Beberapa menit yang lalu.Daren menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Dia menatap ke arah seberang sambil memikirkan sesuatu. Sepertinya dia melakukan kesalahan dengan berada di sini. Otaknya bekerja dan bertentangan dengan hati nuraninya. Tidak seharusnya dia berada di sini.Saat akan menyalakan mesin mobilnya, Daren menangkap sesosok bayangan dari pantulan gorden jendela. Tanpa melihat secara langsung, Daren mengenal siapa pemilik bayangan itu. Adriana. Dia telah hapal setiap jengkal dan lekukan tubuh Adriana. Daren memperhatikan Adriana keluar dari butik itu, lalu Adriana naik sebuah taksi. Melihat itu, dia langsung menyalakan mobilnya, dan mengikuti taksi yang ditumpangi Adriana. Baru satu menit berjalan Daren melihat titik air hujan menimpa kaca mobilnya. Tidak lama berselang, di tengah perjalanan hujan turun dengan derasnya.***Adriana melihat ke luar jendela. Hatinya menciut saat mengetahui hujan turun sangat lebat. Dia tidak membawa payung. Tubuhnya pasti akan basah kuyup
Suara sirine ambulan meraung-raung membelah kepadatan lalu lintas di sepanjang jalan menuju rumah sakit. Airin duduk di samping tubuh Adriana yang tergolek tidak sadarkan diri. Seorang tenaga medis berusaha menenangkannya dan meminta dia menghentikan tangisnya."Adriana..."Airin memanggil nama sahabatnya dengan tersedu-sedu. Berkali-kali dia mengusap air mata yang jatuh bercucuran di kedua pipinya. Siapa yang menyangka bahwa mereka akan mengalami musibah seperti itu. Padahal beberapa menit sebelumnya mereka masih baik-baik saja. Ambulan itu akhirnya sampai di depan rumah sakit. Dengan gesit beberapa orang tenaga medis membawa Adriana masuk ke ruang IGD. Airin mengikuti mereka dengan langkah tertatih, lalu menghampiri seorang dokter yang baru saja selesai memeriksa seorang pasien. Dia sendiri juga memerlukan perawatan meskipun luka yang dia derita tidak separah Adriana.Lima belas menit kemudian."Siapa wali pasien ini?" Seorang perawat, wanita paruh baya, bertanya sambil menunjuk ke
Dua jam sebelumnya."Siapa yang meninggal?" tanya Adriana saat melihat Airin mematung setelah menerima telepon dari seseorang.Airin merentangkan tangannya, mencari pegangan agar tubuhnya tidak tersungkur ke lantai. Kepalanya terasa berdenyut-denyut. Hatinya sangat perih seperti teriris-iris oleh belati. "Sammy...." Airin menjawab lirih. Bulir-bulir bening mengalir dari kedua matanya tanpa dapat dia bendung.Adriana ingin memeluk Airin, menghiburnya agar kesedihan yang Airin rasakan sedikit berkurang. Tapi, dia tidak mampu berbuat banyak. Tubuhnya masih tertahan di atas ranjang ini dengan jarum infus yang terpasang di tangannya.Airin lah yang berjalan mendekati Adriana. Dia memeluk Adriana erat sambil meluapkan kesedihannya. Kabar kematian Sammy sungguh menyesakkan dada."Mungkin ini memang jalan yang terbaik untuk dia," kata Adriana menghibur Airin. "Sekarang dia tidak merasa sakit lagi."Airin membersit hidungnya, mengusapnya dengan selembar tisu. Air matanya masih mengalir meskipu
"Daren sudah pergi?" tanya Airin saat masuk ke kamar Adriana dan tidak menemukan laki-laki itu di sana.Adriana mengangguk lemah. Dia menatap ke arah lain dengan tatapan kosong. Daren meninggalkannya setelah gagal meyakinkannya untuk pergi bersama laki-laki itu."Kenapa dia bisa ikut bersamamu ke sini?" Adriana bertanya tanpa memandang Airin.Airin tidak langsung menjawab. Dia terlihat sedang memikirkan sesuatu. Seharusnya dia bisa menduga Adriana akan bertanya tentang hal itu, tapi sekarang dia bingung untuk berbicara apa."Mungkinkah kau menghubungi dia?" Adriana memicingkan matanya, lalu menatap tajam ke arah Airin."Itu tidak mungkin aku lakukan. Lagi pula aku tidak mengenalnya," tukas Airin salah tingkah. "Meskipun dia terkenal, aku tidak pernah berminat untuk mencari tahu tentang dirinya.""Lalu....""Dia datang ke tempat pemakaman," ucap Airin cepat. "Semula dia menduga bahwa kau lah yang meninggal."Adriana tersenyum lebar usai mendengar informasi itu. Dalam benaknya dia bisa
