Daren mundur beberapa langkah hingga tubuhnya membentur meja. Kata-kata Keanu barusan seperti dengungan lebah yang memekakkan telinga. Sangat memekakkan dan menyakitkan."Bisakah kau meninggalkan kami sekarang?" pinta Daren pada Adriana. Suaranya terdengar sangat tegas dan matanya memancarkan sorot kemarahan yang nyata.Tidak ingin membantah, Adriana berjalan cepat meninggalkan Daren dan Keanu. Telapak tangannya berkeringat, lalu dia mengusapkannya di pinggiran roknya. Entah kenapa mendadak dia merasa tidak enak, dan perutnya bergejolak. Seperti ada sesuatu yang buruk yang tengah menantinya, tapi dia tidak mengetahui apa pastinya.***"Kau tadi bilang ada yang berkhianat. Siapa?" tanya Daren setelah hanya tinggal mereka berdua."Aku belum bisa memastikannya. Tapi, sebelum itu kau harus melihat berita ini."Keanu berjalan mendekat. Dia menyalakan ponselnya, lalu memberikannya pada Daren. Sebuah berita terpampang di atas layar.Daren melihat isi berita itu dengan mata melotot. Salah satu
"Pelakunya adalah Adriana."Adriana langsung terhuyung ke belakang saat mendengar kalimat itu meluncur ringan dari bibir Keanu. Kepalanya seperti berputar-putar. Tubuhnya limbung, dan hampir jatuh ke lantai. Beruntungnya dia berhasil berpegangan pada sandaran sofa. Kedua matanya bertemu pandang dengan mata Daren. Air muka Daren keras dan kaku. Matanya menyipit dan menatap Adriana dengan sorot membakar. Saat ini situasi tidak terlalu mendukungnya. Daren dibenturkan oleh kepercayaan dan penyangkalan yang mendatanginya secara bersamaan. Adriana tidak mungkin mengkhianatinya. Keanu juga pasti tidak asal-asalan mengarang cerita tanpa bukti yang kuat. Sekarang, siapa yang harus dia percaya? Keanu atau Adriana?"Apa kau bisa mempertanggungjawabkan semua kata-katamu barusan?" tanya Daren pada Keanu.Keanu mendengus, lalu tersenyum sinis. "Apa kau tidak mempercayaiku? Orang yang setia bersamamu selama bertahun-tahun? Yang mendedikasikan seluruh hidupnya untuk berjuang bersamamu." Keanu meman
"Selamat siang," sapa Adriana pada seorang pengunjung yang datang ke butik Airin. Dia mengulas senyum lebar, perlahan menghampiri wanita itu. Adriana menerka usia wanita itu pasti tidak jauh dari usianya. Mungkin selisih dua atau tiga tahun di bawahnya."Selamat siang. Aku ingin bertemu Airin. Apakah dia ada di sini?" "Silakan duduk. Saya akan memanggilnya ke sini." Setelah memastikan tamunya duduk dengan tenang, Adriana meninggalkannya untuk mencari Airin. Adriana berjalan ke ruangan Airin. Sesampainya di sana ruangan itu kosong. Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dalam hati dia bertanya, ke mana Airin pergi. Biasanya sahabatnya itu memberi tahu dia bila ingin pergi ke suatu tempat. Tapi, siang ini Airin tidak mengatakan apa-apa, dan pergi entah ke mana."Saya minta maaf. Airin tidak ada di ruangannya," kata Adriana dengan raut wajah sedih.Wanita itu menunjukkan ekspresi kecewa setelah mendengar ucapan Adriana. Dia menggigit bibirnya kuat. Matanya menatap ke arah lain dengan
Beberapa menit yang lalu.Daren menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Dia menatap ke arah seberang sambil memikirkan sesuatu. Sepertinya dia melakukan kesalahan dengan berada di sini. Otaknya bekerja dan bertentangan dengan hati nuraninya. Tidak seharusnya dia berada di sini.Saat akan menyalakan mesin mobilnya, Daren menangkap sesosok bayangan dari pantulan gorden jendela. Tanpa melihat secara langsung, Daren mengenal siapa pemilik bayangan itu. Adriana. Dia telah hapal setiap jengkal dan lekukan tubuh Adriana. Daren memperhatikan Adriana keluar dari butik itu, lalu Adriana naik sebuah taksi. Melihat itu, dia langsung menyalakan mobilnya, dan mengikuti taksi yang ditumpangi Adriana. Baru satu menit berjalan Daren melihat titik air hujan menimpa kaca mobilnya. Tidak lama berselang, di tengah perjalanan hujan turun dengan derasnya.***Adriana melihat ke luar jendela. Hatinya menciut saat mengetahui hujan turun sangat lebat. Dia tidak membawa payung. Tubuhnya pasti akan basah kuyup
