“Hai, sayang!” Husein mengalihkan pandangannya dari laptop ke arah Habiba.Amir pun tersenyum melihat kedatangan Habiba.Husein bangkit berdiri, memeluk Habiba sebentar dan mengecup singkat pipi wanita itu.“Astaga, pasangan yang ini memang tidak bisa menahan sedikit saja.” Amir menggerutu sambil mengusap dagunya. “Kalian menzolimi aku. “Habiba tertawa. “Zolim? Dimana letak zolimnya?”“Ah, kalian kan tahu aku masih singel, apa harus kalian romantisan di hadapanku?” Amir mengusap wajahnya menunjukkan akting frustasi.“Hahaa... Ini motivasi buatmu supaya cepet nikah. Jangan kelamaan menjomblo. Nanti menjamur.” Husein malah meledek. Ia melingkarkan lengan ke pinggang Habiba dan membimbing istrinya itu menuju sofa. Mereka duduk bersisian.“Ya sudahlah, kita lanjutkan besok saja. Aku mau pulang. Di sini jadi obat nyamuk. Kalian nikmati saja kemesraan kalian. Kamar pun ada, semua lengkap.” Amir melangkah keluar. Husein menurunkan punggungnya dan kini posisinya setengah b
“Biba, aku melihat di sosial media ada beberapa akun gossip yang seliweran lewat di beranda FB- ku ini memberitakanmu, loh.” Fara menatap layar ponselnya, menghampiri Habiba yang sedang makan malam. Anak- anak sudah duluan makan, sedangkan Husein sudah empat hari tidak pulang karena ada urusan ke luar negeri.Habiba hanya tersenyum mendengar perkataan Fara. “Aku tidak menyangka akan seviral itu.”“Ya itu, jadi viral gara- gara keluarga Tuan Alka di awal bikin acara sebar foto pernikahan Tuan Husein dengan identitas wanita yang dirahasiakan. Nah, pengumuman pernikahan Tuan Husein dengan identitas wanita yang dirahasiakan ini membuat semua orang jadi penasaran. Oleh sebab itu jadi bahan gosipan di jagat media sosial.” Fara berbicara dengan bibir meleyot ke kanan dan ke kiri. Begitulah cara bicaranya Fara yang terkadang suka bikin geram mata yang melihatnya.“Setelah itu, beberapa tahun kemudian dimunculkan pula pengumuman dari Tuan Husein bahwa istri yang dia nikahi selama ini
Setelah mandi, Habiba langsung memasak makanan spesial untuk Husein. Masakan simpel yang tidak membuat pakaiannya bau bawang. Anak- anak sudah pergi ke sekolah diantar oleh Fatona. Sedangkan Wafa diurus oleh baby sitter."Mbak Fara tau tidak Mas Husein pulang jam berapa?" tanya Habiba."Jam setengah lima," jawab Fara yang sedang mengepel lantai."Oh, pantesan jam segini masih tidur.""Saya yang buka pintu dan Tuan Husein bawa oleh- oleh banyak untuk anak istri katanya. Aku juga sudah dikasih tadi. Tuan Husein kelihatan capek sekali. Terus langsung tidur. Dia tidak mau membangunkan kamu.""Dia kan memang begitu, tidak tega bangunkan istri.""Mungkin bangunnya bakalan siang itu, kan baru tidur dua jam.""Berarti anak- anak belum tahu kalau papanya pulang ya, Mbak?" "Belum dong. Pasti mereka heboh kalau tau papanya pulang." Fara tersenyum.Habiba sudah selesai membuat makanan. Ia pun beranjak meninggalkan dapur.Pukul sebelas, anak- anak pulang. Mereka langsung diurusin oleh Fatona, ga
Tiba- tiba…Blugh!Bantal guling mendarat di kepala Qansha hingga gadis cilik itu terjungkang di atas kasur.Qasam sebagai pelaku memegangi bantal dengan wajah dingin.Qansha sontak menangis sambil memegangi kepala.“Loh?” Habiba kaget. Qasam yang biasanya pendiam dan tak mau banyak tingkah, tiba- tiba saja main tampol adiknyapakai bantal. Ada apa dengannya? “Qasam kenapa pukul Qanhsa dengan bantal?” lembut Habiba sambil meraih tubuhQansha dan mengusap- usap kepala belakang anak itu.“Bibir Qasam terantuk gigi dan sakit gara- gara Qansha lompat- lompat di kasur,” celetuk Qasam sambil memegangi bibirnya dengan wajah kesal.“Coba lihat, Nak!” Habiba menjulurkan tangan hendak meraih lengan Qasam.Anak itu mendekat, lalu memeperlihatkan bibirnya yang terluka. Berdarah.Oh, pantas saja Qasam marah. Rupanya bibirnya terluka cukup parah. Qasam tak akan mungkin langsung marah jika tanpa sebab.“Ya Tuhan, ini lukanya cukup lebar. Biar mama obtain!” Habiba menurunkan Qansha dari pang
