"Ya, sayang. Oma Amira dan Opa Alka adalah oma dan opamu," sahut Habiba dengan canggung, takut perkataannya salah di mata Amira dan Alka."Jadi Qansha punya keluarga baru?"Habiba tersenyum dan mengangguk. Qansha memutar mata ke arah Amira dan mendapati tatapan menyeramkan. "Dia menakutkan sekali," lirih Qansha bicara sendiri.Pandangan Qansha beralih pada Husein. "Mulai dari papa baru, oma baru, dan opa baru, semuanya berkumpul di sini. Tapi mereka semua jahat. Kenapa kita harus menerima keluarga baru yang jahat? Seharusnya orang jahat tidak perlu diajak jadi keluarga."Polos sekali Qansha mengatakan itu. Dia seperti merasa tak bersalah, sedangkan yang menjadi bahan pembicaraan langsung memberikan sorot mata tajam, kecuali Husein yang terlihat tenang saja."Apa begini bedanya anak yang terdidik dengan benar dan anak liar yang tidak punya moral?" gerutu Amira.Prang.Suara sendok dihantamkan ke piring terdengar sangat keras.Semuanya sampai terkejut.Amira melepaskan sendok dengan s
“Maaf. tapi Mas Tomy cukup mewakiliku sebagai wali. Kalau aku katakan ini lebih awal, mungkin ibu juga tidak setuju dan bahkan mungkin menjadi penyebab terhalangnya proses kembalinya aku pada Mas Husein,” sahut Habiba dengan lirih. Fatona melenggang pergi begitu saja dengan ekspresi kesal.Habiba sadar sepenuhnya bahwa diamnya Fatona adalah puncak kekesalannya. Tidak perlu ia mengejar Fatona untuk membahas masalah ini, cukup didiamkan saja dulu, nanti pasti Fatona akan lebih baik saat sudah tenang.“Aku tahu ada banyak orang yang tidak mendukung hubunganku dengan Habiba. Jika dulu kelas sosial menjadi alasan, tapi aku tidak tahu sekarang alasan apa lagi yang membuat semua orang masih mengintimidasi hubungan kami,” ucap Husein kembali mulai bersuara.“Kau tidak perlu mengumumkan hal ini, itu sudah menjadi masalahmu. Aku dan suamiku tidak lagi berurusan dengan itu,” sahut Amira. “Di sini, aku hanya sebagai pasien yang harus dirawat oleh Habiba. Itu saja.”Ternyata Amira masih b
Habiba memaku seketika merasakan sentuhan telapak tangan Husein yang berlabuh di kulitnya. Setelah sekian lama, akhirnya tangan yang dulu pernah menjamahnya itu kembali melakukan hal yang sama. Habiba membiarkan saja. Tanpa perlu harus merasa canggung, gugup atau pun salah tingkah. Ia menikmati saja. Bahkan ketika Husein melepas bra yang dia kenakan. Membuatnya pasrah hanya mengenakan bawahan saja.Husein sekilas saja melihat bagian menarik yang menggoda. Ia heran melihat Habiba yang terlihat santai sekali tanpa merasa canggung meski kini wanita itu dalam keadaan setengah tak berbusana. Telapak tangan Husein salah satunya menggenggam milik Habiba yang polos."Tidak muat lagi. Ukurannya beda. Makin besar." Husein mengelap dada Habiba menggunakan handuk kecil yang dia gapai begitu saja dari gantungan.Habiba diam saja dadanya dilap oleh Husein. "Jangan mutar- mutar di situ terus ngelapinnya."Husein pun menyudahi kegiatannya."Sudah?" tanya Habiba."Pakai bajumu!" titah Husein.Hab