Suara sirine ambulan meraung-raung membelah kepadatan lalu lintas di sepanjang jalan menuju rumah sakit. Airin duduk di samping tubuh Adriana yang tergolek tidak sadarkan diri. Seorang tenaga medis berusaha menenangkannya dan meminta dia menghentikan tangisnya."Adriana..."Airin memanggil nama sahabatnya dengan tersedu-sedu. Berkali-kali dia mengusap air mata yang jatuh bercucuran di kedua pipinya. Siapa yang menyangka bahwa mereka akan mengalami musibah seperti itu. Padahal beberapa menit sebelumnya mereka masih baik-baik saja. Ambulan itu akhirnya sampai di depan rumah sakit. Dengan gesit beberapa orang tenaga medis membawa Adriana masuk ke ruang IGD. Airin mengikuti mereka dengan langkah tertatih, lalu menghampiri seorang dokter yang baru saja selesai memeriksa seorang pasien. Dia sendiri juga memerlukan perawatan meskipun luka yang dia derita tidak separah Adriana.Lima belas menit kemudian."Siapa wali pasien ini?" Seorang perawat, wanita paruh baya, bertanya sambil menunjuk ke
Dua jam sebelumnya."Siapa yang meninggal?" tanya Adriana saat melihat Airin mematung setelah menerima telepon dari seseorang.Airin merentangkan tangannya, mencari pegangan agar tubuhnya tidak tersungkur ke lantai. Kepalanya terasa berdenyut-denyut. Hatinya sangat perih seperti teriris-iris oleh belati. "Sammy...." Airin menjawab lirih. Bulir-bulir bening mengalir dari kedua matanya tanpa dapat dia bendung.Adriana ingin memeluk Airin, menghiburnya agar kesedihan yang Airin rasakan sedikit berkurang. Tapi, dia tidak mampu berbuat banyak. Tubuhnya masih tertahan di atas ranjang ini dengan jarum infus yang terpasang di tangannya.Airin lah yang berjalan mendekati Adriana. Dia memeluk Adriana erat sambil meluapkan kesedihannya. Kabar kematian Sammy sungguh menyesakkan dada."Mungkin ini memang jalan yang terbaik untuk dia," kata Adriana menghibur Airin. "Sekarang dia tidak merasa sakit lagi."Airin membersit hidungnya, mengusapnya dengan selembar tisu. Air matanya masih mengalir meskipu
"Daren sudah pergi?" tanya Airin saat masuk ke kamar Adriana dan tidak menemukan laki-laki itu di sana.Adriana mengangguk lemah. Dia menatap ke arah lain dengan tatapan kosong. Daren meninggalkannya setelah gagal meyakinkannya untuk pergi bersama laki-laki itu."Kenapa dia bisa ikut bersamamu ke sini?" Adriana bertanya tanpa memandang Airin.Airin tidak langsung menjawab. Dia terlihat sedang memikirkan sesuatu. Seharusnya dia bisa menduga Adriana akan bertanya tentang hal itu, tapi sekarang dia bingung untuk berbicara apa."Mungkinkah kau menghubungi dia?" Adriana memicingkan matanya, lalu menatap tajam ke arah Airin."Itu tidak mungkin aku lakukan. Lagi pula aku tidak mengenalnya," tukas Airin salah tingkah. "Meskipun dia terkenal, aku tidak pernah berminat untuk mencari tahu tentang dirinya.""Lalu....""Dia datang ke tempat pemakaman," ucap Airin cepat. "Semula dia menduga bahwa kau lah yang meninggal."Adriana tersenyum lebar usai mendengar informasi itu. Dalam benaknya dia bisa
