"Pelakunya adalah Adriana."Adriana langsung terhuyung ke belakang saat mendengar kalimat itu meluncur ringan dari bibir Keanu. Kepalanya seperti berputar-putar. Tubuhnya limbung, dan hampir jatuh ke lantai. Beruntungnya dia berhasil berpegangan pada sandaran sofa. Kedua matanya bertemu pandang dengan mata Daren. Air muka Daren keras dan kaku. Matanya menyipit dan menatap Adriana dengan sorot membakar. Saat ini situasi tidak terlalu mendukungnya. Daren dibenturkan oleh kepercayaan dan penyangkalan yang mendatanginya secara bersamaan. Adriana tidak mungkin mengkhianatinya. Keanu juga pasti tidak asal-asalan mengarang cerita tanpa bukti yang kuat. Sekarang, siapa yang harus dia percaya? Keanu atau Adriana?"Apa kau bisa mempertanggungjawabkan semua kata-katamu barusan?" tanya Daren pada Keanu.Keanu mendengus, lalu tersenyum sinis. "Apa kau tidak mempercayaiku? Orang yang setia bersamamu selama bertahun-tahun? Yang mendedikasikan seluruh hidupnya untuk berjuang bersamamu." Keanu meman
"Selamat siang," sapa Adriana pada seorang pengunjung yang datang ke butik Airin. Dia mengulas senyum lebar, perlahan menghampiri wanita itu. Adriana menerka usia wanita itu pasti tidak jauh dari usianya. Mungkin selisih dua atau tiga tahun di bawahnya."Selamat siang. Aku ingin bertemu Airin. Apakah dia ada di sini?" "Silakan duduk. Saya akan memanggilnya ke sini." Setelah memastikan tamunya duduk dengan tenang, Adriana meninggalkannya untuk mencari Airin. Adriana berjalan ke ruangan Airin. Sesampainya di sana ruangan itu kosong. Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dalam hati dia bertanya, ke mana Airin pergi. Biasanya sahabatnya itu memberi tahu dia bila ingin pergi ke suatu tempat. Tapi, siang ini Airin tidak mengatakan apa-apa, dan pergi entah ke mana."Saya minta maaf. Airin tidak ada di ruangannya," kata Adriana dengan raut wajah sedih.Wanita itu menunjukkan ekspresi kecewa setelah mendengar ucapan Adriana. Dia menggigit bibirnya kuat. Matanya menatap ke arah lain dengan
Beberapa menit yang lalu.Daren menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Dia menatap ke arah seberang sambil memikirkan sesuatu. Sepertinya dia melakukan kesalahan dengan berada di sini. Otaknya bekerja dan bertentangan dengan hati nuraninya. Tidak seharusnya dia berada di sini.Saat akan menyalakan mesin mobilnya, Daren menangkap sesosok bayangan dari pantulan gorden jendela. Tanpa melihat secara langsung, Daren mengenal siapa pemilik bayangan itu. Adriana. Dia telah hapal setiap jengkal dan lekukan tubuh Adriana. Daren memperhatikan Adriana keluar dari butik itu, lalu Adriana naik sebuah taksi. Melihat itu, dia langsung menyalakan mobilnya, dan mengikuti taksi yang ditumpangi Adriana. Baru satu menit berjalan Daren melihat titik air hujan menimpa kaca mobilnya. Tidak lama berselang, di tengah perjalanan hujan turun dengan derasnya.***Adriana melihat ke luar jendela. Hatinya menciut saat mengetahui hujan turun sangat lebat. Dia tidak membawa payung. Tubuhnya pasti akan basah kuyup
Suara sirine ambulan meraung-raung membelah kepadatan lalu lintas di sepanjang jalan menuju rumah sakit. Airin duduk di samping tubuh Adriana yang tergolek tidak sadarkan diri. Seorang tenaga medis berusaha menenangkannya dan meminta dia menghentikan tangisnya."Adriana..."Airin memanggil nama sahabatnya dengan tersedu-sedu. Berkali-kali dia mengusap air mata yang jatuh bercucuran di kedua pipinya. Siapa yang menyangka bahwa mereka akan mengalami musibah seperti itu. Padahal beberapa menit sebelumnya mereka masih baik-baik saja. Ambulan itu akhirnya sampai di depan rumah sakit. Dengan gesit beberapa orang tenaga medis membawa Adriana masuk ke ruang IGD. Airin mengikuti mereka dengan langkah tertatih, lalu menghampiri seorang dokter yang baru saja selesai memeriksa seorang pasien. Dia sendiri juga memerlukan perawatan meskipun luka yang dia derita tidak separah Adriana.Lima belas menit kemudian."Siapa wali pasien ini?" Seorang perawat, wanita paruh baya, bertanya sambil menunjuk ke