Adriana seolah terhipnotis oleh ciuman Daren yang memabukkan. Tanpa dia sadari, dia pun membalas ciuman Daren, tidak kalah mesranya. Tahu-tahu kedua tangannya terangkat lalu memeluk leher Daren. Selama beberapa menit Adriana seperti melambung tinggi, semua ini terasa sangat menyenangkan dan sayang untuk dilewatkan. Tapi, setelah itu dia kembali tersadar, dan mendorong Daren menjauh."Apa itu tadi?" tanya Adriana dengan wajah linglung. Telapak tangannya menyentuh bibirnya, dan masih terasa jejak ciuman Daren di sana."Kau mengetahui pasti jawabannya," kata Daren pendek. Daren menatap Adriana lekat-lekat. Dia ingin mengulang ciumannya tadi. Adriana sangat responsif, membalas ciumannya, bukan menolak atau meminta Daren untuk berhenti. Dia mengulurkan tangannya, menyentuh pipi Adriana, membelainya dengan lembut."Kau pikir aku apa? Seenaknya kau ...." Adriana tidak sanggup melanjutkan kata-katanya. Wajahnya kini bersemu merah."Setidaknya kau menikmatinya," tukas Daren santai. "Lebih kita
Sengaja mengulur-ulur waktu, Adriana berjalan perlahan saat menuju apartemen Daren. Dia belum siap bertemu Daren. Lebih-lebih setelah pertengkaran mereka tadi pagi.Setelah sampai di depan apartemen itu, Adriana memencet bel. Dia tidak bisa masuk ke dalam sana karena Daren tidak memberi tahu nomor sandi pintu apartemennya. Adriana menunggu selama beberapa sambil menghitung dalam hati, mencoba mengusir rasa gugup yang tiba-tiba menggelayuti.Terdengar bunyi klik. Adriana mendorong pintu itu, lalu masuk dengan langkah santai. Dia tidak ingin membuat Daren mengira dirinya takut akan kemarahan Daren yang masih membara."Jam berapa sekarang?" tanya Daren gusar setelah Adriana muncul di hadapannya. Adriana mengangkat kepalanya, melihat jam dinding di belakang Daren. "Jam sembilan malam. Apakah ada yang salah dengan itu?" Pertanyaan Adriana berhasil membuat emosi Daren langsung tersulut."Alasan inilah yang membuat aku tidak menyetujuimu untuk bekerja," kata Daren pedas. "Kau lupa waktu hin
“Tapi apa?” Daren meletakkan sendok dan garpunya dengan kasar. Dia menunggu cukup lama sampai mendapat jawaban dari Adriana.“Tidak …," tukas Adriana gagap. "Aku bisa pulang sebelum malam tiba." Adriana menambahkan dengan mantap.Diam-diam Adriana memperhatikan Daren. Raut wajah Daren tidak sekeruh sebelumnya. Dia menghela napas lega. Setidaknya dia berhasil melalui pagi ini dengan lancar."Aku akan mengantarmu," ucap Daren saat mereka akan meninggalkan apartemen itu.Adriana langsung memotong ucapan Daren. "Tidak usah. Aku akan berangkat sendiri.""Aku tidak akan memaksamu. Pastikan kau pulang tepat waktu."Daren tidak memaksa. Karena dia sudah memahami bahwa Adriana pasti melawannya dengan sekuat tenaga bila dia tetap memaksakan keinginannya. Sekarang dia akan mengikuti kemauan Adriana. Kelak saat dia sudah bisa mengendalikan keadaan, dia sangat yakin Adriana bertekuk lutut padanya."Ya .... Sampai jumpa nanti malam," ucap Adriana lalu keluar apartemen terlebih dahulu.***"Adriana