Sebenarnya Habiba sudah capek, tapi pancingan Husein berhasil. Dan ia pun harus melayani suaminya dengan baik.“Mommy!”“Astaga!” Husein menggeleng mendengar teriakan keras dari luar. Dia sedang bekerja keras dan Qansha mengganggunya.“Itu Qansha.” Habiba ingin berhenti.“Kilat saja.” Husein mempercepat kegiatannya.Inilah momen menyebalkan yang membuat Husein jadi seperti dikejar setan. Kepalanya pasti akan pusing jika proses pengulangan ini tidak diselesaikan.Terpaksa Habiba menunggu hingga Husein ‘selesai’.Disaat bergerak cepat, tiba- tiba handle pintu bergerak, suaranya cukup menakutkan di telinga Husein."Aku tidak mengunci pintu tadi," bisik Husein."Oh tidak. Hentikan!""Sebentar lagi.""Qansha bisa saja memergoki kita begini." Habiba panik sambil menarik selimut untuk antisipasi.Handle kembali bergerak dan bersuara. Kletek.Akhirnya pintu terbuka."Ya Tuhan!" Husein menarik selimut sembari melompat ke samping. Selimut menyelamatkan aset terpenting. Pun Habiba yang g
Habiba membawa nampan berisi sop hangat, dia sudah masak untuk kedua mertuanya itu. Ia akan membawa dua mangkuk sup itu ke kamar Amira. Mertuanya itu minta supaya makannya diantar ke kamar.Sejak pagi tadi, Habiba berjibaku di dapur memasak seorang diri. Dia harus memasak banyak untuk memasakkan seluruh penghuni di rumahnya. Termasuk Alka dan Amira.Fatona sama sekali tifak keluar dari kamar sejak subuh. Padahal biasanya dia selalu lebih awal ke dapur untuk mempersiapkan kegiatan masak memasak. Tapi kali ini tidak.Mungkin Fatona masih merasa marah atas keputusan Habiba yang diam- diam telah menikah dengan Husein kembali.Tepat saat melewati kamar Fatona, Habiba berhenti sebentar. Hatinya sangat ingin memasuki kamar itu dan menyapa sang ibu, tapi urung. Ia memilih untuk membiarkan ibunya sendiri dulu. Kesendirian akan lebih membuat pikiran jauh lebih tenang.Habiba melanjutkan langkah menuju kamar mertuanya. Terlebih dahulu ia meletakkan nampan ke meja dekat pintu, barulah ia membuk
"Ayo, Mom. Mandikan Qansha!" Qansha yang rambutnya sedikit acak- acakan itu menarik lengan Habiba. Tarikan itu tanpa sengaja membuat tangan Habiba menyenggol kuat kaki Amira."Aduh!" Amira merintih merasakan kakinya sakit akibat tersenggol. "Suruh anakmu keluar! Dia menyakitiku!"Habiba hanya melirik singkat wajah Amira tanpa ingin menanggapi. "Sebentar, Qansha. Mama sedang mengganti perban Oma.""Ini Qansha jadi ya panggil orang ini dengan sebutan oma?""Ini memang oma kamu. Ayo, kamu tunggu di luar." Habiba tersenyum."Cepat, Ma." Qansha menghambur keluar.Baru saja Habiba menyelesaikan pekerjaannya mengganti perban, tiba- tiba ponselnya berdering.Habiba mengabaikannya, ia mengambil obat dari laci dan menyediakannya beberapa butir ke meja."Ibu makan obat ini!" ucap Habiba yang seperti biasa menyediakan obat untuk Amira. Tak lupa ia juga menyiapkan obat untuk Alka.Deringan ponsel berulang. Habiba pun merogoh hp dan mengapitnya diantara pundak dan pipi."Halo sayang! Kenapa lama s
"Bagus. Susu itu sehat," ucap Husein setelah beberapa detik terpaku."Jus juga sehat. Kak Sakha lebih suka jus dari pada susu," sahut Qansha."Pintar semua!" Husein mengangguk. "Baiklah, sekarang kalian harus segera berangkat ke sekolah."Husein membantu tubuh Sakha turun dari kursi yang cukup tinggi. Ia menghampiri Qansha yang juga sudah selesai makan dan menurunkan badan anak itu dari kursi. "Kalian berangkat sekolah bersama dengan papa," ucap Husein sambil melirik ke arah Habiba. Qansha menggeleng. "No. Aku tidak mau.""Mamamu belum mandi. Dia harus bersiap secepat kilat, setelah itu dia tidak punya waktu untuk mengantar kalian karena harus segera ke rumah sakit. Sebentar lagi mamamu akan telat," sahut Husein."Papa berkata benar, kalian pergilah bersama dengan papa. Mama tidak bisa antar pagi ini." Habiba langsung menghambur pergi begitu saja untuk segera mandi.Husein menatap satu per satu wajah anak- anaknya. Qansha tampak kecewa. Sakha cuek saja. Asik memainkan kencing bajun
