanya," tegas Husein. "Ya, aku tahu siapa
Setelah itu, ustaz Adi Hifayah mendapatkan kesempatan untuk memberikan tausiah.“Sebuah kehormatan besar saya bisa berada di sini. Dan di sini saya selaku penceramah, pembimbing, dan orang tua bagi Shaka El Qasam, ingin menyampaikan sedikit hal tentang besarnya peranan anak laki- laki bagi keluarga. Dia akan bertanggung jawab merawat orang tua ketika orang tuanya sudah berumur. Menanggung nafkah orang tuanya ketika orang tua sudah berusia lanjut. Dia juga menjadi pelindung bagi istri, adik perempuan dan kakaknya.”“Laki- laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena itu Tuhan melebihkan kondisi fisik lelaki dari wanita. Dan di sini, ada banyak anak laki- laki yang akan menjadi generasi penerus bangsa, menjadi pemimpin negeri ini, demikian juga Qasa yang akan menjadi calon penerus negeri ini. jadilah sosok yang bertaqwa, beriman dan tangguh.”Ustaz Adi menelan saliva. “Baiklah, mari kita berdoa, tundukkan kepala. Semoga Nak Qasam menjadi anak yang berbakti dan bermanfaat
Tak disangka, Qasam yang dulu terlihat penakut, pendiam dan tak banyak tingkah, kini terlihat gagah berani melangkah maju tanpa rasa gentar. Di hadapan banyak orang, di hadapan para gurunya, serta di hadapan teman- temannya yang sering membuly nya sebagai anak aneh, ia tampak penuh percaya diri."Qasam, kau tahu kenapa mama dan papamu bangga terhadapmu?" tanya Irfan Sadim sambil memegang pundak Qasam yang sudah berdiri di sisinya."Karena aku anak yang pintar," jawab Qasam lantang, menggunakan mikrofon yang diberikan oleh Irfan Sadim."Benar. Dan satu lagi, kau pemberani."Qasam tersenyum bangga."Dulu, ketika Om Irfan masih seusiamu, Om punya cita- cita sebagai pemain sepak bola. Om berasal dari keluarga sederhana yang untuk makan pun sulit, bagaimana Om bisa menjadi pesepak bola?""Om bermimpi, terus bermimpi. Om mengumpulkan uang jajan yang sedikit demi sedikit. Tak Lain uang logam. Rela tidak jajan demi mengumpulkan uang untuk membeli sepatu bila. Dan akhirnya, siapa sangka uang
"Kalau begitu Qasam sudah bisa dibawa ke acara itu?" tanya Qasam penuh percaya diri."Tentu sudah bisa. Kita semua sudah siap, bukan?" jawab Husein."Kalau Qansha bagaimana, Pa? Sudah cantik?" Qansha memutar badannya. Memperlihatkan pakaian mengembang warna kuning yang dia kenakan. Rambutnya diikat satu. Make up di wajahnya minimalis. Sendal putih hak tinggi melapisi kakinya. "Beautiful. Perfect!" Husein tersenyum menatap putrinya. "Yeey!" Qansha menjingkrak. "Yang ini bagaimana? Apakah sudah kelihatan cantik?" Habiba mengayunkan Wafa di gendongannya."Seperti mamanya," sahut Husein sekenanya. Habiba pura- pura sebal melihat tingkah suaminya. Berakhir dengan hidung yang dijepit oleh Husein.Fara berdiri di pintu menatap keluarga yang sudah siap dengan pakaian serba bagus. Ia gigit jari. Kepingin ikutan."Mbak Fara, jaga rumah ya!" pesan Habiba."Iya." Fara mengangguk pasrah. Membayangkan pesta besar, isi kepalanya mendadak ambyar. "Ya sudah, kita berangkat sekarang! Let's go!" Hu