Adriana tampak sangat berantakan. Wajahnya pucat pasi. Kedua matanya membengkak usai menangis semalaman. Rambut panjangnya tidak tertata rapi.Seperti dugaannya sebelumnya. Dia akhirnya merasa patah hati dan hancur walaupun dirinya lah yang mengakhiri hubungan dengan Daren. Hatinya serasa dicabik-cabik dan sangat menyakitkan."Maafkan aku. Apa aku boleh libur hari ini?" tanya Adriana pada Airin melalui sambungan telepon."Ada apa? Apa yang terjadi denganmu?" balas Airin yang bertanya. Nada suaranya terdengar sangat khawatir."Aku tidak bisa menceritakan sekarang," jawab Adriana. "Beri aku waktu untuk menenangkan diri. Setelah itu aku pasti akan bercerita padamu."Airin tidak mendesak. Dia sangat memahami Adriana. Sahabatnya itu tidak akan mungkin menyembunyikan sesuatu padanya. Dia yakin, sesuai dengan janjinya Adriana pasti memberi tahu dia tentang apa yang tengah dialami oleh Adriana."Apa kau membutuhkan sesuatu?" Adriana menggeleng. "Tidak ada. Terima kasih atas tawaranmu.""Baik
Adriana memukul dada Daren berkali-kali untuk meluapkan kekesalannya, kecewanya, juga rindu yang dia rasakan pada Daren. Daren hanya diam saja, membiarkan Adriana meluapkan perasaannya. Lalu, kedua tangan Adriana terkulai lemah di samping tubuhnya."Seharusnya kau tidak menghubungi aku lagi. Seharusnya kau terus pergi, seharusnya kau biarkan aku melupakanmu untuk selamanya," ucap Adriana disertai dengan isak tangis. "Maafkan aku. Tak seharusnya aku berbuat seperti itu padamu. Aku terpaksa melakukannya karena kondisi nenek sangat buruk. Saat dia sadar, dia hanya ingin bertemu denganmu."Adriana masuk ke ruang ICU, tempat nenek Daren berbaring. Perlahan dia menghampiri ranjang nenek Daren. Dia berbisik di telinga nenek Daren."Nenek .... Ini aku Adriana."***"Maafkan aku atas kejadian tadi," ucap Adriana setelah mereka sampai di apartemen Daren. Nenek Daren langsung masuk ke kamarnya dan ingin beristirahat karena dia merasa sangat kelelahan."Bukan masalah besar. Aku tidak merasa terg
Setelah setelah berpikir selama sehari penuh. Setelah mendengar nasehat dari Airin untuk yang kesekian kali. Akhirnya ada memutuskan untuk pergi dari kehidupan Daren selamanya. Tidak ada masa depan bagi dia juga Daren.Namun sesuatu yang tidak pernah Adriana sangka kini terjadi. Di saat dia telah begitu yakin dengan keputusannya, hatinya kembali goyah. Karena Daren menghubungi dia setelah sekian hari menghilang tanpa kabar berita."Bisakah kau datang ke Hongkong? Nenek ingin bertemu denganmu."Deg. Adriana kembali mengingat nenek Daren. Pertemuan singkat mereka sangat mengesankan juga menyakitkan.***"Daren .... Apa kau mendengarkanku?"Mata Daren mengerjap saat dia menyadari tangan Adriana melambai-lambai di depan wajahnya. Dia menoleh ke samping, dan mendapati Adriana tengah menatapnya dengan sorot heran yang kentara. Daren mengulas senyum tipis, lalu menarik Adriana agar lebih mendekat padanya."Maaf, aku tidak mendengar kapan kau masuk," pinta Daren sambil menepuk punggung Adrian
Adriana terbangun dari tidurnya sambil menangis sesenggukan. Mimpinya seolah benar-benar nyata sehingga dia bisa menangis tersedu-sedu. Dalam mimpinya dia melihat Daren tengah mengadakan upacara pernikahan dengan wanita lain. Dia menatap ke arah tempat kosong yang Daren tinggalkan. Bahkan meskipun Daren telah pergi berhari-hari, dia masih bisa mencium aroma tubuh kekasihnya itu.Adriana menarik napas panjang. Dia mencoba menenangkan dirinya, lalu menepis mimpi buruknya itu. Apakah itu pertanda bahwa dia harus melepaskan Daren selamanya? Tidak ada pengharapan yang tersisa untuknya walau hanya secuil? Adriana melipat lututnya. Dia menangis lagi sambil memeluk lututnya itu.Adriana terlonjak kaget karena bunyi dering ponselnya. Dia meraba-raba saklar lampu, lalu menyalakan lampu kamarnya hingga terang benderang. Ponselnya masih berdering menunggu dia mengangkat panggilan telepon dari seseorang di sana. Adriana langsung melompat turun. Dia berpikir mungkin saja itu telepon dari Daren.
