Adriana memukul dada Daren berkali-kali untuk meluapkan kekesalannya, kecewanya, juga rindu yang dia rasakan pada Daren. Daren hanya diam saja, membiarkan Adriana meluapkan perasaannya. Lalu, kedua tangan Adriana terkulai lemah di samping tubuhnya."Seharusnya kau tidak menghubungi aku lagi. Seharusnya kau terus pergi, seharusnya kau biarkan aku melupakanmu untuk selamanya," ucap Adriana disertai dengan isak tangis. "Maafkan aku. Tak seharusnya aku berbuat seperti itu padamu. Aku terpaksa melakukannya karena kondisi nenek sangat buruk. Saat dia sadar, dia hanya ingin bertemu denganmu."Adriana masuk ke ruang ICU, tempat nenek Daren berbaring. Perlahan dia menghampiri ranjang nenek Daren. Dia berbisik di telinga nenek Daren."Nenek .... Ini aku Adriana."***"Maafkan aku atas kejadian tadi," ucap Adriana setelah mereka sampai di apartemen Daren. Nenek Daren langsung masuk ke kamarnya dan ingin beristirahat karena dia merasa sangat kelelahan."Bukan masalah besar. Aku tidak merasa terg
“Sedang apa kau di sini?” tanya laki-laki berperawakan tinggi besar dan berwajah tampan setelah membuka pintu ruangan itu. Sama sekali tidak tampak raut ramah di wajahnya. “Aku ….” Adriana kesulitan menjawab. Dia meraih map beserta isinya yang berserakan di lantai, lalu meletakkannya di atas meja. Setelah mampu menguasai dirinya, dia membuka mulutnya kembali.“Aku bekerja di sini. Sebagai asisten pribadi pemilik ruangan ini,” jawab Adriana cepat sambil mengerjapkan matanya dua kali.Laki-laki itu, Adriana mengenal namanya sebagai Daren Liew, berjalan mendekat ke arahnya. Langkah Daren sangat anggun dengan tatapan matanya yang tidak beralih dari Adriana, seperti seekor singa jantan yang tengah mendekati mangsanya yang tidak berdaya. Adriana mundur satu langkah, sengaja menjaga jarak dari Daren.“Aku tidak membutuhkan asisten pribadi. Aku juga tidak menginginkan dirimu berada di sini,” ucap Daren santai. Dia meletakkan tasnya, lalu menghadap kea rah Adriana.“Tapi …” Adriana menelan l
"Bisa kau ulangi lagi kata-katamu?"Daren mendorong kursinya mundur. Dia bangkit berdiri, lalu berjalan perlahan dengan kedua matanya memindai sosok Adriana yang masih berdiri di depan pintu. Rupanya gadis itu punya nyali untuk menemuinya dengan menyampaikan omong kosong. "Perkataanku cukup jelas untuk kau dengar. Aku hanya meminta waktu selama satu bulan. Setelah itu, aku berjanji akan menghilang dari hidupmu. Selamanya." Adriana menjawab sangat tegas tanpa rasa takut. Daren berhenti tepat di depan Adriana. Jarak mereka terlalu dekat sehingga Daren bisa melihat hembusan napas Adriana yang cepat. Adriana pasti berusaha menahan rasa malunya untuk menemuinya kembali, batinnya dalam hati."Aku tidak mau. Sekali aku bilang tidak, maka itu berarti kau tidak memiliki kesempatan untuk mengubah pikiranku," ucap Daren teguh pada pendiriannya.Adriana memijit pelipisnya. Usaha apa lagi yang harus dia lakukan untuk membuka hati laki-laki di depannya ini? Dia telah mempertaruhkan harga dirinya
Dua bulan lalu."Saya ingin mengambil kunci kamar atas nama Adriana Kirani," ucap Adriana pada petugas resepsionis hotel yang sedang berjaga."Tunggu sebentar," balas wanita itu, lalu menunduk mencari kunci kamar Adriana.Adriana memutar tubuhnya, membelakangi meja resepsionis. Dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Hotel yang dia kunjungi saat ini tampak sangat mewah dan elegan. Dia tidak mungkin bisa menginap di sini tanpa campur tangan Airin, sahabatnya."Ini kuncinya."Adriana langsung membalikkan badannya. Dia menerima kunci itu, mengucapkan terima kasih secara singkat. Setelahnya dia berjalan dengan langkah panjang masuk ke dalam lift yang terbuka. Dia menekan tombol menuju lantai kamarnya.Adriana membuka pintu, dan ternyata kamarnya sangat luas dengan ranjang tunggal yang lebar. Adriana langsung menjatuhkan tubuhnya di atas kasur yang empuk. Dia tertawa lebar, rasa bahagia mulai menghinggapi dirinya. Menginap di hotel ini merupakan sebuah pengalaman yang menakjubkan di um