Mereka kemudian berjalan beriringan di koridor. Habiba berjarak dengan Husein, ada dua pria asal Jepang yang menjadi pembatas diantara sepasang suami.istri yang dirahasiakan itu."Tuan Husein sudah lama menikah dengan Nyonya Cindy bukan? Seingat saya sudah beberapa tahun silam info seputar pernikahan bapak beredar di media. Berapa anak Tuan sekarang?" tanya Asahi mengajak Husein mengobrol rileks."Belum ada," jawab Husein. Serba salah. Mengaku punya anak juga itu adalah anaknya Habiba. Mengaku belum punya anak juga sudah ada dua. Beginilah nasib Habiba yang sejak dulu dijadikan istri rahasia. Bahkan sampai sekarang, disaat mereka sudah saling cinta, di depan umum pun masih harus menyembunyikan status pernikahan mereka. Sebab di depan umum, demi menjaga nama baik, maka Husein tetap harus berkomitmen bahwa istrinya adalah Cindy, satu- satunya istri. Pun itu adalah salah satu syarat yang diminta Cindy jika Husein mau kembali pada Habiba.Sebenarnya terbesit dalam benak Habiba, sampai
Husein menyentil ujung dagu Habiba. "Aku mencintaimu.""Jangan terus- terusan ucapkan kalimat itu, aku bisa terharu. Lihatlah air hidungku meleleh jadinya." Husein mengernyit. "Air mata, sayang. Kenapa jadi air hidung?""He hee...""Aku boleh menciummu?" bisik Husein."Jangan nakal. Ini di tempat umum, bukan di kamar.""Ini masih terlalu pagi, belum ada yang bangun." Husein mengecup singkat bibir Habiba."Cie cieeee....."Husein dan Habiba serentak menoleh ke sumber suara. Ada Qasam dan Qansha yang berdiri di ambang pintu. "Papa cium mama nih yeee..." Qasam terkekeh.Habiba membelalak kaget. Bukan kaget karena Qasam meledeknya, tapi kaget karena Qasam menggendong Wafa. Sedangkan Qansha memegangi kaki Wafa yang masih mengenakan piyama tidur lengkap dengan pampers tebal yang isinya sudah sangat berat dengan air kecil."Ya ampun. Qasam, jangan gendong Wafa. Nanti bisa jatuh. Kamu belum saatnya menggendong dia, Nak." Habiba menghambur dan mengambil alih tubuh Wafa dari gendongan Qasam.
Habiba tak bisa tidur. Malam itu sampai jam lima pagi, ia terjaga. Pikirannya menerawang pada kejadian yang baru saja dia saksikan. Ia berharap tidak akan terjadi apa pun pada Husein, dan tentu saja pada Amir juga. Jika sampai drama penahanan terjadi lagi pada Husein, Habiba tak tahu lagi harus berbuat apa. “Habiba!” Habiba terkejut mendengar suara yang memanggilnya. Suara Tomy.Habiba yang tengah duduk di kasur itu pun menghambur keluar kamar.“Mas Tomy!” Habiba menghampiri Timy yang berdiri di tengah- tengah ruang tamu. “Ada apa pagi buta begini Mas Tomy ke sini?”“Aku mendengar Irzan meninggal, kena tembak. Husein sedang mengurus masalah ini di kantor polisi. Maksudnya, kena tembak kenapa?” Tomy bingung.“Mas Tomy dapat kabar dari siapa?” “Dari polisi yang meneleponku dan menanyakan beberapa hal terkait Irzan, aku dianggap sebagai teman dekat yang mungkin mengetahui sesuatu tentang Irzan. Katanya, Husein yang melaporkan kematiannya. Aku ke sini karena ingin tahu hal ini. Ak