Adriana seolah terhipnotis oleh ciuman Daren yang memabukkan. Tanpa dia sadari, dia pun membalas ciuman Daren, tidak kalah mesranya. Tahu-tahu kedua tangannya terangkat lalu memeluk leher Daren. Selama beberapa menit Adriana seperti melambung tinggi, semua ini terasa sangat menyenangkan dan sayang untuk dilewatkan. Tapi, setelah itu dia kembali tersadar, dan mendorong Daren menjauh."Apa itu tadi?" tanya Adriana dengan wajah linglung. Telapak tangannya menyentuh bibirnya, dan masih terasa jejak ciuman Daren di sana."Kau mengetahui pasti jawabannya," kata Daren pendek. Daren menatap Adriana lekat-lekat. Dia ingin mengulang ciumannya tadi. Adriana sangat responsif, membalas ciumannya, bukan menolak atau meminta Daren untuk berhenti. Dia mengulurkan tangannya, menyentuh pipi Adriana, membelainya dengan lembut."Kau pikir aku apa? Seenaknya kau ...." Adriana tidak sanggup melanjutkan kata-katanya. Wajahnya kini bersemu merah."Setidaknya kau menikmatinya," tukas Daren santai. "Lebih kita
Adriana memukul dada Daren berkali-kali untuk meluapkan kekesalannya, kecewanya, juga rindu yang dia rasakan pada Daren. Daren hanya diam saja, membiarkan Adriana meluapkan perasaannya. Lalu, kedua tangan Adriana terkulai lemah di samping tubuhnya."Seharusnya kau tidak menghubungi aku lagi. Seharusnya kau terus pergi, seharusnya kau biarkan aku melupakanmu untuk selamanya," ucap Adriana disertai dengan isak tangis. "Maafkan aku. Tak seharusnya aku berbuat seperti itu padamu. Aku terpaksa melakukannya karena kondisi nenek sangat buruk. Saat dia sadar, dia hanya ingin bertemu denganmu."Adriana masuk ke ruang ICU, tempat nenek Daren berbaring. Perlahan dia menghampiri ranjang nenek Daren. Dia berbisik di telinga nenek Daren."Nenek .... Ini aku Adriana."***"Maafkan aku atas kejadian tadi," ucap Adriana setelah mereka sampai di apartemen Daren. Nenek Daren langsung masuk ke kamarnya dan ingin beristirahat karena dia merasa sangat kelelahan."Bukan masalah besar. Aku tidak merasa terg
Setelah setelah berpikir selama sehari penuh. Setelah mendengar nasehat dari Airin untuk yang kesekian kali. Akhirnya ada memutuskan untuk pergi dari kehidupan Daren selamanya. Tidak ada masa depan bagi dia juga Daren.Namun sesuatu yang tidak pernah Adriana sangka kini terjadi. Di saat dia telah begitu yakin dengan keputusannya, hatinya kembali goyah. Karena Daren menghubungi dia setelah sekian hari menghilang tanpa kabar berita."Bisakah kau datang ke Hongkong? Nenek ingin bertemu denganmu."Deg. Adriana kembali mengingat nenek Daren. Pertemuan singkat mereka sangat mengesankan juga menyakitkan.***"Daren .... Apa kau mendengarkanku?"Mata Daren mengerjap saat dia menyadari tangan Adriana melambai-lambai di depan wajahnya. Dia menoleh ke samping, dan mendapati Adriana tengah menatapnya dengan sorot heran yang kentara. Daren mengulas senyum tipis, lalu menarik Adriana agar lebih mendekat padanya."Maaf, aku tidak mendengar kapan kau masuk," pinta Daren sambil menepuk punggung Adrian
Adriana terbangun dari tidurnya sambil menangis sesenggukan. Mimpinya seolah benar-benar nyata sehingga dia bisa menangis tersedu-sedu. Dalam mimpinya dia melihat Daren tengah mengadakan upacara pernikahan dengan wanita lain. Dia menatap ke arah tempat kosong yang Daren tinggalkan. Bahkan meskipun Daren telah pergi berhari-hari, dia masih bisa mencium aroma tubuh kekasihnya itu.Adriana menarik napas panjang. Dia mencoba menenangkan dirinya, lalu menepis mimpi buruknya itu. Apakah itu pertanda bahwa dia harus melepaskan Daren selamanya? Tidak ada pengharapan yang tersisa untuknya walau hanya secuil? Adriana melipat lututnya. Dia menangis lagi sambil memeluk lututnya itu.Adriana terlonjak kaget karena bunyi dering ponselnya. Dia meraba-raba saklar lampu, lalu menyalakan lampu kamarnya hingga terang benderang. Ponselnya masih berdering menunggu dia mengangkat panggilan telepon dari seseorang di sana. Adriana langsung melompat turun. Dia berpikir mungkin saja itu telepon dari Daren.