Adriana lihat sangat lesu saat dia bekerja. Diam-diam Mala memperhatikannya, merasa sangat kasihan pada bawahnya itu. Hubungan mereka tidak terlalu dekat, jadi dia merasa sungkan untuk bertanya pada Adriana.Ponsel Adriana berbunyi, menyadarkan Adriana dari lamunannya. Telepon dari Daniel. Dia bergegas mengangkatnya."Ya, Daniel. Aku akan ke ruanganmu sekarang," ucap Adriana. Adriana memandang Mala, memberi isyarat pada atasannya itu bahwa dia harus menghadap ke ruangan Daniel. Mala mengangguk mengerti. Adriana langsung berjalan cepat menuju ruangan Daniel."Ini adalah undangan perayaan empat bulan usia kehamilan Jillian. Kau harus datang ke sana. Kami akan menunggumu," pinta Daniel memaksa.Adriana tertawa lebar. "Baiklah kalau itu maumu. Sepertinya aku tidak bisa melewatkan acara khusus untuk calon keponakanku." Setelah itu Adriana kembali ke ruangannya sendiri.***Adriana akhirnya datang ke acara Gender Reveal anak Daniel dan Jillian itu. Dia merasa cemburu terhadap pasangan lain
Waktu berjalan begitu cepat. Tahu-tahu sekarang sudah menjelang akhir tahun. Adriana melihat kalender duduknya berada di atas meja di kamarnya. Selama itu tidak ada perubahan status hubungan antara dia dan Daren.Bila yang lain telah hidup berbahagia dengan pasangan masing-masing dalam ikatan pernikahan. Tidak dengan dirinya. Daren seolah tidak memiliki keinginan yang sama dengan dia. Kekasihnya itu tidak ingin terikat dalam komitmen pernikahan. Entah apa yang menyebabkan Daren seperti itu, jarang tidak pernah membuka hatinya untuk dirinya."Ternyata kau di sini. Sejak tadi aku mencarimu kemana-mana tapi aku tidak menemukanmu," ucap Daren terlihat sangat gusar sekali.Adriana memandang Daren melalui cermin di depannya. "Apakah ada sesuatu yang buruk terjadi padamu?" tanya Adriana sambil mengerutkan keningnya."Aku harus ke Hongkong hari ini," jawab Daren cepat.Adriana langsung memutar tubuhnya. "Ada apa? Nenek baik-baik saja' kan?" tanya Adriana terlihat sangat khawatir. Meskipun se
Satu bulan kemudian.Adriana tersenyum lebar melihat calon pengantin wanita yang terlihat bahagia itu. Dia begitu iri karena impiannya belum tercapai sampai sekarang. Daren seolah tidak mengerti perasaannya sebenarnya.Selama satu bulan ke belakang, Adriana mulai akrab dengan Jillian. Jillian sudah menganggapnya sebagai seorang sahabat meskipun mereka baru saling mengenal. Karena selama ini Jillian tidak pernah memiliki seorang sahabat dekat."Kau terlihat sangat cantik hari ini. Pengantin wanita tercantik yang pernah aku lihat, ucap Adriana memberi komentar.Jillian tersenyum senang mendengar ucapan Adriana. Dia kini berdiri di depan cermin setinggi badan, memandang pantulan dirinya dalam balutan gaun pengantin pilihannya. Kurang dari satu jam dia akan menikah dengan Daniel. Dia merasa sangat gelisah juga takut. Karena setelah ini dia akan tinggal bersama dengan Daniel dan keluar dari rumah yang selama ini dia tinggali."Terima kasih," ucap Jillian tanpa bisa menutupi rasa gugupnya.
