Tunggu dulu, tiba- tiba saja terpikir di kepala Habiba, apakah hal ini pula yang dilakukan Husein terhadap Cindy? Mendadak saja benak Habiba merasa tak rela, cemburu.Tok tok tok...Suara ketukan dari arah luar jendela mengejutkan keduanya. Dengan sigap dua wajah itu langsung terpisah. Di luar, wajah Qansha menempel di jendela, kedua tangan kecil itu juga menempel di dekat mata supaya bisa melihat dengan jelas ke arah dalam mobil.“Mommy!” seru Qansha dengan suara sangat keras. Ia sampai berjinjit demi bisa melihat melalui jendela.Habiba cepat- cepat berkemas, merapikan rambut dan kemejanya yang sedikit tersibak. Kemudian ia membuka pintu setelah menghela napas panjang untuk menenangkan diri.Tubuh Qansha mundur sedikit saat pintu terbuka ke arahnya.Husein pun ikutan turun. Memutari mobil dan menghampiri Qansha. Semoga saja mukanya tidak terlihat sebagai seorang penjahat yang mencuri mamanya Qansha. Ah, konyol.“Mama, tadi itu mama melakukan apa dengan pria itu?” Qansha men
"Ya, sayang. Oma Amira dan Opa Alka adalah oma dan opamu," sahut Habiba dengan canggung, takut perkataannya salah di mata Amira dan Alka."Jadi Qansha punya keluarga baru?"Habiba tersenyum dan mengangguk. Qansha memutar mata ke arah Amira dan mendapati tatapan menyeramkan. "Dia menakutkan sekali," lirih Qansha bicara sendiri.Pandangan Qansha beralih pada Husein. "Mulai dari papa baru, oma baru, dan opa baru, semuanya berkumpul di sini. Tapi mereka semua jahat. Kenapa kita harus menerima keluarga baru yang jahat? Seharusnya orang jahat tidak perlu diajak jadi keluarga."Polos sekali Qansha mengatakan itu. Dia seperti merasa tak bersalah, sedangkan yang menjadi bahan pembicaraan langsung memberikan sorot mata tajam, kecuali Husein yang terlihat tenang saja."Apa begini bedanya anak yang terdidik dengan benar dan anak liar yang tidak punya moral?" gerutu Amira.Prang.Suara sendok dihantamkan ke piring terdengar sangat keras.Semuanya sampai terkejut.Amira melepaskan sendok dengan s
“Maaf. tapi Mas Tomy cukup mewakiliku sebagai wali. Kalau aku katakan ini lebih awal, mungkin ibu juga tidak setuju dan bahkan mungkin menjadi penyebab terhalangnya proses kembalinya aku pada Mas Husein,” sahut Habiba dengan lirih. Fatona melenggang pergi begitu saja dengan ekspresi kesal.Habiba sadar sepenuhnya bahwa diamnya Fatona adalah puncak kekesalannya. Tidak perlu ia mengejar Fatona untuk membahas masalah ini, cukup didiamkan saja dulu, nanti pasti Fatona akan lebih baik saat sudah tenang.“Aku tahu ada banyak orang yang tidak mendukung hubunganku dengan Habiba. Jika dulu kelas sosial menjadi alasan, tapi aku tidak tahu sekarang alasan apa lagi yang membuat semua orang masih mengintimidasi hubungan kami,” ucap Husein kembali mulai bersuara.“Kau tidak perlu mengumumkan hal ini, itu sudah menjadi masalahmu. Aku dan suamiku tidak lagi berurusan dengan itu,” sahut Amira. “Di sini, aku hanya sebagai pasien yang harus dirawat oleh Habiba. Itu saja.”Ternyata Amira masih b
Habiba memaku seketika merasakan sentuhan telapak tangan Husein yang berlabuh di kulitnya. Setelah sekian lama, akhirnya tangan yang dulu pernah menjamahnya itu kembali melakukan hal yang sama. Habiba membiarkan saja. Tanpa perlu harus merasa canggung, gugup atau pun salah tingkah. Ia menikmati saja. Bahkan ketika Husein melepas bra yang dia kenakan. Membuatnya pasrah hanya mengenakan bawahan saja.Husein sekilas saja melihat bagian menarik yang menggoda. Ia heran melihat Habiba yang terlihat santai sekali tanpa merasa canggung meski kini wanita itu dalam keadaan setengah tak berbusana. Telapak tangan Husein salah satunya menggenggam milik Habiba yang polos."Tidak muat lagi. Ukurannya beda. Makin besar." Husein mengelap dada Habiba menggunakan handuk kecil yang dia gapai begitu saja dari gantungan.Habiba diam saja dadanya dilap oleh Husein. "Jangan mutar- mutar di situ terus ngelapinnya."Husein pun menyudahi kegiatannya."Sudah?" tanya Habiba."Pakai bajumu!" titah Husein.Hab
