Husein menatap lawan tabrakannya. Gadis yang mengenakan pakaian renang itu tersenyum canggung, kemudian agak kaget melihat lawannya ternyata adalah mantan bosnya yang tampan dan penuh kharisma. “Bapak di sini?” Sinta berbasa-basi, dari pada tidak menyapa sama sekali.“Hm.”“Sendirian, Pak?” tanya Sinta. Pria di hadapannya itu benar- benar sempurna. Meskipun beristri, namun pesonanya tidak pudar. Wajahnya juga baby face. “Pak….”“Ya?” Husein yang sudah melangkah itu menoleh. Gadis itu seperti ingin mengucapkan sesuatu namun tertahan. “Ada apa?”“Mm… Ah, tidak.”“Bicara saja!“Terima kasih sudah memberi kesempatan kepada saya untuk bekerja.”“Itu saja?”Sinta mengangguk. Padahal gadis itu hanya ingin melihat wajah Husein lebih lama lagi. Kalau saja bisa, ia pasti sudah mencuri foto wajah Husein. Gantengnya bikin kesemsem. Husein melenggang menuju warung kecil di pinggir pantai.“Ada tisu?” tanya Husein pada pedagang.“Berapa, Mas?”“Satu bungkus saja.”“Ini.” Gadis itu me
“Habiba, ajak Wafa berteduh. Kasian kalau Wafa kelamaan dijemur,” ucap Husein dan diangguki oleh Habiba.Sinta menoleh, ia bangkit berdiri kemudian menyerahkan Wafa pada Habiba.“Terima kasih sudah memberi kesempatan untuk memegang Wafa. Aku senang bisa mengenalinya,” ujar Sinta.“Justru aku yang mengucapkan terima kasih kepadamu. Kamu sudah bantuin aku tadi,” sahut Habiba. “O ya Mas Husein, ini mantan sekretarismu, bukan? Dia tadi sudah cerita banyak tentangmu.”Husein mengangguk saja. “Aku dan istriku mau berteduh. Terima kasih kau sudah menemani anakku” ucap Husein dan diangguki oleh Sinta. Husein melingkarkan lengan kekarnya ke pinggang Habiba sambil berkata, “Ayo sayang!”“Iya, Mas.” Habiba menatap Sinta. “Kami duluan, ya!”Sinta tersenyum dan mengangguk.Husein mengambil alih Wafa dari gendongan Habiba. Ia lebih memilih dirinya saja yang direpotkan, jangan Habiba. Satu lengan kekarnya menggendong Wafa, lengan lainnya melingkar di pinggang Habiba.Mereka kembali dudu
“Mas Husein, Wafa hilang!” ulang Habiba semakin histeris.Husein meraih bantal guling dan menutup telinganya dengan bantal. Berisik sekali suara di dekat telinganya itu. menyebalkan sekali. Mengganggu tidur saja! padahal sedang mimpi enak.“Ya Allah, Mas Husein. Bangun!” Habiba semakin kuat mengguncang bahu Husein, menarik bantal guling yang dipegangi Husein dan menjauhkannya dari telinga suaminya itu.“Sayang, ada apa malam-malam begini meracau tidak jelas? Aku masih mengantuk.” Husein malas bergerak.“Ini sudah pagi. Dan kamu denger aku tidak? Wafa hilang!” Habiba kesal melihat Husein yang begitu sulit dibangunkan. Bahkan sudah berkali-kali diberi tahu kalau Wafa hilang, tapi Husein tidak juga mau membuka mata.Husein mengucek mata, lalu mengerjap-ngerjapkannya dengan berat. Ia menguap. Untung saja tidak mengeluarkan aroma jengkol.“Jangan mengigau, memangnya setan bisa hilang? Tanyakan sana pada Baby sitter, tadi malem Wafa tidurnya bersama dengan Baby sitter. Atau
“Pak, siapkan mobil!” titah Husein pada supir.“Sudah siap, Tuan!” jawab supir sembari berlari membukakan pintu mobil untuk Habiba.“Panggil Baby sitter, suruh dia ikut!” titah Husein lagi.“Siap, bos!” Supir berlari ke dalam rumah setelah membukakan pintu untuk Husein. “Kenapa Baby sitter harus ikut?” tanya Habiba.“Kita akan butuh Baby sitter saat di kantor polisi nanti. Baby sitter tidak boleh hanya tinggal diam, juga harus memberikan keterangan nanti. Orang pertama yang bertanggung jawab atas Wafa adalah baby sitter. Semalaman Wafa tidur bersama dengan dia. Kau jangan terlalu cemas, Wafa pasti akan kita temukan.” Husein meraih kepala Habiba dan mengecup kening istrinya itu, berusaha memberi ketenangan.Supir muncul bersama Baby sitter. Baby sitter duduk di jok paling belakang. Mobil melesat cepat meninggalkan halaman rumah.“Pak, sesuai perintahku ya!” ucap Husein dan diangguki oleh supir.Sepanjang jalan, Husein menangkupkan wajah Habiba ke dadanya. Berbagai macam kat