Adriana lihat sangat lesu saat dia bekerja. Diam-diam Mala memperhatikannya, merasa sangat kasihan pada bawahnya itu. Hubungan mereka tidak terlalu dekat, jadi dia merasa sungkan untuk bertanya pada Adriana.Ponsel Adriana berbunyi, menyadarkan Adriana dari lamunannya. Telepon dari Daniel. Dia bergegas mengangkatnya."Ya, Daniel. Aku akan ke ruanganmu sekarang," ucap Adriana. Adriana memandang Mala, memberi isyarat pada atasannya itu bahwa dia harus menghadap ke ruangan Daniel. Mala mengangguk mengerti. Adriana langsung berjalan cepat menuju ruangan Daniel."Ini adalah undangan perayaan empat bulan usia kehamilan Jillian. Kau harus datang ke sana. Kami akan menunggumu," pinta Daniel memaksa.Adriana tertawa lebar. "Baiklah kalau itu maumu. Sepertinya aku tidak bisa melewatkan acara khusus untuk calon keponakanku." Setelah itu Adriana kembali ke ruangannya sendiri.***Adriana akhirnya datang ke acara Gender Reveal anak Daniel dan Jillian itu. Dia merasa cemburu terhadap pasangan lain
Waktu berjalan begitu cepat. Tahu-tahu sekarang sudah menjelang akhir tahun. Adriana melihat kalender duduknya berada di atas meja di kamarnya. Selama itu tidak ada perubahan status hubungan antara dia dan Daren.Bila yang lain telah hidup berbahagia dengan pasangan masing-masing dalam ikatan pernikahan. Tidak dengan dirinya. Daren seolah tidak memiliki keinginan yang sama dengan dia. Kekasihnya itu tidak ingin terikat dalam komitmen pernikahan. Entah apa yang menyebabkan Daren seperti itu, jarang tidak pernah membuka hatinya untuk dirinya."Ternyata kau di sini. Sejak tadi aku mencarimu kemana-mana tapi aku tidak menemukanmu," ucap Daren terlihat sangat gusar sekali.Adriana memandang Daren melalui cermin di depannya. "Apakah ada sesuatu yang buruk terjadi padamu?" tanya Adriana sambil mengerutkan keningnya."Aku harus ke Hongkong hari ini," jawab Daren cepat.Adriana langsung memutar tubuhnya. "Ada apa? Nenek baik-baik saja' kan?" tanya Adriana terlihat sangat khawatir. Meskipun se
Satu bulan kemudian.Adriana tersenyum lebar melihat calon pengantin wanita yang terlihat bahagia itu. Dia begitu iri karena impiannya belum tercapai sampai sekarang. Daren seolah tidak mengerti perasaannya sebenarnya.Selama satu bulan ke belakang, Adriana mulai akrab dengan Jillian. Jillian sudah menganggapnya sebagai seorang sahabat meskipun mereka baru saling mengenal. Karena selama ini Jillian tidak pernah memiliki seorang sahabat dekat."Kau terlihat sangat cantik hari ini. Pengantin wanita tercantik yang pernah aku lihat, ucap Adriana memberi komentar.Jillian tersenyum senang mendengar ucapan Adriana. Dia kini berdiri di depan cermin setinggi badan, memandang pantulan dirinya dalam balutan gaun pengantin pilihannya. Kurang dari satu jam dia akan menikah dengan Daniel. Dia merasa sangat gelisah juga takut. Karena setelah ini dia akan tinggal bersama dengan Daniel dan keluar dari rumah yang selama ini dia tinggali."Terima kasih," ucap Jillian tanpa bisa menutupi rasa gugupnya.