"Tidak!" Habiba menjerit keras sekali. Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Tangisnya pecah. Bruk. Tubuh yang tertembak itu terjatuh dan ambruk ke tanah. Tembakan tepat mengenai sasaran. Habiba ambruk menjatuhkan lutut ke tanah sambil sesenggukan."Mama!" Qasam berlari mendekat pada Habiba. Cepat Habiba membuka wajah dan memeluk Qasam erat. "Papamu, Nak!""Itu papa, Ma!" Qasam menunjuk Husein. “Jangan lihat!” Habiba memaksa wajah Qasam supaya menatap ke arahnya, jangan melihat Husein.“Ayo kita mendekat pada papa, Ma!” rengek Qasam.Pelan, kepala Habiba menoleh ke arah Husein meski ia tak sanggup bila harus menyaksikan suaminya terkapar bersimbah darah. Loh, kok Husein masih berdiri tegap? Pria itu dalam keadaan baik- baik saja. Dan saat Habiba menoleh pada Irzan, justru ia melihat tubuh Irzan tergeletak di tanah bersimbah darah. Dari punggung pria itu mengeluarkan darah segar. Senjata api di tangannya terlepas.Habiba menutup mata Qasam dengan telapak tangannya. Qas
"Lepaskan dia!" seru Husein."Ya, tentu aku akan melepaskan anakmu ini. Asalkan kau bersedia mati di tanganku. Tak peduli setelah itu aku akan masuk penjara, yang jelas kau harus mati. Aku dendam padamu. Aku muak padamu. Biarkan semua orang mengataiku kejam, yang penting aku puas. Ha ha haaa..."Setan apa yang merasukinya. Loh itu kan lirik lagu. Kok Husein malah nyanyi? Entah kenapa lagu itu main templok saja di otaknya. Irzan yang dulu terlihat kalem, kini berubah seperti kerasukan setan hanya karena keinginannya untuk bisa hidup bersama dengan orang yang dia cintai tidak terwujud. Otaknya seperti sudah geser satu ons. Jika disebut sebagai orang baik, jelas Irzan dulu adalah orang baik. Dia selalu melakukan hal- hal baik pada semua orang. Tapi saat dia merasa patah hati, dia berubah menjadi sosok yang berbeda. yang isi di hatinya hanyalah merasa tersakiti. Harapannya dipatahkan berkali- kali."Kau sudah gila. Apa kau pikir Habiba akan bersedia menikah dan hidup bersamamu setel
"Setiap melakukan kesalahan, kau selalu bersembunyi. Begini cara seorang pengecut, hm?" Husein melangkah maju.Irzan melangkah mundur. "Setelah kau berusaha melecehkan istriku, maka aku tidak akan mengampunimu. Kau sudah menginjak- injak marwahku." Husein mencengkeram lengan Irzan, namun dengan gesit Irzan menangkisnya. Segera Irzan melayangkan tinju, namun dengan cepat Husein mengelak, matanya dengan mudah menangkap gerakan lawan hingga tendangan Irzan hanya mengenai udara.Irzan kembali melayangkan serangan tinju namun kalah cepat dengan gerakan tangan Husein yang dengan cepat menangkap lengan Irzan dan memelintirnya ke belakang. "Aku tidak bisa melupakan Habiba," ucap Irzan dengan suara terbata menahan sakit di tangan yang dipelintir."Itu karena obsesimu yang terlalu tinggi. Kau telah merusak moralmu sendiri dengan hal ini. Jika kau menjalani kehidupan lain, tanpa harus terus- terusan mengenang Habiba, tentu kau tidak akan terus kepikiran dia.""Sudah sejak lama aku mengharapkan
"Paman itu siapa, Pa?" tanya Qansha menatap Panjul dengan tatapan heran."Namanya Paman Panjul," jawab Husein."Jelek sekali namanya," ceplos Qansha sekenanya, membuat semua orang tertawa."Jelek- jelek tapi orangnya tampan," sahut Panjul berusaha menyikapi dengan manis."Iya tampan. Cocok sama tante Inez." Qasam menyahuti.Muka Inez mendadak memerah. Malu."Mm.. rasanya aku tidak nyaman di sini. Bagaimana kalau aku ajak adikmu ke meja lain?" tanya Panjul meminta ijin pada Husein."Oh, bukankah gerak- gerik kalian justru akan terpantau olehku saat kalian bersamaku? kalau kau membawa adikku pergi, apa kau menjamin bahwa kau bisa menjaganya?”“Aku jamin, aku yang membawanya, tentu aku bertanggung jawab atas dia,” jawab Panjul meyakinkan.Padahal Husein hanya berseloroh saja, namun Panjul menanggapi dengan serius. Husein tertawa kemudian mengangguk. “Baiklah, bawalah adikku bersamamu. Tapi kau akan berhadapan denganku jika kau macam- macam padanya," tegas Husein. "Ya, aku tahu siapa