“Mas Husein, hari ini adalah acara syukuran untuk Shaka, eh maksudku Qasam, menurutmu hadiah apa ang pantas aku berikan kepadanya? Bukankah ini bertepatan dengan hari kelahirannya?” Inez saat itu sedang meneguk jus tomat, berdiri di ruang tamu. Penampilannya sudah snagat cantik sekali mengenakan dres warna maroon. Dia akan menghadiri acara yang diadakan oleh Husein.Husein sengaja pulang ke rumahnya untuk mengambil keperluan yang dibutuhkan.“Aku tidak sedang merayakan ulang tahunnya. Jadi tidak perlu berikan hadiah apa pun. Semua sudah dimiliki oleh Qasam,” jawab Husein sambil menghempas duduk di sofa. “Aku tahu. Tapi setidaknya dia pasti merasa senang jika tantenya ini memberikannya hadiah. Besar atau kecil, pasti dia akan senang saat mendapat hadiah bukan?”“Whatever. Terserah padamu saja. Aku sengaja mengadakan acara itu tepat di hari kelahirannya karena aku ingin sekalian memperingati hari kelahirannya itu, bukan untuk merayakan ulang tahun.”“Ya ya, aku paham. Kalau
"Kalau begitu Qasam sudah bisa dibawa ke acara itu?" tanya Qasam penuh percaya diri."Tentu sudah bisa. Kita semua sudah siap, bukan?" jawab Husein."Kalau Qansha bagaimana, Pa? Sudah cantik?" Qansha memutar badannya. Memperlihatkan pakaian mengembang warna kuning yang dia kenakan. Rambutnya diikat satu. Make up di wajahnya minimalis. Sendal putih hak tinggi melapisi kakinya. "Beautiful. Perfect!" Husein tersenyum menatap putrinya. "Yeey!" Qansha menjingkrak. "Yang ini bagaimana? Apakah sudah kelihatan cantik?" Habiba mengayunkan Wafa di gendongannya."Seperti mamanya," sahut Husein sekenanya. Habiba pura- pura sebal melihat tingkah suaminya. Berakhir dengan hidung yang dijepit oleh Husein.Fara berdiri di pintu menatap keluarga yang sudah siap dengan pakaian serba bagus. Ia gigit jari. Kepingin ikutan."Mbak Fara, jaga rumah ya!" pesan Habiba."Iya." Fara mengangguk pasrah. Membayangkan pesta besar, isi kepalanya mendadak ambyar. "Ya sudah, kita berangkat sekarang! Let's go!" Hu
Tak disangka, Qasam yang dulu terlihat penakut, pendiam dan tak banyak tingkah, kini terlihat gagah berani melangkah maju tanpa rasa gentar. Di hadapan banyak orang, di hadapan para gurunya, serta di hadapan teman- temannya yang sering membuly nya sebagai anak aneh, ia tampak penuh percaya diri."Qasam, kau tahu kenapa mama dan papamu bangga terhadapmu?" tanya Irfan Sadim sambil memegang pundak Qasam yang sudah berdiri di sisinya."Karena aku anak yang pintar," jawab Qasam lantang, menggunakan mikrofon yang diberikan oleh Irfan Sadim."Benar. Dan satu lagi, kau pemberani."Qasam tersenyum bangga."Dulu, ketika Om Irfan masih seusiamu, Om punya cita- cita sebagai pemain sepak bola. Om berasal dari keluarga sederhana yang untuk makan pun sulit, bagaimana Om bisa menjadi pesepak bola?""Om bermimpi, terus bermimpi. Om mengumpulkan uang jajan yang sedikit demi sedikit. Tak Lain uang logam. Rela tidak jajan demi mengumpulkan uang untuk membeli sepatu bila. Dan akhirnya, siapa sangka uang
Setelah itu, ustaz Adi Hifayah mendapatkan kesempatan untuk memberikan tausiah.“Sebuah kehormatan besar saya bisa berada di sini. Dan di sini saya selaku penceramah, pembimbing, dan orang tua bagi Shaka El Qasam, ingin menyampaikan sedikit hal tentang besarnya peranan anak laki- laki bagi keluarga. Dia akan bertanggung jawab merawat orang tua ketika orang tuanya sudah berumur. Menanggung nafkah orang tuanya ketika orang tua sudah berusia lanjut. Dia juga menjadi pelindung bagi istri, adik perempuan dan kakaknya.”“Laki- laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena itu Tuhan melebihkan kondisi fisik lelaki dari wanita. Dan di sini, ada banyak anak laki- laki yang akan menjadi generasi penerus bangsa, menjadi pemimpin negeri ini, demikian juga Qasa yang akan menjadi calon penerus negeri ini. jadilah sosok yang bertaqwa, beriman dan tangguh.”Ustaz Adi menelan saliva. “Baiklah, mari kita berdoa, tundukkan kepala. Semoga Nak Qasam menjadi anak yang berbakti dan bermanfaat