Sesuai dengan janjinya semalam, Daniel menjemput Jillian di kantor Jillian sepulang dia bekerja. Dari tempatnya menghentikan mobilnya di halaman gedung kantor Media tech, dia melihat Jillian keluar dari gedung itu dengan langkah terburu-buru. Jillian melihat ke samping kanan-kirinya, memeriksa memeriksa bahwa tidak ada orang lain yang melihatnya.Jillian masuk masuk ke dalam mobil Daniel. Dia meminta dana segera pergi dari sana. Jangan sampai ada teman yang melihat dia masuk ke dalam mobil Daniel."Kenapa kau bertingkah sangat aneh?" tanya Daniel heran dengan sikap Jillian."Aku tidak ingin ada yang melihatku masuk ke dalam mobilmu lalu menjadikanku sebagai bahan gosip di kantor," jawab Jillian yang cepat. "Kau tidak tahu bahwa teman-temanku adalah penggosip yang ulung, yang bisa membuatmu stres karena menjadi bahan pembicaraan selama berhari-hari.""Mengetahui buruknya sifat karyawan perusahaanmu, membuatku memutuskan bahwa sebaiknya kau segera mengundurkan diri dari pekerjaanmu. Aku
Tubuh Daniel membeku saat dia melihat orang lain yang membuka pintu rumah Jillian. Dia memicingkan matanya, seharusnya yang dia temui adalah Jillian. Tapi saat ini orang lain lah yang berdiri di depan pintu. Wanita paruh baya yang wajahnya mirip dengan Jillian"Maaf sebelumnya. Silakan masuk.""Apa Jillian ada?" Daniel mengedarkan pandangannya ke penjuru ruang tamu rumah itu. Sayangnya wajah Jillian tidak tampak sama sekali."Jillian ada di kamarnya. Dia baru saja pingsan," jawab wanita itu dengan hati-hati."Boleh saya melihatnya?" "Tunggu sebentar. Kalau kau tidak keberatan siapa namamu?"Daniel menyunggingkan senyum tipis. "Saya Daniel," jawab Daniel mantap.Setelah itu Daniel menemui Jillian di kamarnya. Rupanya Jillian sudah sadar. Jillian berusaha membuka matanya saat menyadari Daniel berada di kamarnya."Daniel .... Maafkan aku karena mengacaukan acara makan malam kita," ucap Jillian penuh rasa bersalah."Tidak apa-apa. Kita bisa melakukannya lain kali," balas Daniel penuh peng
Mendengar ucapan Daniel, membuat mantan tunangan Jillian murka. Sesuatu terjadi di luar perkiraan Jillian dan Daniel. Rey, mantan tunangan Jillian, mengeluarkan sebilah pisau dari saku celananya. Dalam gerakan cepat dia berhasil melukai wajah Jillian dan lengan Daniel. Setelah itu dia langsung kabur dari sana.Jillian mengaduh kesakitan. Telapak tangannya dipenuhi oleh darah. Dia pun akhirnya jatuh pingsan ke tanah karena merasa terkejut atas tindakan yang dilakukan oleh Rey.Daniel lalu memanggil sopir pribadinya. Tanpa menunggu waktu lebih lama dia langsung membawa Jillian ke rumah sakit. Jillian membutuhkan bantuan segera.Sesampainya di rumah sakit, Daniel meminta dokter menangani luka di wajah Jillian terlebih dahulu. Setelah itu baru dirinya. Tapi ternyata mereka mendapat penanganan secara bersama-sama."Kondisi pasien baik-baik saja. Dia belum sadarkan diri karena masih terkejut dengan apa yang dialami. Luka di wajahnya sudah ditangani oleh dokter, tapi mungkin nanti akan mening