Sebenarnya Habiba sudah capek, tapi pancingan Husein berhasil. Dan ia pun harus melayani suaminya dengan baik.“Mommy!”“Astaga!” Husein menggeleng mendengar teriakan keras dari luar. Dia sedang bekerja keras dan Qansha mengganggunya.“Itu Qansha.” Habiba ingin berhenti.“Kilat saja.” Husein mempercepat kegiatannya.Inilah momen menyebalkan yang membuat Husein jadi seperti dikejar setan. Kepalanya pasti akan pusing jika proses pengulangan ini tidak diselesaikan.Terpaksa Habiba menunggu hingga Husein ‘selesai’.Disaat bergerak cepat, tiba- tiba handle pintu bergerak, suaranya cukup menakutkan di telinga Husein."Aku tidak mengunci pintu tadi," bisik Husein."Oh tidak. Hentikan!""Sebentar lagi.""Qansha bisa saja memergoki kita begini." Habiba panik sambil menarik selimut untuk antisipasi.Handle kembali bergerak dan bersuara. Kletek.Akhirnya pintu terbuka."Ya Tuhan!" Husein menarik selimut sembari melompat ke samping. Selimut menyelamatkan aset terpenting. Pun Habiba yang g
Habiba membawa nampan berisi sop hangat, dia sudah masak untuk kedua mertuanya itu. Ia akan membawa dua mangkuk sup itu ke kamar Amira. Mertuanya itu minta supaya makannya diantar ke kamar.Sejak pagi tadi, Habiba berjibaku di dapur memasak seorang diri. Dia harus memasak banyak untuk memasakkan seluruh penghuni di rumahnya. Termasuk Alka dan Amira.Fatona sama sekali tifak keluar dari kamar sejak subuh. Padahal biasanya dia selalu lebih awal ke dapur untuk mempersiapkan kegiatan masak memasak. Tapi kali ini tidak.Mungkin Fatona masih merasa marah atas keputusan Habiba yang diam- diam telah menikah dengan Husein kembali.Tepat saat melewati kamar Fatona, Habiba berhenti sebentar. Hatinya sangat ingin memasuki kamar itu dan menyapa sang ibu, tapi urung. Ia memilih untuk membiarkan ibunya sendiri dulu. Kesendirian akan lebih membuat pikiran jauh lebih tenang.Habiba melanjutkan langkah menuju kamar mertuanya. Terlebih dahulu ia meletakkan nampan ke meja dekat pintu, barulah ia membuk
"Ayo, Mom. Mandikan Qansha!" Qansha yang rambutnya sedikit acak- acakan itu menarik lengan Habiba. Tarikan itu tanpa sengaja membuat tangan Habiba menyenggol kuat kaki Amira."Aduh!" Amira merintih merasakan kakinya sakit akibat tersenggol. "Suruh anakmu keluar! Dia menyakitiku!"Habiba hanya melirik singkat wajah Amira tanpa ingin menanggapi. "Sebentar, Qansha. Mama sedang mengganti perban Oma.""Ini Qansha jadi ya panggil orang ini dengan sebutan oma?""Ini memang oma kamu. Ayo, kamu tunggu di luar." Habiba tersenyum."Cepat, Ma." Qansha menghambur keluar.Baru saja Habiba menyelesaikan pekerjaannya mengganti perban, tiba- tiba ponselnya berdering.Habiba mengabaikannya, ia mengambil obat dari laci dan menyediakannya beberapa butir ke meja."Ibu makan obat ini!" ucap Habiba yang seperti biasa menyediakan obat untuk Amira. Tak lupa ia juga menyiapkan obat untuk Alka.Deringan ponsel berulang. Habiba pun merogoh hp dan mengapitnya diantara pundak dan pipi."Halo sayang! Kenapa lama s
"Bagus. Susu itu sehat," ucap Husein setelah beberapa detik terpaku."Jus juga sehat. Kak Sakha lebih suka jus dari pada susu," sahut Qansha."Pintar semua!" Husein mengangguk. "Baiklah, sekarang kalian harus segera berangkat ke sekolah."Husein membantu tubuh Sakha turun dari kursi yang cukup tinggi. Ia menghampiri Qansha yang juga sudah selesai makan dan menurunkan badan anak itu dari kursi. "Kalian berangkat sekolah bersama dengan papa," ucap Husein sambil melirik ke arah Habiba. Qansha menggeleng. "No. Aku tidak mau.""Mamamu belum mandi. Dia harus bersiap secepat kilat, setelah itu dia tidak punya waktu untuk mengantar kalian karena harus segera ke rumah sakit. Sebentar lagi mamamu akan telat," sahut Husein."Papa berkata benar, kalian pergilah bersama dengan papa. Mama tidak bisa antar pagi ini." Habiba langsung menghambur pergi begitu saja untuk segera mandi.Husein menatap satu per satu wajah anak- anaknya. Qansha tampak kecewa. Sakha cuek saja. Asik memainkan kencing bajun