Sesuai dengan janjinya semalam, Daniel menjemput Jillian di kantor Jillian sepulang dia bekerja. Dari tempatnya menghentikan mobilnya di halaman gedung kantor Media tech, dia melihat Jillian keluar dari gedung itu dengan langkah terburu-buru. Jillian melihat ke samping kanan-kirinya, memeriksa memeriksa bahwa tidak ada orang lain yang melihatnya.Jillian masuk masuk ke dalam mobil Daniel. Dia meminta dana segera pergi dari sana. Jangan sampai ada teman yang melihat dia masuk ke dalam mobil Daniel."Kenapa kau bertingkah sangat aneh?" tanya Daniel heran dengan sikap Jillian."Aku tidak ingin ada yang melihatku masuk ke dalam mobilmu lalu menjadikanku sebagai bahan gosip di kantor," jawab Jillian yang cepat. "Kau tidak tahu bahwa teman-temanku adalah penggosip yang ulung, yang bisa membuatmu stres karena menjadi bahan pembicaraan selama berhari-hari.""Mengetahui buruknya sifat karyawan perusahaanmu, membuatku memutuskan bahwa sebaiknya kau segera mengundurkan diri dari pekerjaanmu. Aku
Tubuh Daniel membeku saat dia melihat orang lain yang membuka pintu rumah Jillian. Dia memicingkan matanya, seharusnya yang dia temui adalah Jillian. Tapi saat ini orang lain lah yang berdiri di depan pintu. Wanita paruh baya yang wajahnya mirip dengan Jillian"Maaf sebelumnya. Silakan masuk.""Apa Jillian ada?" Daniel mengedarkan pandangannya ke penjuru ruang tamu rumah itu. Sayangnya wajah Jillian tidak tampak sama sekali."Jillian ada di kamarnya. Dia baru saja pingsan," jawab wanita itu dengan hati-hati."Boleh saya melihatnya?" "Tunggu sebentar. Kalau kau tidak keberatan siapa namamu?"Daniel menyunggingkan senyum tipis. "Saya Daniel," jawab Daniel mantap.Setelah itu Daniel menemui Jillian di kamarnya. Rupanya Jillian sudah sadar. Jillian berusaha membuka matanya saat menyadari Daniel berada di kamarnya."Daniel .... Maafkan aku karena mengacaukan acara makan malam kita," ucap Jillian penuh rasa bersalah."Tidak apa-apa. Kita bisa melakukannya lain kali," balas Daniel penuh peng
Mendengar ucapan Daniel, membuat mantan tunangan Jillian murka. Sesuatu terjadi di luar perkiraan Jillian dan Daniel. Rey, mantan tunangan Jillian, mengeluarkan sebilah pisau dari saku celananya. Dalam gerakan cepat dia berhasil melukai wajah Jillian dan lengan Daniel. Setelah itu dia langsung kabur dari sana.Jillian mengaduh kesakitan. Telapak tangannya dipenuhi oleh darah. Dia pun akhirnya jatuh pingsan ke tanah karena merasa terkejut atas tindakan yang dilakukan oleh Rey.Daniel lalu memanggil sopir pribadinya. Tanpa menunggu waktu lebih lama dia langsung membawa Jillian ke rumah sakit. Jillian membutuhkan bantuan segera.Sesampainya di rumah sakit, Daniel meminta dokter menangani luka di wajah Jillian terlebih dahulu. Setelah itu baru dirinya. Tapi ternyata mereka mendapat penanganan secara bersama-sama."Kondisi pasien baik-baik saja. Dia belum sadarkan diri karena masih terkejut dengan apa yang dialami. Luka di wajahnya sudah ditangani oleh dokter, tapi mungkin nanti akan mening