“Orang yang sedang ulang tahun memang harus mendapat hukuman bukan? Maaf, kalau hukuman ini keterlaluan,” ucap Husein sembari menatap mata Habiba lekat. Kemudian kepalanya maju dan mengecup singkat pipi Habiba, disambut dengan sorak tepuk tangan, terutama Qasam dan Qansha.“Jahat kamu, Mas Husein. Aku hampir gila!” Habiba mencubit perut Husein dan Husein mengaduh kecil merasakan cubitan kuat yang pasti akan meninggalkan bekas. Muka Husein sampai memerah menahan sakit cubitan Habiba yang begitu dahsyat.Tumben cubitan habiba menyakitkan. Biasanya Husein tidak terpengaruh atas cubitan istrinya itu.“Cukup!” Husein melepas cubitan Habiba. Kemudian ia membimbing Habiba menuju kue. “Potong kuenya!” titahnya pada Habiba sembari kembali mengambil Wafa dari gendongan Habiba.Dengan seulas senyum, Habiba memotong kue, meletakkannya ke piring kecil. Lalu menyuapi potongan kue pertama untuk Husein. Setelah Habiba mencicipi kue, semua yang ada di ruangan itu pun mengucapkan selamat ul
Malam ini, Habiba dan anak- anak tidur di rumah Husein. Sebagian besar keluarga Husein juga masih ada di sana. Menginap.Anak- anak senang sekali karena ada banyak teman main. Bahkan sudah tengah malam pun masih banyak yang berlarian berkejaran. Ada yang sudah ketiduran di kursi, ada beberapa orang anak pula yang ketiduran di lantai. Orang tua masing- masing menggendong mereka ke kamar.Wafa sudah tidur di kamar. Habiba menemani Wafa di kasur. Lampu kamar sudah dimatikan. Mata Habiba pun sudah terpejam.Tiba- tiba ada yang mengelus betisnya. Habiba terkejut dan langsung duduk. “Mas Husein?” Habiba mengangkat alis.“Dia sudah tidur?” Suara Husein mengecil supaya tidak mengganggu Wafa.“Iya.” Suara Habiba juga ikutan berbisik.Husein meraih lengan Habiba dan mengelusnya. “Hei, mau apa?” bisik Habiba menolak tangan Husein.Pria itu menarik sudut bibirnya. “Jadi kau sungguh sungguh tidak mau melayaniku gara- gara aku sudah mengerjaimu, hm?”“Resikomu itu.”Tatapan Husei
Hampir dua jam, Husein menunggu Habiba di salon, ia duduk di ruang tunggu sambil menggeser- geser layar ponsel. Habiba sedang didandani di ruang rias, berlainan dengan tempat Husein sedang menunggu. Sebentar lagi mereka akan menghadiri pesta besar- besaran, Husein ingin Habiba tampil istimewa di acara itu. Tak perduli pada Supir yang sepertinya juga sudah jamuran menunggu di luar.Untuk menghilangkan rasa penat, Husein membaca-baca pemberitaan di media sosial tentangnya. Ia tersenyum membaca komentar netizen yang malah menginginkan menjadi istri ketiga Husein, alasannya simpel, tampan dan mapan.Dasar gila! Husein geleng- geleng kepala.Setelah ini, Husein akan menunjukkan pada negeri ini bahwa Habiba adalah istri kesayangan yang selalu ada di sampingnya.Sembilan puluh persen netizen mendoakan hubungan Husein dan Habiba, memberikan komentar positif karena mempercayai klarifikasi yang sepert drama telenovela waktu itu, namun sepuluh persen lainnya memberikan komentar pedas, meng
Husein mengawasi wajah Habiba yang terus saja tersenyum takjub menyaksikan kemewahan itu. Ini adalah keli pertamanya bagi Habiba menghadiri pesta semewah itu.Melihat Habiba yang tampak takjub, Husein pun berkata, “Bagaimana kalau lusa aku membuat pesta besar seperti ini?”“Pesta untuk apa? Buang- buang uang saja.”“Pesta pernikahan kita dulu sama sekali tidak meninggalkan kesan apa pun. Tidak ada pesta, tidak ada prewed, tidak ada apa pun. Kita bisa mengadakan pesta besar untuk pernikahan kita. Bagaimana?”Habiba menatap Husein haru. Suaminya ini sekarang makin menggemaskan. Bisa- bisanya menawarkan pesta pernikahan di saat usia mereka tidak muda lagi. Bahkan sudah memiliki tiga anak. “Pesta megah di hari pernikahan itu tidak penting, karena yang terpenting adalah menjaga sucinya pernikahan dengan baik,” jawab Habiba. “Aku justru ingin membuat acara besar untuk Qasam.”Husein mengangkat alis. “Qasam? Sunatan?”“Bukan. Dia masih terlalu kecil. Belum harus disunat. Maksu