Satu jam kemudian.Adriana masih terisak. Kejadian beberapa saat yang lalu masih tercetak jelas di dalam benaknya. Dia begitu tidak berdaya saat laki-laki asing yang kini berbaring di sampingnya sambil memeluknya, menodai dirinya dengan paksa. Kesucian yang dia jaga selama ini direnggut oleh laki-laki itu. Sia-sia usaha yang dia lakukan untuk melepaskan diri dari serangan brutal itu. Adriana benar-benar tidak berdaya. Rasa nyeri di pangkal pahanya membuat dia meringis kesakitan. Tidak hanya itu. Seluruh tubuhnya dipenuhi bekas-bekas kecupan dari bibir kotor laki-laki itu. Dia pun bergidik ngeri sekaligus jijik."Jangan pergi," ucap laki-laki itu saat Adriana hendak beranjak dari tempat tidur. Pelukannya di tubuh Adriana semakin bertambah erat."Lepaskan aku." Akhirnya Adriana bisa bersuara. Dia menepis tangan itu dengan kasar.Laki-laki itu bergerak, mengerang keras sambil memegang kepalanya. Dia menegakkan punggungnya, lalu menoleh ke arah Adriana. Kedua matanya membelalak lebar."S
Dering telepon berbunyi. Adriana mempertajam pendengarnya untuk memastikan bahwa suara itu berasal dari ponselnya. Setelah itu dia bergerak cepat mengambil benda pipih itu di dalam tasnya."Halo ..." Adriana menunggu beberapa detik sampai si penelepon berbicara. Seharusnya dia tahu dia tidak boleh mengangkat panggilan telepon dari nomor yang tidak dia kenal. Tapi, entah kenapa hatinya seolah mendorong dia menerima panggilan tersebut."Halo. Ini aku, Daren Liew."Adriana menelan ludahnya. Apakah dia tidak salah dengar? Laki-laki itu tiba-tiba menghubungi dia."Maaf, sepertinya kau salah nomor," tukas Adriana.Adriana menatap Airin, lalu meletakkan jari telunjuknya di bibir saat Airin berbisik, bertanya siapa yang meneleponnya. Dia menggelengkan kepalanya, memberi isyarat agar Airin diam. Sahabatnya itu pun mengikuti permintaannya, memilih untuk menunggu."Aku tidak salah nomor. Aku memang sengaja menghubungi dirimu, Adriana," tukas Daren.Adriana berdeham sebentar, lalu berkata, "Aku
“Apa Tuan Hari akan kembali ke kantor nanti?” tanya Adriana pada wanita sebelumnya dengan nada putus asa. Dia sangat mengerti petugas resepsionis itu pasti merasa jengkel karena sikapnya.“Aku tidak tahu pasti,” jawab wanita itu sekenanya.“Tidak bisakah kau memastikannya?” desak Adriana putus asa.Wanita itu menatap sebal pada Adriana. Dia tidak segan menunjukkan rasa tidak sukanya. Dengan malas tangannya terulur, meraih gagang telepon di atas meja. Lalu dia memencet beberapa nomor, menghubungi seseorang.Adriana memalingkan wajahnya. Dia tidak mau dianggap sedang menguping pembicaraan orang lain. Tujuannya datang ke sini adalah untuk menemui Tuan Hari Leo.“Aku sudah menghubungi asisten beliau. Dia bilang Tuan Hari masih memiliki jadwal rapat dengan pegawai. Hanya saja dia tidak tahu pasti kapan beliau kembali.”Adriana memutar kepalanya. Matanya berbinar, bercahaya. Dia merasa senang, setidaknya dia masih memiliki sedikit harapan untuk bisa menemui laki-laki itu.“Terima kasih atas
Malam datang menjelang. Adriana sampai di gedung kantor Daren dalam keadaan sebagian besar ruangan telah mati lampunya. Semua pegawai telah meninggalkan pekerjaannya. Kini tinggal dirinya yang masih di sini.Adriana membuka pintu ruangan Daren yang terang, tapi sepi. Dia tidak menemukan bosnya. Ke mana Daren pergi? Dia bertanya dalam hati. Lalu, Adriana memutuskan untuk menunggu. Mungkin sekarang Daren sedang pergi ke suatu tempat. Tapi, dia yakin nanti Daren akan kembali ke sini.***Daren berdiri terpaku di depan pintu. Nanar matanya menatap Adriana yang tengah meringkuk di sofa. Sejak kapan Adriana berada di sana? Kenapa dia tidak mengetahui saat Adriana masuk ke sini?"Hei ... bangun." Pelan-pelan Daren menggoyangkan tubuh Adriana. Dia berusaha membangunkan gadis itu. Hanya saja Adriana tidak bergerak sama sekali.Daren lalu berjongkok di hadapan Adriana. Ditatapnya wajah Adriana yang tampak sangat lembut dan meneduhkan. Wajah itu tidak cantik, tapi ada sesuatu yang menarik dan su