Dua jam sebelumnya."Siapa yang meninggal?" tanya Adriana saat melihat Airin mematung setelah menerima telepon dari seseorang.Airin merentangkan tangannya, mencari pegangan agar tubuhnya tidak tersungkur ke lantai. Kepalanya terasa berdenyut-denyut. Hatinya sangat perih seperti teriris-iris oleh belati. "Sammy...." Airin menjawab lirih. Bulir-bulir bening mengalir dari kedua matanya tanpa dapat dia bendung.Adriana ingin memeluk Airin, menghiburnya agar kesedihan yang Airin rasakan sedikit berkurang. Tapi, dia tidak mampu berbuat banyak. Tubuhnya masih tertahan di atas ranjang ini dengan jarum infus yang terpasang di tangannya.Airin lah yang berjalan mendekati Adriana. Dia memeluk Adriana erat sambil meluapkan kesedihannya. Kabar kematian Sammy sungguh menyesakkan dada."Mungkin ini memang jalan yang terbaik untuk dia," kata Adriana menghibur Airin. "Sekarang dia tidak merasa sakit lagi."Airin membersit hidungnya, mengusapnya dengan selembar tisu. Air matanya masih mengalir meskipu
"Daren sudah pergi?" tanya Airin saat masuk ke kamar Adriana dan tidak menemukan laki-laki itu di sana.Adriana mengangguk lemah. Dia menatap ke arah lain dengan tatapan kosong. Daren meninggalkannya setelah gagal meyakinkannya untuk pergi bersama laki-laki itu."Kenapa dia bisa ikut bersamamu ke sini?" Adriana bertanya tanpa memandang Airin.Airin tidak langsung menjawab. Dia terlihat sedang memikirkan sesuatu. Seharusnya dia bisa menduga Adriana akan bertanya tentang hal itu, tapi sekarang dia bingung untuk berbicara apa."Mungkinkah kau menghubungi dia?" Adriana memicingkan matanya, lalu menatap tajam ke arah Airin."Itu tidak mungkin aku lakukan. Lagi pula aku tidak mengenalnya," tukas Airin salah tingkah. "Meskipun dia terkenal, aku tidak pernah berminat untuk mencari tahu tentang dirinya.""Lalu....""Dia datang ke tempat pemakaman," ucap Airin cepat. "Semula dia menduga bahwa kau lah yang meninggal."Adriana tersenyum lebar usai mendengar informasi itu. Dalam benaknya dia bisa
Adriana seolah terhipnotis oleh ciuman Daren yang memabukkan. Tanpa dia sadari, dia pun membalas ciuman Daren, tidak kalah mesranya. Tahu-tahu kedua tangannya terangkat lalu memeluk leher Daren. Selama beberapa menit Adriana seperti melambung tinggi, semua ini terasa sangat menyenangkan dan sayang untuk dilewatkan. Tapi, setelah itu dia kembali tersadar, dan mendorong Daren menjauh."Apa itu tadi?" tanya Adriana dengan wajah linglung. Telapak tangannya menyentuh bibirnya, dan masih terasa jejak ciuman Daren di sana."Kau mengetahui pasti jawabannya," kata Daren pendek. Daren menatap Adriana lekat-lekat. Dia ingin mengulang ciumannya tadi. Adriana sangat responsif, membalas ciumannya, bukan menolak atau meminta Daren untuk berhenti. Dia mengulurkan tangannya, menyentuh pipi Adriana, membelainya dengan lembut."Kau pikir aku apa? Seenaknya kau ...." Adriana tidak sanggup melanjutkan kata-katanya. Wajahnya kini bersemu merah."Setidaknya kau menikmatinya," tukas Daren santai. "Lebih kita
Sengaja mengulur-ulur waktu, Adriana berjalan perlahan saat menuju apartemen Daren. Dia belum siap bertemu Daren. Lebih-lebih setelah pertengkaran mereka tadi pagi.Setelah sampai di depan apartemen itu, Adriana memencet bel. Dia tidak bisa masuk ke dalam sana karena Daren tidak memberi tahu nomor sandi pintu apartemennya. Adriana menunggu selama beberapa sambil menghitung dalam hati, mencoba mengusir rasa gugup yang tiba-tiba menggelayuti.Terdengar bunyi klik. Adriana mendorong pintu itu, lalu masuk dengan langkah santai. Dia tidak ingin membuat Daren mengira dirinya takut akan kemarahan Daren yang masih membara."Jam berapa sekarang?" tanya Daren gusar setelah Adriana muncul di hadapannya. Adriana mengangkat kepalanya, melihat jam dinding di belakang Daren. "Jam sembilan malam. Apakah ada yang salah dengan itu?" Pertanyaan Adriana berhasil membuat emosi Daren langsung tersulut."Alasan inilah yang membuat aku tidak menyetujuimu untuk bekerja," kata Daren pedas. "Kau lupa waktu hin