Setelah itu, ustaz Adi Hifayah mendapatkan kesempatan untuk memberikan tausiah.“Sebuah kehormatan besar saya bisa berada di sini. Dan di sini saya selaku penceramah, pembimbing, dan orang tua bagi Shaka El Qasam, ingin menyampaikan sedikit hal tentang besarnya peranan anak laki- laki bagi keluarga. Dia akan bertanggung jawab merawat orang tua ketika orang tuanya sudah berumur. Menanggung nafkah orang tuanya ketika orang tua sudah berusia lanjut. Dia juga menjadi pelindung bagi istri, adik perempuan dan kakaknya.”“Laki- laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena itu Tuhan melebihkan kondisi fisik lelaki dari wanita. Dan di sini, ada banyak anak laki- laki yang akan menjadi generasi penerus bangsa, menjadi pemimpin negeri ini, demikian juga Qasa yang akan menjadi calon penerus negeri ini. jadilah sosok yang bertaqwa, beriman dan tangguh.”Ustaz Adi menelan saliva. “Baiklah, mari kita berdoa, tundukkan kepala. Semoga Nak Qasam menjadi anak yang berbakti dan bermanfaat
Tak disangka, Qasam yang dulu terlihat penakut, pendiam dan tak banyak tingkah, kini terlihat gagah berani melangkah maju tanpa rasa gentar. Di hadapan banyak orang, di hadapan para gurunya, serta di hadapan teman- temannya yang sering membuly nya sebagai anak aneh, ia tampak penuh percaya diri."Qasam, kau tahu kenapa mama dan papamu bangga terhadapmu?" tanya Irfan Sadim sambil memegang pundak Qasam yang sudah berdiri di sisinya."Karena aku anak yang pintar," jawab Qasam lantang, menggunakan mikrofon yang diberikan oleh Irfan Sadim."Benar. Dan satu lagi, kau pemberani."Qasam tersenyum bangga."Dulu, ketika Om Irfan masih seusiamu, Om punya cita- cita sebagai pemain sepak bola. Om berasal dari keluarga sederhana yang untuk makan pun sulit, bagaimana Om bisa menjadi pesepak bola?""Om bermimpi, terus bermimpi. Om mengumpulkan uang jajan yang sedikit demi sedikit. Tak Lain uang logam. Rela tidak jajan demi mengumpulkan uang untuk membeli sepatu bila. Dan akhirnya, siapa sangka uang
"Kalau begitu Qasam sudah bisa dibawa ke acara itu?" tanya Qasam penuh percaya diri."Tentu sudah bisa. Kita semua sudah siap, bukan?" jawab Husein."Kalau Qansha bagaimana, Pa? Sudah cantik?" Qansha memutar badannya. Memperlihatkan pakaian mengembang warna kuning yang dia kenakan. Rambutnya diikat satu. Make up di wajahnya minimalis. Sendal putih hak tinggi melapisi kakinya. "Beautiful. Perfect!" Husein tersenyum menatap putrinya. "Yeey!" Qansha menjingkrak. "Yang ini bagaimana? Apakah sudah kelihatan cantik?" Habiba mengayunkan Wafa di gendongannya."Seperti mamanya," sahut Husein sekenanya. Habiba pura- pura sebal melihat tingkah suaminya. Berakhir dengan hidung yang dijepit oleh Husein.Fara berdiri di pintu menatap keluarga yang sudah siap dengan pakaian serba bagus. Ia gigit jari. Kepingin ikutan."Mbak Fara, jaga rumah ya!" pesan Habiba."Iya." Fara mengangguk pasrah. Membayangkan pesta besar, isi kepalanya mendadak ambyar. "Ya sudah, kita berangkat sekarang! Let's go!" Hu